Mengenal Lebih Jauh Konsep Qada dan Qadar dalam Islam

Istilah qada dan qadar tentu sudah tidak asing di telinga kamu sekalian. Mungkin saja kamu sudah mengetahuinya sejak pertama kali belajar agama Islam waktu kecil dulu. Namun, pada kesempatan kali ini Hasana.id ingin mengulasnya lebih jauh, dan kamu dapat membacanya dalam uraian berikut.

Rukun Iman

Iman adalah sistem kepercayaan dan keyakinan dalam akidah Islam. Sebagaimana telah diketahui, seorang baru bisa dikatakan telah beragama Islam secara benar jika dirinya mempercayai sekaligus meyakini enam hal dalam rukun Iman.

Enam poin dalam rukun iman tersebut, antara lain percaya dan yakin akan keberadaan Allah Ta’ala, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, nabi dan rasul-Nya, hari akhirat, serta adanya qada dan qadar. Seorang muslim haruslah menjadi mukmin dengan mengimani enam hal tersebut.

Iman kepada Allah berarti percaya dan yakin bahwa tiada tuhan selain Allah. Dia bersifat Maha Esa, berikut 99 sifat utama-Nya yang lain dalam asmaul husna, serta memiliki kekuasaan tidak terbatas dalam menentukan segala sesuatu.

Kedua, iman kepada malaikat sebagai makhluk ciptaan Allah yang diciptakan dari cahaya. Makhluk yang selalu tunduk dan patuh pada perintah Allah ini tak terhitung jumlahnya.

Tetapi, umat Islam hanya diwajibkan mengimani 10 di antaranya. Kamu tentu tahu, ada Jibril, Mikail, Israfil, Izrail, Munkar, Nakir, Rakib, Atid, Malik, Ridwan dengan tugasnya masing-masing.

Berikutnya, iman kepada kitab-kitab Allah (rukun iman ke-3) yang Dia turunkan kepada nabi dan rasul (rukun iman ke-4). Ada empat kitab-kitab Allah tersebut, pertama adalah Zabur, lalu Taurat, Injil, hingga Alquran yang berperan sebagai penyempurna kitab-kitab sebelumnya.

Nabi dan rasul jumlahnya ada 25 yang wajib diimani, sejak Nabi Adam as hingga Nabi Muhammad saw. Beda nabi dan rasul adalah ruang lingkup wahyu yang diterima dan disampaikannya. Jika nabi boleh menyimpan wahyu untuk diri sendiri, maka rasul wajib menyampaikannya kepada umat.

Rukun iman kelima adalah hari kiamat yang juga termasuk hari kebangkitan di akhirat. Sedangkan qada dan qadar berada di urutan terakhir, di mana akan dibahas lebih lengkap melalui paparan di bawah ini.

Pengertian Qada dan Qadar

Iman kepada qada dan qadar adalah percaya dengan penuh keyakinan bahwa Allah Maha Kuasa dalam berkehendak dan menetapkan setiap keputusan-Nya pada seluruh ciptaan-Nya, termasuk manusia. Ini berarti bahwa manusia hanya bisa menerima segala keputusan Allah Ta’ala.

Adapun pengertian qada dan qadar secara bahasa dan istilah terbagi menjadi dua. Pertama, secara bahasa qada berarti ketetapan, ketentuan, ukuran, takaran, sifat, atau rencana, sedang qadar dimaknai sebagai takdir atau perwujudan.

Namun, untuk pengertian qada dan qadar secara istilah atau terminologis, para ulama terbagi menjadi dua kubu karena memiliki pendapat yang berbeda. Berikut uraian tentang pendapat sebagian besar ulama mengenai pengertian qada dan qadar secara terminologis.

Pendapat Pertama

Menurut pendapat pertama, qada merupakan ketentuan Allah yang telah ditetapkan-Nya secara menyeluruh sejak zaman azali. Zaman azali adalah masa awal sebelum adanya segala sesuatu selain Allah Ta’ala sendiri.

