Mengenal Sunan Bonang Lewat Kisah, Ajaran, dan Peninggalannya

Sunan Bonang, adakah di antara kamu yang baru pertama kali mendengar nama beliau? Jika ada, kamu berada di laman yang tepat.

Mengapa? Karena Hasana.id akan menyajikan kisah tentang salah satu ulama besar tersebut dalam uraian berikut ini.

Biografi Sunan Bonang

Siapakah Sunan Bonang? Beliau adalah seorang pendakwah Islam di Tanah Jawa, terutama bagian tengah dan timur.

Beliau juga termasuk salah satu di antara jajaran sembilan ulama penyebar ajaran Islam di Indonesia, Wali Songo.

Selain dikenal sebagai pendakwah, beliau juga seorang seniman inovator, penulis, dan sastrawan, bahkan ahli ilmu kanuragan.

Beliau memiliki banyak karya peninggalan, baik dalam bentuk ilmu dan gagasan, kitab tertulis, lagu, alat musik, hingga tradisi.

Ada satu karya seni beliau yang paling populer hingga kini, yaitu syair Tombo Ati.

Seperti diketahui, syair tersebut digubah menjadi lagu yang sering dilantunkan dalam kegiatan-kegiatan bertema islami, baik di tingkat pedesaan maupun skala nasional.

Nama Sunan Bonang

Meski masyarakat lebih mengenalnya dengan nama Sunan Bonang, nama asli beliau adalah Raden Makdum Ibrahim.

Sunan Bonang baru satu dari sekian banyak nama alias beliau, sebut saja Ibrahim Asmoro, Ratu Khalifah, Sunan Wadat Hanyokrowati, dan sebagainya.

Nama tersebut merujuk pada peran beliau sebagai Wali Songo.

Bonang adalah nama sebuah desa di antara wilayah Rembang dan Lasem masa kini. Di desa itulah, Kanjeng Sunan akhirnya menetap dan mendirikan pesantren hingga akhir hayatnya.

Sementara itu, “sunan” merupakan sebuah kosakata dalam bahasa Jawa yang berasal dari kata susuhunan yang berarti dihormati.

Kata susuhunan juga ditemukan dalam bahasa Sunda dengan arti yang sama.

Istilah sunan digunakan sebagai gelar bagi seseorang yang mulia dan terhormat, terutama mereka yang berlatar belakang Islam.

Selain para Wali Songo, raja Jawa juga memiliki gelar sunan, seperti di Kesultanan Solo Hadiningrat yang disebut Kasunanan.

Ada pula yang berpendapat bahwa kata sunan berkaitan dengan istilah sunah dalam bahasa Arab.

Berdasarkan pengertian ini, sunan bisa berarti seseorang rajin mengamalkan sunah-sunah Rasulullah saw.

Keluarga Sunan Bonang

Ayah Sunan Bonang adalah Raden Rahmat, sedangkan ibu Sunan Bonang adalah Nyai Ageng Manila.

Pernikahan keduanya menurunkan dua putra dan dua putri, di antaranya Raden Makdum Ibrahim dan Raden Syarifuddin.

Raden Makdum Ibrahim lahir pada sekitar tahun 1465. Ayahnya, Raden Rahmat, bernama asli Sayid Ali Rahmatullah, putra dari Maulana Malik Ibrahim.

Ibunya, Nyai Ageng Manila atau Dewi Condrowati, adalah putri Bupati Tuban, yaitu Arya Teja.

Sayid Ali Rahmatullah adalah pendatang dari Negeri Champa, kini wilayah Vietnam.

Beliau datang ke Pulau Jawa bersama saudara sekandungnya, yaitu Sayid Ali Murtadho atau Raden Santri, guna menyusul ayahnya sudah yang lebih dahulu menetap di Gresik.

Maulana Malik Ibrahim sendiri juga bukan orang asli Champa. Beliau adalah seorang pendatang dari daerah Samarkhand, sekarang bagian dari Negeri Uzbekistan.

Itu sebabnya, beliau memiliki nama julukan Makdum Ibrahim as-Samarqandi atau Ibrahim Semorokondi.

Ibrahim as-Samarqandi dan adiknya mengikuti kepergian sang ayah, Syaikh Jamaludin Akbar al-Husaini.

