Profil Sunan Gunung Jati, dari Masa Kecil hingga Wafatnya

Sunan Gunung Jati adalah anggota Wali Songo yang berperan menyebarkan Islam di daerah Cirebon, Jawa Barat. Nama asli Sunan Gunung Jati ialah Raden Syarif Hidayatullah.

Sunan Gunung Jati lahir dari seorang ibu yang bernama Nyai Rara Santang, putri dari Kerajaan Padjajaran yang merupakan anak dari Prabu Siliwangi.

Sementara ayahnya adalah Syarif Abdullah Udaruddih bin Ali Nurul Alim (salah satu penguasa Mesir).

Ibunda Raden Syarif Hidayatullah diketahui mengubah namanya menjadi Syarifah Mudaim setelah beliau masuk Islam.

Syarif Hidayatullah sendiri datang ke tanah Jawa, tepatnya di Cirebon, pada tahun 1470.

Apabila kamu ingin mengetahui lebih lengkap tentang sosok Sunan Gunung Jati, Hasana.id telah merangkumnya di sini.

Masa Kecil

Dikisahkan bahwa Nyai Rara Santang mendapatkan jodoh ketika dirinya sedang menunaikan rukun Islam kelima di Tanah Suci.

Ketika hendak menikah, kepada sang calon suami, Nyai Rara Santang mengajukan sebuah syarat.

Apabila dikaruniai anak laki-laki, beliau meminta untuk tinggal di tanah leluhurnya, yaitu Sunda untuk menyebarkan agama Islam di sana.

Syarif Abdullah atau Sultan Hud pun menyetujui syarat tersebut.

Dewi Rarasantang pun akhirnya mengandung dan kemudian, lahirlah seorang bayi laki-laki yang diberi nama Syarif Hidayatullah.

Ketika Syarif Hidayatullah menginjak usia ke-12 tahun, sang ayah wafat dan ia kemudian diangkat menjadi pewaris takhta.

Masa kecil Sunan Gunung Jati dihabiskan dengan belajar dan beliau gemar mengunjungi perpustakaan.

Karena hobinya membaca buku, suatu hari beliau menemukan sebuah kitab langka yang membahas mengenai sosok Nabi Muhammad saw.

Setelah membacanya, Syarif Hidayatullah menjadi sangat tertarik kepada kepribadian Rasulullah saw. dan ingin mencontoh sang nabi.

Begitu kagum dan cintanya kepada Rasulullah saw. hingga beliau bahkan ingin berjumpa dengan sang utusan Allah.

Syarif Hidayatullah kemudian mengutarakan keinginan tersebut kepada ibunya.

Sang ibu kemudian menjelaskan bahwa penutup para nabi dan rasul tersebut telah lama wafat dan makamnya terletak di Kota Madinah.

Jadi, tidak mungkin untuknya bisa bertemu dengan sosok manusia paling mulia di muka bumi tersebut.

Berkelana Mencari Rasulullah

Paham akan apa yang terjadi, beliau kemudian bisa meredam keinginannya. Namun, ketika memasuki usia remaja, keinginan untuk dapat bertemu Nabi Muhammad muncul kembali.

Pada usia 15–17 tahun, beliau ingin mengembara mencari Rasulullah saw. dan meminta izin kepada ibunya terkait keinginannya itu.

Kali ini, Syarif Hidayatullah sudah pintar dan bisa berargumen. Beliau meyakini bahwa meskipun Rasulullah saw. telah wafat, Allah akan mengizinkannya bertemu sang nabi.

Dengan terpaksa, ibunya mengizinkan Syarif Hidayatullah untuk mengembara mencari Nabi Muhammad saw.

Setelah memiliki bekal yang cukup, Syarif Hidayatullah kemudian mengembara di Jazirah Arab dari satu tempat ke tempat yang lain.

Namun, Nabi Muhammad saw. tetap tidak bisa ditemukan. Setelah 100 hari pencarian, beliau merasa lelah dan tertidur di bawah sebuah pohon rindang.

