Biografi dan Kisah Perjuangan Tuanku Imam Bonjol, Pemimpin Paderi

Membicarakan Tuanku Imam Bonjol tentu tak bisa lepas dari sosok beliau sebagai seorang Pahlawan Nasional.

Selain itu, beliau juga erat kaitannya dengan gerakan Islam di Tanah Minang serta kepemimpinannya dalam Perang Paderi yang melegenda.

Namun, sebelum terlalu jauh membahas kiprah Tuanku Imam Bonjol dan perannya dalam perjuangan kemerdekaan, ada baiknya kamu mengetahui latar belakang beliau.

Yuk, langsung saja simak ulasannya.

Biografi Tuanku Imam Bonjol

Masih banyak literatur yang menuliskan namanya dengan ejaan lama, yaitu Bondjol.

Akan tetapi, sebenarnya Tuanku Imam Bonjol atau Tuanku Imam Bondjol bukanlah nama beliau yang sebenarnya. Nama tersebut merupakan gelar yang disematkan kepada beliau.

Beliau lahir sebagai putra Minangkabau dengan nama asli Muhammad Shahab.

Ayahnya adalah Khatib Bayanuddin yang seorang ulama, sedangkan ibunya bernama Hayatun. Kedua orang tuanya ini berasal dari daerah Sungai Rimbang, Lima Puluh Kota.

Encyclopedia Britannica mencatat bahwa Tuanku Imam Bonjol lahir di daerah Kampung Tandjung Bunga, Pulau Sumatra, pada tahun 1772.

Sementara itu, literatur lokal menyebutkan tempat kelahiran beliau adalah di Desa Bonjol, Pasaman, Minangkabau, kini masuk wilayah Provinsi Sumatra Barat.

Beliau meninggal dunia dalam masa pengasingan di Manado, Sulawesi Utara. Namun, ada perbedaan dalam akurasi tanggalnya.

Satu sumber menyebutkan beliau wafat pada tanggal 6 November 1864, tetapi ada pula yang mencatat tanggal 8 November 1964 sebagai hari mangkatnya beliau.

Terlepas dari perbedaan itu, Tuanku Imam Bonjol dikenal sebagai panglima perang, pemimpin agama, juga kepala pemerintahan, terutama bagi Kaum Paderi dan rakyat Minangkabau nantinya.

Selain nantinya bergelar Tuanku Imam Bonjol, beliau juga mendapatkan beberapa sebutan lain, seperti Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam.

Namun, masyarakat kemudian lebih mengenal beliau dengan gelarnya yang terakhir.

Kaum Paderi sendiri merupakan masyarakat muslim yang dikenal sebagai pejuang dan pembaharu Islam di Tanah Minangkabau.

Istilahnya baru dikenal belakangan, setelah abad ke-19. Tentang Kaum Paderi ini, selengkapnya akan diuraikan dalam poin tersendiri.

Pengaruh Islam di Tanah Minang

Gelar “Tuanku Imam” bagi masyarakat Paderi hampir mirip dengan kedudukan dan status khalifah dalam pemerintahan bercorak Islam.

Seseorang yang bergelar Tuanku Imam adalah pemimpin tertinggi, bertugas mengurus segala urusan dunia dan akhirat.

Pemberian gelar “Tuanku Imam” ini tidak sama dengan tradisi Minangkabau pada umumnya.

Masyarakat Minangkabau menggabungkan dua sistem adat, yaitu koto piliang dan bodi caniago, dalam struktur kepemimpinannya.

Koto piliang sejenis dengan sistem aristokrasi yang memberikan kekuasaan kepada sekelompok kecil pemimpin tertinggi.

Sementara itu, bodi caniago cenderung demokratis, yaitu kepemimpinan yang mengutamakan musyawarah dalam menentukan keputusan.

Masyarakat terbagi menjadi beberapa komunitas yang disebut nagari. Setiap nagari dipimpin oleh seorang kepala yang disebut penghulu.

