Profil Sunan Muria dan Ikhtiarnya Menyebarkan Islam di Tanah Jawa

Kalau kamu tahu Wali Songo, pastinya nama Sunan Muria sudah tidak asing lagi di telingamu, bukan?

Namun, di luar biografinya, apakah kamu mengetahui apa saja kisah dan ajaran beliau?

Kali ini, Hasana.id akan mengajakmu untuk membahas profil Sunan Muria secara singkat dan membaca kisah mengenai ajaran beliau dalam merawat bumi.

Apabila kamu penasaran, pastikan untuk menyimak artikel ini baik-baik, ya!

Profil Singkat Sunan Muria

Sunan Muria lahir kira-kira pada abad ke-15 dari pasangan Sunan Kalijaga dan Dewi Saroh yang merupakan adik kandung Sunan Giri.

Nama asli Sunan Muria adalah Raden Umar Said. Adapun nama kecil beliau adalah Raden Prawoto.

Nama “Muria“diambil dari tempat tinggal terakhir beliau yang terletak di Gunung Muria, kurang lebih 18 km ke arah utara Kota Kudus.

Beliau kemudian menikah dengan Dewi Sujinah yang merupakan putri dari Sunan Ngudung. Dengan demikian, Sunan Muria menjadi adik ipar Sunan Kudus.

Salah satu anggota Wali Songo ini sering mengambil cara sang ayah dalam melakukan dakwah.

Namun bedanya, untuk menyebarkan Islam, beliau lebih memilih untuk bermukim di wilayah yang jauh dari keramaian kota

Di tempat terpencil itu, beliau bergaul dengan rakyat jelata sambil mengajarkan berbagai keterampilan bercocok tanam, berdagang, dan melaut, yang merupakan hobi beliau.

Sunan Muria juga sering dipercaya menjadi penengah pada saat terjadi konflik internal di lingkungan Kesultanan Demak (1518–1530).

Beliau dikenal sebagai sosok yang mampu memecahkan beragam masalah seberapa pun rumitnya masalah tersebut.

Apa pun solusi yang beliau berikan, pihak-pihak yang terlibat perseteruan bisa menerimanya dengan baik.

Beliau melakukan dakwah dari Jepara, Tayu, Juana, hingga sekitar Pati dan Kudus.

Salah satu karya Sunan Muria dari hasil dakwahnya lewat seni yang terkenal adalah tembang Sinom dan Kinanti.

Dakwah Sunan Muria

Sejatinya, pola dakwah Sunan Muria sama seperti para anggota Wali Songo yang lain, yaitu bernuansa akulturasi budaya yang kemudian dibalut dengan nilai-nilai keislaman.

Adapun ajaran beliau yang terkenal adalah Ajaran Pambukaning Tata Malige Betal Mukaram.

Setidaknya, terdapat empat hal yang menjadi larangan dalam ajaran ini, yaitu makan hati, makan jeroan, menyebut angan-angan, dan menyebut harapan semu.

Keempat larangan tersebut sarat dengan muatan tasawuf dan spiritualitas yang kian dalam.

Di dalamnya, terkandung nilai-nilai kebajikan dan seni menata hati pada proses penyucian jiwa atau tazkiyatun nufus.

Cara beliau dalam menyebarkan Islam sangat halus dan lembut, tidak dengan berteriak-teriak dan memaksa orang untuk masuk Islam.

Beliau memilih berdakwah dengan suluk, mengasah jiwa, mengolah batin, dan selalu menyentuh dimensi spiritualitas seseorang.

Sunan Muria dan Tapa Ngeli

Raden Umar Said banyak meninggalkan warisan kesenian adiluhung yang berupa tembang Macapat, Sinom, dan sejenisnya.

Di antara karya ciptaan beliau adalah tembang Pangkur yang memiliki makna pembasmi hati yang jahat.

Kedekatan dengan sang ayah, Sunan Kalijaga, baik sebagai ayah dan anak maupun secara ideologis sebagai seorang santri, beliau mewarisi laku spiritual yang diamalkan sang ayah.