Dalam tidurnya, beliau bermimpi bertemu dengan Nabi Khidir, nabi yang mengangkatnya menjadi wali. Beliau kemudian dibawa untuk menemui Rasulullah saw.

Syarif Hidyatullah kemudian diberi nasihat oleh Rasulullah saw. sekaligus diperintahkan untuk menunaikan ibadah haji dan mencari guru agama.

Setelahnya, Syarif Hidyatullah terbangun dan merasa puas karena berhasil bertemu dengan sosok idolanya, Nabi Muhammad saw.

Setelah peristiwa itu, beliau dikisahkan melaksanakan apa yang dinasihatkan oleh Rasulullah saw., yaitu pergi berhaji dan mencari guru untuk belajar agama.

Kedatangan ke Tanah Jawa

Di usianya yang masih sangat belia, Sunan Gunung Jati telah ditinggal sang ayah untuk selama-lamanya sehingga beliau hanya diasuh oleh ibunya.

Sejak muda, Syarif Hidayatullah sudah menaruh minat yang besar terhadap ilmu agama.

Beliau mengenal Islam dari tokoh-tokoh besar yang berada di Makkah dan Baghdad sehingga ilmu yang dimilikinya sangat mumpuni untuk disebarkan kepada masyarakat.

Dikisahkan dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, pada tahun 1475, tibalah Syarif Hidayatullah di Cirebon pada tahun 1475.

Sebelum itu, beliau singgah di Samudera Pasai, Banten, dan Jawa Timur. Pada saat itu, Pulau Jawa masih didominasi oleh masyarakat yang beragama Hindu dan Buddha.

Beliau tak datang sendiri. Bersamanya, terdapat pula para pedagang dari tanah Arab. Pelabuhan Muara Jati menjadi tempat persinggahan sebelum menuju Desa Pasambangan.

Di tempat tersebut, Sunan Gunung Jati mulai mengajarkan agama Islam.

Walaupun saat itu masih dianggap sebagai orang asing, beliau bisa dengan cepat diterima oleh masyarakat.

Selang beberapa tahun kemudian, beliau berhasil mengislamkan para penduduk yang tadinya mayoritas beragama Hindu dan Buddha.

Memperkuat Kedudukan

Kedudukan Sunan Gunung Jati dalam menyebarkan agama Islam makin kuat setelah beliau menikahi gadis-gadis lokal, meskipun salah satunya adalah keturunan Kerajaan Cina.

Istri-istri Sunan Gunung Jati tersebut adalah Nyai Pakungwati, Nyai Babadan, Nyai Kawung Anten, Syarifah Baghdadi, Ong Tien Nio, dan Nyai Tepasari.

Setelah beberapa waktu lamanya bergaul dengan masyarakat setempat, beliau mendapatkan sebuah julukan.

Nama lain Sunan Gunung Jati yang diberikan tersebut adalah Syekh Maulana Jati.

Pada tahun 1479, sepulangnya Sunan Jati berdakwah di daerah Banten, Pangeran Cakrabuana menyerahkan takhta kekuasaan Cirebon kepada beliau.

Beliau mendapatkan gelar Termenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Hidayatullah.

Ketika jabatan sebagai penguasa Cirebon telah digenggamnya, Syarif Hidayatullah membuat sebuah keputusan besar, yaitu memisahkan diri dari Kerajaan Sunda.

Beliau menolak memberikan kewajiban upeti atau pajak berupa garam dan terasi kepada Sri Baduga Maharaja.

Mengetahui hal tersebut, Raja Sunda itu pun marah besar. Ia lalu mengirim seorang utusan bernama yang diiringi bala tentara menuju Cirebon.

Sesampainya di Cirebon, Tumenggung Jagabaya beserta pasukannya justru belajar kepada Syarif Hidayatullah dan masuk Islam.

Mereka kemudian memutuskan untuk tinggal seterusnya di Cirebon dan mengabdi diri kepada Syarif Hidayatullah.

Sri Baduga Maharaja yang menganggap hal tersebut sebagai pengkhianatan berencana untuk menyerang Cirebon secara habis-habisan.