Nah, para penghulu, pemimpin suku, atau pemuka adat ini biasanya bergelar “Datuk”.

Berbagai sumber menyebutkan bahwa Islam mulai memengaruhi masyarakat Minang sejak abad ke-16. Pada waktu itu, banyak orang mulai beralih memeluk agama baru ini.

Bahkan, Islam memberi pengaruh luar biasa pada tradisi kepemimpinan rakyat Minang. Konsep kepemimpinan berganti menjadi Tiga Selo yang dipimpin oleh tiga orang raja.

Seorang Raja Alam mewakili kepala pemerintahan. Satu orang lainnya berperan sebagai Raja Adat, sedangkan yang satunya lagi adalah Raja Ibadat, pemimpin agama.

Munculnya Kaum Paderi

Namun, banyak pula teori yang mengungkapkan bahwa sebenarnya, Islam sudah ada di Tanah Minang sejak abad ke-7, meski tidak menyebarkan ajarannya secara masif.

Beberapa tokoh yang mendukung teori ini adalah Buya Hamka, Agus Salim, dan Burhanuddin Daya.

Masuknya Islam pada masa itu belum terjadi secara menyeluruh. Tradisi lama dalam hal spiritual masih berpengaruh kuat dalam kehidupan masyarakat setempat.

Itulah yang menjadi alasan munculnya Kaum Paderi dengan gerakan pemurnian Islam-nya.

Kaum Paderi menilai bahwa kehidupan masyarakat Minang jauh dari konsep Islam yang sesungguhnya.

Banyak terjadi penyimpangan, terutama soal melazimkan perbuatan maksiat, seperti judi, maraknya candu, hingga kriminalitas.

Istilah paderi atau padre sebenarnya baru dikenal setelah abad ke-19. Secara umum, istilah ini berarti “orang-orang yang taat menjalankan ajaran agama”.

Ciri-ciri kaum Paderi tampak dari cara mereka berpakaian.

Lelakinya berpakaian putih menjuntai hingga ke kaki, berserban putih, dan berjenggot, sedangkan pada kaum wanita, seluruh tubuhnya tertutup kain hitam, kecuali mata.

Mereka ini dahulunya dikenal sebagai “golongan putih”, sedangkan kelompok masyarakat yang berlawanan dengan Kaum Paderi disebut “golongan hitam”.

Golongan kedua ini teguh memegang adat dan tradisi, meski sama sekali berlawanan dengan nilai-nilai Islam.

Gerakan Pemurnian Islam Paderi

Gerakan pemurnian Islam oleh Kaum Paderi kemudian oleh ahli sejarah dibagi menjadi dua fase. Supaya lebih jelas, saya akan menguraikan kedua fase tersebut di bawah ini.

Fase Pertama Gerakan Pemurnian Islam Paderi

Fase atau gelombang pertama adalah proses dakwah yang dilakukan Tuanku Nan Tuo dan murid-muridnya, seperti akan diuraikan di bawah ini.

Pada sekitar tahun 1784, muncul sosok ulama pemimpin sebuah surau di kota tua Ampat Angkat.

Beliau dikenal sebagai Tuanku Nan Tuo yang bertarikat Syatariyah. Surau yang dipimpinnya itu menjadi pusat kajian hukum Islam sekaligus basis dakwah.

Tuanku Nan Tuo melancarkan misi dakwah ke berbagai daerah dengan mengutus delegasi, termasuk muridnya, Jalaludin.

Menurut pendapat Christine Dobbin yang dikutip dari Langgam.id, dakwah dimulai secara halus.

Caraya adalah dengan membujuk desa-desa terdekat untuk menerima hukum Islam, khususnya dalam perdagangan.

Dakwah memang kerap kali melibatkan kontak fisik. Namun, itu hanya terjadi di daerah-daerah kekuasaan para perampok, penculik, dan pedagang budak.

Delegasi Tuanku Nan Tuo menyerbu daerah tersebut dan menahan para perampok.