Sedangkan qadar adalah perwujudan atau perincian dari rencana-rencana tersebut. Qadar terjadi dan berlaku sejak awal masa penciptaan sampai sekarang. Maka dari itu, qada disebut sebagai ketentuan yang menjadikan qadar bisa berlaku.

Pendapat Kedua

Pendapat kedua ini bertolak belakang dengan yang pertama. Sebagian ulama beranggapan bahwa qadar adalah ketetapan Allah atas apa yang akan berlaku sejak zaman azali. Sedangkan qada adalah pelaksanaan dari ketetapan-ketetapan tersebut.

Jadi, menurut pendapat yang kedua qadar merupakan cikal bakal lahirnya qada. Qada bisa berlaku karena Allah telah menetapkan ketentuan-ketentuan yang disebut dengan qadar sesuai kehendak-Nya. Seluruh ciptaan-Nya pun patuh terhadap ketentuan dan pelaksanaannya.

Lalu bagaimana kesimpulannya? Sejauh ini, sebagian besar pemahaman umat Islam tentang qada dan qadar cenderung senada dengan pendapat yang pertama. Namun, akan lebih mantap jika kita merujuk pada istilah qada dan qadar yang termuat dalam kitab suci Alquran.

Ayat Alquran tentang Qada dan Qadar

Istilah qada dan qadar muncul sebanyak ratusan kali dalam Alquran. Akan tetapi, kesemuanya merujuk pada pengertian bahwa qada dan qadar sama-sama adalah ketetapan atau ketentuan Allah Ta’ala. Berikut tiga contoh ayat Alquran yang memuat kata qada dan qadar

إِنَّا كُلَّ شَىْءٍ خَلَقْنَٰهُ بِقَدَرٍ

Innā kulla syai`in khalaqnāhu biqadar

Artinya:

Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran. (Al-Qamar: 49)

قَالَ كَذَٰلِكِ قَالَ رَبُّكِ هُوَ عَلَىَّ هَيِّنٌ ۖ وَلِنَجْعَلَهُۥٓ ءَايَةً لِّلنَّاسِ وَرَحْمَةً مِّنَّا ۚ وَكَانَ أَمْرًا مَّقْضِيًّا

Qāla każālik, qāla rabbuki huwa ‘alayya hayyin, wa linaj’alahū āyatal lin-nāsi wa raḥmatam minnā, wa kāna amram maqḍiyyā

Artinya:

Jibril berkata: “Demikianlah”. Tuhanmu berfirman: “Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan”. (Maryam: 21)

إِلَىٰ قَدَرٍ مَعْلُومٍ فَقَدَرْنَا فَنِعْمَ الْقَادِرُونَ

Illaa qadarim ma’luum; Faqadarnaa fani’mal qoodiruun

Artinya:

“Sampai waktu yang ditentukan, lalu Kami tentukan (bentuknya), maka Kami-lah sebaik-baik yang menentukan.” (Al-Mursalaat: 22 – 23)

Berdasarkan tiga ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan qada dan qadar. Kedua hal tersebut merupakan kesatuan yang tidak bisa kita pisahkan. Keduanya begitu erat kaitannya dengan sunnatullah dan takdir.

Proses terjadinya berawal dari Allah yang menciptakan segala sesuatu. Lalu Dia menetapkan hukum dan memberlakukannya pada seluruh ciptaan-Nya, hingga menjadi apa yang diketahui manusia sebagai kenyataan hidup.

Sunnatullah berarti ketetapan Allah yang berupa hukum alam dan hubungan sebab akibat yang tidak bisa diubah. Sedangkan takdir adalah apa yang kemudian terjadi dalam hubungan sebab akibat dari hukum-hukum alam tersebut.

Sunnatullah

Sunnatullah terbagi menjadi dua bentuk, yaitu sunnah kauniyyah dan sunnah ijtimaiyah. Sunnah kauniyyah atau hukum alam atau ilmu pasti, yaitu ketetapan Allah yang berlaku di seluruh alam semesta, seperti gravitasi, rotasi Bumi, planet, dan bintang, sifat-sifat zat, dan sebagainya.