Beliau melakukan perjalanan dari Samarkhand ke Nusantara, sempat singgah di India, Semenanjung Malaka, lalu Sumatra, sebelum akhirnya sampai ke Jawa.

Kemudian, Syaikh Jamaludin Akbar al-Husaini menugaskan dua anaknya untuk berdakwah di dua lokasi berbeda.

Maulana Malik Ibrahim bertugas di Champa, sedang Maulana Ishaq, adiknya. diutus ke Samudra Pasai di Aceh.

Maulana Malik Ibrahim menetap di Champa hingga berputra dua. Lalu, beliau kembali merantau ke tanah Jawa.

Tak lama berselang, dua putranya menyusul, ikut menetap, dan berketurunan di Pulau Jawa.

Silsilah Sunan Bonang

Syaikh Jamaludin Akbar al-Husaini nantinya memiliki nama sebutan yang lebih populer bagi masyarakat Jawa, yaitu Syeh Jumadil Kubro.

Beliau adalah keturunan Sayidina Husein, putra dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Rasulullah saw. Sosok satu inilah yang dikenal sebagai moyangnya Wali Songo.

Ayah dari Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik, kakek dari Raden Rahmat atau Sunan Ampel, juga kakek buyut Makdum Ibrahim dan Raden Syarifuddin atau Sunan Drajat.

Catatan-catatan di atas menunjukkan silsilah Sunan Bonang yang berasal dari keluarga para wali.

Buku Atlas Walisongo karya K.H. Agus Sunyoto secara lengkap mencantumkan garis keturunan leluhur Sunan Bonang dari jalur ayah, ini daftarnya:

Maulana Makdum Ibrahim bin Ali Rahmatullah bin Ibrahim al-Samarqandi bin Jamaluddin Akbar al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdullah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Amil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al- Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidli bin Ja’far Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Fatimah az-Zahra binti Muhammad saw.

Kisah Hidup Sunan Bonang

Lahir di Tuban, masa muda Makdum Ibrahim justru lebih banyak dihabiskan di Ampeldenta, kini wilayah Surabaya.

Beliau mempelajari berbagai khasanah ilmu di Pesantren Ampeldenta, di bawah bimbingan dan asuhan sang ayah sendiri.

Konon, di sana, Makdum Ibrahim juga belajar ilmu bela diri dari dua orang guru sekaligus, yakni Ki Soleh dan Ki Sonhaji.

Mereka berdua tidak lain adalah santri kesayangan Sunan Ampel. Kedua orang tersebut pun dimakamkan di area sekitar Masjid Sunan Ampel.

Di pesantren ayahnya tersebut, Makdum Ibrahim bersaudara seperguruan dengan tiga tokoh lainnya, yaitu Raden Patah, Raden Husein, dan Raden Paku atau Muhammad Ainul Yakin.

Tiga-tiganya bukanlah orang sembarangan.

Raden Patah adalah anak raja terakhir Majapahit, Dyah Ranawijaya yang bergelar Brawijaya V. Ketika dewasa, beliau menjadi pendiri sekaligus Sultan Demak yang pertama.

Sementara Raden Husein, saudara seibu Raden Patah besar menjadi Adipati Terung dan kemudian Panglima Majapahit.

Sedangkan Muhammad Ainul Yakin, kelak lebih dikenal sebagai Sunan Giri, salah seorang anggota Wali Songo.

Perguruan Makdum Ibrahim berlanjut kala beranjak remaja. Bersama Raden Paku, beliau pernah menjadi murid Maulana Ishaq di Malaka.

Konon, keduanya juga sempat menuntut ilmu kepada Syekh Ismail, putra seorang sufi terkemuka, Syekh Abdul Qodir Jaelani.

Kyai Haji Mustofa Bisri dalam bukunya Tarikhul Auliya menerangkan bahwa Sunan Bonang menikah saat berada di Malaka.

Sementara itu, banyak sumber lain menyebutkan bahwa beliau tidak pernah berumah tangga hingga akhir hidupnya.

Kitab Tarikhul Auliya mencatat nama istri Sunan Bonang, yaitu Dewi Hirah. Dewi Hirah adalah putri dari Sunan Malaka atau Raden Jakender.

Lewat pernikahan itu, Sunan Bonang dikaruniai seorang putri, namanya Dewi Rukhilah.

Sekadar catatan, Sunan Malaka ini juga merupakan mertua dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.

