Ketahui Perbedaan Takdir Mubram dan Muallaq Serta Penjelasannya

Di tengah tradisi mengamalkan doa tertentu dan bersedekah sebagai bagian dari tolak bala, kamu mungkin bertanya-tanya apakah hal tersebut berguna di hadapan takdir mubram atau muallaq.

Seperti yang sudah menjamur di masyarakat, berdoa pada waktu tertentu, seperti pada saat nisfu Syaban, atau bersedekah diyakini dapat “mengubah” apa yang telah ditakdirkan oleh Allah Swt.

Untuk mendapatkan pencerahan mengenai hal ini, memahami macam-macam takdir dan perbedannya menjadi sangat penting.

Sebagai referensi, berikut Hasana.id telah merangkum pembahasan terkait masalah yang satu ini yang perlu kamu pahami.

Pengertian Takdir Menurut Al-Qur’an

Menurut ilmu tauhid, takdir adalah suatu istilah yang merujuk pada keputusan-Nya atau qadla’.

Dijelaskan bahwa qadha tersebut sudah ditulis oleh Allah Swt. di Lauh Mahfudz bahkan sebelum dunia dan manusia diciptakan.

Hal tersebut sesuai dengan firman-Nya pada Al-Qur’an surah Al-Hadid ayat 22 berikut ini.

مَاۤ اَصَابَ مِنۡ مُّصِیۡبَۃٍ فِی الۡاَرۡضِ وَ لَا فِیۡۤ اَنۡفُسِکُمۡ اِلَّا فِیۡ کِتٰبٍ مِّنۡ قَبۡلِ اَنۡ نَّبۡرَاَہَا ؕ اِنَّ ذٰلِکَ عَلَی اللّٰہِ یَسِیۡرٌ

Mā aṣāba mim muṣībatin fil-arḍi wa lā fī anfusikum illā fī kitābim ming qabli an nabra`ahā, inna żālika ‘alallāhi yasīr.

Artinya:

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya, yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”

Dalam ayat itu dijelaskan bahwa bencana-bencana dan hal-hal lain yang menimpa seseorang merupakan bagian dari ketetapan Allah Swt. yang telah tertulis dalam Kitab Lauh Mahfuzh.

Pernyataan tentang Lauh Mahfuzh juga terdapat dalam Al-Qur’an surah Saba’ ayat 3 berikut ini.

وَ قَالَ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا لَا تَاۡتِیۡنَا السَّاعَۃُ ؕ قُلۡ بَلٰی وَ رَبِّیۡ لَتَاۡتِیَنَّکُمۡ ۙ عٰلِمِ الۡغَیۡبِ ۚ لَا یَعۡزُبُ عَنۡہُ مِثۡقَالُ ذَرَّۃٍ فِی السَّمٰوٰتِ وَ لَا فِی الۡاَرۡضِ وَ لَاۤ اَصۡغَرُ مِنۡ ذٰلِکَ وَ لَاۤ اَکۡبَرُ اِلَّا فِیۡ کِتٰبٍ مُّبِیۡنٍ

Waqaalal-ladziina kafaruu laa ta’tiinaassaa’atu qul bala warabbii lata’tiyannakum ‘aalimil ghaibi laa ya’zubu ‘anhu mitsqaalu dzarratin fiis-samaawaati walaa fiil ardhi walaa ashgharu min dzalika walaa akbaru ilaa fii kitaabin mubiinin.

Artinya:

“Dan orang-orang yang kafir berkata, ‘Hari Kiamat itu tidak akan datang kepada kami’. Katakanlah, ‘Pasti datang, demi Tuhanku yang mengetahui yang ghaib, Kiamat itu pasti akan datang kepadamu. Tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya sekalipun seberat zarrah baik yang di langit maupun yang di bumi, yang lebih kecil dari itu atau yang lebih besar, semuanya (tertulis) dalam kitab yang jelas (Lauh Mahfuzh)’.”

Macam-Macam Takdir yang Wajib Umat Islam Ketahui

Pembicaraan mengenai qadha merupakan suatu hal yang cukup rumit mengingat dalil-dalil yang ada sekilas saling bertentangan.

