Tafsir Ibnu Katsir dan Mengenal Sosoknya Lebih Dalam

Tafsir Ibnu Katsir merupakan satu di antara beberapa rujukan tafsir Al-Qur’an yang sudah dikenal atau diakui di kalangan umat Islam.

Al-Qur’an memang tidak bisa ditafsirkan hanya dengan menggunakan pendekatan akal atau rasio saja, tetapi juga wajib merujuk pada dalil-dalil yang dijamin kesahihannya.

Tak hanya itu, penafsirannya juga harus sesuai serta selaras dengan kaidah dan manhaj Salafus Shalih. Tafsir Ibnu Katsir merupakan salah satu tafsir karya ulama terkemuka di bidangnya.

Tak heran kalau kamu akan mudah menemukan tafsir Ibnu Katsir pdf atau tafsir Ibnu katsir online di internet.

Buku tafsir ini juga banyak dijual, baik di toko daring maupun luring. Harga tafsir Ibnu Katsir yang dipasarkan pun beragam.

Apabila kamu tertarik untuk mengetahui siapa sebenarnya Ibnu Katsir dan informasi terkait tafsirnya, Hasana.id akan membahasnya dalam artikel ini.

Sekilas tentang Ibnu Katsir

Ibnu Katsir memiliki nama lengkap Ismail bin Umar bin Katsir bin Dhau’i bin Katsir bin Dhau’i bin Dar’i bin al-Qurasyi asy-Syafi’i al-Bushrawi ad-Dimasyqi.

Beliau diberi gelar “Imaduddin” yang artinya adalah penopang agama. Adapun nama lainnya adalah Abu al-Fida’.

Namun, beliau lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Katsir yang dinisbatkan kepada sang kakek.

Dalam bidang fiqih, Ibnu Katsir berpegang pada mazhab Syafi’i. Meskipun begitu, beliau tidak terlalu fanatik pada madzhabnya tersebut.

Ibnu Katsir lahir di Damaskus, Syam, tepatnya di daerah Majdal yang berada di sebelah timur Bushra pada tahun 701 H atau 1301 Masehi. Sang ayah merupakan seorang khatib di Majdal.

Di usianya yang baru menginjak 2 tahun, beliau telah menjadi yatim lantaran ayahnya meninggal pada tahun 703 H.

Namun, ada pula riwayat yang menyebutkan bahwa pada usia 7 tahun, beliau sudah kehilangan sang ayah.

Sepeninggal ayahnya, beliau kemudian diasuh oleh kakak kandungnya, yaitu Kamaluddin ‘Abdul Wahab.

Dengan didampingi sang kakak, beliau pindah ke Damaskus, tepatnya pada tahun 707 Hijiriah. Pada saat itu, beliau baru berusia 6 tahun.

Dari sinilah, pengembaraan Ibnu Katsir dalam dunia keilmuan dimulai. Beliau mengawalinya dengan menemui banyak ulama besar pada masanya.

Salah satu ulama tersebut ialah Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah.

Pendidikan Ibnu Katsir

Ibnu Katsir pertama kali belajar ilmu agama kepada saudara kandungnya, yaitu Abdul Wahhab bin Umar bin Katsir sejak kecil.

Beliau bisa menghafal Al-Qur’an sejak usia 10 tahun. Setelahnya, beliau banyak menghafal matan-matan, bahasa Arab, dan berbagai bidang ilmu agama lainnya.

Selain tafsir Al-Qur’an, Ibnu Katsir mendalami banyak ilmu-ilmu Islam lainnya. Pada akhirnya, bidang hadits, sejarah, dan fiqih berhasil beliau kuasai dengan sangat baik.

Kemampuannya ini dibuktikan dengan banyaknya karya beliau yang berkaitan dengan hal ketiga bidang tersebut.

Oleh karenanya, tidak mengherankan apabila beliau diberi gelar sebagai muhaddits, faqih, mufasssir, dan muarrikh.

Ibnu Katsir dikenal gigih dalam menuntut ilmu. Hal itu kemudian menjadikannya sebagai sosok yang terkenal hingga keluar negeri Syam.

Tak sedikit ulama yang memberikan ijazah sanad kepada beliau, misalnya para ulama dari Baghdad, Kairo, dan kota-kota lainnya.

Selain ulama yang memberikan ijazah, ada pula ulama-ulama lain dan penuntut ilmu yang datang dari seluruh penjuru negeri untuk belajar dari beliau.