Laku olah jiwa dengan cara bersemadi atau uzlah dengan menghanyutkan diri di sungai itu dikenal dengan sebutan tapa ngeli.

Tapa ngeli yang dilakukan dalam rangka memiliki batin yang tenang dan jiwa yang suci ini kerap dipraktikkan oleh Sunan Kalijaga atas nasihat dari Sunan Bonang.

Dari situasi tersebut, bisa ditarik kesimpulan bahwa baik Sunan Kalijaga maupun putranya adalah sama-sama murid sejati Sunan Bonang.

Jejak tapa ngeli ini diabadikan lewat cerita rakyat Desa Ternadi, sebuah desa yang berada di lereng Gunung Muria.

Masyarakat setempat yakin bahwa tapa ngeli dahulu rutin dilakukan oleh Sunan Kalijaga sejakbeliau masih dikenal dengan julukan “Berandal Loka Jaya”.

Namun, mereka juga percaya bahwa ajaran tapa ngeli juga memiliki hubungan erat dengan ajaran mistik yang diamalkan Sunan Muria dan para pengikut beliau.

Istilah tapa ngeli sendiri mengandung tiga pengertian. Apa saja? Berikut rinciannya.

Bagian dari Tirakatan yang Bersifat Jasmani

Pertama, tujuan tapa ngeli digunakan sebagai bagian dari laku tirakatan yang bersifat jasmani, caranya adalah dengan menghanyutkan badan di aliran sungai.

Perilaku ini bisa diartikan sebagai wujud pengasingan diri serta penyucian batin yang bertujuan untuk mendapatkan ilham atau pengetahuan sejati.

Hal ini dimaknai agar pancaran cahaya Ilahi bisa masuk ke dalam hati nurani. Dampaknya, jasad dan ruh akan bergerak selaras dengan kehendak Sang Pencipta.

Tapa ngeli juga bisa ditafsirkan sebagai bentuk ekspresi pemaknaan dari usaha penyucian jiwa yang diibaratkan dalam salah satu hadits Rasulullah saw.

Beliau mengibaratkan orang yang taat dalam mengerjakan shalat lima waktu bagaikan mandi lima kali sehari di aliran sungai yang mengalir.

Berikut adalah sabda Rasulullah saw. yang berkaitan dengan hal tersebut sebagaimana telah diriwayatkan dari Jabir radhiallahu ‘anhu:

مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ كَمَثَلِ نَهَرٍ جَارٍ غَمْرٍ عَلَى بَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ ». قَالَ قَالَ الْحَسَنُ وَمَا يُبْقِى ذَلِكَ مِنَ الدَّرَنِ

Matsalusshalawaatil khamsi kamatsali nahari jaari ‘alaa baabi akhadaku, yaghtasilu minhukulla yaumin khamsa marraatin. qaala qaala alkhasanu wamaa yubqii dzalika minaddarani.

Artinya:

“Permisalan shalat yang lima waktu itu seperti sebuah sungai yang mengalir melimpah di dekat pintu rumah salah seorang di antara kalian. Ia mandi dari air sungai itu setiap hari lima kali.” Al Hasan berkata, “Tentu tidak tersisa kotoran sedikit pun (di badannya).” (HR Muslim no. 668)

Totalitas Mengabdi di Masyarakat

Makna kedua yang bisa diserap dari laku tapa ngeli ini adalah ajaran totalitas dalam mengabdi kepada masyarakat.

Tapa ngeli juga mengajarkan bahwa akulturasi bukan berarti terbawa pada tradisi yang justru menjauhkan dari tujuan awal, yakni menyampaikan Islam dengan cara yang mudah diterima.

Ngeli merupakan kata kerja yang berarti “menghanyutkan diri”, sedangkan keli berarti terbawa arus dan tidak mampu menguasai diri.

Meskipun berasal dari kata yang sama, keduanya memiliki substansi yang berbeda.

