Mengenal Tafsir Jalalain, Rujukan dalam Mendalami Al-Qur’an

Tafsir Jalalain merupakan salah satu rujukan utama bagi umat Islam di Nusantara.

Kitab tafsir Al quran tersebut sudah sangat dikenal di pondok-pondok pesantren karena merupakan kitab yang paling banyak diajarkan di lembaga pendidikan Islam tersebut.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengenalnya lebih jauh.

Seperti diketahui, beriman kepada kitab suci Al-Qur’an bagi setiap muslim bersifat wajib. Setiap muslim wajib mengamalkan ajaran yang dikandungnya.

Isi dan kandungan ayat-ayat suci Al-Qur’an begitu lengkap dan aplikatif untuk dapat dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, mustahil bisa mengamalkan ajaran Al-Qur’an tanpa mempelajarinya terlebih dahulu. Ayat Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab dan tidak semuanya bisa berbahasa tersebut.

Untungnya, telah banyak ulama yang menyusun kitab-kitab tafsir Al quran untuk memudahkan umat mempelajarinya.

Kitab Tafsir Jalalain

Salah satu kitab tafsir Al quran terpopuler yang dikenal umat Islam di Nusantara adalah Tafsir Jalalain.

Sejak lama, kitab tersebut telah dipakai sebagai bahan rujukan di banyak pondok pesantren seluruh Indonesia.

Bahkan, kitab tersebut disinyalir menjadi kunci ajaran pesantren di Nusantara, khususnya dalam bidang fiqih dan ilmu kalam.

Sebenarnya, judul asli kitab tersebut adalah Tafsir Al-Qur’an al-Azim.

Kitab tersebut lebih populer dengan nama Tafsir al-Jalalain atau Tafsir Jalalain karena penyusun kitab tersebut adalah dua orang yang sama-sama memiliki gelar Jalaluddin atau al-Jalal.

Dua ulama di balik Tafsir Jalalain adalah Jalaluddin Muhammad al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi.

Meski tidak lahir pada waktu bersamaan, keduanya sama-sama ulama Mesir.

Mereka sempat menjadi guru-murid dan bekerja sama dalam penulisan kitab tafsir yang kelak disatukan menjadi Tafsir Jalalain.

Redaksi penafsiran dalam Tafsir Jalalain cenderung ringkas dan tidak bertele-tele.

Isinya mudah dipahami karena mencantumkan penjelasan dan pendapat terkuat di antara para ulama untuk masalah-masalah tertentu.

Selain itu, tafsirnya juga disertai dengan uraian-uraian lain yang mendukung penafsiran kata, kalimat, dan ayat-ayat.

Karena itu, tidak mengherankan jika banyak ulama pada masa kemudian yang melahirkan karya dengan berlandaskan pada kitab yang telah berusia lebih dari 500 tahun itu.

Bentuknya bermacam-macam, mulai dari terjemahan literer, penjelasan kitab, sampai kritik dan komentar.

Para ulama tersebut bukan hanya berasal dari Timur Tengah, tetapi dari berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia.

Abd. Rauf Singkel adalah ulama Aceh yang disebut-sebut sebagai orang pertama yang menerjemahkan Tafsir Jalalain bahasa Melayu dalam Tarjuman al-Mustafid.

Selain itu, Kyai Misbah Mustafa Tuban juga pernah menerjemahkan Tafsir Jalalain ke dalam bahasa lokal.

Ada pula K.H. Bisri Mustofa Rembang yang menggunakannya sebagai rujukan dalam penyusunan kitab tafsir versi beliau, yaitu Al-Ibriz li Ma’rifah Tafsir Al-Qur’an al-Aziz.

Metode Penulisan Kitab Tafsir Jalalain

Susunan asli Kitab Tafsir Jalalain tidak hanya memuat ayat Al-Qur’an dan penafsirannya.

Tafsir Al-Qur’an al-Azim secara keseuluruhan juga memuat empat kitab lain, yaitu:

  • Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul;
  • Fi Ma’rifah an-Naskh wa al-Mansukh;
  • Alfiyah fi Tafsir Garib Alfaz Al-Qur’an; dan
  • Risalah Jalalain.

Imam Jalaluddin as-Suyuthi menyertakan keempat kitab pendamping tersebut dengan maksud untuk memudahkan pemahaman tafsir dalam Al-Jalalain.