Seperti tertulis dalam ayat-ayat di atas, dalil Al-Qur’an dan hadits mengatakan bahwa semua kejadian telah dicatat di Lauh Mahfuzh.

Karena pena yang mencatatnya sudah kering, apa yang telah tertulis pun tak bisa diubah. Namun, di sisi lain, beberapa dalil menyatakan bahwa silaturahmi bisa memperpanjang umur.

Sebagian dalil yang lain juga mengajurkan kita untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik demi meraih kebahagian baik di dunia maupun di akhirat.

Dalil-dalil tersebut seperti mengisyaratkan bahwa ikhtiar yang kita tempuh mempunyai dampak pada ketentuan Allah Swt. Lalu, bagaimana takdir itu sebenarnya?

Sebagai jawaban atas kerumitan masalah ini, para ulama memutuskan untuk membagi takdir menjadi dua kategori, yaitu mubram dan muallaq.

Secara umum, qadha mubram adalah putusan Allah Swt. yang bersifat mutlak, artinya tidak dapat diubah oleh manusia melalui usaha berupa doa-doa.

Sedangkan qadha muallaq adalah kebalikan dari mubram, artinya putusan atau hasil akhirnya sangat bergantung pada doa dan usaha yang kamu lakukan.

Dengan kata lain, kamu masih bisa “merayu” Allah untuk mengubah hasil dari qadha yang bersifat mubram, entah itu melalui doa atau yang lainnya.

Doa dipercaya bisa mengurangi dampak bala yang mungkin timbul karena qadha yang sifatnya mubram.

Dalam kitab Tuhfatul Murid ala Jauharatit Tauhid, Syaikh M. Ibrahim al-Baijuri menjelaskan sebagai berikut.

“Doa bermanfaat terhadap apa yang datang dan apa yang belum datang (dari langit). Bala pun akan datang dan bertemu dengan doa. Keduanya (bala dan doa) senantiasa ‘berperang’ hingga hari kiamat. Doa bermanfaat pada qadha mubram dan qadha muallaq. Perihal yang kedua (qadha muallaq), maka tidak mustahil menghilangkan apa (putusan) yang penghilangannya digantungkan pada doa dan tidak mustahil mendatangkan apa (putusan) yang penghadirannya digantungkan pada doa.”

Dapat disimpulkan bahwa suatu qadha tidak mustahil untuk dihilangkan dengan berdoa, apalagi yang bersifat muallaq, yang kehadirannya bergantung pada doa.

Perbedaan Takdir Mubram dan Muallaq

Dari uraian di atas, kamu dapat menyimpulkan bahwa perbedaan antara qadha muallaq dan mubram adalah pada kemutlakannya.

Jika mubram sudah mutlak dan tidak bisa diubah dengan cara apa pun, maka muallaq masih kondisional sehingga ada kemungkinan untuk diubah sesuai dengan ikhtiar manusia.

Contohnya, pada tanggal berapa dan dari pasangan orang tua mana kamu dilahirkan adalah bagian dari putusan-Nya yang masuk dalam kategori mubram.

Sebaliknya, qadha tidak memiliki apa-apa dapat kamu ubah dengan kerja keras dan doa. Kemudian, sakit juga masih dapat diubah jika kamu berobat dengan sabar dan berdoa.

Bagaimana Menentukan Qadha Mubram dan Muallaq?

Meskipun perbedaan antara kedua kategori takdir tersebut sepintas cukup jelas, faktanya memang tidak sesederhana itu.

Penyebabnya, tidak ada informasi dari Al-Qur’an dan hadits yang menyatakan secara jelas kejadian-kejadian apa yang termasuk ke dalam qadha muallaq dan mubram.

Sebagai orang awam, kita tak jarang percaya bahwa yang termasuk dalam qadha mubram adalah jodoh, kematian, dan rezeki.

Tidak bisa dimungkiri bahwa keyakinan tersebut sudah sangat berakar kuat di masyarakat. Padahal, hal tersebut sebenarnya tidak mempunyai dasar dalil-dalil yang kuat.

