Rumah Tangga Islami

Keluarga dan rumah tangga merupakan hal yang melekat dalam hidup seseorang. Sedikit sekali mereka yang memilih hidup sendirian. Karena pada hakikatnya, manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain.

Sebagai manusia pertama, Nabi Adam as pun meminta Allah menciptakan Hawa sebagai pasangannya, ketika melihat makhluk lain telah berpasangan di dalam Syurga.

Saya meyakini bahwa setiap orang menginginkan rumah tangga yang selalu damai dan tentram. Kamu juga kan?

Kehidupan rumah tangga tersebut akan terwujud apabila dibangun dengan nilai-nilai agama. Oleh karena itu, rumah tangga islami sangat tepat diterapkan untuk memperoleh kedamaian, ketentraman dan kebahagiaan.

Artikel kali ini akan membahas tentang rumah tangga islami. Selamat membaca!

Apa Itu Rumah Tangga Islami?

Sebelum membahas lebih jauh tentang rumah tangga islami, terlebih dahulu kamu perlu tahu apa sih rumah tangga islami itu?

Jadi, arti rumah tangga islami adalah rumah tangga yang dijalankan sesuai ajaran Islam yang tuntunan Al-Qur’an dan sesuai teladan Rasulullah saw, para sahabat dan ulama.

Tujuan Pernikahan Dalam Islam

Allah SWT dalam Al-Qur’an telah menyatakan bahwa hikmah dan tujuan berumah tangga adalah untuk mencapai keluarga yang baik untuk yaitu keluarga sakinah, mawaddah warahmah. Allah swt berfirman dalam surat Ar-Rum ayat 21:

وَمِنْ ءَايٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوٰجًا لِّتَسْكُنُوٓا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذٰلِكَ لَءَايٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda (kekuasaan-Nya) adalah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan Dia menciptakan di antaramu rasa kasih sayang.

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir.

Sakinah, Mawadah, Warrahmah

Dalam ayat ini, Al-Qur’an mengajarkan tiga tujuan yang perlu dicapai pernikahan. Pertama adalah sakinah. Sakinah ditunjukkan pada penggalan ayat لتسكنوا إليها yang artinya “supaya kamu merasa tentram kepadanya”.

Lafaz ini terdiri dari huruf lam (dalam Nahwu disebut lam kay) yang artinya “agar” dan “fi’il mudhari” yang mengandung fa’il أنتم (kalian). تسكنوا adalah fi’il mudhari’ yang dimaksud. FI’il mudhari’ ini diambil dari masdar yaitu سكينة (sakinah).

Melalui ayat ini, Al-Qur’an menginginkan pasangan membentuk sakinah di antara keduanya.

Sakinah adalah ketenangan baik jasmani maupun hati. Mereka tenang secara fisik yang berarti akur dan tidak ada kekerasan jasmani, serta tenang hati yang berarti tidak lagi tergiur atau tergoda oleh orang lain.

Dapat disimpulkan, bahwa sakinah adalah ketenangan jasmani dan hati, sehingga keduanya merasa nyaman dan tenang ketika saling berdekatan.

Kenyamanan itu terjadi terjadi pada hati suami sehingga dirinya tidak terganggu dengan ketertarikan dengan wanita lain, begitupula dengan istri tidak lagi terganggu dengan laki-laki lain.

Kemudian yang kedua adalah mawaddah. Mawaddah ditunjukkan oleh kata مَّوَدَّةً pada ayat tersebut sebagai maf’ul daripada جَعَلَ. Menurut Abi Qurasy Shihab, kata mawaddah diambil dari kata wadadah yang artinya kelapangan dan kekosongan.

Sedangkan rahmah adalah kondisi batin yang muncul di dalam hati kedua pasangan ketika melihat ketidakmampuan, sehingga mendorong keduanya untuk saling mengevaluasi dan mencari jalan keluar.

Rumah tangga islami akan disinari dengan rahmah maka kedua pasangan akan mengutamakan kesabaran, tidak mudah cemburu, tidak mementingkan keuntungan sendiri, dan tidak pemarah apalagi pendendam. [1]

Rumah Tangga Islami Dimulai Dari Mencari Pasangan yang Baik

Setiap rumah tangga dimulai dari pintu gerbang pernikahan. Sebelum memutuskan untuk menikah, kamu perlu memperhatikan banyak hal agar tidak ada penyesalan setelah menikah.