Kitab pertama, Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul, adalah karya Imam Jalaluddin as-Suyuthi sendiri tentang latar belakang turunnya ayat-ayat suci Al-Qur’an.

Kedua, Fi Ma’rifah an-Naskh wa al-Mansukh adalah karya Imam Abi Abdullah Muhammad bin Hazm yang membahas topik serupa.

Asbabun Nuzul membuat penafsiran ayat menjadi lebih sesuai dengan konteks latar belakang pewahyuannya.

Lalu, kitab ketiga dan keempat adalah Alfiyah fi Tafsir Garib Alfaz Al-Qur’an karya Imam bin Zar’ah al-Iraqi dan Risalah Jalalain karya Imam bin al-Qasim bin Salam.

Dua-duanya berisi tentang penjelasan beberapa kosakata yang digunakan dalam Al-Qur’an.

Tentu saja, maksudnya adalah untuk memudahkan pemahaman terhadap kata-kata tertentu, demi menghindari kekeliruan.

Penulisan kitab dua jilid ini relatif ringkas, juga menggunakan bahasa yang mudah dan jelas.

Penyusunnya mencantumkan asbabun nuzul ayat-ayat, memakai pendapat ulama yang paling unggul, menjabarkan makna ayat dan kalimat sesuai kebutuhan, serta meninggalkan pembahasan yang tidak diperlukan.

Penulisan ala metode Tafsir Jalalain semacam itu dikenal dengan istilah ijmali (secara global/umum).

Ijmali memiliki ciri khas berupa penulisannya yang simpel atau ringkas dengan bahasa sederhana serta menyajikan tafsiran ayat-ayat secara berurutan.

Sebagian ayat yang memiliki asbabun nuzul, keterangan tentangnya juga dicantumkan.

Penulisnya pun menggantungkan beberapa tafsiran pada hadits-hadits Nabi dan pendapat ulama-ulama yang paling banyak diikuti.

Metode Tafsir Jalalain

Selain struktur penulisannya, metode Tafsir Jalalain juga menggunakan bil ra’yi. Metode bil ra’yi adalah penafsiran Al-Qur’an berdasarkan pada pendapat pribadi ulama tafsir (mufasir).

Ini berarti bahwa metode yang digunakan tersebut penuh dengan ijtihad.

Namun, bukan berarti bahwa ijtihad dua ulama penyusunnya tidak berdasar.

Tafsir bil ra’yi mengedepankan keyakinan mufasir, tentunya karena sosok penafsirnya memiliki latar belakang keilmuan yang tidak bisa dipandang remeh.

Mufasir setidaknya harus menguasai ilmu bahasa Arab secara komprehensif. Lalu, karena menyangkut dalil-dalil hukum Islam, dia harus juga menguasai ilmu fiqih.

Selain itu, mufasir juga harus memahami betul berbagai kritik yang kerap muncul dalam dunia tafsir, soal asbabun nuzul, misalnya.

Syarat-Syarat Penafsiran Bil Ra’yi

Secara lebih lengkap, ada sejumlah persyaratan yang membuat seorang penafsir dinyatakan sah menggunakan metode bil ra’yi.

Pertama, seorang mufasir bil ra’yi setidaknya harus memiliki beberapa kompetensi, yaitu:

  1. memahami bahasa Arab secara komprehensif, termasuk kosakata dan maknanya serta metode penulisannya;
  2. menguasai Ilmu Al-Qur’an dan ilmu-ilmu pendukungnya, seperti ilmu hadits dan ushul fiqih;
  3. merupakan orang yang memiliki akidah yang benar;
  4. memahami betul prinsip-prinsip pokok ajaran agama Islam dan menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya;
  5. memiliki penguasan ilmu dan pemahaman luas mengenai topik yang terkandung dalam setiap ayat yang ditafsirkan.

Selain itu, penafsir yang menggunakan metode bil ra’yi juga harus memastikan bahwa dirinya mampu menghindari hal-hal berikut ini.

