Kisah Sunan Drajat, Teladan Dakwah, dan Ajaran-Ajarannya

Ada sembilan wali yang berjasa menyebarkan agama Islam di Tanah Air, khususnya Pulau Jawa dan sekitarnya. Sunan Drajat adalah salah seorang dari kesembilan pendakwah tersebut. Ajaran-ajaran beliau patut diingat kembali, sebagai bekal agar diri kita lebih dekat kepada Allah.

Silsilah Keluarga Sunan Drajat

Sunan Drajat lahir pada tahun 1470 Masehi di daerah Ampeldenta, Surabaya. Beliau memiliki nama asli Raden Qosim, tetapi juga sering dipanggil dengan nama Raden Syarifuddin atau Raden Kasim. Baru ketika dewasa beliau mendapatkan gelar sunan.

Soekandar dalam Raden Qosim Sunan Drajat Amanah dan Sejarahnya menyebutkan kelahiran beliau pada tahun 1445 Masehi atau bertepatan dengan tahun 858 Hijriah. Tempat lahirnya sama, yakni di Ampeldenta.

Beliau lahir dari pasangan Raden Rahmat dan Nyai Ageng Manila. Pasangan ini dikaruniai lima orang anak, yaitu Nyai Taluki, Nyai Fatimah, Nyai Wilis, Raden Makdum Ibrahim, dan yang terakhir adalah Raden Syarifuddin. Raden Makdum Ibrahim sendiri juga menjadi seorang wali, yaitu Sunan Bonang.

Raden Rahmat merupakan anak dari Maulana Malik Ibrahim yang bernama asli Sayyid Ali Rahmatullah, nantinya dikenal sebagai Sunan Ampel. Sedangkan Nyai Ageng Manila adalah putri Arya Teja, seorang Bupati Tuban pada zaman Majapahit.

Maulana Malik Ibrahim berasal dari Negeri Samarkhand. Beliau mendapatkan tugas berdakwah ke Negeri Champa atas perintah ayahnya, Syekh Jamaludin Al-Akbar Al-Husaini, atau yang lebih dikenal dengan Syekh Jumadil Kubro.

Nama yang disebut terakhir ini disebut-sebut adalah bapak para wali sekaligus perintis ajaran Islam di Nusantara. Pasalnya darah beliau menurunkan sejumlah Wali Songo hingga beberapa generasi.

Apabila dirunut ke belakang, Syekh Jumadil Kubro memiliki garis keturunan Rasulullah dari cucu beliau, Sayyidina Husain.

Biografi Singkat Sunan Drajat

Berdasarkan banyak catatan, ada banyak nama lain Sunan Drajat. Selain yang telah disebutkan di atas, Sunan Drajat juga dikenal dengan nama Sunan Mahmud, Sunan Muryapada, Sunan Mayang Madu, Maulana Hasyim, Raden Imam, Syekh Masakih, dan sebagainya.

Raden Qosim sejak kecil hidup di lingkungan kondusif, kehidupan harmonis antara Islam dan budaya Jawa. Beliau mendapatkan bimbingan ilmu agama dari ayahnya sendiri, juga pendidikan ala bangsawan Jawa. Tak heran jika beliau nantinya melahirkan karya dan ajaran-ajaran yang kental dengan nuansa Jawa.

Berguru ke Sunan Gunung Jati

Sewaktu cukup usianya, Raden Qosim diutus sang ayah untuk menuntut ilmu ke Cirebon, yaitu kepada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati dulunya adalah murid Sunan Ampel sendiri. Beliau adalah pelopor Kesultanan Cirebon melalui bantuan Raden Patah.

Di Cirebon, Raden Qosim kerap dipanggil dengan nama Pangeran Drajat atau Masaikh Munat. Beliau berguru dan membantu dakwah Sunan Gunung Jati.

Sunan Gunung Jati pun menikahkannya dengan putrinya sendiri, yaitu Dewi Sufiyah. Sosok perempuan ini disebut-sebut sebagai istri pertama Sunan Drajat.

Pernikahan tersebut memberikan keturunan Sunan Drajat sebanyak tiga orang anak. Di antaranya Pangeran Rekyana atau Pangeran Trenggana, Pangeran Sendi atau Sandi, dan Dewi Wuryan yang paling bungsu.

