Memahami Pengertian, Kewajiban, dan Cara Melakukan Puasa Qadha

Terkadang, ada saatnya seorang muslim tidak bisa menunaikan amalan wajib tepat pada waktunya.

Contohnya jika kamu adalah muslimah yang harus berhenti berpuasa Ramadhan karena tengah mengalami menstruasi.

Ketika ini yang terjadi, diwajibkan atasmu untuk melakukan puasa qadha, yaitu mengganti puasamu pada hari lain.

Ada tata cara yang harus diikuti untuk mengqadha puasa agar ibadah saummu sah dan kamu mendapatkan pahala yang sama dengan berpuasa pada bulan Ramadhan.

Yang termasuk dalam rukun-rukun tersebut di antaranya adalah bacaan niat puasa ganti dan waktu penunaiannya.

Pada umumnya, timbul pertanyaan-pertanyaan tentang rukun-rukun itu. Contohnya adalah bolehkah mengqadha puasa pada bulan Syakban yang amat mepet dengan Ramadhan?

Jika boleh, bagaimana hukumnya menggabungkan niat puasa qadha Ramadhan dan puasa sunah Syakban menjadi satu?

Jika diteruskan, kamu akan mendapati lebih banyak pertanyaan yang semisal dengan itu karena ragamnya persoalan yang dimiliki umat manusia.

Namun, hal tersebut dianggap wajar karena tidak semua orang mengetahui tata cara puasa qadha.

Nah, Hasana.id akan membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan menghadirkan tulisan bergizi mengenai materi terkait.

Pengertian Qadha

Qadha merupakan kata dari bahasa Arab “qadhaa-un” yang memiliki makna ganda, yaitu “ketetapan Allah Swt. yang telah pasti dari masa azali” dan “penunaian”.

Kata “azali” sendiri berarti “sesuatu yang berkenaan dengan waktu dahulu” sehingga “masa azali” dapat dimaknai sebagai “masa lampau”.

Akar kata qadhaa-un adalah qadhaa yang berarti “memastikan”, “membayar”, “membuat”, “menunaikan”.

Makna qadha (qada) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ada dua pula.

Makna yang pertama adalah “hukum, ketentuan, peraturan, yang bersumber dari Allah Swt.”, sedangkan yang kedua adalah “penunaian ibadah wajib di luar waktu yang sudah ditetapkan”.

Lafal Niat Mengqadha Puasa Ramadan

Niat termasuk ke dalam rukun puasa.

Pelafalannya secara lahir tidak menentukan keabsahan ibadah saum yang dilakukan, menurut pemahaman mazhab Syafi’i, karena niat bertempat di dalam hati.

Hanya saja, melafalkan niat membantu seorang hamba untuk lebih mantap melakukan amalan ibadah.

Apabila kamu berniat mengqada puasa Ramadan yang lalu dalam waktu dekat, berikut adalah lafal niatnya.

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ قَضَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ لِلهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma ghadin ‘an qadhaa-i fardhi syahrin ramadhaana lillaahi ta’aalaa.

Artinya:

Aku berniat untuk mengqadha puasa bulan Ramadan esok hari karena Allah Swt.

Sementara itu, doa buka puasa qadha sama dengan yang diucapkan pada umumnya setelah membatalkan saum wajib.

Waktu Niat Puasa Qadha

Niat puasa qadha dibaca pada malam hari, sama seperti saat berniat puasa Ramadhan.

Setidaknya, begitu pendapat Imam Syafi’i yang diaminkan oleh para ulama penganut mahzabnya.

Dalam Hasyiyatul Iqna’, Syaikh Sulaiman Al-Bujairimi menuturkan syarat melafal niat pada malam hari atas saum-saum wajib, seperti saum Ramadhan, puasa qadha, serta puasa nazar.

Persyaratan ini bukan tanpa dasar, melainkan karena Rasulullah saw. menyabdakan demikian dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah rahimahullah dari Ummul Mu’minin Hafshah r.a.

عَنْ حَفْصَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا صِيَامَ لِمَنْ لَمْ يَفْرِضْهُ مِنْ اللَّيْلِ

‘An hafshata qaalat qaala rasuulullaahi shallallaahu ‘alaihi wa sallama laa shiyaama liman lam yafridh-hu mil-lail.

Artinya:

Dari Hafshah, ia berkata, ‘Rasulullah saw. bersabda: ‘Tidak ada puasa bagi yang tidak berniat di waktu malam’.’