Dewi Rukhilah nantinya dinikahkan dengan Jafar Shadiq yang kelak menjadi Sunan Kudus.

Kiprah Dakwah Sunan Bonang

Ketika beranjak dewasa, Sunan Ampel mengutus Sunan Bonang berdakwah di daerah Kediri.

Berdasarkan Babad Daha, Makdum Ibrahim berangkat dan kemudian memilih tinggal di Desa Singkal. Di situlah beliau mulai menunjukkan kepiawaian dalam berdakwah.

Pada waktu Kesultanan Demak berdiri, beliau diangkat menjadi Imam Besar oleh Raden Patah.

Beliaulah yang merintis pembangunan Masjid Agung Demak bersama para wali lainnya, sekaligus makin menanamkan pengaruh Islam di Tanah Jawa.

Raden Makdum Ibrahim juga sempat mencicipi berdakwah di sejumlah daerah lain, seperti Tuban, Pati, Madura, dan Pulau Bawean.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa di Pulau Bawean inilah beliau wafat. Namun, sampai saat ini, masih belum diketahui informasi yang pasti.

Pasalnya, banyak sumber lain menerangkan bahwa Kanjeng Sunan memutuskan untuk mundur dari posisi imam besar.

Lalu, beliau pergi ke Desa Bonang, sekitar 15 km di timur Rembang. Di situ, beliau kemudian banyak menghasilkan ajaran-ajaran dalam karya sastra.

Sebagian besar karya beliau berbentuk suluk atau syair-syair, tembang Jawa, juga wayang dan gamelan.

Bahkan, salah satu alat musik dalam rangkaian gamelan diabadikan dengan nama bonang karena merupakan kreasi dari sang sunan sendiri.

Beliau menetap di Desa Bonang hingga akhir hayatnya. Tercatat bahwa beliau wafat pada tahun 1525.

Desa Bonang juga menjadi saksi kiprah terakhir dakwah Kanjeng Sunan, di mana beliau mendirikan tempat belajar yang kini disebut Pesantren Watu Layar.

Ajaran-Ajaran Sunan Bonang

Prinsip dakwah Wali Songo pada dasarnya menganut dua falsafah, yakni tut wuri handayani dan tut wuri hangiseni.

Tut wuri berarti mengikuti atau memimpin dari belakang, handayani berarti memberdayakan, dan hangiseni berarti mengisi.

Jadi, para wali berdakwah secara halus dan sebisa mungkin tanpa konfrontasi. Hal ini sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dalam surah An-Nahl ayat 125.

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

Ud’u ilaa sabiili rabbika bialhikmati waalmaw’izhati alhasanati wajaadilhum biallatii hiya ahsanu inna rabbaka huwa a’lamu biman dhalla ‘an sabiilihi wahuwa a’lamu bialmuhtadiina.

Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Wali Songo menyesuaikan diri dengan kondisi masyarakat setempat, sambil dengan tekun dan perlahan menularkan berbagai khasanah tentang kebenaran ajaran Islam dalam kehidupan.

Sunang Bonang sendiri menguasai ilmu tafsir, fikih, tasawuf, bahkan seni dan kanuragan. Tidak mengherankan jika beliau melahirkan begitu banyak ajaran.

Sebagian besar karyanya dituangkan dalam karya suluk berbentuk syair-syair tembang Jawa yang bercorak tasawuf.

Istilah suluk sendiri berhubungan erat dengan kata salaka-yasluku dalam bahasa Arab yang berarti “menempuh perjalanan” atau “berjalan”.

Pada umumnya, sastra suluk memuat petuah dan petunjuk tentang cara berjalan kembali menuju Allah Ta’ala.

Ada sejumlah ulama besar yang juga berpengaruh besar terhadap khasanah keilmuan beliau. Sunan Bonang.

Selain ajaran dari ayah dan para guru, beliau juga dikenal meneladani dua tokoh besar dunia dalam bidang tasawuf, yakni Imam Ghazali dan Jalaluddin Rumi.

Kunci Agama Islam dan Syahadat

Salah satu ajaran Sunan Bonang bertema kunci Islam dan syahadat.