Kenyataannya, klasifikasi qadha mubram dan muallaq bisa dibilang cukup aplikatif. Contohnya adalah kemiskinan, apakah hal ini termasuk mubram atau muallaq?

Jika rezeki memang sudah ditentukan dan bersifat mutlak, mengapa kerja keras dan doa disebutkan dapat mengubah nasib seseorang dari miskin menjadi kaya?

Kamu juga mungkin pernah menyaksikan sendiri orang miskin yang seumur hidupnya berikhtiar dan berdoa agar keluar dari kemiskinan, tetapi pada akhirnya tetap miskin.

Di sisi lain, ada juga orang miskin yang dengan ikhtiar dan doanya bisa mengubah nasibnya sehingga menjadi sangat kaya.

Contoh yang pertama menunjukkan bahwa kemiskinan orang tersebut termasuk kategori mubram, sedangkan contoh kedua mengisyaratkan sebaliknya,

Hal tersebut juga berlaku pada masalah-masalah lainnya di dunia ini, seperti kecelakaan, keberuntungan, sakit, dan bahkan kematian sekalipun.

Oleh karena itu, sebenarnya kita tak pernah benar-benar tahu apakah qadha yang sedang dialami termasuk ke dalam kategori mubram atau muallaq.

Apa yang Harus Dilakukan Umat Islam terhadap Takdir?

Karena kita tidak tahu mana takdir yang tidak bisa diubah (mubram) dan yang bisa diubah (muallaq), berdoa menjadi ikhtiar yang paling manusiawi bagi umat Islam.

Hal ini juga diyakini oleh kalangan Ahlussunah Wal Jamaah yang percaya bahwa doa tidak boleh ditinggalkan sebagai bagian dari ikhtiar manusia.

Sama halnya dengan pandangan mereka yang percaya bahwa ikhtiar wajib dilakukan dalam berbagai hal karena kita tidak boleh menyerah begitu saja pada putusan nasib.

Dari sini, bisa dipahami mengapa masyarakat umumnya mengamalkan doa di malam nisfu Sya’ban sebagai bagian dari ikhtiar mereka dalam menolak bala dan mendatangkan keselamatan.

Lebih lanjut, Syaikh M. Ibrahim al-Baijuri masih dalam karya yang sama menyatakan sebagai berikut.

“Pembagian qadha menjadi mubram dan muallaq itu tampak pada Lauh Mahfuzh. Adapun dari sisi ilmu Allah, semua putusan itu bersifat mubram karena ketika Allah mengetahui datangnya putusan muallaq, maka hasillah muallaq tersebut, dan tidak boleh tidak ketika Allah mengetahui ketiadaan putusan muallaq, maka tiadalah muallaq tersebut. Tetapi manusia tiada jalan lain, seseorang tidak boleh meninggalkan doa hanya karena bersandar pada putusan qadha tersebut sebagaimana larangan seseorang untuk meinggalkan makan karena bersandar pada putusan Allah perihal kenyang,”

Secara sederhana bisa dikatakan bahwa manusia tidak punya jalan lain selain berdoa dalam menghadapi setiap qadha yang ada. Tidak ada alasan untuk tidak berdoa dan berusaha.

Pandangan Kaum Muktazilah

Meskipun demikian, ada kalangan yang tidak meyakini peran serta manfaat doa dalam mengubah qadha seseorang, yaitu aliran Muktazilah.

Mereka mengangap doa sebagai ibadah secara umum sehingga doa yang dipanjatkan oleh umat Islam pasti akan diterima Allah Swt. sebagai sebuah ibadah.

Namun, bukan sebagai permintaan yang akan dikabulkan oleh-Nya. Syaikh M. Ibrahim al-Baijuri juga menjelaskan mengenai hal ini dalam kitab yang sama.

“Bagi kalangan muktazilah, doa tidak memberikan manfaat. Tetapi mereka tidak jatuh dalam kekufuran dengan pandangan demikian karena mereka tidak mendustakan Al-Qur’an perihal ini seperti ayat ‘Serulah Aku, niscaya Aku membalasnya.’ Mereka menakwil kata ‘seruan’ dengan ibadah, dan ‘balasan’ dengan pahala.”