Modal utama untuk menjalani pengabdian dalam masyarakat atau ngeli adalah dengan melakukan pengekangan diri atau tapa.

Tujuannya adalah agar nafsu yang sering kali mengajak manusia pada hal-hal negatif dan merusak bisa dikontrol dengan bijak.

Dengan begitu, ikhtiar untuk menata masyarakat agar bisa lebih baik dari sebelumnya dapat terwujud.

Tirakatan untuk Melatih Jiwa

Pemaknaan yang ketiga adalah ditekankan sebagai laku batin untuk melatih jiwa agar mudah menerima apa saja yang menjadi kehendak Allah Swt.

Dalam bahasa Jawa, sikap jiwa tersebut dikenal dengan istilah nrimo ing pandum.

Selain itu, setiap manusia juga diharapkan selalu mawas diri dalam menghadapi segala macam perubahan zaman tanpa harus ikut terseret arus.

Laku ini mampu membimbing manusia untuk menyadari bahwa dirinya adalah makhluk yang lemah, mengalir mengikuti irama kehendak-Nya, rendah hati, dan tidak sombong.

Ajaran untuk Merawat Bumi

Kampanye cinta lingkungan, khususnya merawat bumi, ternyata tidak hanya ramai digaungkan pada masa modern saja.

Sejak zaman dahulu, Sunan Muria juga telah mengajarkan para pengikutnya untuk bersama-sama merawat bumi.

Perihal ini memang jarang disebut sehingga tak banyak yang mengetahui kontribusi dakwah Wali Songo terhadap pelestarian bumi.

Selama ini, Wali Songo lebih dikenal dengan aktivitasnya menyebarkan agama Islam yang hanya berfokus pada masalah tauhid.

Padahal, tahukah kamu bahwa Raden Umar Said yang memilih menetap di salah satu puncak Gunung Muria yang terpencil tak hanya mengajak para penduduk untuk beriman.

Beliau juga mengajarkan konsep teologi yang bersifat menyeluruh dan saling berkaitan, termasuk hubungan antara agama dengan lingkungan.

Beliau mengarahkan energi keimanan masyarakat di tempat beliau tinggal untuk bisa dimanfaatkan pada upaya-upaya untuk melestarikan alam.

Tauhid yang diajarkan Raden Umar Said yang berkaitan dengan bumi menyentuh tiga ranah.

Ketiga ranah tersebut adalah dimensi ketuhanan, dimensi sosial ijtima’iyyah, dan dimensi lingkungan.

Kesemuanya menjelaskan perbedaan terhadap cara dakwah dari sunan yang lain, dari ranah ketuhanan, sosial, sampai lingkungan bisa menyatu dalam satu konsep keimanan.

Seluruh kearifan lokal, khususnya kearifan lingkungan yang bersumber dari agama, itulah yang diterapkan oleh beliau.

Hal ini dapat ditemukan melalui jejak-jejak peninggalan Sunan Muria yang dikeramatkan, seperti buah pari joto, kayu pakis haji, dan air gentong yang ada di lokasi makamnya.

Selain itu, terdapat pula ngebul bulusan, pohon kayu adem ati, dan hutan jati keramat.

Hingga sekarang, oleh masyarakat, situs keramat tersebut masih dipercaya mengandung karomah dari Sunan Muria.

Memaknai Mitos Peninggalan Sunan Muria

Keempat peninggalan yang dikeramatkan tersebut rupanya memiliki makna masing-masing seperti saya jabarkan di bawah ini.

Buah Pari Joto

Pari joto adalah nama sejenis buah yang kini umum dijadikan sebagai oleh-oleh khas Muria.

Buah ini biasanya diberikan kepada wanita yang tengah hamil karena dipercaya dapat menambah kebaikan bagi jabang bayi.

Buah ini dikisahkan menyimpan konotasi makna atas apa yang disebutkan oleh Rasulullah saw. berupa jintan hitam.