  1. Memaksakan diri, terutama dalam memaknai ayat yang dirinya tidak memenuhi syarat untuk memahami maksudnya, apalagi untuk mengungkapkan pemahamannya sendiri.
  2. Mencoba untuk menafsirkan kalam Allah yang maknanya hanya diketahui oleh-Nya.
  3. Menafsirkan karena dorongan hawa nafsu dan bersikap istihsan (menilai sesuatu baik), tetapi hanya berdasarkan persepsinya sendiri dan tanpa dasar pemikiran yang jelas.
  4. Menafsirkan ayat tidak sesuai maknanya.
  5. Membat tafsiran ayat untuk mendukung kepentingan tertentu.
  6. Menafsirkan ayat secara pasti atau menjadikan penafsirannya sebagai makna mutlak yang benar-benar dikehendaki Allah Ta’ala tanpa dukungan dalil.

Lebih jauh lagi, Imam Jalaluddin as-Suyuthi juga merumuskan bahwa mufasir bil ra’yi harus menyandarkan penafsirannya pada sejumlah pedoman.

Pedoman dari Ulama Lain

Hasana.id juga melengkapinya dengan pendapat sejumlah ulama lain, seperti Subhi as-Shalih. Berikut pedoman-pedoman tersebut.

  1. Mufasir menyusun penafsiran dengan tujuan yang ikhlas semata-mata karena Allah Ta’ala.
  2. Tujuan menafsirkan harus sesuai dengan tujuan syariat, jauh dari kesesatan dan kebodohan.
  3. Penafsiran harus bersandar pada dalil naqli atau hadits-hadits yang bersumber dari Rasulullah saw.

Jadi, mufasir bil ra’yi harus paham benar mengenai kualitas shahih tidaknya sebuah hadits serta mewaspadai riwayat-riwayat yang dhaif (lemah), bahkan maudhu (palsu).

  1. Penafsiran harus bersandar pada riwayat-riwayat dari para sahabat dengan kualitas shahih atau hasan, terutama yang berkaitan dengan asbabun nuzul.
  2. Tafsir harus bersandar pada kaidah-kaidah atau ilmu bahasa Arab.
  3. Selalu teliti, cermat, dan berhati-hati untuk menghindari penafsiran ayat yang menyimpang dari makna semestinya.
  4. Berpegang teguh pada makna ayat menurut aturan dan hukum syariat.

Mazhab Tafsir Jalalain

Tafsir Jalalain dikatakan memiliki kecenderungan terhadap mazhab Syafi’i dan Asya’irah. Corak mazhab Syafi’i muncul dalam penafsiran ayat-ayat yang membahas topik fiqih.

Adapun tafsiran ayat-ayat seputar akidah cenderung berhubungan dengan mazhab teologi Asya’irah.

Mazhab Fiqih Syafi’i

Beberapa contoh yang lalu menjadi dasar para ulama kemudian dalam menyimpulkan Tafsir Jalalain bercorak mazhab Syafi’i dapat dilihat dalam sejumlah ayat.

Berikut dua ayat yang dapat mencontohkannya.

Surah Al-Maidah Ayat 33

إِنَّمَا جَزَٰٓؤُا۟ ٱلَّذِينَ يُحَارِبُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَسْعَوْنَ فِى ٱلْأَرْضِ فَسَادًا أَن يُقَتَّلُوٓا۟ أَوْ يُصَلَّبُوٓا۟ أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم مِّنْ خِلَٰفٍ أَوْ يُنفَوْا۟ مِنَ ٱلْأَرْضِ ۚ ذَٰلِكَ لَهُمْ خِزْىٌ فِى ٱلدُّنْيَا ۖ وَلَهُمْ فِى ٱلْءَاخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Innamā jazā`ullażīna yuḥāribụnallāha wa rasụlahụ wa yas’auna fil-arḍi fasādan ay yuqattalū au yuṣallabū au tuqaṭṭa’a aidīhim wa arjuluhum min khilāfin au yunfau minal-arḍ, żālika lahum khizyun fid-dun-yā wa lahum fil-ākhirati ‘ażābun ‘aẓīm.

Artinya:

“Sesungguhnya, pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi hanyalah mereka dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia dan di akhirat, mereka beroleh siksaan yang besar.”

Tafsir Jalalain:

(Bahwasanya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya): artinya dengan memerangi kaum muslimin.

(Dan membuat kerusakan di muka bumi): dengan menyamun dan merampok.

(Ialah dengan membunuh atau menyalib mereka atau tangan dan kaki mereka dipotong secara timbal balik): maksudnya tangan kanan dengan kaki kiri mereka.