Aktivitas dakwah Tuanku Nan Tuo dan muridnya mengalami keberhasilan sebelum tahun 1790-an.

Perdagangan di kawasan Ampat Angkat mengalami kemajuan. Tuanku Nan Tuo kemudian dikenal sebagai ulama pelindung para pedagang.

Selain aktif berdakwah, kedua tokoh tersebut dikenal sebagai pionir dalam perjuangan memurnikan ajaran Islam di Tanah Minang, serta berpengaruh besar secara politik dan ekonomi.

Dakwah mereka ini merupakan wujud pelaksanaan perintah Allah Swt. dalam Al-Qur’an.

فَلَا تُطِعِ الْكٰفِرِيْنَ وَجَاهِدْهُمْ بِهٖ جِهَادًا كَبِيْرًا

Falaa tuthi’i alkaafiriina wajaahidhum bihi jihaadan kabiiraan.

Artinya:

“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Qur’an dengan jihad yang besar.” (QS Al-Furqan: 52)

Kedatangan Tiga Haji

Selanjutnya, gerakan kelompok Tuanku Nan Tuo mendapatkan dukungan dan semangat baru setelah kedatangan “Tiga Orang Haji” Minangkabau dari Makkah.

Ketiganya adalah Haji Miskin, Haji Sumanik (Muhammad Arief), dan Haji Piabang (Abdur Rahman).

Tiga Orang Haji merupakan santri dan pengikut tarikat Syatariyah. Mereka juga aktif sebagai pedagang dan sukses sehingga bisa berangkat menunaikan ibadah haji.

Kedatangan mereka di Makkah bersamaan dengan peristiwa revolusi Wahabi di Arab Saudi.

Tidak mengherankan jika kemudian banyak pendapat yang muncul belakangan, yang mengatakan bahwa mereka bertiga ini membawa pengaruh Wahabi bagi Islam di Minangkabau.

Tiga Orang Haji sama-sama berjuang memurnikan Islam.

Namun, hanya Haji Piabang yang menemukan jalan mulus, sementara dua lainnya terpaksa harus berpindah ke lain daerah guna memperoleh lebih banyak dukungan.

Haji Miskin pindah ke Ampat Angkat, kemudian mendapatkan dukungan delapan orang Tuanku, termasuk Tuanku Nan Renceh, guru Malin Basa.

Delapan orang Tuanku berbaiat kepada Haji Miskin, mereka dikenal dengan sebutan “Harimau Nan Salapan”.

Harimau Nan Salapan menginginkan Tuanku Nan Tuo menjadi pemimpin perjuangan, tetapi beliau menolak.

Lalu, mereka mengangat putra dari guru Tuanku Nan Tuo, yaitu Tuanku Muda Mansiangan.

Kaum Paderi ingin mewujudkan pemerintahan yang dipimpin oleh ulama. Barangkali, mereka merujuk pada sabda Rasulullah saw. bahwa ulama adalah pewaris nabi-nabi.

Hal ini sebagaimana pernah diriwayatkan oleh Imam at-Tarmidzi.

إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَاراً وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنَ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

Innal’ulamaa’a wa ratsatal ‘anbiyaa’i, innal ‘anbiyaa’a lam yurritsuu diinaaraa walaa dirhamaa innamaa warratsuul ‘ilma famanaa akhadza bihaddlin waa firin.

Artinya:

“Sesungguhnya, ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh, para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh, mereka hanya mewariskan ilmu. Barang siapa mengambil warisan tersebut, ia telah mengambil bagian yang banyak.”

Fase Kedua Gerakan Pemurnian Islam

Terbentuknya Harimau Nan Salapan juga menandai dimulainya fase kedua, selain juga adanya seruan jihad untuk meningkatkan perjuangan pemurnian Islam.

Sosok di balik proses dakwah ini tidak lain adalah para murid Tuanku Nan Tuo sendiri, termasuk Tuanku Nan Renceh.

Kelompok inilah yang kemudian disebut sebagai Kaum Paderi generasi awal.

