5 Rukun Nikah yang Jadi Syarat Sah Menikah Bagi Umat Islam

Sama halnya dengan rukun salat, rukun nikah atau syarat nikah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari suatu prosesi pernikahan itu sendiri.

Jika kamu meninggalkan salah satu rukun tersebut, maka bisa jadi pernikahanmu dengan pasangan menjadi tidak sah.

Hal ini tentu tidak lepas dari makna rukun, yaitu bagian pokok dari suatu tindakan yang membuat tindakan tersebut dapat dinyatakan sah.

Contohnya dalam rukun salat, kamu tidak boleh meninggalkan takbiratul ihram. Hal tersebut harus dilakukan karena merupakan bagian pokok dari salat, atau salatmu menjadi tidak sah.

Lalu, bagaimana dengan pernikahan? Apa saja yang menjadi rukunnya dan bagaimana agar momen sakral tersebut sah sesuai ajaran Islam?

Untuk membahas syarat nikah lebih lengkap, Hasana.id sudah menyiapkan ulasannya di bawah ini. Yuk, simak!

5 Rukun Nikah yang Wajib Kamu Tahu

Dalam hal nikah, kamu juga tidak dapat meniadakan salah satu dari rukun yang sudah ditentukan. Jika ada di antara syaratnya tidak terpenuhi, maka pernikahan yang dilakukan pun menjadi tidak sah.

فَصْلٌ: فِي أَرْكَانِ النِّكَاحِ وَغَيْرِهَا. ” أَرْكَانُهُ ” خَمْسَةٌ ” زَوْجٌ وَزَوْجَةٌ وَوَلِيٌّ وَشَاهِدَانِ وَصِيغَةٌ

Fashlu: fii irkanin nakaakhi wa ghoiruha. “irkaanuhu” khamsatun “zaujuw wazau jatun wa wa liyyi wa tsaa hidani wa shiighotun

Artinya:

“Pasal tentang rukun-rukun nikah dan lainnya. Rukun-rukun nikah ada lima, yakni mempelai pria, mempelai wanita, wali, dua saksi, dan shighat.”

Seperti tertulis dalam Fathul Wahab bi Syarhi Minhaj al-Thalab di atas, Imam Zakaria al-Anshari menjelaskan bahwa syarat nikah terdiri dari lima, yaitu mempelai wanita, mempelai pria, dua saksi, wali, dan shighat.

Penjelasan mengenai masing-masing rukun nikah tersebut bisa kamu pahami di bawah ini:

Mempelai Wanita

Adanya mempelai wanita atau calon istri yang halal untuk dinikahi oleh seorang mempelai pria adalah salah satu syarat nikah.

Seorang pria tidak boleh menikahi seorang wanita yang baginya termasuk ke dalam kategori haram untuk diperistri.

Keharaman tersebut dapat terjadi karena adanya hubungan persusuan, hubungan kemertuaan, atau pertalian darah.

Mempelai Pria

Jika ada mempelai wanita, maka harus ada juga mempelai pria atau calon suami. Dalam hal ini, calon suami tersebut harus sudah memenuhi syarat, seperti dikemukakan oleh Imam Zakaria al-Anshari berikut ini:

و شرط في الزوج حل واختيار وتعيين وعلم بحل المرأة له

Wa shart fi alzawj hala waikhtiar wata’yin wa’alam bihali almar’at lahu

Artinya:

“Syarat calon suami ialah halal menikahi calon istri (yakni Islam dan bukan mahram), tidak terpaksa, ditertentukan, dan tahu akan halalnya calon istri baginya.”

Di situ dinyatakan bahwa beberapa syarat utama seorang calon suami adalah mengerti bahwa calon istrinya memang halal baginya dan tidak terpaksa.

Hasana.id akan membahas mengenai syarat calon suami dan calon istri selengkapnya di bawah.

Dua Saksi

Pernikahan juga tidak akan sah tanpa hadirnya dua saksi yang memenuhi syarat terpercaya dan adil.