Salah satunya adalah memilih pasangan yang baik. Hal ini merupakan naluri dasar setiap manusia, karena mengetahui bahwa manusia diciptakan Allah dengan berpasang-pasangan.

Seperti dalam firman Allah yaitu:

“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”. (QS. Al-Dzariyat: 19).

Ayat lainnya:

“Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”. (QS. Yasin: 36).

Selain itu, pernikahan membutuhkan pondasi yang kuat agar tetap kokoh dan utuh. Syekh Mahmud Syaltut dalam kitabnya bernama al-Islam al-Aqidah wa al-Syari’a berkata, menikah adalah membentuk keluarga, dan keluarga merupakan batu bata dalam pembangunan bangsa.

Batu bata yang kuat, akan membentuk bangunan yang kuat pula. Sebaliknya, jika batu bata yang menyangga itu rapuh, maka bangunan itu niscaya akan runtuh, dan sesungguhnya suatu bangsa itu terdiri dari kumpulan beberapa keluarga.[2]

Mempersiapkan Rumah Tangga Islami

Lalu, bagaimana cara mempersiapkan diri untuk membangun rumah tangga islami?

Hal pertama yang perlu kamu lakukan adalah memperbaiki niat. Meluruskan niat, yaitu murni karena Allah dan semata-mata ibadah kepada-Nya. Karena hakikatnya menikah adalah perintah-Nya.

Sebagaimana Allah berfirman di dalam Al-Qur’an surah An-Nur ayat 32:

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kaurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.

Menikah juga merupakan perintah dan sunnah Nabi. Sahabat hasana.id tentu tahu sirah Nabi tentang pernikahan beliau dengan para istri yang mulia, yang kemudian disebut dengan Ummul Mukminin atau ibu orang-orang beriman.

Pernikahan Rasulullah

Dijelaskan oleh Ibnu Hazm al-Andalausi dalam ringkasan Sirah Nawabiyah, Rasulullah menikahi lebih dari empat wanita sebagai keistimewaan baginda. Sayyidah Khadijah binti Khuwailid adalah istri pertama Nabi Muhammad.

Lalu Saudah binti Zam’ah dinikahi oleh Nabi pada tahun ke-10 kenabian. Pada bulan Syawwal tahun ke-10 kenabian di Makkah, Nabi menikahi Sayyidah Aisyah binti Abu Bakar as-Shiddiq.

Pada tahun ke-3 H, Nabi Muhammad menikah dengan Hafshah binti Umar bin Khattab. Kemudian mempersunting Sayyidah Zainab binti Khuzaimah dan Sayyidah Ummu Salamah (Hindun) binti Abu Umayyah (Hudzaifah) bin al-Mughirah.

Pada tahun ke-4 H, Nabi Muhammad menikahi Sayyidah Zainab binti Jahsy, kemudian menikahi Sayyidah Juwairiyah binti al-Harits.

Selanjutnya, Nabi juga menikah dengan Sayyidah Ummu Habibah (Ramlah) binti Abu Sufyan setelah perjanjian Hudaibiyah. Nabi juga menikahi Sayyidah Shafiyyah binti Huyay, Mariyah al-Qibthiyah, dan Sayyidah Maimunah binti al-Harits.

Maka, menikah adalah sunnah Nabi SAW. Walaupun menikah lebih dari empat hanya dibenarkan kepada Nabi, dapat disimpulkan secara substansi Nabi juga menikah.

Yang perlu diingat bahwa dalam mengikuti Nabi, bukan hanya  sekadar menikah saja, tetapi juga dalam proses nikah hingga mendekati waktu menikah.

Memilih Berdasarkan Agama Seseorang

Dalam memilih pasangan, menurut Nabi hendaknya mengutamakan agamanya, kemudian keturunan, harta, dan parasnya.

Hal ini sebagaimana dalam satu hadis:

حَدَّثَنَا مُسَدَّدُ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللهِ قَالَ حَدَّثَنِي سَعِيْدٌ بْنُ أَبِيْ سَعِيْدٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَ لِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ.

Artinya: “…dari Abu Hurairah RA, dari Nabi Saw, beliau bersabda: “Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung.” (Sahih Bukhari, hadis No. 4700).

Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Terkait Suami

akhlak suami

Syekh Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh al-Sunnah menjelaskan bahwa hak dan kewajiban suami istri ada tiga macam: hak istri atas suami, hak suami atas istri, dan hak bersama.

