Kisah Perjalanan Dakwah Sunan Kudus yang Inspiratif

Masing-masing tokoh Wali Songo memiliki kisah menariknya sendiri, tak terkecuali Sunan Kudus. Kali ini, Hasana.id akan mengajakmu untuk mendalami kisah-kisah Sunan Kalijaga yang inspiratif dan sarat akan pesan positif.

Sayyid Ja’far Shadiq Azmatkhan merupakan nama asli Sunan Kudus. Sebutan Sunan Kudus diambil dari nama beliau menyebarkan agama Islam, yaitu Kudus. Sebuah daerah di Jawa Tengah yang sekarang menjadi nama kabupaten.

Beliau sebenarnya bukanlah berasal dari Kudus. Sunan Kudus dilahirkan di daerah yang bernama Al-Quds, Palestina yang kemudian hijrah ke Tanah Jawa bersama kakek, ayah, dan kerabatnya. Beliau adalah keturunan ke-24 Nabi Muhammad saw.

Jika kamu tertarik untuk mengetahui cerita-cerita tentang salah satu anggota Wali Songo ini, pastikan untuk menyimak artikel ini sampai akhir, ya!

Biografi Sunan Kudus

Penyebaran Islam di Jawa sudah dimulai sejak abad ke-7 Masehi, tetapi baru bisa diterima oleh masyarakat dengan tangan terbuka pada masa Wali Songo menyebarkan Islam di Jawa, yaitu sekitar abad ke-15.

Wali penyebar Islam ini berjumlah sembilan orang, mereka adalah Sunan Bonang, Sunan Ampel, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Gresik, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kudus.

Mereka bertugas menyebarkan Islam di daerah sesuai dengan domisilinya.

Lahirnya Sunan Kudus

Di sini, saya akan membahas khusus mengenai Sunan Kudus. Jika di atas telah disebutkan siapa ayahnya, kini giliran ibunya. Ibu beliau bernama Nyai Anom Manyuran, yaitu putri Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila.

Sayyid Ja’far Shaddiq kemudian menikah dengan putri Sunan Bonang, yaitu Dewi Rukhil dan dikaruniai seorang putra bernama Amir Hasan. Sunan Kudus juga memiliki sebutan lain, yaitu Raden Amir Haji.

Cara Berdakwah Sunan Kudus

Dalam berdakwah, Raden Amir Haji lebih mengutamakan dakwah bi al-hal agar masyarakat yang sebelumnya berkeyakinan Hindu Buddha bisa tertarik dan bergabung dengan Islam.

Keterampilannya dalam berdakwah terlihat dari kedalaman ilmu agama dan pengalaman berdagangnya.

Ia berhasil mendapatkan jabatan sebagai qadhi atau penegak hukum karena kecerdasan di dalam ilmu agama, khususnya bidang fiqih. Karena kebijaksanaannya, beliau tidak pernah memihak siapa pun.

Selain terkenal dengan kecerdasannya, Raden Amir Haji juga disegani sebagai pemimpin militer yang tangguh dan juga seorang politisi yang dihormati baik kawan maupun lawan.

Sebagai seorang senopati di Kerajaan Bintor Demak, pada waktu itu beliau turut andil dalam meruntuhkan kerajaan Majapahit.

Ilmu yang dikuasai tak sebatas di bidang hukum saja, melainkan juga ilmu lain seperti Tafsir Al-Qur’an, ushul al-Hadith, Sastra, dan Mantiqh. Oleh karenanya, beliau dijuluki sebagai waliyul ‘ilmi.

Tak hanya itu saja, beliau juga menyimpan ketertarikan tersendiri terhadap dunia seni di mana ditunjukkan dengan kecintaannya kepada tembang-tembang Jawa, termasuk dua karyanya, yaitu Maskumambang dan Mijil.