Penjabaran ajaran tersebut saya kutip dari kanal YouTube MJS Colombo dalam tajuk Ngaji Filsafat asuhan Dr. Fahruddin Faiz, dosen Fakultas Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Menurut penjelasan Dr. Fahruddin Faiz, bagi Sunan Bonang, kunci dari beragama Islam adalah pengenalan terhadap Allah Ta’ala (ma’rifat).

Kanjeng Bonang dalam Pitutur Seh Bari menerangkan bahwa untuk mengenal Allah, kita harus memahami konsep Dzatillah, Shifatillah, dan Af’alillah.

Dzatillah diartikan sebagai wujud Allah yang suci, tunggal, murni. Artinya, tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, bahkan tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan-Nya.

Oleh karena itu, iman adalah cara termudah untuk memahami dzat-Nya.

Shifatillah adalah mengenal sifat-sifat-Nya.

Allah bersifat kekal meski tak bernyawa, berkuasa tanpa anggota, mengetahui tanpa akal, mendengar tanpa telinga, melihat tanpa mata, berkata tanpa bibir, dan sebagainya.

Semua sifat-Nya bisa dijabarkan, tetapi mustahil dijelaskan detailnya.

Yang terakhir, Af’alillah, berarti mengenal sifat-sifat perbuatan-Nya.

Allah Maha Berkehendak, satu-satunya kehendak yang terwujud di alam semesta adalah kehendak-Nya. Ini termasuk takdir yang ditetapkan kepada seluruh makhluk-Nya.

Allah tidak membutuhkan alat untuk mewujudkan kehendak-Nya, tidak seperti manusia. Bahkan, terwujud tidaknya kehendak manusia semata-mata hanya karena Allah telah menakdirkannya.

Setelah memahami tiga konsep tersebut, barulah manusia bisa mengenal Allah, kemudian mendeklarasikan kesaksiannya melalui syahadat.

Syahadat bukan cuma kesaksian lisan dan pengakuan hati terdalam, tetapi juga harus diusahakan terus-menerus lewat perbuatan.

Sebagai contoh, kita bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah.

Artinya, tindak tanduk kita seharusnya hanya dipersembahkan kepada-Nya, setiap peristiwa yang dialami harus diyakini sebagai ketentuan-Nya serta disikapi dengan penuh kepasrahan.

Demikian pula ketika kita bersaksi Nabi Muhammad saw. adalah rasul-Nya.

Itu berarti bahwa kita harus meniru, meneladani, sekaligus mengamalkan ajaran beliau dalam kehidupan sehari-hari, dengan mengusahakannya secara terus-menerus.

Sebenarnya, masih banyak lagi khasanah ilmu yang dituturkan dalam karya-karya beliau. Namun, karena begitu banyak, tidak mungkin Hasana.id menguraikan semuanya di sini.

Peninggalan-Peninggalan Sunan Bonang

Meski tidak semua ajaran Sunan Bonang bisa saya paparkan di sini, jangan khawatir.

Pada poin terakhir ini, Hasana.id ingin menyajikan sejumlah peninggalan Sunan Bonang yang juga memuat ajaran-ajaran beliau.

Guna mengobati rasa penasaran kamu, berikut peninggalan Sunan Bonang yang masih tetap lestari sampai kini.

Langgar dan Tradisi Kenduri

Sebelumnya sempat disinggung tentang penugasan Makdum Ibrahim untuk berdakwah di Kediri.

Di sana, terdapat masyarakat penganut aliran Tantrayana, yaitu Bhairawa Tantra yang mempraktikkan ritual peribadatan Panca Makara Puja atau ma lima.

Ma lima yang dimaksud antara lain matsya (ikan), mamsa (daging), madya (minuman/mabuk), maithuna (upacara persetubuhan), dan madra (bertapa).

Kaum Bhairawa menganggap pencerahan hanya bisa diperoleh setelah semua nafsu terpuaskan.

Ritual mereka berlangsung di sebuah tempat yang disebut Sanggar.

Aktivitas puncaknya meliputi makan ikan beracun dan daging manusia, minum arak bahkan darah, persetubuhan massal, serta semedi.

Makdum Ibrahim bertugas mendakwahi kaum tersebut, tetapi gagal hingga terusir ke Desa Singkal, sekarang wilayah Kabupaten Nganjuk.

Namun, di tempat itu beliau kemudian melanjutkan dakwah dengan mendirikan tempat ibadah yang disebut langgar.

