Meneladani Hidup Sunan Ampel, Bapak Para Wali

Fakta bahwa Indonesia menjadi negara dengan mayoritas penduduk muslim terbanyak di dunia tak lepas dari peran wali sanga. Salah satu yang terkenal adalah Sunan Ampel rahimahullah.

Sebagai bagian dari wali sanga yang berperan penting dalam menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa, beliau amat dikenang oleh banyak umat Islam Indonesia.

Tak heran jika hingga hari ini, kamu banyak mendengar namanya digunakan sebagai nama bangunan dan institusi, seperti Masjid Sunan Ampel Surabaya dan Universitas Sunan Ampel.

Melalui pengajarannyalah, telah lahir banyak dai lain yang berkualitas, yang kemudian meneruskan aktivitas dakwahnya di tanah Jawa.

Lebih lanjut, Hasana.id akan mengajak kamu kembali menuju abad ke-15 silam untuk menyelami biografi serta aktivitas dakwah sang wali semasa hidupnya.

Tentu, banyak yang dapat diteladani dari kisahnya. Pastikan kamu tak melewatkan sedikit pun penjelasan yang akan saya sampaikan, ya!

Latar Belakang Sunan Ampel

Sunan Ampel rahimahullah lahir pada tahun 1401 Masehi dengan nama Ali Rahmatullah. Ketika masih kecil, orang-orang memanggil beliau dengan panggilan Raden Rahmat.

Gelar sunan yang disematkan kepadanya di kemudian hari bersumber dari gelar kewalian, sedangkan Ampel didapat dari daerah tempat tinggalnya di Surabaya, Jawa Timur.

Sunan Ampel berasal dari Champa karena beliau lahir di sana. Sayangnya, para sejarawan masih kesulitan dalam menentukan dengan pasti di mana letak daerah tersebut.

Hinga kini, belum ditemukan bukti sejarah tertulis apa pun yang menegaskan informasi terkait hal tersebut.

Sebuah pendapat yang mengemuka dinyatakan oleh Saifuddin Zuhri dan Hamka bahwa Champa adalah sebutan lain dari “jeumpa” yang diambil dari bahasa Aceh.

Oleh karenanya, daerah tersebut diasumsikan berada dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Aceh.

Pendapat lain menyatakan bahwa daerah Champa terletak di negara China, sesuai dengan yang tertulis dalam Enscyclopaedia an Nederlandsch Indie.

Selain mengenai daerah asal beliau, terdapat perbedaan pendapat pula mengenai tahun dan usia sang wali pada saat dimakamkan.

Pendapat pertama menyatakan bahwa Sunan Ampel wafat pada tahun 1481 Masehi di Demak, Jawa Tengah, ketika berumur 80 tahun.

Namun, dalam buku Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah atas Metode Dakwah Walisongo, Widji Saksono menerangkan hal yang berbeda.

Menurut buku tersebut, beliau wafat sembilan belas tahun setelah kematian bibinya, yang merupakan seorang permaisuri dari Kerajaan Majapahit.

Pada nisan sang bibi, tahun pemakamannya tertulis 370 Hijriah atau sekitar tahun 1448/1449 Masehi.

Dari keterangan tersebut, diambillah pendapat yang lebih mendekati kebenaran bahwa Sunan Ampel rahimahullah wafat ketika berusia 66 tahun pada 1467 masehi.

Cerita Babad Gresik mengisahkan, pada saat itu, sang wali menemui akhir hidupnya di masjid dalam kondisi tengah bersujud.

Beliau kemudian dimakamkan di Surabaya, tepatnya di sebelah barat Masjid Sunan Ampel sekarang.

Hal ini sesuai dengan yang ditulis dalam Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren.

Silsilah Keluarga

Sunan Ampel adalah putra dari Syekh Ibrahim as-Samarkandi, seorang ulama yang berasal dari Samarkand (kini dikenal sebagai Uzbekistan) dan putri kedua Raja Kiyan dari Kerajaan Champa.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa beliau merupakan keturunan Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik yang juga termasuk wali sanga.

Namun, pendapat ini merupakan sebuah kesalahpahaman.