(Atau dibuang dari kampung halamannya).

Dengan kata lain, secara bertingkat, hukum bunuh itu ialah bagi yang membunuh saja, hukum salib bagi yang membunuh dan merampas harta.

Adapun hukum potong berlaku bagi yang merampas harta, tetapi tanpa membunuh, sedangkan hukum buang bagi yang mengacau saja.

Hal ini dikemukakan oleh Ibnu Abbas dan dianut oleh Syafi’i.

Menurut yang terkuat di antara dua buah pendapat, dilaksanakannya hukum salib itu ialah tiga hari setelah dihukum bunuh.

Namun, ada pula yang mengatakan tidak lama sebelum dibunuh.

Termasuk dalam hukum buang adalah hukuman lain yang sama pengaruhnya dalam memberikan pelajaran, seperti tahanan penjara dan lain-lain.

(Demikian itu): maksudnya pembalasan atau hukuman tersebut.

(merupakan kehinaan bagi mereka): kenistaan

(di dunia, sedangkan di akhirat mereka beroleh siksa yang besar): yaitu siksa neraka.

Kesamaan dengan Mazhab Syafi’i

Ayat di atas ditafsirkan oleh Imam Jalaluddin as-Suyuthi. Beliau menafsirkan ayat tentang hukuman bagi seorang pembunuh dan pengambil harta.

Dikatakan bahwa metode hukuman ini sama dengan pendapat mazhab Syafi’i.

Jika ada orang yang melakukan kejahatan berupa pembunuhan sekaligus juga pengambilan harta, dibunuh serta disalib menjadi hukuman bagi si pelaku.

Apabila hanya mengambil harta, hukumannya ialah potong tangan.

Sementara itu, jika hanya menakut-nakuti tanpa ada pembunuhan atau pengambilan harta, hukumannya adalah pengasingan.

Surah Al-Ahzab ayat 49

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نَكَحْتُمُ ٱلْمُؤْمِنَٰتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا ۖ فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا

Yā ayyuhallażīna āmanū iżā nakaḥtumul-mu`mināti ṡumma ṭallaqtumụhunna ming qabli an tamassụhunna fa mā lakum ‘alaihinna min ‘iddatin ta’taddụnahā, fa matti’ụhunna wa sarriḥụhunna sarāḥan jamīlā.

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.”

Tafsir Jalalain:

(Hai orang-orang yang beriman! Apabila kalian menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kalian ceraikan mereka sebelum kalian mencampurinya): menurut suatu qiraat, lafal “tamassuuhunna” dibaca “tumaassuuhunna”, yang artinya “sebelum kalian menyetubuhi mereka.”

(maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagi kalian yang kalian minta menyempurnakannya) yaitu yang kalian hitung dengan quru‘ atau bilangan yang lainnya.

(Maka berilah mereka mut’ah): artinya berilah mereka uang mut’ah sebagai pesangon dengan jumlah yang secukupnya.

Demikian itu apabila pihak lelaki belum mengucapkan jumlah maharnya kepada mereka.

Aapabila ternyata ia telah mengucapkan jumlahnya, uang mut’ah itu adalah separuh dari mahar yang telah diucapkannya.

Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas, kemudian pendapatnya itu dijadikan pegangan oleh Imam Syafii

(dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya): yaitu dengan tanpa menimbulkan kemudharatan pada dirinya.

Adalah Imam Jalaluddin al-Mahalli yang menafsirkan ayat tentang mas kawin di atas. Pendapat beliau tersebut juga pernah dikemukakan oleh Imam Syafi’i.

Imam Syafi’i sendiri mendasarkan argumennya pada pendapat Ibnu Abbas dan Syuraih.

Apabila sebuah mas kawin belum disebutkan atau diputuskan, hukumnya tidak wajib untuk diberikan sama sekali.

Namun, jika maharnya sudah pernah disebutkan, hukumnya wajib diserahkan separuhnya, meski belum terjadi hubungan suami istri.

Mazhab Akidah Asya’irah

Jika pada ayat-ayat tentang hukum fiqih Tafsir Jalalain cenderung bercorak Syafi’I, untuk ayat-ayat bertema aqidah, kitab tersebut cenderung sesuai dengan mazhab Asya’irah.