Sementara itu, sunnah ijtimaiyah merupakan hukum-hukum Allah di kehidupan sosial manusia. Ini juga berkaitan dengan istilah ilmu lunak yang sifatnya baku, tetapi juga kondisional, sehingga mustahil untuk dipastikan hasilnya.

Sunnatullah bersifat tetap, konsisten, dan universal. Ketetapan ini berlaku pada seluruh makhluk tanpa terkecuali. Orang muslim atau kafir sama-sama terikat dengan ketentuan tersebut. Surga bagi orang muslim dan neraka untuk kafir, keduanya merupakan sunnatullah.

Selain itu, adanya umat muslim dan kaum kafir sebenarnya sudah merupakan sunnatullah itu sendiri. Orang bisa memiliki perbedaan keyakinan, termasuk perbedaan ciri-ciri fisik, pendapat, dan identitas karena Allah telah menetapkan sunnatullah.

Sunnatullah merupakan kebenaran objektif yang harus diyakini, meski wujud dan bentuknya akan sulit diketahui sepenuhnya karena berada di luar kesadaran manusia. Namun, bagaimanapun juga sunnatullah senantiasa berlaku dalam segala aspek kehidupan manusia.

Takdir

Agama Islam mengenal konsep takdir yang terbagi menjadi dua jenis. Pertama, takdir mubram, yaitu yang bersifat ketetapan bersifat baku dan paten, sehingga tidak bisa lagi diubah oleh manusia. Kedua, takdir muallaq yang masih dapat berubah dengan ikhtiar manusia.

Contoh takdir mubram, seperti ketetapan tentang kelahiran, mulai dari waktunya hingga ibu yang mengandungnya. Lalu anugerah jiwa raga, termasuk akal, perasaan, jenis kelamin, bentuk fisik, serta kematian. Hukum alam, seperti gravitasi, panas api, sifat-sifat air dan udara, juga termasuk takdir mubram.

Sedangkan contoh untuk takdir muallaq, misalnya orang sakit yang berusaha dengan doa dan pengobatan sehingga akhirnya sembuh. Contoh lainnya adalah orang miskin yang kemudian bekerja keras untuk mengubah takdirnya, hingga berhasil sukses menjadi pengusaha kaya raya.

Dua jenis takdir di atas sebenarnya sudah cukup bisa menjawab pertanyaan tentang perbedaan qada dan qadar. Namun sayang sekali, pengelompokan jenis takdir itu ternyata belum akurat untuk menjelaskan berbagai fenomena yang terjadi dalam kehidupan.

Contoh qada dan qadar dalam konteks ini, kemiskinan seseorang yang telah menjadi takdirnya. Ada orang miskin yang berusaha keras untuk mencari rezeki lebih banyak, tetapi kekayaannya tidak bertambah sampai akhir hayatnya.

Sebaliknya, seorang miskin lainnya bekerja dengan tekun kemudian takdirnya berubah, dia menjadi orang kaya. Ada pula seorang miskin yang menjadi kaya mendadak, bahkan tanpa perlu bekerja keras membanting tulang seperti orang sebelumnya.

Berdasarkan fakta yang berbeda-beda itu, apakah kemiskinan bisa digolongkan sebagai takdir yang sifatnya paten (mubram) atau bisa diubah (muallaq)? Kunci jawabannya terletak pada masalah waktu.

Manusia bisa mengetahui takdir bersifat paten atau tidak, hanya ketika hal itu telah terjadi. Jika belum waktunya, manusia cuma bisa berikhtiar dan melihat bahwa takdirnya bisa berubah dengan usahanya itu. Sedang berubah atau tidaknya takdir, hanya dapat terjadi atas kehendak Allah semata.