Terkait hal ini, kalangan Ahlusunnah Wal Jamaah Asy’ariyah tidak menilai golongan Muktazilah sebagai aliran kufur karena mereka masih memercayai Al-Qur’an sebagai wahyu Allah Swt.

Adanya pengertian ini diharapkan dapat menumbuhkan pemahaman umat Islam terhadap pentingnya berdoa sesuai dengan tempatnya.

Hal ini juga dimaksudkan untuk meminimalkan kesalahpahaman mengenai peran ikhtiar manusia terhadap ketetapan-Nya serta meningkatkan keimanan kita di tengah ikhtiar manusiawi.

Selain itu, penyampaian pemahaman Ahlusunnah Wal Jamaah tersebut juga dilakukan agar masyarakat tidak berprasangka buruk terhadap Allah Swt. yang merupakan salah satu su’ul adab.

Melihat Takdir dari Tiga Perspektif Berbeda

Jika membagi takdir ke dalam dua kategori masih membuatnya terlihat rumit, mencoba melihatnya dari tiga perspektif yang berbeda mungkin dapat membantu mengurainya.

Tiga perspektif yang dimaksud adalah melihat qadha dari perspektif Allah Swt., perspektif manusia, dan perspektif malaikat. Berikut penjelasan selengkapnya.

Takdir dalam Perspektif Allah Swt.

Tidak perlu diragukan lagi bahwa Allah Maha Mengetahui, seperti tertulis dalam Al-Qur’an, hadits, dan berbagai dalil-dalil rasional lainnya.

Sifat al-‘ilmu yang dimiliki Allah tersebut membuat-Nya dapat menjangkau berbagal tanpa adanya batasan. Dalam hal ini, termasuk hal-hal yang akan dan belum terjadi.

Hal itu sesuai dengan yang tertulis dalam Al-Qur’an surah Al-An’am ayat 59 berikut ini.

وَ عِنۡدَہٗ مَفَاتِحُ الۡغَیۡبِ لَا یَعۡلَمُہَاۤ اِلَّا ہُوَ ؕ وَ یَعۡلَمُ مَا فِی الۡبَرِّ وَ الۡبَحۡرِ ؕ وَ مَا تَسۡقُطُ مِنۡ وَّرَقَۃٍ اِلَّا یَعۡلَمُہَا وَ لَا حَبَّۃٍ فِیۡ ظُلُمٰتِ الۡاَرۡضِ وَ لَا رَطۡبٍ وَّ لَا یَابِسٍ اِلَّا فِیۡ کِتٰبٍ مُّبِیۡنٍ

Wa’indahu mafaatihul ghaibi laa ya’lamuhaa ilaa huwa waya’lamu maa fiil barri wal bahri wamaa tasquthu min waraqatin ilaa ya’lamuhaa walaa habbatin fii zhulumaatil ardhi walaa rathbin walaa yaabisin ilaa fii kitaabin mubiinin.

Artinya:

“Dan kunci-kunci semua yang ghaib ada pada-Nya, tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering yang tidak tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”

Sebagai Dzat Yang Maha Mengetahui, Allah Swt. dapat mengetahui semua kejadian termasuk yang paling kecil atau bahkan yang berada di inti atom sekalipun.

Jika melihat dari perspektif Allah Swt., semua qadla adalah bentuk dari takdir mubram tanpa terkecuali.

Ia telah mengetahui sebelumnya dan akan membuat hal tersebut menjadi kenyataan jika waktunya tiba.

Dengan begitu, hal yang telah ditentukan tak akan mengalami perubahan karena jika ada yang berubah, dapat diartikan bahwa ada bagian-bagian yang tidak diketahui Allah Swt.

Sebagaimana kamu pahami, ketidaktahuan Allah merupakan hal yang mustahil.

Takdir dalam Perspektif Malaikat

Sesuai kehendak Allah Swt. sebagai Sang Pencipta, para malaikat mendapatkan tugas yang berbeda-beda.