Berikut dua ayat yang dapat diambil sebagai contoh.

Surah Al-An’am ayat 158

هَلْ يَنظُرُونَ إِلَّآ أَن تَأْتِيَهُمُ ٱلْمَلَٰٓئِكَةُ أَوْ يَأْتِىَ رَبُّكَ أَوْ يَأْتِىَ بَعْضُ ءَايَٰتِ رَبِّكَ ۗ يَوْمَ يَأْتِى بَعْضُ ءَايَٰتِ رَبِّكَ لَا يَنفَعُ نَفْسًا إِيمَٰنُهَا لَمْ تَكُنْ ءَامَنَتْ مِن قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِىٓ إِيمَٰنِهَا خَيْرًا ۗ قُلِ ٱنتَظِرُوٓا۟ إِنَّا مُنتَظِرُونَ

Hal yanẓurụna illā an ta`tiyahumul-malā`ikatu au ya`tiya rabbuka au ya`tiya ba’ḍu āyāti rabbik, yauma ya`tī ba’ḍu āyāti rabbika lā yanfa’u nafsan īmānuhā lam takun āmanat ming qablu au kasabat fī īmānihā khairā, qulintaẓirū innā muntaẓirụn.

Artinya:

“Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka) atau kedatangan (siksa) Tuhanmu atau kedatangan beberapa ayat Tuhanmu. Pada hari datangnya ayat dari Tuhanmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah, ‘Tunggulah olehmu, sesungguhnya Kami pun menunggu (pula).’

Tafsir Jalalain:

(Tiadalah yang mereka nantikan): apa yang mereka nanti-nanti.

(kecuali hanyalah datang kepada mereka): dapat dibaca ta`tiyahum atau ya`tiyahum.

(malaikat–malaikat): untuk mencabut arwah-arwah mereka.

(atau kedatangan Tuhanmu): yaitu perintah-Nya, yang dimaksud adalah azab-Nya.

(atau kedatangan beberapa ayat Tuhanmu): tanda-tanda dari Tuhanmu yang menunjukkan dekatnya hari kiamat.

(Pada hari datangnya beberapa ayat dari Tuhanmu): terbitnya matahari dari ufuk barat sebagaimana yang telah disebutkan di dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim.

(tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu): jumlah lam takun menjadi sifat dari Lafal nafsan.

(atau): jiwa yang belum pernah.

(mengusahakan kebaikan dalam masa imannya): yakni ketaatan, artinya taubatnya tidak lagi bermanfaat bagi dirinya seperti apa yang telah dijelaskan oleh hadits.

(Katakanlah, “Tunggulah olehmu): salah satu dari alamat-alamat tersebut.

(sesungguhnya, kami pun menunggu pula.”): hal tersebut.

Ayat yang ditafsirkan Jalaluddin as-Suyuthi tersebut mengandung frasa āyāti rabbika. Beliau memaknainya sebagai ‘tanda-tanda dari Tuhanmu yang menunjukkan dekatnya hari kiamat’.

Pada tafsiran yang lebih sederhana, frasa tersebut hanya diartikan sebagai “tanda-tanda”.

Surat Al-Qasas ayat 88

وَلَا تَدْعُ مَعَ ٱللَّهِ إِلَٰهًا ءَاخَرَ ۘ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ كُلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُۥ ۚ لَهُ ٱلْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Wa lā tad’u ma’allāhi ilāhan ākhar, lā ilāha illā huw, kullu syai`in hālikun illā waj-hah, lahul-ḥukmu wa ilaihi turja’ụn.

Artinya:

“Janganlah kamu sembah, di samping (menyembah) Allah, Tuhan apa pun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nya-lah segala penentuan dan hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”

Tafsir Jalalain:

(Janganlah kamu seru): janganlah kamu sembah.

(di samping Allah, Tuhan apa pun yang lain.

Tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia.

Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Dia): kecuali Dzat Allah.

(Bagi-Nya-lah segala penentuan): yakni keputusan yang terlaksana.

(dan hanya kepada-Nya-lah kalian dikembalikan): setelah kalian dibangkitkan dari kubur masing-masing.

Hasil penafsiran Jalaluddin al-Mahalli pada ayat tersebut juga cukup berbeda. Pada frase waj-hahu, beliau menakwilnya dengan Dzat Allah.