(Hadis Sunan Ibnu Majah No. 1690 – Kitab Puasa)

Cara Menunaikan Puasa Qadha

Tidak ada ketentuan lain dalam mengqadha puasa Ramadhan selain yang tertera dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 184.

أَيَّامًا مَّعْدُودَٰتٍ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُۥ وَأَن تَصُومُوا۟ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Ayyaamam ma’duudaat, fa mang kaana mingkum mariiḍhan au ‘alaa opic fa ‘iddatum min ayyaamin ukhar, wa ‘alalladziina yuṭhiiquunahuu fidyatun ṭa’aamu miskiin, fa man taṭhawwa’a khairan fa huwa khairul lah, wa an taṣhuumuu khairul lakum ing kuntum ta’lamuun.

Artinya:

(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka, barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidiah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

Prof. Quraisy Syihab menerangkan kandungan ayat tersebut ke dalam poin-poin di bawah ini.

  1. Allah Swt. mewajibkan puasa Ramadhan yang hitungan harinya tidak memberatkan hamba-hamba-Nya.
  2. Siapa saja yang menderita sakit yang akan membahayakan dirinya jika berpuasa diperbolehkan meninggalkan puasa Ramadhan.

Demikian pula bagi yang sedang dalam perjalanan.

  1. Sejumlah hari puasa Ramadhanyang ditinggalkan, sebanyak itu pula yang harus diganti oleh orang sakit ketika sudah sembuh dan yang bepergian ketika telah kembali.
  2. Tidak diwajibkan mengqadha puasa Ramadhan bagi mereka yang tidak bisa berpuasa karena berusia lanjut atau menderita penyakit yang kesembuhannya tak bisa diharapkan.

Sebagai gantinya, ia diharuskan membayar fidiah, yaitu memberi makan orang miskin sebanyak jumlah hari yang ditinggalkan.

Makanan yang diberikan berupa penganan pokok sebesar 0,6 kg/orang.

  1. Siapa yang berpuasa sunah karena ingin menambah amalannya, ia telah melakukan kebaikan bagi dirinya.

Landasan Mengqadha Puasa karena Haid

Berdasarkan ayat ke-184 surah Al-Baqarah di atas, kewajiban melakukan puasa ganti dibebankan kepada mereka yang sakit dan bepergian.

Sementara itu, umum diketahui bahwa muslimah yang tengah haid pada saat Ramadhan juga wajib mengqadha puasanya di hari lain. Apa landasannya?

Sebuah hadits yang dirawi oleh Imam Muslim rahimahullah merekam pertanyaan seorang shahabiyah bernama Mu’adzah yang dilontarkan kepada Ummul Mu’minin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhuma mengenai topik terkait.

عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّي أَسْأَلُ قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ

‘An mu’aadzata qaalat sa-altu ‘aa-isyata fa qultu maa baalul-haa-idhi taqdhish-shauma wa laa taqdhish-shalaata fa qaalat aharuuriyyatun anti qultu lastu bi haruuriyyatin wa lakinnii as-alu qaalat kaana yushiibunaa dzalika fanu’maru bi qadhaa-ish-shaumi wa laa nu’maru bi qadhaa-ish-shalaat.

Artinya:

Dari Mu’adzah, dia berkata, ‘Saya bertanya kepada ‘Aisyah seraya berkata, ‘Mengapa gerangan wanita yang haid mengqadha puasa dan tidak mengqadha shalat?’ Maka ‘Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah (Khawarij)?’ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha salat’.

(Hadis Sahih Muslim No. 508 – Kitab Haid)

Terdapat beberapa pelajaran yang terkandung dalam hadits ini.

Kebolehan Bertanya

Seorang hamba boleh mempertanyakan ketetapan Allah Swt. dan rasul-Nya dalam rangka menambah ilmu, bukan untuk berkelit dari kewajiban menunaikannya, mengkritik, atau berdebat.

Hal tersebut bisa dilihat dari Mu’adzah yang bertanya atas dasar keingintahuan mengenai alasan wajibnya muslimah mengqadha puasa tetapi tidak mengganti salat.

Berhati-Hati dalam Menjawab

Diperlukan kehati-hatian dalam memberikan jawaban kepada seseorang yang menanyakan persoalan keagamaan untuk menghindari perdebatan.