Masing-masing dari hak tersebut menyangkut harta (maliyah), seperti mahar dan nafkah (memenuhi kebutuhan makan, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain).

Selain itu, ada yang berupa hak di luar harta (ghair maliyah), seperti bersikap adil, perlakuan baik, termasuk juga dalam hak suami mendatangi istrinya.

Beliau juga menambahkan kewajiban suami terhadap istrinya adalah menghormatinya, bergaul dengan baik, memperlakukannya dengan wajar, mendahulukan kepentingan yang memang patut didahulukan, dan bersikap sabar atas permasalahan yang ditimbulkan oleh istri.

Karena menghormati istri merupakan bukti kebaikan akhlak dan kuatnya iman suami. [3]

Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Terkait Istri

rumah tangga sakinah

Sayyid Sabiq dalam kitabnya menyebutkan bahwa kewajiban istri terhadap suami adalah taat kepadanya selama bukan perkara maksiat, tidak bermuka masam sehingga mengundang rasa tidak suka dari suaminya, dan tidak melakukan hal yang tidak disenangi oleh suaminya.

Hak wanita terhadap suaminya adalah hak yang sangat berat. Hal ini sebagaimana hadis yang diriwayatkan daripada Ummul Mukminin, Aisyah ra berikut ini:

عن عائشة رضي الله عنها قالت: سألتُ رسول الله صلي الله عليه وسلم، أي الناس أعظم حقًا على المرأة؟ قال: زوزها. قالت: فأي الناس أعظم حقا على الرجل؟ قال: أمه”[4]

Artinya: “Diriwayatkan daripada Aisyah ra beliau berkata: “Aku bertanya kepada Nabi Saw, siapakah manusia yang paling berat haknya bagi wanita, Rasulullah Saw menjawab: “suaminya”. Aisyah beertanya lagi: “Lantas siapakah manusia yang paling berat haknya bagi laki-laki?” Rasulullah Saw menjawab: “ibunya”.

Rasululah juga menguatkan hal ini dalam hadis lain dengan sabdanya:

لو أمرت أحدا أن يسجد لأحد، لأمرت المرأة أن تسجد لزوجها من عظم حقه عليها[5]

Artinya: “Jika aku memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada seseorang yang lain, sungguh akan aku perintahkan wanita untuk bersujud kepada suaminya”.

Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Terkait Anak

pendidikan islami

Berkaitan dengan anak, wajib hukumnya bagi orang tua untuk mendidik mereka menjadi pribadi yang sesuai dengan syari’at. Kewajiban ini berlandaskan firman Allah swt dan hadis Rasulullah saw.

Allah berfirman dalam surat At-Tahrim ayat 6 yang artinya:

“Wahai orang beriman, jagalah diri kamu dan keluargamu dari (azab) api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya para malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintah oleh-Nya dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.

Dalam tafsir Imam Thabari disebutkan bahwa arti menjaga diri sendiri adalah mengajarkan diri untuk selalu taat kepada Allah dan rasul-Nya.

Adapun maksud menjaga keluarga adalah mengajarkan mereka sesuatu yang dapat menjauhkan dari api neraka Jahanam. Karena orang yang paling layak menerima dan mengajak kebaikan adalah keluargamu sendiri.

Rasulullah saw dalam hadisnya banyak sekali mengajarkan cara mendidik anak yang baik dan sesuai syari’at.

Setiap Jiwa Bertanggung Jawab atas kepemimpinannya

كُلُّكُمْ راعٍ، وكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عن رَعِيَّتِهِ، الإمامُ راعٍ ومَسْئُولٌ عن رَعِيَّتِهِ، والرَّجُلُ راعٍ في أهْلِهِ وهو مَسْئُولٌ عن رَعِيَّتِهِ، والمَرْأَةُ راعِيَةٌ في بَيْتِ زَوْجِها ومَسْئُولَةٌ عن رَعِيَّتِها، والخادِمُ راعٍ في مالِ سَيِّدِهِ ومَسْئُولٌ عن رَعِيَّتِهِ قالَ: – وحَسِبْتُ أنْ قدْ قالَ – والرَّجُلُ راعٍ في مالِ أبِيهِ ومَسْئُولٌ عن رَعِيَّتِهِ، وكُلُّكُمْ راعٍ ومَسْئُولٌ عن رَعِيَّتِهِ[6]

Artinya: “Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya, seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya, seorang suami adalah pemimpin atas anggota keluarganya dan akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya, seorang isteri adalah pemimpin atas rumah tangga dan anak-anaknya dan akan ditanya perihal tanggung jawabnya, seorang pembantu/pekerja rumah tangga adalah bertugas memelihara barang milik majikannya dan akan ditanya atas pertanggungjawabannya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) darihal hal yang dipimpinnya”. (HR. Bukhari).