Berbeda dengan terjemahan biasa yang hanya menyebutkan nama Allah.

Profil Singkat Penyusun Tafsir Jalalain

Seperti diketahui, dua orang penyusun Kitab Tafsir Jalalain adalah ulama besar pada zamannya masing-masing.

Keduanya mendapat julukan Jalaluddin atau gelar Al-Jalal.

Gelar tersebut mengindikasikan bahwa keduanya adalah sosok yang diagungkan karena berperan besar dalam kemajuan ilmu agama.

Biografi Imam Jalaluddin Muhammad al-Mahalli

Nama asli beliau adalah Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim bin Hasyim al-Mahalli, kemudian lebih dikenal dengan Jalaluddin al-Mahalli atau Jalaluddin Muhammad al-Mahalli.

Al-Mahalli sendiri merupakan daerah kelahirannya, yaitu Mahalla al-Kubra, sebuah wilayah pelabuhan Sungai Nil.

Ulama besar ini lahir Kairo pada tahun 791 Hijriah atau sekitar 1389 Masehi. Wafat pada 864 Hijriah atau 1462 Masehi dan dimakamkan di wilayah yang sama.

Beliau menguasai ilmu tafsir dan ilmu fiqih dari empat mazhab utama, meski dirinya sendiri cenderung mengikuti mazhab Syafi’i.

Al-Mahalli sudah tampak cerdas sedari kecil, ditandai dengan penguasaan berbagai bidang ilmu yang beliau pelajari secara otodidak.

Namun, beliau juga banyak berguru kepada ulama-ulama besar semasa hidupnya.

Sebut saja Al-Badri Muhammad bin al-Aqsari, Burhan al-Baijuri, A’la al-Bukhari, dan Syamsuddin bin al-Bisati.

Tidak banyak riwayat yang mengisahkan kehidupan beliau. Akan tetapi, beliau juga dikenal telah banyak menghasilkan karya tulisan dalam berbagai bidang ilmu.

Selain menyusun Tafsir Jalalain, karya Imam Jalaluddin al-Mahalli antara lain adalah Ath-Thib an-Nabawi, Al Anwar al-Madhiyah, Syarh Mukhtasar Burdah, dan lain sebagainya.

Biografi Imam Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi

Beliau lahir dengan nama lengkap Abdurrahman bin Kamaluddin Abu Bakar bin Muhammad bin Sabiq al-Din bin Fakhluddin Usman bin Naisuddin Muhammad bin Syaifuddin al-Khudayri Jalaluddin al-Suyuti al-Misriy al-Syafi’i.

Kemudian, beliau lebih dikenal dengan sebutan Jalaluddin as-Suyuthi.

Pria yang juga kelahiran Kairo, 1 Rajab 849 Hijriah, atau 3 Oktober 1445 adalah salah seorang murid Jalaluddin Al-Mahalli, bahkan salah satu yang bersinar kiprahnya.

Beliau wafat pada 17 Oktober 1505 atau 911 Hijriah di kota yang sama pada usia sekitar 63 tahun.

Masa hidup beliau bermula ketika Kekhalifahan Islam berada di bawah Dinasti Mamluk, setelah jatuhnya Abbasiyyah di Baghdad akibat serangan Mongol.

Sejak kecil, beliau menjadi anak yatim, tepatnya saat berusia lima tahun.

Putra seorang hakim Mesir ini pertama kali belajar di majelis ilmu Syekh Ibnu Hajar al-Asqalani, si penulis kitab Bulughul Maram yang fenomenal.

Selain itu, beliau juga kerap menghadiri majelis ilmu Syaikh al-Muhaddis Zainuddin Ridwan al-Atabi.

Ketika beranjak dewasa, beliau juga sempat berguru kepada Syekh Muhammad al-Majzub yang merupakan seorang wali besar.

Selain itu, tentu saja beliau juga menimba ilmu kepada Jalaluddin Al-Mahalli yang kemudian merintis penulisan Tafsir Jalalain, di mana beliau sendiri yang merampungkannya.

Sang Jenius yang Kontroversial

Dikatakan bahwa Imam Jalaluddin as-Suyuthi adalah sosok yang jenius sekaligus kontroversial.