Dalam Matan al-Ghayah wa Taqrib, Imam Abu Suja mengungkapkan bahwa baik saksi maupun saksi dalam pernikahan harus memenuhi enam persyaratan, di antaranya berakal sehat, lelaki, baligh, adil, merdeka, dan Islam.

Wali

Kedudukan wali juga sama pentingnya dalam pernikahan karena menjadi salah satu poin penting dari lima rukun nikah.

Yang boleh menjadi wali adalah orang tua mempelai wanita. Dalam hal ini, bisa jadi ayah, kakek, atau pun paman dari pihak ayah.

Hak tersebut diberikan secara berurutan apabila yang pertama kali disebutkan tidak memungkinkan untuk menjadi wali.

Hasana.id juga akan membahas masalah wali nikah ini lebih lanjut di bawah.

Shighat

Rukun nikah yang terakhir adalah shighat, yaitu ijab dan kabul. Shighat ini harus diucapkan antara wali atau yang mewakilkannya dengan mempelai pria.

Lalu, apakah mahar termasuk rukun nikah? Seperti tersebut di atas, syarat nikah hanya ada lima dan mahar bukanlah salah satu dari kelima rukun tersebut.

Kategori Wanita yang Tidak Boleh Diperistri Seorang Pria

Sesuai dengan penjelasan sebelumnya, mempelai pria hanya boleh memperistri mempelai wanita yang dihalalkan baginya.

Lalu, siapa saja yang diharamkan bagi seorang pria untuk dinikahi? Para ulama fiqih menjelaskan hal ini melalui beberapa ayat berikut ini:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ

ḥurrimat ‘alaikum ummahātukum wa banatukum wa akhawātukum wa ‘ammātukum wa khālātukum wa banatul-akhi wa banatul-ukhti wa ummahātukumullātī arḍa’nakum wa akhawātukum minar-raḍā’ati wa ummahātu nisā`ikum wa raba`ibukumullātī fī ḥujụrikum min-nisā`ikumullātī dakhaltum bihinna fa il lam takụnụ dakhaltum bihinna fa lā junāḥa ‘alaikum wa ḥalā`ilu abnā`ikumullażīna min aṣlābikum wa an tajma’ụ bainal-ukhtaini illā mā qad salaf, innallāha kāna gafụrar raḥīmā

Artinya:

“(Diharamkan atas kamu) ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu) dari tulang rusuk kalian,” (Surat An-Nisa’ ayat 23).

Jadi, jika kamu adalah seorang pria, maka ada empat baris mahram yang tidak bisa kamu peristri sesuai dengan ayat-ayat tersebut.

Anak Tiri (Bintuz zaujah, ar-rabibah)

Pertama, seorang laki-laki tidak diperbolehkan memperistri anak tirinya sendiri. Hal ini berlaku baik bagi anak tiri karena persusuan maupun karena nasab.

Termasuk ke dalam baris mahram ini adalah anak perempuan dari anak tiri atau disebut juga sebagai cucu tiri.

Cucu tiri perempuan menjadi mahram karena ia lahir dari seorang anak tiri yang telah menjadi mahram bagi seorang pria.

Perlu dicatat bahwa anak tiri haram untuk diperistri apabila pria tersebut sudah menggauli ibunya. Jika tidak, maka anak tiri tersebut menjadi halal baginya.

Kemudian, cucu tiri yang lahir dari seorang menantu sebelum adanya pernikahan juga menjadi halal untuk dinikahi dan sah sesuai rukun nikah.

Ibu Mertua (Ummuz-zaujah)

Kedua, seorang pria juga tidak dibenarkan memperistri ibu mertuanya sampai ke atas. Artinya, haram baginya juga untuk menikahi nenek mertua, ibu dari nenek mertua, dan seterusnya.

Setelah ijab kabul berlangsung, baik dalam keadaan sudah bergaul maupun belum, seorang pria otomatis menjadi mahram bagi ibu mertuanya.

Hal ini berlaku bagi ibu mertua karena persusuan atau pun karena nasab.