إِنَّ هَذِهِ الحَبَّةَ السَّوْدَاءَ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ، إِلَّا مِنَ السَّام

Inna hadzihil khabbatassaydaa a syifaa un minkullidaa i, illaa minassaamaa.

Artinya:

”Sesungguhnya pada habbatussauda’ terdapat obat untuk segala macam penyakit, kecuali kematian.”

Selain jintan hitam, buah tersebut juga merupakan kiasan dari madu lebah, seperti firman Allah dalam Al-Qur’an surah An-Nahl ayat 68–69:

وَأَوْحَىٰ رَبُّكَ إِلَى ٱلنَّحْلِ أَنِ ٱتَّخِذِى مِنَ ٱلْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ ٱلشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ

Wa auḥā rabbuka ilan-naḥli anittakhiżī minal-jibāli buyụtaw wa minasy-syajari wa mimmā ya’risyụn.

Artinya:

“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibuat oleh manusia’.”

ثُمَّ كُلِى مِن كُلِّ ٱلثَّمَرَٰتِ فَٱسْلُكِى سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًا ۚ يَخْرُجُ مِنۢ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُّخْتَلِفٌ أَلْوَٰنُهُۥ فِيهِ شِفَآءٌ لِّلنَّاسِ ۗ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَةً لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Tsumma kulī ming kulliṡ-ṡamarāti faslukī subula rabbiki żululā, yakhruju mim buṭụnihā syarābum mukhtalifun alwānuhụ fīhi syifā`ul lin-nās, inna fī żālika la`āyatal liqaumiy yatafakkarụn.

Artinya:

“Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.”

Menurut Sunan Muria, pari joto memiliki kemiripan dengan kedua hal tersebut dari segi kandungan gizinya.

Dalil tentang manfaat jintan hitam dan madu maupun mitos pari joto tak sekadar anjuran untuk memanfaatkannya, tetapi sekaligus memuat seruan untuk melestarikannya.

Jadi, manusia tidak hanya mengonsumsinya demi menjaga kesehatan, tetapi juga melestarikannya. Tujuannya adalah untuk mewariskannya kepada generasi penerus.

Pakis Haji

Tanaman pakis haji dari Muria diyakini berguna untuk mengusir hama tikus yang sering menyerang padi.

Lebih dari itu, pakis haji juga merupakan bukti karomah yang diberikan Allah kepada Sunan Muria.

Mengusir tikus (bukan membunuhnya) menggunakan pakis haji menunjukkan bahwa dalam segala hal, termasuk membasmi hama, kita wajib mempertimbangkan aspek kelestarian alam.

Beliau memahami betul bahwa bagaimanapun, tikus memiliki kedudukan penting dalam putaran rantai makanan.

Air Gentong Keramat

Di lokasi makam Sunan Muria, terdapat air gentong keramat yang diyakini menyimpan kebaikan.

Air gentong ini juga menyimpan simbol spiritual karena dipercaya dapat menyembuhkan penyakit, membersihkan diri dari kotoran jiwa, dan menambah kecerdasan.

Ngebul Bulusan

Jejak Sunan Muria yang selanjutnya adalah bulusan dan kayu adem ati.

Bulus yang berarti penyu dan pohon keramat sebelumnya menghilang dan baru terlihat kembali pada 17 Agustus 1945.

Serangkaian ritual yang hingga hari ini masih dilestarikan mengajarkan pentingnya menghormati sesama.

Pohon Jati Keramat

Dengan mengingat bahwa pohon jati ini sudah ada sejak zaman Sunan Muria masih hidup maka usia pohon ini diperkirakan sudah mencapai ratusan tahun.

Tak ada seorang pun yang berani menebangnya dan hingga kini, pohon tersebut masih dibiarkan untuk terus tumbuh.

Perlakuan terhadap pohon menjadi pengingat bagi kita akan pentingnya konservasi alam, termasuk hutan, agar bumi yang kita tinggali ini terjaga kelestariannya.