Selama ini, kita mengetahui tugas-tugas yang dilakukan oleh malaikat, seperti adalah mencabut nyawa adalah tugas Izrail, sedangkan membagikan rezeki merupakan tugas Mikail.

Selain itu, ada juga yang bertugas menjaga kubur, yaitu malaikat Munkar dan Nakir.

Di luar yang perlu kita imani, tentu masih ada banyak jumlah malaikat dengan tugasnya masing-masing.

Lalu, bagaimana perspektif malaikat terhadap qadha? Dalam Fath al-Bari, Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan sebagai berikut:

“Penghapusan dan penetapan takdir itu adalah dalam perspektif apa yang diketahui para malaikat dan apa yang tercatat di Lauh Mahfudz (Ummul Kitab). Adapun dalam pengetahuan Allah, maka tak ada penghapusan sama sekali. Pengetahuan Allah ini disebut takdir mubram, dan pengetahuan malaikat itu disebut takdir muallaq.”

Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa qadha setiap makhluk hidup yang tercatat di Lauh Mahfudz merupakan qadha dari perspektif malaikat.

Dalam hal ini, para malaikat mengetahui mana qadha seorang manusia yang masih muallaq dan mana qadha mubram di antaranya.

Lauh Mahfudz menjadi referensi bagi para malaikat untuk melihat apakah rezeki seorang hamba sudah bersifat mutlak atau masih bergantung pada kondisi lain yang akan dipilih orang tersebut.

Misalnya, apabila hamba tersebut memilih untuk bermalas-malasan, takdirnya adalah menjadi orang miskin, sedangkan jika ia bekerja keras, takdirnya adalah menjadi kaya.

Hal ini juga berlaku pada penyakit, hidayah, umur, atau peristiwa-peristiwa lain yang terjadi pada seorang hamba tersebut.

Takdir dalam Perspektif Manusia

Apabila malaikat dapat mengetahui sisi mana yang qadha mubram dan muallaq pada setiap hamba Allah swt., tidak demikian dengan manusia.

Sebagai manusia, kita hanya mampu mengetahui sisi muallaq saja ketika kejadian tersebut belum tiba waktunya. Berikut penjelasan Imam Ibnu Hajar mengenai hal tersebut.

“Sesungguhnya, yang telah diketahui Allah itu sama sekali tak berubah dan berganti. Yang bisa berubah dan berganti adalah perbuatan seseorang yang tampak bagi manusia dan yang tampak bagi para malaikat penjaga (hafadhah) dan yang ditugasi berinteraksi dengan manusia (al-muwakkilîn). Maka dalam hal inilah terjadi penetapan dan penghapusan takdir, semisal tentang bertambahnya umur atau berkurangnya. Adapun dalam ilmu Allah, maka tak ada penghapusan atau penetapan.” (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bâri, juz XI, halaman 488).

Dari kutipan di atas, manusia hanya mampu mengetahui adanya takdir mubram saat hal ini telah menimpanya atau sudah terjadi.

Manusia bisa tahu bahwa umur seseorang merupakan qadha mubram hanya jika orang tersebut telah positif meninggal dunia.

Jika seseorang tersebut masih hidup, manusia akan melihat usia sebagai qadha yang bersifat muallaq. Oleh karenanya, ia tuntut untuk berobat apabila sakit dan terus menjaga diri.

Ia tidak diperbolehkan meminum racun atau secara sengaja melakukkan hal-hal yang dapat merenggut jiwa sehingga usianya menjadi pendek (menurut perspektif manusia).

Demikian juga seseorang tersebut diwajibkan untuk menjaga diri dan tetap hidup sehingga umurnya bisa panjang (menurut perspektif manusia).

Konsep tersebut juga berlaku sama pada berbagai hal lain di sekitar kita.

Sikap sebagai Muslim

Setelah memahami penjelasan di atas, seharusnya tak ada lagi kebingungan terkait putusan Allah Swt.

Sebagai seorang muslim, kamu dituntut untuk beriman bahwa Allah Swt. adalah Yang Maha Mengetahui sejak dahulu dan semua hal yang terjadi telah sesuai dengan pengetahuan-Nya.