Selain Dewi Sufiyah, dikisahkan bahwa Sunan Drajat juga menikah dengan dua orang lagi, yaitu Nyai Kemuning dan Retnayu Condrosekar dari Kediri. Kedua-duanya merupakan putri dari tokoh masyarakat di daerah masing-masing.

Nyai Kemuning adalah putri Ki Mayang Madu. Beliau disebut pula sebagai Mbah Kinanthi, seorang maestro pengarang tembang macapat Jawa, kinanti. Sedangkan Retnayu Condrosekar adalah putri Adipati Kediri Arya Suryadilaga atau Arya Wiranatapada.

Mulai Berdakwah di Lamongan

Beliau kembali ke Ampeldento selepas berguru di Cirebon. Kemudian sang ayah mengutus Sunan Drajat berdakwah di pesisir utara Jawa Timur, tepatnya di Desa Jelag, Lamongan. Konon, kepergian beliau ke Desa Jelag adalah atas permintaan tetua desa tersebut, yaitu Mbah Mayang Madu kepada Sunan Ampel.

Ada versi berbeda tentang keberangkatan Sunan Drajat dari Ampeldenta ke Lamongan untuk menjalankan dakwah pertamanya. Versi tersebut dituturkan secara lisan oleh masyarakat setempat, seperti dikutip dari Atlas Wali Songo karya KH. Agus Sunyoto.

Diceritakan bahwa Raden Qosim melakukan perjalanan dari Surabaya dengan berlayar. Namun, kapal yang ditumpanginya karam akibat terpaan gelombang besar. Kemudian beliau mendapatkan pertolongan ikan cucut dan ikan talang untuk mendarat di daerah yang disebut Jelag.

Jelag berarti sebuah lahan menggunduk lebih tinggi daripada tanah di sekitarnya. Desa Jelag ini terletak di daerah Paciran, Lamongan. Di situlah kemudian beliau diterima oleh Ki Mayang Madu dan Mbah Banjar. Raden Qosim pun menetap di sana, hingga menikah dengan putri Ki Mayang Madu.

Mendiami Daerah Drajat

Babad Demak juga menyebutkan bahwa Raden Qosim berperan sebagai imam pelindung daerah Lawang dan Sedayu setelah pernikahannya dengan Dewi Sufiyah. Kemudian, beliau pergi ke Ujung Pangkah untuk menjalankan lelaku tirakat, tidak makan dan tidur selama tiga bulan.

Setelah itu, barulah beliau mendapat gelar Sunan Drajat, karena daerah perlindungannya merupakan bagian dari Pedukuhan Drajat. Pada masa awal Kesultanan Demak, Raden Qosim dibantu kakaknya meminta izin kepada Raden Patah meminta otonomi atas daerah tersebut.

Raden Patah pun mengabulkan permintaan kedua orang wali dengan menjadikan daerah tersebut sebagai tanah perdikan. Tanah perdikan merupakan wilayah otonomi khusus yang diberikan kepada orang kepercayaan sultan, tanpa dibebani kewajiban membayar pajak dan upeti kepada istana.

Desa Drajat menjadi persinggahan terakhir Raden Qosim. Di sana, beliau mendirikan pusat pendidikan, mengelola pemerintahan, sekaligus perekonomian.

Tempat tinggal awalnya di kawasan sebelah utara, lalu berpindah ke selatan, yaitu Dalem Duwur. Diperkirakan, Sunan Drajat wafat pada tahun 1522 Masehi.

Metode Dakwah Sunan Drajat

Dakwah bil hikmah adalah salah satu ciri khas Wali Songo ketika menyebarkan Islam di Pulau Jawa. Sunan Drajat pun demikian, menerapkan metode syiar yang halus demi menghindari terjadinya pertumpahan darah.

ٱدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ ۖ وَجَٰدِلْهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ

Ud’u ilā sabīli rabbika bil-ḥikmati wal-mau’iẓatil-ḥasanati wa jādil-hum billatī hiya aḥsan, inna rabbaka huwa a’lamu biman ḍalla ‘an sabīlihī wa huwa a’lamu bil-muhtadīn

Artinya:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl: 125)

Kali pertama tiba di Desa Jelag, beliau mendirikan langgar yang kemudian dijadikan sebagai pusat pengkajian ilmu-ilmu agama. Pada akhirnya langgar ini berkembang menjadi pondok pesantren setelah Sunan Drajat menerima begitu banyak murid.