Makam Sunan Muria

Sunan Muria hidup pada dua masa kesultanan Islam di Jawa, yaitu Kesultanan Demak dan Kesultanan Pajang, dan kemudian wafat pada tahun 1551.

Beliau dimakamkan di puncak Gunung Muria yang terletak di sebelah utara Kota Kudus.

Tak seperti makam para wali lainnya, makam Sunan Muria terletak di ketinggian 1.600 mdpl, tepatnya di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.

Jika ingin berziarah ke sana, setidaknya kamu harus menaiki 700 anak tangga dari pintu gerbang utama. Lalu, persis di belakang Masjid Sunan Muria, terletak makam beliau.

Di bangunan makam tersebut juga terdapat beberapa makam kerabat beliau, termasuk Dewi Sujiah yang merupakan istri beliau dan sang putri, Dewi Rukayah.

Atap bangunan makam ditutup dengan sirap berupa tembok besar yang terbuat dari batu bata dengan desain joglo dua susun.

Makamnya cukup mudah dikenali karena berbeda dengan makam wali lainnya.

Letaknya juga terpisah jauh dari makam lain, sesuai dengan karakter beliau yang cenderung lebih suka menyendiri.

Di makam tersebut, terdapat beberapa benda bersejarah yang dahulu dimiliki Sunan Muria, sebut saja pelana kuda dan air gentong.

Terkait pelana kuda, barang tersebut disinyalir membuat masyarakat Muria selalu ingat terhadap pentingnya melaksanakan shalat istisqa ketika musim kemarau datang.

Belajar dari Kegigihan Sunan Muria

Tak seperti wali yang lain, Sunan Muria lebih memilih menetap dan berdakwah di tempat yang terpencil dan jauh dari hiruk pikuk keramaian kota.

Bagi sebagian orang, mungkin lokasi terpencil adalah tempat yang kurang nyaman untuk ditinggali, tetapi tidak dengan Sunan Muria.

Dari keadaan ini, ada hal yang bisa kamu pelajari, yaitu untuk tidak terlalu terjebak dalam zona nyaman.

Keluar dari zona tersebut memungkinkan kamu untuk lebih gigih lagi dalam menggapai tujuan.

Hasilnya pun mungkin bisa dirasa lebih berharga daripada terkungkung dalam kenyamanan.

Kamu juga bisa berkembang dari situ. Segala hambatan dan masalah yang dihadapi bisa membuatmu menjadi sosok yang lebih kuat dan kreatif.

Dari beliau, kamu juga bisa belajar bahwa menyebarkan syiar Islam tak harus dengan cara yang kasar agar orang-orang mau mengikuti.

Dari informasi di atas, kamu banyak menemukan mitos yang berkaitan dengan kisah Sunan Muria. Tntu saja, kamu tidak boleh menelan mentah-mentah mitos tersebut.

Manfaat baik yang datang bukan semata-mata karena benda tersebut adalah peninggalan beliau. Semua bisa berjalan lancar lantaran Allah Swt. terlibat di dalamnya.

Pada air gentong, misalnya.

Apabila yang kamu percayai adalah air gentong tersebut bisa menyembuhkan penyakit atau menambah kecerdasan bagi yang meminumnya, itu termasuk syirik.

Apalagi jika kamu berharap sesuatu pada gentong air tersebut.

Ingatlah bahwa kesembuhan dan kecerdasan semata-mata datangnya dari Allah Swt., bukan dari hal lain.

Demikianlah informasi terkait Sunan Muria yang dapat Hasana.id rangkum. Semoga kamu bisa mengambil pelajaran berharga dari ikhtiar beliau dalam menyebarkan ajaran Islam.

Sumber:

https://www.nu.or.id/post/read/52371/ajaran-sunan-muria-meruwat-bumi

https://alif.id/read/redaksi/sajian-khusus-ngaji-suluk-sunan-muria-b232650p/

https://www.laduni.id/post/read/8396/menelusuri-jejak-dan-bertawassul-di-makam-sunan-muria-kudus