Diketahui bahwa Ibnu Katsir adalah orang yang tekun menulis karya-karya ilmiah dalam fiqih atau ushul-nya, hadits dan ushul-nya, tafsir, dan tarikh sampai beliau kehilangan penglihatannya.

Ketika menulis kitab Jami’ul Masanid wa Sun-an, beliau tidak bisa menyelesaikan karya tersebut lantaran ajal terlebih dahulu datang menjemput.

Beliau kemudian wafat pada tahun 774 Hijriah di Damaskus, Syam.

Perjalanan Karier Intelektual

Dengan pengetahuan yang dimiliki, karier intelektual Ibnu Katsir pun makin meningkat. Berkat keahliannya, beliau berhasil menduduki banyak jabatan penting.

Salah satunya adalah beliau ditunjuk untuk menggantikan gurunya, Muhammad Ibn Muhammad al-Zahabi, untuk menjadi kepala Dar al-Hadits.

Selama hidupnya, beliau telah menelurkan banyak karya. Berikut uraiannya.

Bidang Sejarah

Dalam bidang sejarah, Ibnu Katsir telah menulis beberapa kitab, di antaranya adalah:

  • Al-Bidāyah wa al-Nihāyah (yang terdiri dari 14 jilid);
  • Al-Fusūl fī Sirah al-Rasūl
  • Thabaqāt asy-Syafi’iyyah;
  • Qasas al-Anbiya; dan
  • Manaqib al-Imām al-Syafi’i.

Dari ketiga karyanya yang berupa buku ini, tafsir Ibnu Katsir Al-Bidāyah wa al-Nihāyah dinilai sebagai karya monumentalnya dalam bidang sejarah.

Hingga sekarang, kitab tersebut tetap menjadi rujukan kajian sejarah Islam yang paling utama.

Bidang Hadits

Beberapa kitab berkaitan dengan hadits yang beliau tulis di antaranya adalah:

  • Jami al-Masānid wa al-Sunan;
  • Al-Kutub al-Sittah;
  • Al-Takmīlah fī Ma’rifat al-Siqāt wa al-Du’afā wa al-Mujāhal;
  • Al-Mukhtasar (sebagai ringkasan kitab Muqaddimah li ‘Ulum al-Hadīs karya Ibn Salah); dan
  • Adillah al-Tanbih li ‘Ulum al-Hadīts.

Selain kelima karyanya tersebut, Ibnu Katsir juga mensyarahi kitab sahih Bukhari yang penjelesaiannya dilanjutkan oleh Ibn Hajar al-Asqalāni.

Bidang Fiqih

Karya Ibnu Katsir dalam bidang fiqih tidak teselesaikan.

Beliau sebetulnya sudah memiliki rencana untuk menyusun sebuah kitab fiqih yang bersandar pada Al-Qur’an dan al-hadits.

Sayangnya, hanya satu bab yang berhasil beliau tulis, yaitu seputar ibadah haji.

Bidang Tafsir

Beliau menulis tafsir Ibnu Katsir 30 juz yang berjudul Tafsīr al-Qur’ān al-Adzīm atau yang disebut juga Tafsir Ibnu Katsir.

Dengan begitu banyak karya yang dihasilkan oleh Ibnu Katsir, tak mengherankan jika banyak ulama yang memberikan pujian kepada beliau.

Murid Ibnu Katsir

Sebagai sosok yang piawai dalam banyak hal, menjadi hal wajar jika Ibnu Katsir memiliki banyak murid. Beberapa murid beliau akan saya bahas dalam artikel ini.

Yang pertama adalah Ibnu Haji. Ibnu Haji adalah seseorang yang memiliki hafalan matan-matan hadits yang paling kuat.

Ia adalah sosok murid yang paling mengetahui kecacatan hadits, perawi-perawinya, dan sahih serta dhaifnya.

Murid kedua adalah al-Hafidz al-Kabir ‘Imaduddin.

Ia memiliki hafalan yang banyak dan jarang lupa, pemahamannya baik, dan ilmu bahasa Arabnya tinggi.

Ia dikenal oleh masyarakat luas dengan kekuatan hafalan dan keindahan karangannya.