Bisa saja yang bertanya dan yang ditanyakan memiliki pemahaman yang berbeda dalam hal-hal tertentu.

Ilustrasinya kira-kira begini: seseorang dengan latar belakang Muhammadiyah bertanya pada Nahdiyin tentang perlu atau tidaknya membaca doa qunut dalam shalat Subuh.

Nah, jika yang ditanya langsung menjawab “Perlu!” disertai dengan dalil-dalil yang mendukung tanpa mencari tahu latar belakang si penanya terlebih dahulu, apa yang akan terjadi?

Ummul Mu’minin ‘Aisyah r.a. mencontohkan sikap berhati-hati dengan melemparkan pertanyaan mengenai latar belakang Mu’adzah lebih dahulu.

Dalam kasus ini, jika Mu’adzah ternyata seorang Haruriyah, Ibunda ‘Aisyah r.a. tak perlu menjawab pertanyaan tersebut karena kaum Khawarij sudah jelas dinyatakan kesesatannya.

Apabila dijawab, tentu akan terjadi perdebatan yang tidak bermanfaat.

Sami’na Wa Atha’na

Sikap sami’na wa atha’na (kami dengar dan kami taat) harus menjadi landasan utama dalam menjalankan perintah Allah Swt. dan rasul-Nya.

Tak peduli akan mendatangkan atau tidak ketika ditunaikan, mengakibatkan kerugian maupun tidak jika tidak ditunaikan, setiap perintah harus direspons dengan sikap tersebut.

Sikap tersebut sudah mendarah daging dalam laku ibunda ‘Aisyah dan Mu’adzah.

Bagi Mu’adzah, pertanyaannya berhenti setelah Ummul Mu’minin ‘Aisyah r.a. menjawab dengan kata-kata “Kami diperintahkan …”.

Tidak ada embel-embel “Jika kami melaksanakannya, maka kami begini dan begitu. Jika tidak melaksanakannya, maka kami begini dan begitu”.

Artinya, tak ada lagi kebingungan atau pertanyaan tambahan setelah mengetahui bahwa persoalan yang ditanyakannya ternyata merupakan perintah Allah Swt. melalui rasul-Nya.

Mari membahas poin ini sedikit lebih lanjut dengan contoh berikut. Mengapa umat muslim diharamkan mengonsumsi babi? Jawabannya adalah karena Allah Swt. melarangnya.

Sebagian orang mungkin ingin bertanya lebih jauh: mengapa Sang Pencipta melarang demikian? Apa yang terjadi jika mengonsumsi hewan ini?

Jika kamu memiliki sikap “sami’na wa atha’na” dalam diri, alasan Allah Swt. mengharamkannya tentu tak lagi diperlukan karena pasti ada kebaikan dalam tiap ketetapan-Nya.

Apabila ternyata terdapat manfaat dari tidak mengonsumsi daging babi, faedah tersebut semata adalah perkara turunan yang menguntungkan, bukan alasan utama hewan ini haram dikonsumsi.

Fokus Persoalan

Adapun inti dari hadits di atas adalah muslimah yang memiliki uzur menstruasi dan meninggalkan saum wajib diharuskan berniat puasa qadha karena haid di luar Ramadhan.

Alasannya adalah karena Rasulullah saw. memerintahkan demikian.

Tidak Diwajibkannya Mengqadha Puasa secara Berurutan

Tidak ada dalil yang mewajibkan agar puasa qadha ditunaikan secara berurutan.

Yang ada justru sabda Rasulullah saw. yang menyatakan kebolehan untuk mengganti saum Ramadhan sekehendak hati pelakunya.

قَضَاءُ رَمَضَانَ إنْ شَاءَ فَرَّقَ وَإنْ شَاءَ تَابَعَ

Qadhaa-u ramadhaana insyaa-a farraqa wa insyaa-a taaba’.

Artinya:

Qadha (puasa) Ramadan itu jika ia berkehendak maka ia boleh melakukannya terpisah. Dan jika ia berkehendak maka ia boleh melakukannya berurutan.

(HR Daruquthni, dari Ibnu ‘Umar)

Puasa Qadha pada Bulan Syakban

Mengqadha puasa Ramadhan boleh dilakukan kapan pun sepanjang tahun selama belum bertemu Ramadhan berikutnya.

Adapun Ummul Mu’minin ‘Aisyah ra. selalu mengganti saumnya pada bulan Syakban berdasarkan hadits yang dirawi oleh Imam Bukhari rahimahullah dari Abu Salamah r.a.