Dikisahkan bahwa pada suatu masa, Sunan Kudus pergi belajar di Bait al-Maqdis, Palestina dan kemudian kembali ke Tanah Jawa untuk mengamalkan ilmunya yang telah didapatkan di sana.

Pada tahun 1549, beliau membangun masjid yang diberi nama Masjid al-Aqsha atau al-Manar yang sekarang dikenal dengan Menara Kudus.

Adapun daerah tempat beliau berdakwah dinamai Kudus, yang diambil dari lafal al-Quds, salah satu tempat di Palestina di mana beliau dilahirkan.

Perjalanan Dakwah

Sunan Kudus merupakan anak dari Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji. Sang ayah adalah seorang panglima perang dari Kesultanan Demak.

Karena kecerdasan beliau dan ilmunya yang sangat mendalam, Sunan Kudus kemudian mendapatkan jabatan di Kesultanan Demak. Ia menjabat sebagai seorang penasihat raja, imam besar, mursyid tarekat, mufti, dan qadhi.

Menyebarkan ajaran Islam di wilayah Kudus tidak dapat dilakukan dengan mudah kala itu. Beliau harus berhadapan dengan masyarakat yang kental dengan ajaran Hindu dan Buddha yang terlebih dahulu ada.

Untuk dapat memperkenalkan Islam kepada masyarakat, beliau harus memutar otak. Sejatinya, kunci dakwah adalah melalui metode yang baik, halus, dan tidak memaksa sehingga banyak masyarakat yang bersedia mengikuti ajarannya.

Berdakwah dengan Cara Kultural

Strategi yang diperlihatkan oleh beliau adalah dengan mewujudkan Islam Kultural. Maksudnya, Islam yang hadir dengan ajaran yang baru, tetapi tidak menghilangkan keaslian budaya yang sudah ada dalam masyarakat.

Sunan Kudus menerapkan kolaborasi dari kecerdasan ilmu pengetahuan agama dan strategi perdagangan. Dengan begitu, dakwah bisa berjalan secara damai tanpa ada pertumpahan darah.

Fleksibilitas berdakwah pun bisa menjadikan Islam sebagai agama yang bersifat kultural dan mampu diserap oleh budaya-budaya yang telah menjadi simbol kehidupan masyarakat.

Untuk menarik perhatian masyarakat, Sunan Kudus membangun sebuah masjid yang memiliki desain dan arsitektur yang mirip dengan ciri khas agama Hindu.

Hasilnya, waktu itu banyak masyarakat yang penasaran dengan ajaran beliau dan secara perlahan mulai terpengaruh dengan ajaran Islam.

Tak hanya itu, masjid yang diberi nama Al-Aqsha tersebut memiliki delapan titik pancuran yang digunakan untuk berwudu. Pada setiap pancuran terdapat arca Kebo Gumarang.

Menyebarkan Islam Menggunakan Pendekatan Sosial

Pendekatan lain yang digunakan untuk menyebarkan Islam di daerah tersebut adalah pendekatan sosial dari hati ke hati, jadi bukan hanya dengan simbolisasi bangunan saja.

Salah satunya adalah pelarangan penyembelihan sapi. Hewan ini dianggap sakral oleh umat Hindu. Adapun dalam menyikapi beragam ritual dari agama Hindu, Sunan Kudus secara perlahan memasukkan nilai-nilai Islam.

Salah satunya adalah ritual mitoni atau syukuran tujuh bulan memperingati kehamilan seorang ibu.

Di dalam salah satu rangkaiannya, ditekankan agar pengikutnya menyampaikan rasa syukur yang hanya ditujukan kepada Allah Swt. bukan kepada para dewa.

Sementara itu pada binatang ternak yang dikurbankan, yang awalnya dijadikan sebagai sesajen diubah oleh Sunan Kudus. Semua itu dijadikan sebagai hidangan syukuran.

Kemudian, hidangannya dibagikan kepada masyarakat yang butuh. Dan, diniatkan sebagai sedekah.