Selain dua orang tersebut, murid-murid lain dari Ibnu Katsir di antaranya adalah al-Hafizh Zainuddin al-Iraqi, dan al-Hafizh Waliyyud-din Abu Zur’ah bin al-Hafidz al-Iraqi.

Seputar Tafsir Ibnu Katsir

Selanjutnya, Hasana.id akan membahas sejarah atau seputar penulisan tafsir Ibnu Katsir.

Tafsir Al-Qur’an al-Adzim, begitulah sebagian besar penulis sejarah tafsir menyebut kitab karya Ibnu Katsir tersebut.

Namun, berdasarkan beberapa literatur yang ada, judul pasti dari kitab tafsir yang ditulis oleh Ibnu Katsir tersebut belum diketahui hingga saat ini.

Ibnu Katsir tampaknya memang tidak pernah menyebutkan secara spesifik nama atau judul dari karya besarnya tersebut.

Hal tersebut berbeda dengan penulis lain yang menuliskan judul kitabnya pada bagian mukadimah.

Akan tetapi, Ali al-Shabuny memiliki pandangan bahwa nama tafsir tersebut merupakan pemberian dari Ibnu Katsir sendiri.

Karena itu, ada dua kemungkinan terkait dengan judul kitab karya Ibnu Katsir ini.

Kemungkinan pertama, judul kitab tafsir tersebut merupakan buatan para ulama setelah masa Ibnu Katsir. Tentunya, judul yang dibuat menggambarkan isi tafsirnya.

Kedua, kemungkinan judul Tafsir Al-Qur’an al-Adzim ditulis oleh Ibnu Katsir sendiri.

Dalam kitab tafsir yang ditulisnya, tampak bahwa terdapat beberapa karya dari para ulama terdahulu yang memiliki pengaruh sangat kuat.

Beberapa di antaranya adalah tafsir Ibnu Ahiyyah, Ibnu abi Hatim, dan Ibnu Jarir al-Tabari.

Namun secara umum, pemikirannya banyak dipengaruhi oleh sang guru, yaitu Ibnu Taimiyah.

Metode Tafsir Ibnu Katsir

Tafsir Ibnu Katsir menggunakan metode yang berkaitan dengan penyajian, yaitu metode analitis atau tahlili.

Ibnu Katsir menyajikan tafsirnya secara sistematis berdasarkan urutan surah dalam mushaf Utsmani.

Tafsir dimulai dari surah Al-Fatihah, lalu surah Al-Baqarah, demikian seterusnya hingga berakhir pada surah An-Nas.

Aspek asbāb al-nuzūl dan munasabat ayat, yaitu hubungan antara satu ayat Al-Qur’an dengan ayat lainnya, juga dibahas dalam kitab ini.

Secara lebih rinci, metode tafsir Ibnu Katsir adalah sebagai berikut.

Menafsirkan dengan Al-Qur’an atau Ayat-Ayat Lainnya

Ketika membaca suatu tafsir, tak jarang akan didapati ayat-ayat Al-Qur’an lain yang berkaitan dengan ayat yang tengah dibahas tafsirnya.

Hal ini disebabkan banyak kondisi umum yang didapati dalam ayat tertentu yang kemudian dijelaskan secara detail oleh ayat lain.

Dalam tafsir Ibnu Katsir, ayat-ayat inilah dinilai dapat mendukung penjelasan sekaligus maksud dari ayat yang tafsirnya tengah dibahas.

Bisa juga ayat-ayat tersebut mengandung persesuaian arti dengan ayat yang sedang dibahas penafsirannya.

Salah satu contoh tafsir menggunakan metode ini adalah surah Al-Baqarah ayat 120–121, yakni:

{وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ (120) الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاوَتِهِ أُولَئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ (121) }

(120) Wa lan tarḍā ‘angkal-yahụdu wa lan-naṣārā ḥattā tattabi’a millatahum, qul inna hudallāhi huwal-hudā, wa la`inittaba’ta ahwā`ahum ba’dallażī jā`aka minal-‘ilmi mā laka minallāhi miw waliyyiw wa lā naṣīr.

(121) Allażīna ātaināhumul-kitāba yatlụnahụ ḥaqqa tilāwatih, ulā`ika yu`minụna bih, wa may yakfur bihī fa ulā`ika humul-khāsirụn.

Artinya:

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya).’ Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. Orang-orang yang telah Kami berikan Al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barang siapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.”