Mereka kurang cocok dengan metode dakwah ala Tuanku Nan Tuo yang lebih banyak melakukan kompromi sehingga perjuangan berjalan lambat dan tidak meluas.

Perjuangan Kaum Paderi gelombang pertama sebagian besar berakhir dengan damai.

Tercatat hanya terjadi satu pertikaian bersenjata, yaitu Peristiwa Bukit Batabuh. Peristiwa ini dianggap sebagai awal dari Perang Paderi.

Jihad para Harimau Nan Salapan berhasil merangkul daerah Kamang, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota di bawah pengaruh Paderi.

Setiap daerah membentuk sistem pemerintahan yang dipimpin seorang imam (pemimpin ibadah) dan kadhi (kepala ketertiban).

Daerah-daerah yang sepaham dengan Kaum Paderi harus bersedia memberlakukan Adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah.

Sistem adat tersebut melandaskan aturan pada syariat Islam dengan merujuk pada Al-Qur’an dan Sunah Rasul.

Sebagian besar daerah taklukan Kaum Paderi merupakan kawasan pinggiran.

Di pusat-pusat adat, seperti Luhak Tanah Datar, Paderi mendapatkan perlawanan cukup sengit hingga perjuangan harus memakan waktu bertahun-tahun.

Pertentangan Kaum Paderi dan Raja Adat Luhak Tanah Datar sejatinya akan diputuskan lewat perundingan.

Sayangnya, hal itu gagal akibat kesalahpahaman Tuanku Lintau dari pihak Paderi sehingga terjadilah pertempuran berdarah.

Tuanku Imam Bonjol sebagai Pemimpin Kaum Paderi

Kaum Paderi berhasil memenangkan perseteruan dan menguasai Luhak Tanah Datar.

Di sinilah kemudian Tuanku Imam Bonjol mengawali perannya sebagai salah satu tokoh utama Kaum Paderi. Peran pertamanya adalah menjalankan perintah sang guru.

Tuanku Nan Renceh mengutus muridnya, Malin Basa yang kala itu masih bergelar Tuanku Mudo, untuk mendirikan benteng guna memperkuat posisi Paderi di Tanah Datar.

Lokasi yang terpilih berada di Bukit Tajadi, sebelah timur Alahan Panjang.

Tuanku Mudo memimpin pembangunan di area seluas 90 hektar itu.

Berbekal bantuan kurang dari 5.000 orang tenaga kerja, dinding sepanjang 800 meter, setinggi empat meter, dengan tebal tiga meter, berhasil dibangun.

Benteng itu kemudian dinamakan Benteng Bonjol, dilengkapi persenjataan dan sebuah bangunan masjid di tengahnya.

Pimpinan benteng diserahkan kepada Tuanku Mudo yang kemudian diberi gelar Tuanku Imam Bonjol.

Pada tahun 1812, benteng sempat mendapatkan serangan dari penghulu Alahan Panjang pimpinan Datuk Sati.

Serangan gagal sehingga Datuk Sati terpaksa meminta perdamaian. Alhasil, Alahan Panjang kemudian menjadi bagian dari kekuasaan Kaum Paderi.

Kiprah Tuanku Imam Bonjol tidak berhenti di situ. Pada tahun-tahun berikutnya, pasukannya berhasil menguasai seluruh Pasaman hingga Tapanuli Selatan.

Di bawah pimpinan Tuanku Rao, Paderi juga bergerak menuju Tapanuli Utara. Namun, di sinilah awal munculnya kontroversi mengenai kiprah Kaum Paderi.

Dikatakan bahwa perjuangan pemurnian Islam di sana dilakukan secara radikal dan ekstrem. Banyak terjadi pembakaran, penahanan, bahkan pembunuhan secara membabi buta.

Kebanyakan sumber informasi kontroversial tersebut berasal dari penulis Barat dan lokal Batak, sedangkan sebagian besar sumber tulisan ini berasal dari Naskah Tuanku Imam Bonjol.