Metode dakwah yang perlahan dan lemah lembut ini terbukti sukses. Cara yang pelan-pelan dapat diterima oleh masyarakat di Jawa saat itu.

Dalam hal ini, Sunan Kudus mengajarkan kepada kita hal yang penting. Kita harus selalu toleransi baik dalam beragama ataupun bermasyarakat.

Kebijaksanaan dan kearifan yang ditunjukkan oleh Sayyid Ja’far Shadiq ini dalam menyebarkan Islam tidak membuat kebudayaan yang telah ada sebelumnya menjadi tersisihkan.

Beliau justru tetap mempertahankan tradisi dan kebudayaan yang telah mengakar di dalam hati masyarakat.

Namun, tetap saja mempertahankan kebudayaan selama tidak bertentangan dengan syariat dan tujuan Islam. Dengan kebijakan yang dijalankan oleh beliau, proses Islamisasi dalam masyarakat pun bisa berjalan dengan baik.

Sunan Kudus punya cara agar masyarakat mau mendengarkan tabligh-nya di masjid. Beliau sengaja meletakkan sapinya, Kebo Gumarang, di halaman masjid.

Sapi yang diagungkan oleh pemeluk Hindu akhirnya menjadi simpati. Terlebih, setelah Sunan kudus menjelaskan tentang surat yang artinya sapi betina. Ya, surat al-Baqarah.

Bahkan diketahui sampai sekarang, sebagian masyarakat Kudus masih menolak untuk menyembelih sapi dan menggantinya dengan kerbau.

Menceritakan tentang Ketauhidan

Cara lain untuk mendekati masyarakat agar bersedia mengikuti ajarannya adalah memancingnya dengan mengubah cerita-cerita ketauhidan.

Cerita tentang tauhid itu dibuat berseri. Hal ini membuat masyarakat jadi lebih tertarik. Mereka antusias mengikuti kelanjutan dari kisahnya.

Kisah yang disampaikan kepada masyarakat adalah adopsi dari cerita 1001 malam. Cerita dari zaman kekhalifahan Abbasiyah. Menggunakan cara itulah beliau bisa menarik perhatian penduduk di daerahnya.

Dikisahkan, beliau juga termasuk salah seorang pujangga yang suka berinisiatif mengarang cerita pendek yang berisi filsafat dan sesuatu yang berbau agama.

Toleransi Sunan Kudus terhadap Pemeluk Agama Selain Islam

Salah satu sifat yang terkenal dari Sunan Kudus adalah mengenai toleransinya. Pada masa awal dakwahnya, beliau sempat melarang umat Islam menyembelih sapi demi menghormati pemeluk agama Hindu yang mendewakan sapi.

Demi mementingkan persatuan masyarakat lokal Kudus, beliau memang sengaja melarang umat Islam pada waktu itu untuk menyembelih sapi sebagai hewan kurban.

Apabila beliau nekat mengizinkan menyembelih sapi, ditakutkan kerajaan di sekitar tersinggung. Terutama kerajaan yang pimpinannya adalah Pangeran Poncowati.

Pangeran Poncowati pun lantas bertanya apakah perihal larangan menyembelih sapi adalah ajaran Islam atau bukan. Sunan Kudus lalu mengatakan bahwa sapi bukanlah hewan yang diharapkan dalam Islam.

Munculnya larangan tersebut adalah sebagai bentuk penghormatan kepada pemeluk agama yang menganggap sapi sebagai hewan yang harus dihormati.

Mendengar jawaban itu, akhirnya Pangeran Poncowati memutuskan untuk memeluk Islam dan menyerahkan wilayah kerajaan Kudus kepada Sayyid Ja’far Shadiq.

Wujud kebijaksanaan lain dari Sunan Kudus adalah membangun masjid yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Menara Kudus di lokasi kerajaan.