Iman kepada Qada dan Qadar

Uraian tentang sunnatullah dan takdir di atas memberikan pemahaman bahwa qada dan qadar bersifat gaib. Artinya, hanya Allah yang benar-benar berkuasa atas segala ketetapan-Nya, sekaligus menentukan kapan hal itu akan terjadi pada ciptaan-Nya.

Oleh karena itulah, umat Islam dituntut untuk meyakini dengan sepenuh hati akan adanya qada dan qadar. Tidak ada sunnatullah atau takdir yang baik dan buruk di mata Allah. Baik dan buruk itu hanya ada pada penilaian manusia.

Contoh qada dan qadar dalam hal ini, seperti peristiwa banjir yang melanda sebuah wilayah perkotaan. Di mata Allah, itu merupakan salah satu bentuk sunnatullah terkait hukum alam, bahwa sifat air selalu mengisi ruang dan akan mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat lebih rendah.

Takdir Allah membuat air memiliki volume melimpah, sehingga akan mengisi ruang yang ada. Di mata manusia, aliran air melimpah jauh melebihi kebutuhannya. Lalu menganggapnya sebagai bencana banjir yang dapat menimbulkan berbagai macam kerugian.

Pada dasarnya, manusia masih bisa mengusahakan agar tidak mengalami takdir kebanjiran. Caranya dengan memastikan pengelelolaan tata ruang kota dan saluran air sedemikian rupa, sesuai ilmu yang diketahui dari mempelajari hukum-hukum sunnatullah.

Namun, perlu diingat pula bahwa berhasil tidaknya usaha tersebut akan tergantung kehendak Allah. Jika berhasil, Allah-lah yang membuatnya demikian. Apabila gagal, itu juga karena manusia tidak mampu menolak ketetapan Allah Ta’ala.

Kondisi ini berlaku dalam segala hal, termasuk pada setiap individu manusia. Apabila seseorang memperoleh keberhasilan setelah berusaha, maka dia tidak akan takabur. Pun tidak akan merasa putus asa jika dirinya mengalami kegagalan.

Prinsip Iman kepada Qada dan Qadar

Menurut Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, para ulama ahlusunnah wal-jamaah merumuskan tentang empat tingkatan qada dan qadar. Tingkatan atau prinsip tersebut, antara lain pengetahuan, penulisan, kehendak, dan penciptaan.

Pertama, muslim harus beriman kepada Allah yang Maha Tahu segala sesuatu tanpa terkecuali. Seluruhnya, baik secara umum maupun mendetail, baik perbuatan-Nya sendiri maupun perilaku ciptaan-Nya.

Kedua, muslim harus mengimani bahwa Allah telah menuliskan semua ketetapan sejak zaman azali dalam Lauh Mahfuzh.

Tetapi, kita sebagai umat-Nya tidak hanya berpasrah diri dan berpangku tangan. Allah juga memerintahkan kita untuk berusaha di jalan Allah dan selalu bertakwa agar Dia memberikan kemudahan-kemudahan.

Ketiga, muslim wajib beriman kepada kehendak Allah yang berlaku pada segala hal. Perbuatan manusia juga termasuk kehendak-Nya, karena Allah sendiri yang telah menetapkannya. Kita memiliki kehendak bebas, tetapi kemampuan untuk mewujudkannya hanya bisa atas seizin Allah Ta’ala.

Sedang yang keempat, muslim juga wajib mengimani Allah sebagai Maha Pencipta. Setiap kehendak yang dimiliki manusia pun sejatinya ada karena Allah menciptakannya demikian. Manusia juga dibekali kemampuan untuk bisa atau tidak mewujudkan kehendaknya itu.

Contoh qada dan qadar yang berkaitan dengan tingkatan-tingkatan tersebut, seperti apa dialami oleh Nabi Ibrahim alaihissalam. Pada suatu ketika, Raja Namrud memerintahkan untuk membakar Nabi Ibrahim dengan memasukkannya ke dalam api yang berkobar.

Sebagaimana diketahui, Allah menciptakan api bersifat panas dan bisa membakar apa saja, termasuk kulit manusia. Hal itu terjadi dalam peristiwa-peristiwa biasa.