Perang Paderi

Sejatinya, Perang Paderi telah meletus sejak tahun 1803, ditandai dengan Peristiwa Bukit Batabuh.

Pertempuran ini melibatkan pasukan Harimau Nan Salapan dan kelompok penghulu pemegang adat.

Perang Paderi jilid 2 berlangsung ketika Belanda mencoba masuk ke Tanah Minang.

Ketika itu, seluruh kawasan Minang sudah menjadi kekuasaan Kaum Paderi di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol.

Peperangan pertama terjadi di Tapanuli Selatan pada tahun 1821. Belanda berhasil mengalahkan pasukan Tuanku Rao dan menumpas pimpinannya.

Perlawanan kemudian dilanjutkan oleh pimpinan Benteng Dalu-Dalu, Tuanku Tambusi. Setahun sebelumnya, Belanda juga menewaskan Tuanku Nan Renceh.

Para penghulu yang dahulu merasa dikalahkan oleh Kaum Paderi menjalin kerjasama dengan Belanda. Alhasil, Kaum Paderi di bawah Tuanku Imam Bonjol emakin terdesak.

Beberapa daerah kekuasaan Paderi telah ditaklukkan Belanda hingga 1822. Tuanku Imam Bonjol baru berhasil merebut sebagian wilayah Luhak Agam dan Luhak Tanah Datar.

Sempat terjadi gencatan senjata pada tahun 1824, tetapi hanya berlangsung sebulan. Belanda kembali menyerang dua wilayah terakhir Kaum Paderi.

Mereka berhasil memaksa pasukan Tuanku Imam Bonjol untuk mundur ke Benteng Bonjol. Namun, tak semua daerah bersedia takluk sepenuhnya kepada Belanda.

Posisi Belanda makin kuat seiring kemenangan mereka dalam Perang Jawa melawan Pangeran Diponegoro.

Pasukan di Jawa diangkut ke Sumatra Barat untuk membantu, kemudian mereka melancarkan berbagai penaklukan yang menuai kesuksesan.

Bersatunya Rakyat Minangkabau

Para penghulu yang sebelumnya bekerja sama dengan Belanda mulai merasa terancam.

Belanda dinilai terlalu semena-mana, bahkan bertindak diskriminatif terhadap para pribumi, tak terkecuali kepada penghulu adat.

Pada akhirnya, para penghulu berbalik melawan. Mereka bersatu dengan Kaum Paderi untuk berjuang mengusir Belanda dari Tanah Minangkabau.

Persatuan itu ditandai oleh perjanjian rahasia di lereng Gunung Tandikat. Semua pihak pribumi sepakat memilih Tuanku Imam Bonjol sebagai pemimpin rakyat Minang.

Benteng Bonjol ditetapkan sebagai pusat pertahanan. Serangan rakyat Minang pun dimulai tepat pada tanggal 11 Januari 1833.

Selanjutnya, peperangan demi peperangan meletus selama berhari-hari, berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun.

Sejak tahun 1833, kedua belah pihak sama-sama pernah merasakan kemenangan dan kekalahan. Tak terhitung lagi nyawa yang telah menjadi korban.

Kegigihan rakyat Minang benar-benar menguji pihak kolonial. Gubernur Jenderal van den Bosch sampai harus turun ke Sumatra.

Bahkan, Belanda sampai berkali-kali mengirim pasukan tambahan dari Batavia dengan jumlah mencapai puluhan ribu.

Baru pada bulan Agustus tahun 1837 serangan terakhir Belanda di bawah pimpinan panglima militer tertingginya, Mayjen Conclius, berhasil menaklukkan Bentent Bonjol.

Namun, mereka gagal menangkap Tuanku Imam Bonjol.