Namun, hal tersebut berhasil dicegah oleh Syarif Hidayatullah. Beliau pun berulang kali meminta Raja Sunda tersebut untuk masuk Islam, tetapi selalu gagal.

Terhitung semenjak berhenti memberi upeti, Cirebon pun berhasil menjadi kerajaan Islam yang merdeka dan memiliki otonomi.

Tanggal 12 Sukla Cetramasa 1404 Saka atau 1482 Masehi.tercatat sebagai tanggal berdirinya Kesultanan Cirebon.

Berperan Penting dalam Perluasan Kekuasaan Politik dan Agama Islam

Sebagai kepala negara sekaligus wali atau kepala agama, Syarif Hidayatullah memiliki peran penting dalam perluasan kekuasaan plitik sekaligus agama Islam di wilayah Cirebon.

Salah satu cara dakwah yang menjadi prioritas beliau adalah pembangunan fasilitas untuk masyakarakat beribadah di wilayah yang berada di bawah kekuasaannya.

Beliaulah yang memelopori pembangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa pada tahun 1489 sebagai tempat untuk memusatkan seluruh aktivitas dakwah.

Masjid tersebut terletak di samping kiri keraton, sebelah barat alun-alun. Dalam Babad Cirebon disebutkan bahwa pembangunan masjid tersebut melibatkan Raden Sepat.

Raden Sepat adalah mantan arsitek Majapahit. Ia juga dibantu oleh dua anggota Wali Songo yang lain, yaitu Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga.

Prioritas Dakwah dan Pembangunan Syarif Hidayatullah

Pada permulaan masa pemerintahannya, pembangunan berbagai sarana dan prasarana kerajaan dilakukan dengan gencar.

Sarana transportasi yang menunjang fungsi pelabuhan dan sungai disediakan, area jalan pun diperluas di beberapa tempat.

Tujuannya adalah untuk mempermudah akses penyebaran agama Islam.

Salah satu kearifan dari Syarif Hidayatullah bisa dilihat dari pemberlakuan pajak, yang jumlah, jenis, dan besarnya disederhanakan sehingga tidak membebani rakyat.

Pajak tersebut juga digunakan sebagaimana mestinya.

Beliau memprioritaskan pengembangan Islam dengan mendirikan banyak masjid di Cirebon. Setelahnya, beliau melanjutkan dengan pembangunan spiritual masyarakat.

Seiring waktu, diperkenalkannya berbagai ajaran Sunan Gunung Jati oleh para murid beliau membuat wilayah kekuasaan Cirebon pun kian luas.

Tak hanya Cirebon, kegiatan dakwah Syarif Hidayatullah juga sampai ke daerah luar, yaitu mencakup daerah Sumedanglarang, Batulayang, hingga ke Garut.

Dalam berdakwah, beliau menggunakan pendekatan sosial budaya.

Beliau juga memanfaatkan pengetahuan masyarakat yang berkaitan dengan legenda serta mitos yang telah sekian lama mereka yakini kebenarannya.

Dalam menyampaikan dakwahnya pun, beliau melakukannya dengan lembut sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw.

Dengan begitu, masyarakat dengan tangan dan hati terbuka menerima ajaran yang beliah sampaikan.

Terkait cara dakwah yang hendaknya dilakukan dengan lembut dan penuh sopan santun ini, Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an, tepatnya surah Ali Imran ayat 159.

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ

Fa bimā raḥmatim minallāhi linta lahum, walau kunta faẓẓan galīẓal-qalbi lanfaḍḍụ min ḥaulika.

Artinya:

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.”

Wafatnya Sunan Gunung Jati

Semasa hidupnya, Sunan Gunung Jati memiliki 12 putra dan putri. Anak-anak Sunan Gunung Jati dikisahkan menjadi penguasa di Cirebon dan di luar wilayah tersebut.

Mereka juga turut menyebarkan Islam sehingga daratan Sunda kemudian menjadi Negeri Islam.

Saat-saat terakhir menjelang kepergiannya, Sunan Gunung Jati banyak menghabiskan waktunya di.