عَنْ أَبِي سَلَمَةَ قَالَ سَمِعْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا تَقُولُ كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ قَالَ يَحْيَى الشُّغْلُ مِنْ النَّبِيِّ أَوْ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

‘An abii salamata qaala sami’tu ‘a-isyata radhiyallaahu ‘anhaa taquulu kaana yakuunu ‘alayyash-shaumu min ramadhaana famaa astathii’u an aqdhiya illaa fii sya’baana qaala yahyasy-syughlu min nabiyyi au bin-nabiyyi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Artinya:

Dari Abu Salamah berkata, ‘Aku mendengar ‘Aisyah r.a. berkata: ‘Aku berutang puasa Ramadhan dan aku tidak bisa mengqadhanya kecuali pada bulan Syakban’. Yahya berkata, ‘Karena dia sibuk karena atau bersama Nabi saw.’

(Hadis Sahih Al-Bukhari No. 1814 – Kitab Saum)

Kandungan Hadits

Beberapa catatan yang dapat dipelajari dari hadits di atas adalah sebagai berikut.

  1. Ibunda ‘Aisyah r.a. melakukan puasa qadha pada waktu yang mepet dengan tenggat karena Syakban adalah bulan yang datang tepat sebelum Ramadhan.
  2. Dalam kitab Shahih al-Bukhari, Syaikh Musthafa Dib al-Bugha meninggalkan sebuah catatan kaki mengenai kesibukan sang ummul mu’minin yang menahan beliau dari menunaikan puasa qadha sebelum bulan Syakban.

Muhammad Fuad Abdul Baqi juga meninggalkan catatan kaki yang serupa dalam kitab Shahih Muslim.

Menurut keduanya, ‘Aisyah r.a. selalu berjaga kalau-kalau Rasulullah saw. membutuhkan dirinya. Beliau khawatir jika ibadah puasanya menghalangi keinginan sang Nabi.

  1. Syakban dipilih oleh ‘Aisyah r.a. karena Rasulullah saw. lebih banyak berpuasa sunah pada bulan ini dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.

Selain itu, Syakban juga merupakan bulan terakhir sebelum Ramadhan datang kembali sehingga mereka terdesak mengqadha saumnya di waktu ini.

  1. Ibunda ‘Aisyah r.a. juga tidak pernah menunaikan puasa sunah apa pun sepanjang tahun.

Beliau memiliki pendapat bahwa seorang muslim yang masih memiliki tanggungan ibadah saum wajib tidak diperbolehkan mengerjakan yang sunah.

  1. Mengqadha puasa Ramadhan yang ditinggalkan dengan uzur tidak wajib dilakukan dengan segera, tetapi boleh diperpanjang masanya.

Namun, seseorang yang meninggalkan saum wajib tanpa uzur tidak boleh menunda-nuda penunaian puasa qadha.

Hukum Menggabungkan Niat Puasa Qadha dengan Puasa Sunah

Dalam ilmu fiqih, terdapat istilah at-tasyriik fin niyyah yang bermakna “mengombinasikan niat”.

Untuk persoalan menggabungkan niat antara amalan wajib dan yang sunah dalam satu ibadah, Imam Suyuthi membagi hukumnya menjadi empat, seperti tertera dalam Al-Asbah wan Nadhair.

  1. Baik ibadah yang wajib maupun yang sunah keduanya sah, contohnya: berniat mandi junub pada hari Jumat dan mandi sunah Jumat.
  2. Ibadah wajibnya sah, ibadah sunahnya tidak sah, contohnya: jamaah haji yang baru berhaji pertama kali ingin berniat haji wajib dan sunah sekaligus.
  3. Ibadah wajibnya tidak sah, ibadah sunahnya sah, contohnya: seseorang berniat zakat wajib dan sedekah dengan memberikan sejumlah uang kepada fakir miskin.
  4. Baik ibadah yang wajib maupun yang sunah tidak sah, contohnya: seseorang shalat dengan berniat shalat fardu dan sunah rawatib.

Niat Puasa Qadha Ramadhan dan Puasa Sunnah Syakban

Berdasarkan pengategorian di atas, niat puasa qadha yang digabung dengan saum sunah Syakban masuk dalam poin 1, yaitu sah kedua-duanya.

Akan tetapi, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini. Ada yang mengelompokkannya ke dalam poin 2, 3, dan bahkan 4.