Untuk menegaskan kesalahpahaman tersebut, Agus Sunyoto menuliskan silsilah Sang Wali yang ternyata masih keturunan Rasulullah saw.

Ia menjelaskan hal ini dalam karyanya, Sejarah Perjuangan Sunan Ampel: Taktik dan Strategi Dakwah Islam di Jawa Abad 14-15.

Berdasarkan nasab dalam karya tulis tersebut, nama Sunan Ampel rahimahullah adalah Ali Rahmatullah bin Ibrahim as-Samarkandi bin Maulana Jumadil Kubra bin Zainal Khusain bin Zainal Kubra bin Zainal Aliem bin Zaenal Abidin bin Husain bin Fathimah binti Rasulullah saw.

Beliau memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga Kerajaan Majapahit melalui jalur ibunya.

Dalam Ziarah Wali: Wisata Spiritual Sepanjang Masa, Ruslan Arifin Suryo Nugroho menerangkan bahwa Raja Majapahit, Prabu Brawijaya I, menikahi Dewi Andarawati.

Adapun Dewi Andarawati sendiri merupakan kakak kandung dari ibu Sunan Ampel rahimahullah.

Istri Sunan Ampel ada dua orang. Yang pertama bernama Mas Karimah, anak perempuan dari Ki Wiryo Suryo, dan yang kedua adalah Nyai Ageng Manila, putri dari Tumenggung Wilatika.

Dari keduanya, sang wali dikaruniai 7 anak, yaitu 4 putri dan 3 putra.

Berdasarkan Atlas Wali Songo karya Agus Sunyoto dan Wali Sanga: Profil dan Warisannya yang ditulis oleh Feby Nurhayati dan kawan-kawan, berikut nama ketujuh anak Sunan Ampel.

Putri Sunan Ampel

  1. Mas Murtosiyah rahimahallah.
  2. Mas Murtosimah rahimahallah.
  3. Putri Nyai Taluki rahimahallah. Beliau memiliki gelar Nyai Ageng Maloka.
  4. Dewi Sarah rahimahallah.

Putra Sunan Ampel

  1. Raden Patah rahimahullah. Beliau kelak menjadi Adipati Demak.
  2. Maulana Makdum Ibrahim rahimahullah. Beliau bergelar Sunan Bonang karena juga merupakan salah seorang dari wali sanga.
  3. Syarifuddin rahimahullah. Beliau juga seorang wali dengan gelar Sunan Drajat.

Awal Mula Kehadiran di Tanah Jawa

Sunan Ampel menghabiskan masa kecil di tanah kelahirannya sebelum pergi ke Pasai, Aceh, untuk belajar ilmu agama.

Ketika menginjak usia 20 tahun, sang ayah mengajak beliau beserta saudara kandungnya, Ali Murtadho, dan adik sepupunya, Abu Hurairah rahimahumullah.

Mereka pergi ke Pulau Jawa dengan misi dakwah. Dalam perjalanannya, mereka sempat berdiam di Palembang selama dua bulan.

Sepanjang kurun waktu tersebut, Arya Damar, Adipati Palembang, berhasil didakwahi dan memeluk Islam.

Setelahnya, rombongan tersebut bertolak ke Jawa melalui jalur laut dan merapat di Pelabuhan Jepara sebelum meneruskan perjalanan ke Tuban.

Di Tuban, sang ayah meninggal dunia karena sakit dan dimakamkan di Desa Gresikharjo.

Sepeninggal Syaikh Ibrahim as-Samarkandi, rombongan tersebut berpencar untuk meneruskan misi mulia mereka.

Sunan Ampel rahimahullah memutuskan untuk tetap tinggal di Jawa, sedangkan saudara kandungnya meneruskan perjalanan ke Madura hingga Nusa Tenggara.

Di Jawa, sang wali pergi menuju Kerajaan Majapahit.

Selain untuk menengok bibinya, sang permaisuri, beliau juga mendakwahi masyarakat setempat yang suka mabuk-mabukan, melakukan judi, dan korupsi.