Oleh karena itu, haram hukumnya bagi seorang laki-laki untuk menikahi ibu mertunya. Dengan catatan, akad yang dilakukan sah dan memenuhi syarat sah nikah menurut Alquran.

Istri dari Anak atau Menantu (Zaujatul ibn)

Selanjutnya, haram hukumnya untuk seorang pria memperistri istri dari anaknya atau menantu karena ia akan otomatis menjadi mahram setelah ijab kabul.

Menantu di sini berlaku juga untuk istri dari anak kandung dan nasab. Menantu perempuan dari anak persusuan juga termasuk dalam kategori ini.

Akan tetapi, menantu perempuan dari anak angkat sah dinikahi karena tidak termasuk sebagai mahram sesuai dengan petikan ‘min aslabikum’ pada ayat di atas.

Ibu Tiri (Zaujatul ab)

Sesuai ayat di atas, ibu tiri juga termasuk perempuan yang tidak bisa diperistri oleh seorang laki-laki karena ia langsung menjadi mahram.

Baik sang ayah telah bergaul dengan perempuan tersebut maupun belum, ia otomatis menjadi mahram bagi anak laki-laki sang ayah.

Berbeda dengan kasus anak perempuan yang tidak secara langsung menjadi mahram bagi ayah tirinya selama belum terjadi hubungan badan.

Jadi, dari uraian di atas, adanya akad yang sesuai rukun nikah dapat secara langsung menetapkan status mahram bagi seorang laki-laki dengan perempuan-perempuan di atas, kecuali anak tiri perempuan.

فَقَدْ ذَهَبَ الْفُقَهَاءُ إِلَى أَنَّ الْعَقْدَ الصَّحِيحَ مُثْبِتٌ لِحُرْمَةِ الْمُصَاهَرَةِ فِيمَا سِوَى بِنْتِ الزَّوْجَةِ وَهِيَ الرَّبِيبَةُ وَفُرُوعُهَا وَإِنْ نَزَلَتْ فَإِنَّهُنَّ لاَ يَحْرُمْنَ إِلاَّ بِالدُّخُول بِالزَّوْجَةِ

Faqad dhahabal faqahaau ila annal’aqda shshahiha mutsbitul likhurmatil mushaa harati fimaa siwabintizaujiti wa hiyarrabiybatu wa furuu ‘uhaa wain nazalat fainnahunna la yakhrumana illa bidhdhakhula bizzawkhati

Artinya:

“Para ulama fiqih berpendapat bahwa akad yang sah menetapkan status mahram karena pernikahan kecuali anak dari istri atau anak tiri serta anak-cucunya, meski terus ke bawah. Mereka tidak menjadi mahram kecuali setelah hubungan badan dengan istrinya (maksud istri di  sini adalah ibu dari anak tiri).” (Lihat Al-Mausu‘ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, jilid XXXVII, halaman 368).

Seperti tersebut dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyaah di atas, anak tiri perempuan hanya bisa dinyatakan haram untuk dinikahi ayah tirinya apabila ibunya sudah berhubungan dengan laki-laki tersebut.

Penjelasan Syekh Abu Bakar bin Muhammad Al-Hishni

Masih dalam kaitannya dengan hal ini, Syekh Abu Bakar bin Muhammad Al-Hishni dalam Kifayatul Akhyar menyebutkan alasan ibu mertua langsung berstatus mahram bagi menantu laki-lakinya.

Hal ini dikarenakan menantu laki-laki biasanya akan dituntut untuk langsung berinteraksi dengan ibu mertuanya meski baru selesai ijab kabul.

Meskipun beberapa perempuan di atas menjadi haram untuk dinikahi seorang pria karena adanya pernikahan pihak lain, ada juga pihak yang tidak menjadi mahram meski terjadi pernikahan.

Yang termasuk dalam kategori ini adalah putri dari ayah tiri, putri dari ibu tiri, ibu dari ayah tiri, ibu dari ibu tiri. Di dalamnya juga termasuk ibu dari menantu, putri dari menantu, istri anak tiri, istri lain dari ayah tiri, dan putri dari cucu tiri.