Cara berdakwah Sunan Kudus sangatlah bijaksana. Adaptasi dan pribumisasi ajaran Islam mampu beliau lakukan. Apalagi di masyarakat yang awalnya sudah berbudaya dengan mayoritasnya adalah agama Hindu dan Buddha.

Salah satu cara dakwah yang berkaitan dengan percampuran budaya Buddha dan Hindu. Kamu bisa melihatnya pada Masjid Menara Kudus yang telah didirikan pada tahun 956 Hijriah atau 1549 Masehi.

Hal tersebut bisa diketahui dari inkripsi pada batu yang ada di mihrab masjid yang bertuliskan Arab.

Ternyata Menara Kudus itu tidak dibangun berbarengan dengan Masjid Menara Kudus. Hal ini perlu diketahui, pasalnya banyak yang mengira bahwa keduanya dibangun bersamaan.

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, Menara Kudus ada sejak zaman Hindu Buddha. Bahkan umurnya jauh lebih tua dari peninggalan Sunan Kudus, yaitu Masjid Menara Kudus.

Menara Kudus merupakan salah satu bagian dari kerajaan yang dipimpin oleh Pangeran Poncowati kala itu.

Kearifan Lokal dari Sunan Kudus

Dikutip dari H. Muslim A. Kadir, Waliyullah yang satu ini memiliki kearifan lokal yang sudah menjadi wujud keberagaman Indonesia di Kota Kudus.

Kearifan beliau lebih berhubungan dengan kemaslahatan umat secara umum. Karena hal tersebut, kearifan Sunan Kudus ini bisa jadi berskala nasional.

Kearifan dari Sunan Kudus ini telah berkembang menjadi sebuah warisan budaya di mana terlihat pada keputusan beliau dalam pelarangan menyembelih hewan sapi.

Selain itu, warisan budaya yang berasal darinya adalah arsitektur pluralis dan ornamen Menara Kudus. Bukan hanya itu saja, ada juga budaya tutur gusdjigang.

Gusdjigang adalah kependekan dari bagus, ngadji (ngaji), dan dagang. Hal tersebut bisa membuat terciptanya kerukunan dan perdamaian di masyarakat Kudus.

Fakta Menarik tentang Sunan Kudus

Salah satu fakta menarik tentang Sayyid Ja’far Shaddiq ini adalah Gubernur Bank Indonesia, Arifin Siregar pada masa jabatannya mengapresiasi peninggalan Sunan Kudus dengan menyematkan gambar Menara Kudus pada uang kertas Rp5.000.

Hari jadi Kota Kudus (23 September 1549) pun dalam penentuannya tak bisa lepas dari peran patriotisme Sunan Kudus. Buktinya bisa kita lihat pada inkripsi yang ada di mihrab Masjid al-Aqsa.

Oleh karena itu, dalam setiap peringatan hari jadinya, semangat patriotisme Sunan Kudus dalam memajukan rakyat Kudus dan umatnya tak pernah terlupakan.

Selain itu, terdapat sebuah tradisi berupa tarian yang bernama Buka Luwur yang menginterpretasikan sejarah perjalanan masyarakat Kudus setelah Sunan Kudus wafat hingga terbentuk satuan wilayah yang sekarang kita kenal dengan nama Kota Kudus.

Bahkan, sampai sekarang, setiap tanggal 10 Muharram, tradisi tersebut masih dilakukan. Kegiatan ini dilaksanakan rutin oleh pengurus Menara Kudus setiap tahunnya. Dan, mendapat dukungan dari muslim yang ada di Kudus dan sekitarnya.

Tradisi ini merupakan momen yang digunakan dalam prosesi penggantian kelambu pada makam beliau dengan diiringi doa dan pembacaan kalimat thayyibah.

Kalimatnya yaitu tahlil, selawat, istighfar, dan surat-surat pendek Al-Qur’an di mana sebelumnya didahului dengan mengkhatamkannya secara utuh.