Pendekatan secara Personal

Sunan Drajat memiliki perhatian lebih terhadap kehidupan masyarakat, terutama daerah di dekat tempat dia tinggal. Beliau melakukan pendekatan-pendekatan personal, memberikan pedoman-pedoman yang mudah dipahami, dan menerapkan metode akulturasi dalam berdakwah.

Diceritakan bahwa Raden Qosim gemar berkeliling untuk mencari tahu kondisi kehidupan masyarakatnya. Beliau dikenal arif dan bijaksana, sehingga menjadi rujukan bagi masyarakat sekitar untuk mencari solusi atas masalah-masalah yang dihadapi.

Raden Qosim sejak kecil juga akrab dengan khasanah-khasanah lokal Jawa yang hadir dalam bentuk wawasan seni, sastra, falsafah, dan sebagainya. Seperti halnya sang kakak, beliau juga memiliki ketertarikan khusus pada kesenian Jawa, seperti wayang, tembang, dan gamelan.

Dengan Kesenian

Beliau menyukai pertunjukan wayang, kerap kali mendalang untuk menggunakannya sebagai media dakwah. Menurut banyak catatan, Sunan Drajat juga banyak menggubah tembang macapat pangkur, serta membuat gamelan Singo Mengkok yang saat ini masih tersimpan di Museum Dalem Dhuwur.

Beberapa ajaran beliau tuangkan lewat karya tulisan. Salah satu karyanya yang paling populer adalah Layang Ambiya. Kitab tersebut berisi kisah-kisah 25 nabi dan rasul yang tentu harus kita percayai. Selain itu, intisari pemikiran dan ajaran beliau masih lestari hingga kini dalam bentuk piwulang dan pitutur.

Keteladanan Sunan Bonang

Tapi, terlepas dari semua itu, pribadi beliau sudah merupakan contoh yang baik bagi masyarakat. Di antara para wali lainnya, beliau dikenal menonjol dalam hal kemanusiaan dan sosial kemasyarakatan. Banyak ajaran muncul bukan dalam bentuk lisan atau tulisan, tetapi aksi nyata yang menjadi suri teladan.

Gemar Menyantuni Orang Miskin

Kisah Sunan Drajat yang paling sering diceritakan adalah kebiasaan beliau membantu fakir miskin di area dakwahnya. Menurut Hidayat Iksan (2013) beliau gemar berkeliling desa sambil berdzikir dan menjumpai masyarakat. Apabila telah tiba waktu salat, beliau mengingatkan mereka semua.

Dalam perjalanan kelilingnya itu, tak jarang beliau menjumpai warga yang berkeluh kesah karena kelaparan. Melihat kondisi semacam ini, Sunan Drajat akan segera mencari makanan dan meletakkannya di depan pintu rumah orang tersebut tanpa sepengetahuannya.

إِن تُبْدُوا۟ ٱلصَّدَقَٰتِ فَنِعِمَّا هِىَ ۖ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا ٱلْفُقَرَآءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَيُكَفِّرُ عَنكُم مِّن سَيِّـَٔاتِكُمْ ۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

In tubduṣ-ṣadaqāti fa ni’immā hiy, wa in tukhfụhā wa tu`tụhal-fuqarā`a fa huwa khairul lakum, wa yukaffiru ‘angkum min sayyi`ātikum, wallāhu bimā ta’malụna khabīr

Artinya:

“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Pada kesempatan yang lain, kala berkeliling beliau menemukan orang sakit atau mereka yang diganggu oleh makhluk halus. Sunan Drajat yang dikenal memiliki karomah tinggi, memberikan perantara obat ramuan tradisional dengan doa-doa dan membantu warga setempat mengatasi gangguan tersebut.

Teladan Kepemimpinan

Sejak awal tiba di Desa Jelag, Raden Qosim langsung mendirikan langgar sebagai pusat kajian, khususnya yang berhubungan dengan ilmu agama. Tidak berhenti di situ, beliau juga mengajarkan keahlian-keahlian dalam bidang-bidang ekonomi.

Pertanian, peternakan, dan perikanan nelayan menjadi tulang punggung ekonomi Desa Drajat. Sunan Drajat membantu warganya untuk mengembangkan kemampuan agar mampu hidup mandiri. Tak cuma lewat persuasif, beliau mencontohkan dengan etos kerja keras yang dimilikinya.