Artinya, seorang laki-laki tidak haram untuk memperistri perempuan-perempuan tersebut yang tidak menjadi mahram meski terjadi perkawinan.

Akan tetapi, perlu dicatat juga bahwa seorang laki-laki bisa memperistri golongan tersebut selama tak ada yang menghalanginya, seperti status masa idah dan mahram mu’aqqat.

Syarat Wali dan Saksi Perkawinan

Dalam hukum nikah, adanya wali dan saksi menjadi bagian penting yang menentukan sah atau tidaknya sebuah perkawinan.

Ada pun persyaratan yang perlu dipenuhi seorang wali dan dua saksi untuk memenuhi rukun nikah tertulis dalam petikan berikut:

ويفتقر الولي والشاهدان إلى ستة شرائط: الإسلام والبلوغ والعقل والحرية والذكورة والعدالة

Wayaftaqir alwaliu walshshahidan ‘iilaa stt shrayt: al’islam walbulugh wal’aql walhuriyat waldhukurat wal’adala

Artinya:

“Wali dan dua saksi membutuhkan enam syarat: (1) beragama Islam; (2) balig, (3) berakal sehat; (4) merdeka; (5) laki-laki (6) adil.” (Lihat Matan Taqrib li Matni Abi Syuja’, jilid I, halaman 31)

Di antara persyaratan tersebut, tak jarang syarat ‘adil’ yang dimaksudkan pada saksi dan wali menimbulkan pro dan kontra.

Imam Asy-Syafi’i juga menjelaskan bahwa arti mursyid dalam hadis tentang pernikahan berarti adil dan tidak fasik.

Penjelasan mengenai hal tersebut diungkapkan oleh al-Musthafa Al-Khin dalam Al-Fiqhul Manhaji ala Madzhabil Imam Asy-Syafi’i, sebagai berikut:

والمقصود بالعدالة: عدم ارتكاب الكبائر من الذنوب، وعدم الإصرار على الصغائر، وعدم فعل ما يخلّ بالمروءة: كالبول في الطرقات

Walmaqsud bialedalt: ‘admairtikab alkabayir min aldhunubi, wa’adam al’iisrar ‘alaa alsaghayir, wa’adam fa’al ma ykhl bialmuru’at: kalbul fi alturqat

Artinya:

“Adapun maksud adil itu sendiri adalah tidak melakukan dosa-dosa besar, tidak membiasakan dosa kecil, dan tidak melakukan sesuatu yang dapat mengurangi muru‘ah (kehormatan), seperti kencing di pinggir jalan,”

Akan tetapi, dari segi tauhid, orang fasik dijelaskan sebagai seseorang yang mempunyai keimanan dalam hati namun tidak mewujudkannya melalui amal perbuatan.

Seorang yang fasik akan gugur haknya sebagai seorang wali dan hak kewaliannya tersebut akan dialihkan pada wali di bawahnya.

Bagaimana Jika Wali Tidak Memenuhi Syarat Adil dalam Rukun Nikah?

Lalu, bagaimana jika seorang wali atau saksi tidak bisa memenuhi syarat adil dan tidak fasik? Seperti tertulis dalam rukun nikah itu.

Menyikapi persoalan ini, Al-Habib Muhammad bin Salim memiliki pendapat senada dengan syarat keadaan wali namun cenderung lebih memberikan keringanan.

Ia berpendapat bahwa syarat adil bagi saksi dan wali dalam pernikahan sebaiknya dilihat secara lahir saja. Sehingga, tidak perlu dibuktikan secara detail.

Pandangan Al-Habib tersebut berdasar pada pendapat Imam An-Nawawi. Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa jika seorang wali nasab dialihkan kepada wali hakim karena dianggap fasik, belum tentu juga wali hakim yang ditunjuk juga tidak melakukan kefasikan.

Imam Al-Ghazali juga mendukung pendapat ini. Alasannya karena sudah banyak orang-orang yang berlaku fasik dan bukan tidak mungkin jika seorang wali hakim juga tidak adil.