Dari hadist tersebut, dapat diketahui bahwa orang tua punya kewajiban mendidik anaknya dan kelak, akan dipertanggung jawabkan di akhirat. Kewajiban yang dimaksud adalah menjaga anaknya agar taat dan mencintai Allah, Rasulullah, dan Islam. Memiliki keinginan masuk surga dan takut terhadap neraka. [7]

Agar Rumah Tangga Selalu Harmonis

Dakwah rumah tangga

Kehidupan rumah tangga tidak terlepas dari konflik dan kesalahpahaman antara suami dan istri. Cekcok di antara pasangan dapat berakibat fatal, bahkan memilih perceraian sebagai jalan keluarnya.

Tentu hal ini tidak diinginkan terjadi dalam setiap rumah tangga. Lantas bagaimana cara melewati segala masalah dan menjaga keharmonisan?

Dalam buku “Saat Rumah Tangga di Ambang Kehancuran yaitu sebuah buku yang diterjemahkan oleh Ust. Abdul Shomad dari kitab asli berjudul al-Ma’asi Nuaddi ila al-Faqri wa Kharabi al-Buyti karya Syaikh Yasir Ja’far Syalabi, disebutkan ada 25 sebab rusaknya rumah tangga.

Dari keseluruhan sebab itu ada beberapa sebab yang dinilai menjadi sebab paling besar potensinya membawa rumah tangga kepada kehancuran:

Selalu Meminta Hidayah Dan Senantiasa dalam Dzikir kepada Allah Swt

Hal ini berdasarkan firman Allah Swt dalam surat Thaha ayat 124:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا

Artinya: “Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit…”.

Maksudnya, barang siapa yang berpaling dari perintah Allah, syari’at dan hukum yang telah diturunkan kepada Rasul-Nya, maka di dunia orang tersebut akan menjalani kehidupan yang sangat keras, meskipun pada lahirnya nampak kenikmatan dirasakan olehnya, tetapi pada hakikatnya kehidupannya sangat keras sekali.

Makna lain dari kata dhanka (penghidupan yang sempit) adalah semua bentuk kemiskinan. Kata dhanka berarti sempit atau keras.

Jika disebut suatu rumah itu sangat sempit, maka dikatakan manzilah dhanka, demikian juga kehidupan yang sempit disebut aisy dhanka.

Ibnu Abbas menafsirkan makna zikir dalam ayat di atas dengan shalat wajib, karena dalam shalat itu terdapat berbagai macam zikir, baik zikir lisan, zikir hati, dan zikir anggota badan.

Zikir dengan lidah berupa tasbih, tahlil, takbir dan lain-lain. Zikir dengan hati berupa sikap khusyu’ dan menghayati makna bacaan. Zikir anggota badan seperti berdiri, i’tidal, sujud, dan duduk.

Karena itu, apabila ingin memiliki rumah tangga yang harmonis, maka senantiasalah menjaga kewajiban khususnya shalat. Karena pasangan yang jauh dari Allah pasti tidak akan bahagia dan sangat rentan kepada kehancuran.

Menjauhi Zina

larangan dalam islam

 

Allah Swt berfirman:

وَلَا تَقرَبُوا الزِّنٰى اِنَّه كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Isra: 32).

Ungkapan ini jauh lebih kuat daripada ungkapan “Janganlah kamu berzina!”, karena pada ungkapan itu sekaligus mengandung larangan untuk melakukan dan mendekati peruatan-perbuatan yang dapat menjerumuskan ke arah perbuatan zina.

Seperti sentuhan, ciuman, pandangan, rabaan dan perbuatan lainnya yang dapat menyebabkan kepada perbuatan zina itu sendiri.

Setelah menikah, zina tetap mungkin terjadi. Maka perlu diketahui bahwa zina merupakan dosa yang paling keji dan dapat membawa rumah tangga kepada kehancuran, bahkan dapat membawa kepada neraka jahanam.