Sebagai pemimpin administratif wilayah perdikan, Sunan Drajat pun tak sembarangan menata daerahnya. Beliau menentukan pusat-pusat aktivitas, baik aktivitas pemerintahan, pendidikan, maupun ekonomi, sebagai salah satu cara untuk mengelola wilayahnya.

Beliau memimpin dengan arif dan bijaksana, mengutamakan rasa saling memiliki dan persaudaraan antara setiap anggota masyarakat. Sunan Drajat sendiri telah memberi contoh bagaimana seorang pemimpin harus bersikap, jika memang tujuannya adalah meraih kemakmuran masyarakat.

وَجَعَلْنَٰهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَآ إِلَيْهِمْ فِعْلَ ٱلْخَيْرَٰتِ وَإِقَامَ ٱلصَّلَوٰةِ وَإِيتَآءَ ٱلزَّكَوٰةِ ۖ وَكَانُوا۟ لَنَا عَٰبِدِينَ

Wa ja’alnāhum a`immatay yahdụna bi`amrinā wa auḥainā ilaihim fi’lal-khairāti wa iqāmaṣ-ṣalāti wa ītā`az-zakāh, wa kānụ lanā ‘ābidīn

Artinya:

“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah.” (Al-Anbiya: 73)

Dua uraian di atas menggambarkan bagaimana Sunan Drajat memiliki teladan kepemimpinan. Beliau bukan hanya berilmu tinggi, tetapi juga berwawasan luas, bijaksana, serta tidak segan untuk terjun sendiri ke tengah-tengah komunitasnya.

Ajaran-Ajaran Sunan Drajat

Setelah mengetahui latar belakang pribadi dan perjalanan hidupnya, akan makin lengkap jika mencermati juga ajaran-ajaran Sunan Drajat. Sosok wali yang satu ini melahirkan sejumlah falsafah kehidupan yang masih relevan diterapkan pada zaman modern seperti sekarang ini.

Di antara ajaran yang tercantum dalam kitab-kitab karya beliau, sebagian dapat ditemukan tertulis di area makam beliau sebagai elemen dekoratif sekaligus pengingat bagi para peziarah. Kali ini, Hasana.id akan merangkum dua gagasan dan pemikiran beliau yang paling sering didengungkan.

Pepali Pitu

Pepali pitu merupakan tujuh ajaran dasar dalam kehidupan. Ajaran Sunan Drajat kali ini tidak hanya ditujukan dalam kehidupan sosial, tetapi juga untuk diri pribadi yang mencakup ranah spiritual. Berikut tujuh kalimat dalam pepali pitu beserta penjelasan singkatnya.

Memangun resep tyasing sasama

Maknanya adalah, agar kita senantiasa menyenangkan hati orang lain.

Jroning suka kudu eling lan waspada

Ketika sedang memperoleh kesenangan, hendaknya selalu bersikap sewajarnya atau tidak berlebihan. Kita harus senantiasa mengingat bahwa Tuhan-lah yang memberikan kesenangan itu, juga waspada bahwa Dia bisa mengambilnya kapan saja.

Laksitaning subrata tan nyipta marang pringga bayaning lampah

Orang yang memiliki cita-cita luhur, hendaknya tetap istiqomah untuk mewujudkannya. Halangan, rintangan, dan cobaan pasti akan muncul, tetapi sebaiknya jangan dihiraukan. Jika cita-cita tersebut bertujuan untuk kebaikan, niscaya Tuhan akan memberikan pertolongan.

Meper Hardaning Pancadriya

Kalimat ini bermakna bahwa setiap orang hendaknya selalu berusaha untuk menahan diri dari godaan hawa nafsu panca indera (pancadriya).

Heneng-hening-henung

Ketenangan, keheningan, dan kemuliaan. Artinya, dalam menghadapi segala sesuatu, seseorang hendaknya tenang, sabar, dan tawakal, dengan itu ia akan memperoleh keheningan, kejernihan, dan kemurnian, demi mencapai kebebasan, jalan keluar, atau kemuliaan.

Mulya guna Panca Waktu

Salah satu jalan untuk memperoleh kemuliaan lahir batin adalah dengan mengerjakan salat lima waktu.

Catur piwulang

Berisi empat ajaran Sunan Drajat tentang prinsip-prinsip kemanusiaan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Ini akan dibahas pada poin tersendiri.