Mengacu pada pandangan-pandangan tersebut, hak kewalian pernikahan diberikan pada wali nasab. Hal tersebut untuk memenuhi rukun nikah, umumnya dari yang paling dekat, seperti ayah atau kakek.

Hal ini bukan karena sulitnya menemukan seorang yang benar-benar jauh dari kefasikan di masa ini, sehingga syarat adil bagi wali dan saksi sangat sulit diterapkan.

Selain itu, kewalian wali nasab juga dibangun berdasarkan kasih sayang. Tentu saja kasih sayang ini tidak mengenal kepada orang yang tidak adil atau pun adil.

Bagaimana dengan Kewalian untuk Seorang Wanita Mualaf?

Jika ada wanita mualaf yang lahir dari pasangan ayah dan ibu non-Muslim, maka wali nikahnya umumnya adalah wali hakim.

Meskipun statusnya telah menjadi seorang Muslim, ayah kandungnya tetap tidak bisa menjadi wali bagi anak perempuan tersebut sesuai rukun nikah.

Hal tersebut berdasarkan pada kenyataan bahwa wanita tersebut lahir dari pernikahan yang tidak sesuai dengan syariat Islam.

Selain itu, salah satu syarat untuk menjadi wali adalah harus beragama Islam. Jadi, orang tua yang non-Muslim secara otomatis gugur hak kewaliannya. Hal tersebut terjadi karena tidak bisa dinasabkan ke orang tuanya tersebut.

Namun, apabila ayah kandung perempuan mualaf, maka ia tetap memiliki hak. Tentu saja hak untuk melengkapi rukun nikah dengan menjadi wali anaknya.

Setelah dipastikan ayahnya tidak bisa menjadi wali nikah karena berbeda agama, kamu bisa merunut. Runutlah terlebih dahulu daftar orang-orang yang dapat menjadi wali sesuai urutannya.

Sebagai informasi, urutan orang-orang yang bisa menjadi wali nikah bagi seorang perempuan Muslim. Setelah ayah: ayah dari ayah (kakek), saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah, dan anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sekandung.

Jika masih belum ada yang sesuai, dapat juga diwalikan oleh anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah. Atau bisa juga paman atau saudara laki-laki ayah, dan anak laki-laki paman.

Apabila dari daftar tersebut tidak ditemukan yang beragama Islam, maka wali hakim akan berlaku untuk melengkapi rukun nikah. Di Indonesia, Kepala KUA Kecamatan setempatlah yang sah menjadi wali hakim sesuai undang-undang.

Tentang Shighat Sebagai Syarat dan Rukun Nikah

Kamu tentu tidak asing dengan shighat yang umumnya digunakan untuk ijab kabul di masyarakat Indonesia, seperti berkut ini:

“Saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan Fulanah binti Fulan….” dan

“Saya terima nikah dan kawinnya (sebutkan nama calon mempelai wanita) Fulanah binti Fulan dengan mahar tersebut ….”

Meskipun biasa digunakan, tak jarang yang meragukan shighat tersebut karena ucapan wali atau yang mewakilinya seperti menikahkan mempelai pria, bukan wanita.

Padahal, menurut syariat Islam yang harusnya dinikahkan adalah mempelai wanita, bukan pria.

Kalangan tersebut menyatakan bahwa shighat yang benar seharusnya adalah ‘Saudara (nama mempelai pria), saya nikahkan denganmu (nama mempelai wanita)….’

Bukan hanya itu, shighat penerimaan nikah oleh calon suami juga diragukan dengan pandangan yang tidak jauh berbeda.

Menurut mereka, kabul yang tepat untuk memenuhi rukun nikah adalah ‘Saya terima nikah dengan’. Atau dengan kalimat ‘Saya terima menikahinya’. Hal ini dimaksudkan agar kesan mempelai wanita yang menikahi mempelai laki-laki tidak terlihat.

Pembahasan Tentang Perbedaan Pandangan Masalah Shighat

Secara fiqih, shighat yang saat ini berlaku sebenarnya sudah sah dan tidak membatalkan perkawinan.