Fatahillah, menantu sang sunan, ditunjuk untuk menjalankan roda pemerintahan karena semua anak Sunan Gunung Jati yang dinobatkan sebagai pengganti telah wafat terlebih dulu.

Tepat di usianya yang ke-120 tahun, yaitu pada tahun 1568 Masehi, Sunan Gunung Jati meninggal dunia.

Beliau mengembuskan napas terakhirnya di Gunung Sembung dan dimakamkan di Astana Gunung Sembung.

Tempat di mana beliau meninggal sangatlah sederhana. Menurut cerita, beliau wafat dengan berbantal batu dan beralaskan tikar yang terbuat dari daun rundamala.

Tercatat, Syarif Hidyatullah menduduki jabatan Kepala Pemerintahan Cirebon selama kurang lebih 89 tahun dan berhasil mengislamkan hampir seluruh wilayah kekuasannya.

Wasiat Sunan Gunung Jati

Sebelum wafat, Sunan Gunung Jati sempat meninggalkan wasiat. Beberapa wasiat tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.

Tajug dan Fakir Miskin

Ketika berziarah ke makam Sunan Gunung Jati, di sana kamu akan menemukan sebuah kalimat yang berbunyi: “Insun titip tajug lan fakir miskin”.

Pesan tersebut tertulis di dinding serambi Masjid Agung Gunung Jati di Kota Cirebon.

Kalimat yang sudah sangat familiar khususnya di kalangan masyarakat Cirebon ini diyakini merupakan wasiat terakhir dari Syarif Hidayatullah tak lama sebelum beliau wafat.

Secara harfiah, kalimat tersebut memiliki arti, “Saya titip tajug dan fakir miskini”.

Bagi kamu yang belum mengerti, tajug adalah semacam mushala atau langgar yang digunakan untuk melaksanakan shalat maupun mengaji.

Lewat wasiat ini, Syarif Hidayatullah berpesan kepada umat Islam secara umum agar sepeninggal beliau, tajug dan fakir miskin senantiasa dirawat, dijaga, dan diperhatikan.

Dengan kata lain, jangan sampai keduanya ditelantarkan begitu saja.

Menurut seorang kiai dari Cirebon, yaitu K.H. Jamhari, tajug yang dimaksud oleh Sunan Gunung Jati dalam wasiatnya bisa memiliki batasan arti yang lebih luas.

Jadi, bukan hanya sebatas mushala atau langgar, melainkan juga mencakup pondok pesantren, madrasah diniah, dan majelis ta’lim lainnya.

Begitu juga dengan maksud dari fakir miskin yang bukan hanya berarti para mengemis yang meminta-minta.

Fakir miskin yang dimaksud dalam hal ini diutamakan para santri atau pelajar yang membutuhkan bantuan agar studinya dapat berjalan lancar.

Dengan adanya wasiat ini, masyarakat sekitar pesantren memperlakukan para santri dengan begitu baik.

Tak sedikit dari masyarakat yang bersedekah dan membayarkan zakat fitrahnya untuk para santri di bulan Ramadhan.

Perihal Kaya dan Miskin

Kata-kata peninggalan Sunan Gunung Jati lainnya yang menjadi wasiat adalah “Sugih bli rerawat, mlarat bli gegulat”.

Arti kalimat tersebut adalah “menjadi kaya bukan untuk pribadi, menjadi miskin bukan untuk menjadi beban bagi orang lain.”

Wasiat ini bisa dimaknai bahwa apabila seseorang memiliki kondisi ekonomi yang baik atau rezekinya melimpah, ia harus menyadari bahwa sejatinya harta itu bukanlah miliknya pribadi.

Ada hak orang lain yang membutuhkan di dalam sebagian harta yang dimilikinya.

Dalam artian, ia wajib menyedekahkan sebagian hartanya kepada mereka yang membutuhkan untuk membantunya memperoleh kehidupan yang lebih baik.

Begitu pula dengan kemiskinan.