Selain itu ada banyak lagi sebab-sebab hancurnya sebuah hubungan rumah tangga seperti kikir dan pelit, dengki, terjerumus dalam transaksi riba, durhaka kepada orang tua, dan lain-lain.

Ketika Rumah Tangga Ditimpa Masalah dan Ujian

Sedikit sekali suami-istri dalam sebuah rumah tangga jauh dari konflik dan perselisihan.

Namun, bukan berarti keduanya harus pasrah dan membiarkan masalah yang dapat menghancurkan kedamaian dan menghapus keharmonisan dalam rumah tangga.

Solusi Dalam Menyelesaikan Masalah Rumah Tangga

Syekh Abdurrahman ibn Abdul Khalik al-Yusuf dalam kitabnya bernama al-Zawaj fî Zhill al-Islam (Pernikahan dalam Naungan Islam) menjelaskan beberapa solusi yang ditawarkan Islam kepada pasangan suami istri untuk menyelesaikan permasalahan rumah tangga, yaitu:

1. Kepemimpinan adalah hak suami dalam rumah tangga. Dalam memimpin rumah tangganya suami harus memahami bahwa istri memiliki tabiat untuk bisa menyimpang. Tabiat itu adalah adalah fitrah yang dimiliki oleh wanita.

Hal ini sebagaimana sabda Nabi saw artinya:

“Wanita itu diciptakan dari tulang rusuk. Ia tidak akan lurus untukmu pada sebuah jalan. Jika kamu ingin bersenang-senang dengannya, maka bersenang-senanglah. Namun pada dirinya akan ditemukan kebengkokan. Jika kamu berusaha untuk membuatnya lurus maka kamu akan memecahkannya, dan memecahkan itu adalah talak”. (HR. Muslim).

2. Ketika suami dan istri berselisih, maka keduanya perlu mengetahui pangkal masalah atau sebab-sebab masalah itu terjadi. Sehingga keduanya mengetahui cara mencari jalan keluarnya.

Pada saat itu, keduanya harus memposisikan diri sebagai orang yang sedang berselisih dengan dirinya, sehingga masing-masing mengetahui bagaimana harus bersikap.

3. Suami tidak semena-mena dalam menggunakan haknya sebagai suami.

Kepemimpinan yang dimaksud adalah dirinya sebagai penjaga bagi wanita, mendidik, dan menyayanginya. Maka, suami dilarang berbuat semena-mena.

4. Mengamalkan Al-Qur’an dalam mendidik wanita, yaitu: 1) mendidik dan menasehatinya dengan lembut, 2) menjauhi tempat tidur jika wanita tidak mau menurut, 3) Apabila perlu, maka dibenarkan memukulnya dengan pukulan yang tidak melukai, 4) Mengambil jalan damai dengan meminta juru damai dari kedua belah pihak. [8]

Penutup

Nah, sahabat hasana.id, dapat disimpulkan bahwa rumah tangga islami adalah rumah tangga yang dijalankan sesuai ajaran Islam yang tuntunan Al-Qur’an dan sesuai teladan Rasulullah saw, para sahabat, dan ulama, mulai dari pernikahan, membangun, dan menjalani kehidupan rumah tangga

Kemudian, suami dan istri memiliki kewajiban dan haknya masing-masing, serta kewajiban untuk menjaga anak-anak mereka.

Semoga artikel kali ini bermanfaat, ya! Nantikan artikel-artikel menarik selanjutnya dari hasana.id.

  1. M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an; Tafsir Maudhu`i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1999. H. 46-47.
  2. Syekh Mahmud Syaltut, al-Islam Aqidah wa al-Syari`ah, (Kairo: Daal asySyuuq, 1980), h. 141.
  3. Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Kairo: Dar al-Hadis, 2004), h. 577.
  4. Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Kairo: Dar al-Hadis, 2004), h. 601.
  5. Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah…, h. 601.
  6. Bukhari, Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Al-Jami’ al-Shahih, (Kairo: Mathba’ah Salafiyah, 1400 H), h. 284.
  7. Muhammad Shalih Munjid, Mauqi’ al-Islam Sual wa Jawab, (2009), Jld. 10, h. 41.
  8. Abdurrahman ibn Abdul Khalik al-Yusuf al-Zawaj fî Zhill al-Islam, (Kuwait: Dar al-Salafiyyah, 1988, h. 166.