Selain itu, shighat dalam Bahasa Indonesia tersebut juga sudah dipakai sejak bertahun-tahun lalu dan tidak pernah ada ulama atau kiai yang mengingkarinya.

Kemudian, perbedaan pandangan dalam shighat dalam Bahasa Indonesia tersebut juga dianggap tidak signifikan.

Apalagi mengingat perbedaan redaksi yang dipermasalahkan tersebut masih mempunyai maksud yang sama. Yaitu untuk menerima pernikahan mempelai wanita dari pihak wali.

Ulama lain mengungkapkan bahwa bentuk shighat yang tidak diucapkan dengan Bahasa Arab dapat disesuaikan sebagaimana umumnya saja.

Jadi, bagaimanapun bentuknya, selama masih bermakna menikahkan dan menerima pernikahan, ucapan ijab dan kabul tersebut hukumnya sah.

Dalam al-Asybah wa al-Nazhair, Al-Imam as-Suyuthi menjelaskan mengenai salah satu rukun nikah ini:

إنَّمَا يَتَجَاذَبُ الْوَضْعُ وَالْعُرْفُ فِي الْعَرَبِيِّ، أَمَّا الْأَعْجَمِيُّ فَيُعْتَبَر عُرْفُهُ قَطْعًا إذْ لَا وَضْعَ يُحْمَل عَلَيْهِ

Innama yatajadhabul wadh’u wal’arfafiil ‘arabiyyi, immaala ‘ajmiyyu fayu’tabar ‘urfahu qath ‘an idzla wadh ‘ayuhmal ‘alaymi

Artinya:

“Tarik ulur antara makna asli dengan ‘urf hanya ada dalam bahasa Arab. Sedangkan dalam bahasa non-Arab, yang dipertimbangkan adalah ‘urf menurut kesepakatan ulama, karena tidak ada makna asli yang menjadi tolak ukur.” (Lihat: al-Imam as-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazhair, hal.95)

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa shighat dengan terjemahan Bahasa Indonesia yang saat ini berlaku di masyarakat sesungguhnya tidak bertentangan dengan fiqih.

Kapan Pernikahan Dinyatakan Tidak Sah atau Batal

Sama seperti akad-akad lain, perkawinan juga bisa menjadi tidak sah apabila syarat dan rukun nikah tidak terpenuhi.

Di sini Hasana.id akan membahas bentuk pernikahan yang batal sesuai dengan pendapat ulama-ulama Syafi’iyah.

Menurut pandangan ulama Syafi’iyah, pernikahan yang batal tidak menimbulkan konsekuensi seperti, mahram pernikahan, iddah, nafkah, dan mahar.

Mazhab Syafi’i meyakini ada beberapa bentuk pernikahan batal, termasuk syighar, mut’ah, pernikahan dengan beberapa akad, pernikahan perempuan yang sedang iddah, dan pernikahan orang ihram.

Pernikahan Syighar

Pernikahan Syighar adalah saat seorang pria menikahkan anak perempuannya dengan laki-laki, namun syaratnya dirinya harus dinikahkan dengan putri dari laki-laki lain tersebut.

Akad ini menjadi tidak sah sebab ada dua akad yang menjadikan masing-masing akad tersebut sebagai maharnya.

Pernikahan Mut’ah

Sedangkan pernikahan mut’ah adalah pernikahan dengan sistem kontrak atau batas waktu tertentu.

Misalnya, seorang pria mengungkapkan bahwa ia akan menikahi seorang perempuan hanya untuk tiga bulan saja.

Pernikahan seperti ini tidak sah karena semestinya mempelai pria dan wanita menikah tanpa ikatan waktu. Atau hingga terjadi perceraian yang sebelumnya tidak pernah disyaratkan dalam akad.

Demikianlah ulasan Hasana.id terkait rukun nikah dan hal-hal yang dapat membatalkan sebuah pernikahan.

Referensi:

https://islam.nu.or.id/