Ampeldenta

Raja Majapahit sangat mendukung kegiatan dakwah sang wali di tengah-tengah rakyatnya, meski ia sendiri menolak untuk memeluk agama Islam.

Setelah setahun berdiam di daerah kerajaannya, Prabu Brawijaya I menghadiahi sang wali sebuah daerah berlumpur bernama Ampeldenta untuk ditinggali dan dikelola.

Ampeldenta dahulu berlokasi di dalam sebuah kota yang menjadi Surabaya kini.

Sunan Ampel rahimahullah menuju daerah baru ini dengan diserahi 300 orang anggota Kerajaan Majapahit untuk terus mendapat pengajaran akan agama Islam dari beliau.

Di Ampeldenta, beliau memulai aktivitas dakwahnya dengan cara yang menarik, yaitu membagikan kerajinan tangan berbahan anyaman rotan dan akar tanaman dalam bentuk kipas.

Dalam Dakwah Wali Songo, Enis Niken dan Purwadi menjelaskan bahwa kipas ini memiliki manfaat menyembuhkan penyakit batuk dan demam.

Kipas tersebut dibagikan secara cuma-cuma, tetapi penduduk setempat yang ingin mendapatkan kipas obat tersebut diharuskan membaca dua kalimat syahadat.

Dengan begitu, beliau dapat mengislamkan banyak orang. Begitulah Sunan Ampel rahimahullah memulai kegiatan dakwahnya di tempat baru itu.

Orang-orang yang sudah memeluk Islam kemudian dididik di sebuah langgar yang dibangun khusus untuk meneruskan aktivitas keagamaan sang wali.

Dari langgar inilah, kelak pondok pesantren atas namanya dikembangkan dan menjadi pusat pendidikan Islam yang memiliki pengaruh amat besar

Bukan hanya di seantero Nusantara, pondok pesantren tersebut juga memiliki pengaruh kuat di mancanegara.

Metode Dakwah

Para wali yang termasuk wali sanga dikenal dengan pendekatannya yang menarik dalam menyebarkan ajaran Islam di Jawa.

Melalui metode dakwah yang disesuaikan dengan kearifan lokal masyarakat setempa, ajaran Islam bisa dengan mudah diterima masyarakat Jawa.

Lantas, bagaimana dengan Sunan Ampel. Sudah tentu, beliau pun menggunakan pendekatan yang serupa. Untuk tahu lebih jelasnya, saya paparkan metode dakwah beliau secara singkat.

Pendekatan Pendidikan

Dengan mengadaptasi dan mengembangkan sistem dakwah yang diawali oleh Sunan Maulana Malik Ibrahim, pondok pesantren itu berhasil mencetak dai-dai berkelas.

Beberapa nama yang bisa disebutkan adalah Raden Patah dan Sunan Giri. Hal ini pulalah yang kemudian membuat beliau dikenal sebagai Bapak para Wali.

Mereka kemudian meneruskan penyebaran agama Islam di Pulau Jawa dan Madura. Keterangan ini dapat ditemukan dalam buku Intelektualisme Pesantren.

Berkat izin Allah Swt. dan melalui tangan beliau, gaung Ampeldenta berhasil terdengar hingga ke seluruh penjuru dunia.

Begitu yang ditulis Agus Sunyoto dalam Sejarah Perjuangan Sunan Ampel.

Pendekatan Perdagangan

Fakta geografis Ampeldenta yang strategis sebagai jalur dagang dunia pun turut mendukung perkembangan pondok pesantren karena desa ini terletak di tepian sungai dan pelabuhan.

Seluruh pedagang yang merapatkan kapalnya di Pelabuhan Surabaya untuk melakukan perdagangan dengan Majapahit pasti menginjakkan kaki mereka di Desa Ampeldenta.

Hal ini dimanfaatkan Sunan Ampel untuk mendakwahi berbagai kalangan, mulai dari bangsawan hingga pegawai kerajaan, yang melintasi daerahnya.

Sebenarnya, fakta banyaknya pedagang yang melakukan transaksi perniagaan dengan Kerajaan Majapahit juga tak lepas dari peran beliau.