Akhir Perjuangan Tuanku Imam Bonjol

لَا يَسْتَوِى الْقَاعِدُوْنَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ غَيْرُ اُولِى الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ بِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْۗ فَضَّلَ اللّٰهُ الْمُجٰهِدِيْنَ بِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقٰعِدِيْنَ دَرَجَةً ۗ وَكُلًّا وَّعَدَ اللّٰهُ الْحُسْنٰىۗ وَفَضَّلَ اللّٰهُ الْمُجٰهِدِيْنَ عَلَى الْقٰعِدِيْنَ اَجْرًا عَظِيْمًاۙ

Laa yastawii alqaa’iduuna mina almu/miniina ghayru ulii aldhdharari waalmujaahiduuna fii sabiili allaahi bi-amwaalihim wa-anfusihim fadhdhala allaahu almujaahidiina bi-amwaalihim wa-anfusihim ‘alaa alqaa’idiina darajatan wakullan wa’ada allaahu alhusnaa wafadhdhala allaahu almujaahidiina ‘alaa alqaa’idiina ajran ‘azhiimaan

Artinya:

“Tidaklah sama antara mumin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka, Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.” (An-Nisa: 95)

Tuanku Imam Bonjol lolos dari serbuan dan bersembunyi sampai ke Bukit Gadang. Sementara itu, beliau tetap menyerukan semua pasukannya agar kembali bersatu melakukan serangan balik.

Sayangnya, pasukan pribumi telah kehilangan semangatnya.

Penangkapan Tuanku Imam Bonjol

Hanya sekitar empat bulan setelah menaklukkan benteng, Belanda kemudian mengajak Tuanku Imam Bonjol untuk berunding dengan pimpinan mereka di Sumatra Barat, Residen Francis.

Perundingannya sendiri digelar di Palupuh, Agam pada Oktober 1837.

Tak jauh beda dengan cerita perundingan antara Belanda dan tokoh Pahlawan Nasional lainnya, Tuanku Imam Bonjol memenuhi syarat perundingan dengan datang tanpa bersenjata.

Dengan kondisi semacam itu, tentu saja Belanda lebih mudah menangkap beliau. Perjuangan Tuanku Imam Bonjol pun berakhir.

Masa Pengasingan hingga Wafatnya Tuanku Imam Bonjol

Setelah ditangkap di Palupuh, Tuanku Imam Bonjol lalu dibawa ke Bukittinggi, dan akhirnya ke Padang.

Pada tanggal 19 Januari 1839, beliau dipindahkan ke Minahasa setelah selama hampir setahun diasingkan di Cianjur serta mencicipi persinggahan di Ambon.

Minahasa menjadi tempat persinggahan terakhir Tuanku Imam Bonjol. Beliau tinggal di pengasingan hingga berpulang pada tanggal 6 November 1854.

Kini, makam beliau dapat ditemukan di Desa Lotta, Kecamatan Pineleng, Minahasa, sekitar 9 km dari Kota Manado.

Batu nisan di pusaranya bertuliskan Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin, bergelar Tuanku Imam Bonjol, Pahlawan Nasional.

Di sisi kiri rumah terakhir jasad beliau, terdapat sejumlah makam lain milik rekan sepengasingan.

Pada akhirnya, mungkin inilah waktu yang tepat untuk menundukkan kepala sejenak, sambil mempersembahkan Al-Fatihah untuk Tuanku Imam Bonjol.

Referensi:

Click to access Agama%20Islam%20di%20Minangkabau.pdf

Ulama Pewaris Nabi

Gerakan Sosial Kaum Santri

Gerakan Sosial Kaum Santri


https://republika.co.id/berita/p5x1v7328/menyusuri-makam-tuanku-imam-bonjol-di-minahasa

Click to access Lapsus_Syamina_XVIII_Maret_April_2015.pdf

https://www.merdeka.com/tuanku-imam-bondjol/profil/

Click to access 148918-ID-dari-islam-radikal-ke-islam-pluralis-gen.pdf

Gerakan Sosial Kaum Santri


https://www.britannica.com/biography/Imam-Bondjol

LSI:
tuanku imam bonjol lahir di
Perjuangan Tuanku Imam Bonjol
Naskah Tuanku Imam Bonjol