Konon, beliau sudah mengajar bahkan ketika usianya belum genap 20 tahun. Jumlah karya beliau pun disinyalir sebanyak 500 buah, sebagian besar dalam bentuk buklet dan ensiklopedia.

Beberapa karya monumental beliau selain Tafsir Al-Qur’an al-Azim adalah Itqān fī ʿulūm Al-Qurʾān dan Tarikh al-Khulafa.

Kitab pertama mengulas tentang penguasaan ilmu Al-Qur’an, sedangkan kitab yang kedua berisi sejarah kekhalifahan Islam.

Beliau pernah memproklamirkan diri sebagai seorang pembaharu Islam dan kerap terjun di wilayah politik.

Pada usia 40 tahun, Imam Jalaluddin as-Suyuthi meninggalkan semuanya. Beliau pergi menepi dan memimpin tarikat sufi Khanaqah di Masjid Baybars, Kairo.

Kepemimpinannya itu cukup kontroversial karena beliau menetapkan kebijakan untuk mengurangi gaji para ulama sufi.

Pemberontakan pun meletus, bahkan Imam as-Suyuthi nyaris terbunuh.

Pada akhirnya, beliau diadili dan dihukum menjadi tahanan rumah di Raudah, dekat Kairo, sampai meninggal dunia di sana.

Sejarah Penyusunan Kitab Tafsir Jalalain

Adalah Imam Jalaluddin Muhammad al-Mahalli yang mengawali penulisan tafsir tersebut, mulai dari surah Al-Kahfi sampai surah An-Naas.

Usai menyelesaikan hingga surah yang terakhir, beliau kembali ke awal dengan menafsirkan surah Al-Fatihah.

Sejatinya, beliau bermaksud melanjutkan tulisannya hingga tuntas seluruh ayat Al-Qur’an.

Namun, pada usia 93 tahun, tepatnya pada tahun 864 Hijriah, beliau wafat. Tulisan itu pun terbengkalai.

Sebelum memulai penulisan kitab tersebut, Imam Jalaluddin al-Mahalli telah dikenal sebagai tokoh pemuka agama dan mendapatkan julukan Al-Jalal.

Beliau juga memiliki banyak murid, salah satunya adalah Abdurrahman as-Suyuthi.

Abdurrahman as-Suyuthi sempat beberapa lama berguru kepada Jalaluddin al-Mahalli. Beliau pun menyelesaikan perguruannya dan berlanjut menimba ilmu dengan berpindah-pindah tempat. Ketika al-Mahalli wafat, nama as-Suyuthi juga sudah dikenal luas sebagai salah satu tokoh guru besar agama.

Sebagai orang yang pernah dekat, tentu saja Imam as-Suyuthi berduka mendengar berita wafatnya sang guru.

Beliau pun mengetahui bahwa Imam al-Mahalli pernah menyusun sebuah kitab tafsir yang gagal rampung karena Allah Ta’ala memanggilnya lebih dahulu.

Abdurrahman as-Suyuthi pun bermaksud melanjutkan penulisan kitab tafsir itu.

Beliau kemudian melanjutkan penafsiran untuk beberapa surah yang tersisa, yakni surah Al-Baqarah sampai surah Al-Isra’.

Uniknya, Imam Jalaluddin as-Suyuthi juga menggunakan metode, gaya bahasa, serta pola penulisan yang sama persis dengan rintisan Imam Jalaluddin al-Mahalli sebelumnya.

Penulisan jilid kedua berlangsung cukup singkat, dimulai pada awal Ramadhan 870 Hijriah dan selesai pada 10 Syawal tahun yang sama.

Menurut Abdul Karim dalam al-Tafiq ala Tafsir al-Jalalain, Imam Jalaluddin as-Suyuthi berhasil merampungkan penafsiran lanjutan tersebut hanya dalam waktu 40 hari.

Seluruh konsep Kitab Tafsir Jalalain pada akhirnya rampung pada bulan Safar setahun berikutnya.

Saat ini, kitab fenomenal tersebut hadir dalam berbagai bahasa.

Bukan hanya berbentuk buku cetak dan digital, Tafsir Jalalain Indonesia bahkan sudah tersedia dalam bentuk situs web khusus Al-Qur’an hingga aplikasi untuk smartphone.

Jadi, mengakses kitab Tafsir Jalalain kini bisa kamu lakukan dengan lebih mudah.