Kala itu, beliau mengganti nama beberapa tengara (landmark) di wilayah tersebut. Beliau mengganti nama Sungai Brantas yang bermuara di Surabaya dengan sebutan Kali Emas.

Selain itu, nama Pelabuhan Jelangga Manik yang menjadi tempat berlabuh para pedagang juga diubah menjadi Tanjung Perak.

Penggunaan kata emas dan perak inilah yang disinyalir menjadi sebab datangnya para pedagang dengan berbondong-bondong untuk mencari “emas” dan “perak”.

Pendekatan Arsitektur

Sunan Ampel rahimahullah juga melebarkan sayap dakwah di bidang arsitektur dengan turut merancang Masjid Demak yang dibangun pada tahun 1479 Masehi.

Masjid itu lalu difungsikan menjadi pusat diskusi para wali untuk mengembangkan metode penyebaran Islam.

Pendekatan Budaya

Kentalnya budaya pra-Islam dalam kehidupan masyarakat Jawa membuat Sunan Ampel rahimahullah menyisipkan tradisi Hindu-Buddha dalam upaya-upaya dakwahnya.

Perlu digarisbawahi bahwa tradisi yang beliau gunakan dalam pendekatan budaya adalah yang tidak melenceng dari nilai-nilai ketauhidan.

Konsepsi dakwah sang wali di tanah Jawa bernuansa persuasif-edukatif yang dikenal dengan empat langkah: 1) adaptasi, 2) menyerap, 3) bersikap praktis, dan 4) berangsur-angsur.

Bahasa

Dari segi bahasa, beliau mengganti kata “shalat” dari bahasa Arab menjadi “sembahyang”, yang berasal dari kata “sembah” dan “nyang” dalam bahasa Sanskerta.

Kemudian, tempat ibadah tidak disebut dengan “mushala”, tetapi “langgar”, yang disadur dari kata “sanggar”.

Tambahan lagi, beliau menyebut para penuntut ilmu dengan istilah “santri”, diserap dari kata “shastri” yang berarti orang yang memiliki pengetahuan akan kitab suci agama Hindu.

Demikian informasi yang ditulis oleh Purwadi dalam buku Sejarah Wali Sanga.

Kebiasaan

Sunan Ampel rahimahullah bermadzhab Hanafi yang terkenal sangat keras dalam menerapkan syariat Islam.

Meski demikian, beliau selalu bersikap toleran terhadap siapa pun, terutama kepada semua santrinya.

Sebagai bukti, beliau menyederhanakan penyebutan ajaran akidah dan akhlak menjadi paham moh limo (tidak mau yang lima) yang termasyhur itu.

Falsafah tersebut, dalam buku Intelektualisme Pesantren, disebut memiliki makna tidak ingin melakukan lima kegiatan yang buruk.

Lima hal buruk itu ialah moh madat (tidak menggunakan narkotika), moh madon (tidak berzina), moh main (tidak berjudi), moh maling (tidak mencuri), moh ngombe (tidak mabuk-mabukan).

Pendekatan Perkawinan

Sunan Ampel rahimahullah menyadari bahwa hubungan kekerabatannya dengan keluarga Kerajaan Majapahit-lah yang membuka peluang untuk memperluas rentang dakwahnya.

Diterimanya Ampeldenta sebagai hadiah dari Prabu Brawijaya I karena sang raja mendukung aktivitasnya adalah salah satu buktinya.

Berangkat dari pengalaman ini, beliau menggunakan pendekatan kekerabatan terhadap pemimpin-pemimpin daerah dalam upaya dakwah beliau.

Salah satu jalur yang ditempuh untuk membangun relasi tersebut adalah melalui pernikahan para mubaligh didikannya dengan putri-putri pemimpin-pemimpin daerah bawahan Majapahit.

Cara ini amat efektif dalam mengukuhkan ikatan kekerabatan di antara umat Islam.

Ajaran Sunan Ampel

Sunan Ampel rahimahullah tersohor akan kemampuannya menyampaikan nasihat hingga menjadi menarik dan memikat hati siapa saja yang mendengarnya.

Beberapa nasihat sang wali, seperti dituliskan dalam Sejarah Wali Sanga oleh Purwadi, adalah sebagai berikut.