Dalam tafsir Ibnu Katsir, metode penafsiran dengan Al-Qur’an atau ayat-ayat lainnya bisa dikatakan semi tematik.

Artinya, pembahasan dilakukan dengan cara mengelompokkan ayat-ayat (sesuai urutan) yang dianggap memiliki keterkaitan.

Contohnya pada ayat di atas. Keduanya disatukan karena memiliki keterkaitan satu sama lain.

Menafsirkan dengan Hadits

Dalam tafsir Ibnu Katsir juga bisa didapati bahwa beliau menafsirkan suatu ayat dengan menggunakan hadits.

Hal ini dilakukan ketika tidak ditemukannya penjelasan dari ayat lain. Kalaupun ada, penyajian hadits dimaksudkan untuk melengkapi penjelasan.

Menafsirkan dengan hadits ini merupakan salah satu ciri khas dari tafsir Ibnu Katsir.

Tafsir ini memang banyak sekali mengutip hadits yang dinilai sejalan atau bisa digunakan untuk menjelaskan maksud atau makna ayat yang sedang diulas tafsirnya.

Apabila menemukan banyak riwayat atau hadits, baik yang sesuai maupun tidak, Ibnu Katsir sering menampilkannya, meskipun memakan banyak tempat.

Tak jarang, beliau juga mengutarakan kritik atau penilaian terhadap hadits-hadits yang dikutipnya, meski tidak semuanya.

Hal ini tentu sangat bisa dipahami karena Ibnu Katsir sendiri adalah seorang yang sangat menguasai seluk-beluk hadits.

Menafsirkan dengan Pendapat Sahabat dan Tabi’in

Apabila beliau tidak mendapati tafsir baik dalam Al-Qur’an maupun hadits, situasi ini menuntutnya untuk merujuk pada para sahabat Rasulullah saw. sebagai referensi.

Mereka dianggap lebih mengetahui lantaran menyaksikan langsung kondisi dan latar belakang dari diturunkannya suatu ayat.

Di antara pendapat para sahabat Rasulullah saw. yang sering beliau kutip adalah pendapat dari Ibnu Abbas dan Qatadah.

Adapun referensi tabi’in biasanya menjadi alternatif selanjutnya apabila tidak ditemukan tafsir dari Al-Qur’an, hadits, dan referensi sahabat.

Menafsirkan dengan Pendapat Para Ulama

Ketika menafsirkan ayat, Ibnu Katsir juga banyak mengutip pendapat serta pandangan dari banyak ulama atau mufasir terdahulu.

Aspek-aspek yang dikutip biasanya mencakup kebahasaan, hukum, kisah atau sejarah, hingga teologi.

Di antara pendapat-pendapat ulama yang beliau kutip tersebut, yang paling banyak dirujuk adalah pendapat dari Ibn Jarir al-Thabari.

Menafsirkan dengan Pendapat Sendiri

Langkah terakhir ini biasanya baru ditempuh setelah Ibnu Katsir melakukan keempat langkah sebelumnya dan menganalisis serta membandingkannya dengan berbagai data atau penafsiran.

Namun, yang perlu diketahui, metode penafsiran ini tidak bisa digunakan untuk seluruh ayat.

Sementara itu, untuk membedakan antara pendapat beliau sendiri dengan pendapat para ulama, biasanya Ibnu Katsir akan menambahkannya dengan kata, “menurut pendapatku” (qultu).

Kompleksitas Khilafah dalam Tafsir Ibnu Katsir

Sebagaimana dikutip Imam Ibnu Katsir, Imam al-Qurtubi menjadikan surah Al-Baqarah ayat 30 sebagai dalil atas keharusan untuk membentuk khalifah sehingga perselisihan dapat dihentikan.

Selain itu, ayat tersebut juga digunakan untuk memutuskan masalah penting yang tidak mungkin terlaksana tanpa pemerintahan.

Contohnya adalah untuk menuntut orang dzalim atas hak orang yang telah didzalimi, memberikan sanksi atas tindakan keji, dan menegakkan hukum.

Dalam tafsir Ibnu Katsir, dijelaskan bahwa pemimpin haruslah memenuhi beberapa syarat, yaitu:

  • laki-laki;
  • sudah baligh;
  • berakal;
  • muslim;
  • memiliki integritas;
  • mempunyai penglihatan yang awas;
  • organ tubuhnya lengkap dan berfungsi;
  • memiliki kualitas intelektual sebagai seorang mujtahid; dan
  • menguasai ilmu peperangan.