Langgar di Desa Singkal merupakan tempat pertama yang menyelenggarakan tradisi kenduri dengan Sunan Bonang sebagai penggagasnya.

Kenduri diisi dengan aktivitas berdoa dan berdzikir, kemudian diakhiri dengan makan-makan. Ide langgar dan kenduri sebenarnya dimaksudkan untuk menyaingi pengaruh Tantrayana.

Konsep ma lima pun diubah menjadi larangan berbuat maksiat sesuai prinsip Islam, yakni maling (mencuri), mabuk, main (judi), madat (memakai candu), dan madon (main perempuan/berzina).

Syair Tombo Ati

Tombo Ati yang dalam bahasa Indonesia berarti obat hati termuat dalam Suluk Katentraman Jiwa. Syairnya berisi lima pedoman untuk menemukan ketenangan hati dan ketenteraman jiwa.

Meski berusia lebih dari 500 tahun, kandungannya masih relevan hingga saat ini.

“Tombo ati iku lima ing wernane

Kaping pisan maca Qur’an sak ma’nane

Kaping pindho, sholat wengi lakonono

Kaping telu, wong kang sholeh kumpulana

Kaping papat, weteng iro ingkang luwe

Kaping lima, dzikir wengi ingkang suwe”

Artinya:

Obat hati itu ada lima macamnya.

Pertama, membaca Al-Qur’an beserta maknanya.

Kedua, giatlah mengerjakan shalat malam.

Ketiga, berkumpullah dengan orang saleh.

Keempat, pertahankan laparnya perut.

Kelima, perbanyaklah dzikir (mengingat Allah), khususnya pada waktu sepertiga malam yang terakhir.

Sebenarnya, kandungan syair ini sama seperti yang pernah dibahas oleh beberapa ulama, seperti Abu Ishaq al-Qawas dan Abu Zakaria Yahya.

Namun, oleh Sunan Bonang, penuturannya diubah agar masyarakat Jawa mudah memahaminya.

Punakawan dalam Wayang

Cerita wayang berasal dari tradisi India, tetapi tumbuh subur di Nusantara, terutama Pulau Jawa, Bali, dan Sumatera.

Masyarakat Jawa begitu menggemari pertunjukan wayang sehingga Sunan Bonang bersama Sunan Kalijaga menjadikannya sebagai media dakwah.

Beliau berdua memodifikasi cerita-cerita wayang dengan khasanah berbau Islam.

Salah satu gagasan modifikasi yang paling monumental adalah menghadirkan karakter Punakawan yang tidak ada dalam naskah aslinya dari India.

Punakawan adalah empat karakter yang terdiri dari Semar, ayah angkat dari Gareng, Petruk, dan Bagong.

Setiap karakter tersebut memiliki makna filosofis tersendiri dengan Semar sebagai puncaknya.

Bagong berkarakter suka membantah sehingga diidentikkan dengan revolusi. Petruk merupakan simbol kebebasan, terutama dari hasrat duniawi.

Sementara itu, Gareng menggambarkan sosok filsuf yang selalu kritis, penuh pertanyaan.

Semar sendiri merupakan perwujudan dari ajaran tauhid. Perannya adalah lurah bijak yang hidup serba terbatas.

Namun, di sisi lain, Semar juga seorang dewa, bahkan kakak kandung dari dewa tertinggi dalam cerita pewayangan.

Cukup dengan mendalami karakter Punakawan saja, kamu sudah bisa menyelami dakwah beliau.

Apalagi kalau kamu sempat membaca karya-karya suluk Sunan Bonang, pasti kamu akan makin kuat memegang ajaran Islam. Wallahu’alam bi Shawab. Semoga bermanfaat.

 

Referensi:
https://www.academia.edu/37060315/SUNAN_BONANG

https://documen.site/download/sunan-bonang-wordpresscom_pdf
https://docplayer.info/32451525-Wali-songo-1-sunan-bonang.html

Sultan Al-Arifin Syeikh Ismail Pulau Besar Malaka(~1379M -1453M).


https://facebumen.com/sejarah-wali-songo-sunan-bonang/
https://thexandria.com/mengenal-sekte-mistik-nusantara-bhairawa-tantra/

LSI:
silsilah Sunan Bonang
ayah sunan bonang adalah
ibu sunan bonang
peninggalan Sunan Bonang
Sunan Bonang berdakwah di daerah