Namun, pada peristiwa Nabi Ibrahim, Allah memerintahkan api menjadi dingin, sehingga beliau selamat dari pembakaran dan tubuhnya tetap utuh.

Api memiliki kemampuan untuk membakar. Sama dengan Raja Namrud yang punya kehendak menghanguskan Nabi Ibrahim. Namun, hasil akhirnya malah di luar kehendak Raja Namrud atau sifat normalnya api itu sendiri. Demikianlah Allah menetapkan qada dan qadar sesuai kehendak-Nya.

Hikmah dari Mengimani Qada dan Qadar

Segala sesuatu yang dianjurkan dalam agama pasti memiliki hikmah. Termasuk untuk yang satu ini, ada hikmah yang bisa kita petik dengan mengimani qada dan qadar. Apa saja hikmah dan manfaat beriman pada qada dan qadar?

Melengkapi Tauhid

Bersama rukun Islam, rukun iman merupakan prinsip utama seorang muslim. Beriman kepada qada dan qadar menjadikan kadar keislaman seseorang makin mantap. Keyakinannya terhadap Allah pun pasti akan turut meningkat.

Seorang muslim percaya dengan sungguh-sungguh bahwa seluruh kehidupannya tergantung pada ketetapan Allah Ta’ala. Hal itu seharusnya dapat menjadi kunci bagi manusia untuk selalu merasa dekat sekaligus memelihara kedekatan dengan pencipta-Nya.

Manusia bisa bersyukur jika mendapatkan takdir baik, atau memohon perubahan dengan ikhtiar dan doa apabila mengalami takdir yang menurutnya buruk. Kedua kiat tersebut merupakan bentuk-bentuk memelihara kedekatan dengan Allah Swt.

Termotivasi Beramal Baik

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, iman kepada qada dan qadar dapat menghindarkan kita dari sikap sombong dan berputus asa. Sebaliknya, kita akan senantiasa mampu bersabar, berikhtiar, sambil bertawakal untuk menunggu datangnya ketetapan Allah.

Saat memperoleh takdir baik, banyak rezeki misalnya. Kita dapat dengan mudah melakukan amal baik, seperti berinfak dan bersedekah.

Demikian pula ketika mendapatkan takdir buruk, kita dapat melatih diri untuk bersabar dan mendekat kepada Allah, sehingga hati tetap merasa tenang.

Selain itu, iman kepada qada dan qadar juga mendorong kita untuk selalu berbaik sangka kepada Allah. Keinginan kita belum terwujud, bisa jadi karena itu yang terbaik menurut Allah Ta’ala. Begitu pula sebaliknya, keinginan yang terwujud bisa jadi merupakan ujian Allah bagi kita.

Selalu Lebih Maju

Qada dan qadar bersifat gaib. Mustahil kita mengetahuinya sebelum hal itu terjadi. Wilayah ketidaktahuan ini sangat berguna. Hal tersebut dapat menumbuhkan sikap optimis dan tetap beraktivitas menjalani hidup.

Berbekal anugerah bawaan sejak lahir, maka kita bisa menumbuhkan semangat untuk membuat kemajuan dalam segala aspek kehidupan. Mempelajari sunnatullah akan memberi kita banyak pengetahuan, baik ilmu alam maupun ilmu sosial.

Takdir bisa terwujud dalam bentuk apa saja. Ini juga dapat memicu diri kita untuk selalu mengusahakan yang terbaik dalam hidup, seperti belajar tekun, menambah wawasan, meningkatkan keahlian dan keterampilan, serta kemampuan pengelolaan, dan lain sebagainya.

Poin hikmah qada dan qadar tersebut sekaligus mengakhiri pembahasan Hasana.id kali ini. Sekarang, apakah kamu sudah memiliki pemahaman lebih mendalam tentang topik tersebut? Semoga saja demikian, karena Hasana.id selalu ingin bermanfaat bagi kamu sekalian.