  1. Siapa pun yang hanya mau meyakini sesuatu yang dapat terlihat oleh mata berarti belum mengenal tuhannya.
  2. Jika seseorang memiliki pengetahuan yang membuatnya disukai orang banyak, janganlah ia merasa paling cerdas.

Penyebabnya, jika Tuhan mengambil pengetahuannya kembali, ia akan terlihat sama dengan orang lainnya. Ia bahkan menjadi lebih tak bernilai dibandingkan daun kering.

  1. Siapa saja yang suka membuat sesamanya senang, ia akan menerima balasan yang lebih banyak.

Sebenarnya, poin-poin nasihat di atas berakar pada Al-Qur’an dan sunah yang disampaikan dengan pemilihan kata yang sesuai dengan kondisi kecerdasan literasi pengikutnya saat itu.

Inilah salah satu faktor yang membuat ajaran Islam dapat diterima dengan mudah.

Misalnya saja, nasihat pada poin 1 yang bersandar pada surah Al-Baqarah ayat ketiga yang mencirikan “percaya pada yang gaib” sebagai sifat orang beriman.

Sementara itu, poin nomor 3 merujuk pada sistem pemberian pahala dari Allah Swt. yang lebih baik dari logika penghitungan manusia biasa.

Strategi Dakwah

Untuk memperluas cakupan penyebaran agama Islam, Sunan Ampel rahimahullah menyadari bahwa kegiatan syiar tidak bisa dilakukan hanya di Ampeldenta dan Kerajaan Majapahit.

Beliau tahu bahwa kegiatan dakwahnya harus merambah wilayah luar.

Strategi utama guna mewujudkannya adalah dengan mengutus kader-kader dai terbaiknya untuk berdakwah di daerah-daerah.

Langkah-langkah yang diambil untuk menjalankan siasat ini adalah sebagai berikut.

  1. Mengirim para mubaligh ke sembilan daerah sesuai dengan pembagian area inti kekuasaan Kerajaan Majapahit.

Cakupan dakwahnya kelak akan diperluas berdasarkan pembagian wilayah ini.

Yang termasuk dalam sembilan wilayah tersebut adalah Blambangan, Daha, Kahuripan, Lasem, Matahun, Panjang, Trowulan, Tumapel, dan Wengker.

  1. Mengenalkan ajaran Islam yang bertujuan untuk menanam akidah dengan menyesuaikan terhadap kondisi dan situasi setempat. Pengenalan ini dilakukan dengan nuansa persuasif.
  2. Menjalankan “perang pemikiran” untuk menghilangkan nilai-nilai yang dijunjung oleh penduduk setempat yang berseberangan dengan akidah Islam.
  3. Mendekati figur-figur yang berpengaruh pada masing-masing wilayah, tetapi tetap berupaya agar tidak timbul konflik.
  4. Menguasai peredaran kebutuhan pokok yang diperlukan masyarakat.

Kesimpulan

Setidaknya, ada tiga hal yang dapat dipelajari dari kiprah dakwah sang wali.

  • Dakwah harus dilakukan dengan damai dan cerdas, tanpa kekerasan, serta tidak memaksa untuk menarik minat orang-orang yang didakwahi.
  • Penting kiranya untuk berkerabat dengan penguasa setempat agar mendapat izin dan dukungan dalam melakukan aktivitas-aktivitas dakwah.
  • Dibutuhkan sikap toleransi kepada yang tidak sepaham, sepanjang pemahaman tersebut tidak melenceng dari nilai-nilai keislaman.

Masih banyak lagi pelajaran berharga yang dapat diteladani dari sejarah hidup sang wali, utamanya pada bagian mengajarkan keyakinan dengan menghindari konflik.

Semoga, akan banyak orang yang meneladani Sunan Ampel dan lahir mubaligh dan dai yang dapat menyatukan umat Islam di negara ini.

Sumber:

Hamiyatun, Nur. 2019. Peranan Sunan Ampel dalam Dakwah Islam dan Pembentukan Masyarakat Muslim Nusantara di Ampeldenta. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Wali Songo : ” Sunan Ampel “