Akan tetapi, kayakinan tersebut seharusnya tidak membuatmu beralasan bahwa berdiam diri pun tak apa atau menjadikan nasib sebagai alasan untuk tidak berikhtiar terhadap apa pun.

Ingatlah bahwa sebagai manusia, kamu wajib berusaha menyambut masa depan, seperti dalam konteks yang disabdakan oleh Rasulullah saw. berikut ini.

اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ

I‘malaufakullumuyassaru.

Artinya:

“Berusahalah, semua akan dimudahkan.” (HR Bukhari-Muslim)

Pertanyaan yang Sering Ditanyakan Terkait Takdir

Selain yang telah dibahas di atas, kamu mungkin masih punya banyak pertanyaan baik terkait qadha mubram maupun muallaq.

Apakah Manusia Bisa Mengubah Takdirnya?

Pertanyaan yang paling umum adalah bisakah manusia mengubah takdirnya?

Dari ulasan di atas, seharusnya kamu sudah bisa menyimpulkan bahwa jawaban atas pertanyaan ini sebenarnya tidak ada.

Pertanyaan tersebut tidak bisa begitu saja dijawab dengan “Iya” atau “Tidak”.

Hadits Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan oleh Tirmidzi berikut ini mungkin bisa memberi sedikit pencerahan:

يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ رُقَى نَسْتَرْقِي بِهَا، هَلْ تَرُدُّ مَنْ قَدَر اللَّهِ شَيْئًا؟ فَقَالَ: “هِيَ مِنْ قَدَرِ الله

Ya rasulallahi, ara ayta ruqa nastarqii biha, haltaruddu manqodar allahi say an? Faqala: “hiyaminqadarillah”.

Artinya:

“Wahai Rasulullah ﷺ, apa pendapatmu tentang ruqyah (doa penyembuhan) yang kami lakukan, apakah ia bisa menolak takdir Allah? Rasulullah ﷺ menjawab, ‘Ruqyah itulah bagian dari takdir’.”

Dari hadits tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa usaha yang dilakukan seseorang sebagai reaksi akan suatu kejadian juga termasuk bagian dari qadha-Nya.

Sama halnya dengan orang yang miskin dan bekerja keras hingga ia menjadi kaya. Kerja keras yang ia lakukan tersebut juga bagian dari qadha.

Apakah Jodoh Termasuk Takdir Mubram atau Muallaq?

Jika merujuk pada hadits Ibnu Mas’ud r.a., jodoh termasuk qadha yang sudah ditentukan oleh Allah swt., bahkan sebelum ia diciptakan.

Artinya, bagi manusia yang belum menemukan jodohnya, jodoh bisa dinilai sebagai qadha yang bersifat muallaq.

Namun, bagi Allah Yang Maha Mengetahui, jodoh merupakan qadha yang bersifat mubram.

Di luar dari sifat mubram atau muallaqnya qadha tersebut, sebagai manusia, kita tetap diperintahkan untuk berusaha.

Meskipun yakin bahwa perkara jodoh sudah ditentukan oleh Allah Swt., bukan berarti kamu tidak berusaha karena tidak melakukan apa-apa adalah perbuatan yang keliru.

Ingatlah bahwa Allah akan tetap menilai ikhtiar, upaya, dan niat baik kamu dalam menentukan jodoh.

Dengan niat yang bersih dan usaha yang benar itulah kita juga bisa mendapatkan hidayah dari-Nya.

Pada akhirnya, baik takdir mubram maupun muallaq, sebagai manusia, yang wajib kita lakukan adalah terus berikhtiar dan berdoa untuk meraih ridha-Nya.

Referensi:

https://islam.nu.or.id/post/read/95127/pengertian-takdir-mubram-dan-takdir-muallaq

https://islam.nu.or.id/post/read/96195/mengurai-takdir-dari-tiga-perspektif-allah-malaikat-dan-manusia

https://islam.nu.or.id/post/read/110016/bisakah-manusia-mengubah-takdir-