Sejatinya, kemiskinan bukanlah beban bagi orang lain karena sudah menjadi kewajiban bagi mereka yang mampu untuk datang mengulurkan tangan.

Namun, hal tersebut bukan berarti orang yang membutuhkan akan bergantung selamanya pada bantuan orang lain.

Mereka nantinya juga dituntut untuk bisa mengembangkan kehidupan yang lebih mandiri dalam berbagai aspek.

Makam Sunan Gunung Jati

Keberadaan makam Sunan Gunung Jati turut membuat Cirebon menjadi kota yang cukup populer.

Peristirahatan terakhir Syarif Hidayatullah dan keluarga beliau itu kemudian disebut dengan nama Wukir Sapta Rengga.

Bangunan Makam Terdiri dari 9 Tingkat

Di makam yang terdiri dari sembilan tingkat tersebut, kamu akan menemukan makam Sunan Gunung Jati di tingkat yang paling tinggi, yaitu tingkat kesembilan.

Sementara itu, makam para anggota keluarga dan keturunan beliau, baik dari Keraton Kanoman maupun Keraton Kasepuhan., menempati tingkat-tingkat di bawahnya.

Di makam tersebut juga terdapat pasir malela dari Makkah, yang diambil langsung oleh Pangeran Cakrabuana, putra Maharaja Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjadjaran.

Dibutuhkan perjuangan yang cukup berat untuk mengambil pasir tersebut.

Itulah sebabnya, jika berkunjung ke sana, kamu akan diminta untuk membersihkan kaki sebelum keluar dari kompleks makam.

Tujuannya agar pasir tersebut tidak terbawa keluar kompleks, meskipun hanya sedikit.

Peraturan ini wajib diikuti karena Pangeran Cakrabuana sendirilah yang memerintahkan hal tersebut.

Gaya Arsitektur Makam

Bangunan makam Sunan Gunung Jati memiliki gaya artistektur yang cukup unik, yaitu perpaduan dari gaya arsitektur Jawa, Cina, dan Arab.

Arsitektur Jawa terlihat pada atap bangunannya yang berbentuk limasan.

Adapun arsitektur Cina dapat dijumpai pada desain interior dinding makam yang penuh dengan hiasan keramik dan poselen.

Selain itu, hiasan-hiasan tersebut juga bisa kamu saksikan di sepanjang jalan makam.

Konon, semua barang tersebut dibawa oleh salah satu istri Syarif Hidayatullah, Ong Tien Nio atau Nyi Mas Ratu Rara Sumandeng, dari Cina sekitar abad ke-13 Masehi.

Arsitektur Timur Tengah dapat dilihat pada hiasan kaligrafi yang terukir pada dinding dan bangunan makam.

Keunikan lain yang bisa kamu jumpai di sana adalah adanya sembilan pintu makam yang disusun bertingkat dan tiap pintu memiliki nama yang berbeda-beda.

Kompleks pemakaman ini dilengkapi dengan dua ruangan yang disebut dengan Balaimangu Majapahit dan Balaimangu Padjadjaran.

Balaimangu Majapahit merupakan bangunan yang dibuat oleh Kerajaan Majapahit sebagai hadiah pernikahan antara Sunan Gunung Jati dan .

bangunan yang dibuat oleh Kerajaan Majapahit untuk dihadiahkan kepada Sunan Gunung Jati ketika menikahi Nyi Mas Tepasari.

Beliau kembali menerima hadiah sewaktu beliau dinobatkan sebagai Sultan Kesultanan Pakungwati.

Kali ini, hadiah diberikan oleh Prabu Siliwangi berupa bangunan Balaimangu Padjadjaran.

Demikianlah informasi terkait Sunan Gunung Jati yang berhasil Hasana.id rangkum. Semoga pembahasan di atas dapat bermanfaat untukmu.

Sumber:

https://www.laduni.id/post/read/70150/hikayat-sunan-gunung-jati-mendakwahkan-islam

https://islam.nu.or.id/post/read/67099/di-antara-wasiat-sunan-gunung-jati

https://www.laduni.id/post/read/957/957