Catur Piwulang

Catur artinya empat, sedang piwulang artinya ajaran. Empat kalimat berbahasa Jawa ini berisi pemikiran Sunan Drajat tentang bagaimana seharusnya setiap manusia bersikap dan menjadi bermanfaat secara luas dalam hubungan bermasyarakat. Berikut bunyi catur piwulang Sunan Drajat dan penjelasannya.

Wenehono teken marang wong kang wuto

Secara harfiah berarti, “Berilah tongkat pada orang yang buta.” Kata kunci dari kalimat ini adalah teken (tongkat) dan wuto (buta). Buta dapat dimaknai sebagai ketidaktahuan, sedang tongkat adalah ilmu dan pemahaman.

Ajaran pertama dalam catur piwulang ini mengandung arti bahwa setiap manusia sebaiknya ringan dalam membagikan ilmu kepada sesama, terutama mereka yang tidak mengerti apa-apa. Pasalnya ilmu menjadi modal utama bagi setiap orang untuk dapat mengerti dan menjalani kehidupan.

Wenehono pangan marang wong kang kaliren

Artinya, “Berilah makanan pada orang yang kelaparan.” Pangan di sini bisa berarti harta kekayaan atau makanan secara harfiah. Sedangkan kaliren bisa dimaknai secara eksplisit atau sebuah kondisi seseorang yang serba kekurangan dari segi ekonomi.

Sunan Drajat berpendapat bahwa sesama manusia sebaiknya saling membantu. Siapa saja yang punya kelebihan harta membantu orang yang butuh, termasuk fakir miskin. Dalam skala luas juga bisa berarti pemimpin harus selalu berusaha menyejahterakan rakyat agar terhindar dari kemiskinan.

Wenehono sandang marang wong kang wudo

“Berilah pakaian pada orang yang telanjang.” Pakaian berfungsi untuk menutup aurat yang akan menjaga martabat seseorang. Telanjang dalam kalimat ini juga bisa berarti seseorang yang tidak punya malu atau memiliki aib yang terbongkar.

Kalimat ini mengajarkan bahwa setiap manusia hendaknya bisa menjaga martabat orang lain, seburuk apa pun perangai orang tersebut. Bisa juga bermakna pemahaman budi pekerti sebagai contoh bagi orang-orang yang sudah kehilangan rasa malu.

Wenehono payung mereng wong kang kawudanan

Catur piwulang terakhir, “Berilah payung pada orang yang kehujanan.” Sunan Drajat mengajak kita agar selalu menumbuhkan empati dan kepedulian sosial. Payung adalah simbol perlindungan, sedang hujan menandakan sebuah musibah atau kondisi buruk yang menimpa seseorang.

Ini sejalan dengan pengertian Islam secara bahasa yang berarti selamat atau menyelamatkan. Islam sendiri merupakan jalan menuju keselamatan. Setiap pemeluknya dianjurkan untuk saling menyelamatkan satu sama lain, demi terciptanya harmonisasi dalam kehidupan.

وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَٰلَمِينَ

Wa mā arsalnāka illā raḥmatal lil-‘ālamīn

Artinya:

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Al-Anbiya: 107)

Itulah ajaran-ajaran Sunan Drajat yang seyogyanya dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Uraian tersebut juga mengakhiri pembahasan Hasana.id kali ini. Semoga info singkat tentang kisah, dakwah, keteladanan, dan ajaran Sunan Drajat tadi dapat bermanfaat bagi kamu sekalian.

Referensi:

Click to access 172308-ID-humanisme-religious-sunan-drajat-sebagai.pdf

http://kuliahkaryawan.i-tech.ac.id/id3/3053-2939/Drajat_35254_kuliahkaryawan-i-tech.html

Click to access buku%20siswa%20islam.pdf

https://docplayer.info/164888539-Nilai-nilai-tasawuf-ajaran-sunan-drajat.html

Click to access Bab%203.pdf

Click to access ATLAS-WALISONGO.pdf

https://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/islam/gapai/Drajat.html#:~:text=Sunan%20Drajat%20kerap%20berdakwah%20lewat,tidak%20bertentangan%20dengan%20ajaran%20Islam.

LSI:
ajaran sunan drajat
nama lain Sunan Drajat
Sunan Drajat wafat pada tahun
Sunan Drajat lahir pada tahun
Sunan Drajat berdakwah di