Selain itu, ada ulama yang berpendapat bahwa syarat lainnya adalah berdarah Quraisy, meski tidak disyaratkan oleh Bani Hasyim.

Sementara itu, makshum sebagaimana diisyaratkan oleh kelompok syiah ekstrem (Ghulat) dan Rafidhah tidak termasuk di dalamnya.

Apabila imam atau pemerintah berbuat fasik, ada perbedaan pendapat dari ulama mengenai kemakzulannya, demikian yang dijelaskan dalam tafsir Ibnu Katsir.

Namun, pendapat sahih mengungkapkan bahwa pemimpin tersebut tidak dimakzulkan, kecuali jika dia kafir secara nyata.

Sementara itu, perihal pembentukan dua atau bahkan lebih pemerintahan di atas muka bumi memunculkan pendapat yang berbeda dari para ulama.

Beberapa ulama mengatakan bahwa hal tersebut tidak boleh dilakukan, tetapi beberapa lainnya memiliki pandangan yang berbeda.

Sebut saja kelompok al-Karamiyah. Dalam tafsir Ibnu Katsir, dijelaskan bahwa kelompok ini membolehkan adanya dua atau lebih kepemimpinan di suatu negara.

Hal itu sebagaimana adanya dualisme pemerintahan era Sayyidina Ali dan Muawiyah yang wajib ditaati.

Menurut kelompok ini, sangat memungkinkan pengutusan dua nabi atau lebih pada zaman yang sama.

Alasannya, kenabian atau nubuwwah memiliki tingkatan atau derajat yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan imamah tanpa ikhtilaf utama.

Sementara itu, Imam Haramain dari Abu Ishaq membolehkan adanya dua atau lebih pemerintahan pada daerah yang terlalu luas atau saling berjauhan.

Prestasi Ibnu Katsir

Selama hidupnya, beliau adalah seorang penuntut ilmu yang gigih. Hal itu menjadikan beliau seorang ahli tafsir ternama, ahli hadits, sejarawan, dan ahli fiqih besar pada abad ke-8 Hijriah.

Karya fenomenal beliau, tafsir Ibnu Katsir, menjadi kitab tafsir terbesar dan tersahih sampai sekarang.

Adapun tafsir lain yang juga dianggap tersahih selain dari karya Ibnu Katsir adalah kitab tafsir Muhammad bin Jarir ath-Thabari.

Para ulama mengatakan bahwa tafsir Ibnu Katsir merupakan sebaik-baiknya tafsir yang ada di era ini karena keistimewaan yang dimilikinya.

Keistimewaan yang dianggap paling penting adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an dan Al-Qur’an dengan as-sunnah atau hadits.

Selain itu, perkataan para salafush shalih atau para pendahulu yang saleh, yaitu para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in juga digunakan sebagai pertimbangan dalam menafsirkan ayat.

Beliau juga menggunakan kaidah-kaidah bahasa Arab dalam menafsirkan sesuatu.

Demikianlah pembahasan terkait tafsir Ibnu Katsir beserta biografi tokoh Islam yang satu ini.

Semoga sosok beliau yang inspiratif dan juga memiliki ilmu tinggi ini bisa memotivasimu untuk tekun dalam mempelajari sesuatu demi menambah wawasan, terutama tentang keagamaan.

Dari Ibnu Katsir, kita juga bisa belajar bahwa sejatinya, menuntut ilmu dan berkarya tidak ada masa kedaluwarsanya.

Beliau saja hingga akhir hayatnya masih menuliskan karya, meskipun tidak bisa menyelesaikannya.

Kita yang masih dianugerahi kesehatan sudah selayaknya bisa meniru kegigihan beliau.

Apabila menurutmu artikel mengenai tafsir Ibnu Katsir ini bermanfaat, silakan bagikan kepada saudara, sahabat, atau kerabatmu untuk memperkaya pengetahuan.

Sumber:

https://islam.nu.or.id/post/read/126663/kompleksitas-khilafah-dalam-tafsir-ibnu-katsir?_ga=2.194199151.373100796.1614044010-2027846497.1614044010

https://www.laduni.id/post/read/46174/biografi-imam-ibnu-katsir#Karya-Karya

http://nahdlatululama.id/blog/2016/08/09/ibnu-katsir-2/