Di Kudus juga terdapat sebuah tradisi yang bernama Dandangan. Di situ terdapat proses jual beli terlama dan terbesar di daerah Kudus. Daerah ini dijuluki dengan Kota Kretek.

Tradisi ini biasanya diadakan untuk menyambut bulan Ramadan. Lokasi berlangsungnya di area antara Menara Kudus sampai ke simpang 7 Kudus.

Dikisahkan di era Sunan Kudus, pemukulan bedug di atas Menara Kudus menjadi tanda dimulainya tradisi Dandangan.

Tradisi Dandangan ada untuk memperkuat eksistensi salah satu anggota Wali Songo ini.

Wafatnya Sunan Kudus

Tercatat, Sunan Kudus wafat pada sekitar tahun 1550 dan dikisahkan meninggal dalam keadaan bersujud ketika salat subuh. Beliau kemudian dimakamkan di belakang Masjid al-Aqsha (Menara Kudus).

Di makam Sunan Kudus ini, terdapat ukiran asmaul husna, tepatnya pada pintu makam dan bertuliskan angka tahun 1296 Hijriah atau 1878 Masehi.

Di area yang sama, terdapat makam dari murid-murid beliau, para pangeran, dan kerabat yang lainnya.

Belajar Toleransi dari Sunan Kudus

Dari informasi tentang Sunan Kudus yang Hasana.id rangkum di artikel ini, tentunya kamu telah mendapatkan gambaran mengenai indahnya toleransi.

Mungkin di zaman sekarang, toleransi adalah sebuah kata yang aneh. Diucapkannya itu mudah sekali, tapi untuk melakukannya ternyata susah.

Indonesia adalah negara yang penuh dengan keberagaman. Adanya perbedaan tentunya adalah hal yang biasa.

Namun sayangnya, tak sedikit dari kita yang sepertinya masih belum bisa menerima perbedaan ini dan sedikit memaksakan kehendak.

Apa yang kita yakini, hendaknya juga diyakini oleh orang lain. Padahal hal tersebut tidak bisa diterapkan karena setiap orang memiliki keyakinan dan cara pandang sendiri.

Untuk itu, demi meraih tatanan bermasyarakat yang rukun dan damai, diperlukan rasa toleransi yang tinggi. Saling menghargai antar golongan, ras, dan agama akan menghindarkan konflik antar sesama.

Sunan Kudus dan delapan Wali Songo lainnya memiliki semangat dakwah atau ruh ad-da’wah yang hampir sama seperti Nabi Muhammad saw.

Oleh karena itu, hasil dari dakwah yang disampaikan bisa diterima oleh semua kalangan dengan tenteram dan damai.

Bahkan sampai sekarang, ajarannya masih dikenang dan dilaksanakan. Mereka melakukan dakwah dengan lemah lembut dan mengedepankan toleransi.

Bukan dakwah yang menggebu-gebu yang justru membuat orang lain takut terhadap ajaran Islam itu sendiri.

Dari dakwah Wali Songo untuk menyebarkan Islam, kita dapat belajar bahwa sesungguhnya Islam adalah agama yang damai, bukan agama yang menyeramkan.

Demikianlah informasi mengenai Sunan Kudus yang bisa Hasana.id rangkum. Semoga pembahasan ini bisa menambah wawasanmu mengenai salah satu tokoh Islam yang berjasa dalam menyebarkan Islam di Indonesia, khususnya di tanah Jawa.

Sumber:

https://www.nu.or.id/post/read/93679/toleransi-sunan-kudus-kepada-pemeluk-agama-lain

https://www.nu.or.id/post/read/55544/kearifan-sunan-kudus-bentuk-keberagamaan-indonesia

https://santri.laduni.id/post/read/57084/wisata-ziarah-masjid-al-aqsha-dan-makam-sunan-kudus.html

https://www.nu.or.id/post/read/117801/gus-mus–menara-kudus-simbol-ruh-ad-da-wah-sejati-