Untuk berhati-hati, ada baiknya kamu memisahkan penunaian antara puasa qadha dengan saum sunah pada hari yang berbeda.

Niat Puasa Ganti Sekaligus Puasa Senin Kamis

Sebagian ulama membolehkan menjatuhkan niat puasa qadha pada hari Senin atau Kamis yang merupakan waktu-waktu istimewa untuk berpuasa.

Lebih lanjut, pahala yang diterima bahkan lebih besar berdasarkan hadits yang dirawi oleh at-Tirmidzi rahimahullah dari Abu Hurairah r.a. berikut.

رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُعْرَضُ الْأَعْمَالُ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

Rasuulallaahi ‘alaihi wa sallama qaala ta’radhul-a’maalu yaumal-itsnaini wal-khamiisi fa uhibbu an yu’radha ‘amalii wa anaa shaaim.

Artinya:

Rasulullah saw. bersabda: ‘Pada hari Senin dan Kamis, semua amalan dinaikkan kepada Allah Ta’ala, maka saya lebih suka amalanku dinaikkan kepada-Nya ketika saya sedang berpuasa.’

(Hadits Jamik at-Tirmidi No. 678 – Kitab Puasa)

Memang tidak semua ulama memiliki pendapat yang sama dengan ini.

Akan tetapi, tidak dapat dikatakan bahwa kesimpulan menjatuhkan niat puasa qadha hari Kamis akan mendatangkan pahala yang lebih besar tersebut salah.

Niat Puasa Qadha dibulan Rajab

Sebagaimana puasa sunah lainnya, ibadah saum pada bulan Rajab sah ditunaikan tanpa menyebutkan jenis puasanya.

Contohnya, melafalkan “Saya niat berpuasa karena Allah Ta’ala” saja tanpa menambahkan “… berpuasa di bulan Rajab sunah karena…” itu sudah cukup.

Sementara itu, qadha puasa Ramadhan termasuk ibadah wajib yang harus ditentukan jenis saumnya.

Contohnya dengan melafalkan “Saya niat berpuasa qadha Ramadhan fardhu karena Allah Ta’ala.”

Jika berniat puasa qadha pada bulan Rajab, kamu akan mendapatkan pahala mengqadha puasa dan pahala saum sunah Rajab sekaligus hanya dengan melafalkan niat puasa ganti.

Setidaknya, begitulah menurut Syakh al-Barizi.

Puasa Qadha tanpa Mengingat Jumlah Hari yang Ditinggalkan

Seorang muslim wajib melakukan puasa qadha sebanyak hari yang ditinggalkan.

Namun, bagaimana jika ia tidak mengingat dengan jelas berapa banyak hari tersebut? Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami memiliki jawabannya dalam Al-Fatawa al-Fiqhiyatul Kubra.

Syaikh Ibnu Hajar berfatwa menggunakan pendekatan wudhu untuk kasus seseorang yang sudah hadats, tetapi tidak yakin apakah ia sudah bersuci atau belum.

Solusi untuk keragu-raguan ini adalah dengan berwudhu kembali.

Jika ia belum bersuci, niatnya dianggap untuk menghilangkan hadas. Apabila sudah, niatnya dianggap untuk memperbarui wudhu.

Dalam konteks puasa qadha, Syaikh Ibnu Hajar menyarankan agar memperbanyak puasa dengan niat mengqadha ibadah saum Ramadhan.

Jika hitungan qadha puasa Ramadhannya selesai, tetapi ia tetap terus berpuasa, puasanya berpahala setara dengan puasa sunah.

Meninggal Dunia dengan Tanggungan Puasa

Tak ada seorang pun yang mengetahui kapan ia akan berpulang kepada Sang Pencipta.

Oleh karenanya, baik bagi seorang muslim untuk sesegera mungkin menunaikan tanggungan pa pun yang dimiliki tanpa menunda-nunda, tak terkecuali utang puasa Ramadhan.

Meski begitu, ada kasus-kasus di mana seorang muslim meninggal dunia sebelum melunasi seluruh utang puasa wajibnya. Bagaimana hukumnya jika demikian?

Ia akan dianggap masih memiliki tunggakan utang kepada Allah Swt. yang kemudian dibebankan pada ahli warisnya.

Terdapat dua pendapat mengenai hal ini. Pertama, ahli waris boleh melunasi puasa qadha tersebut hanya dengan fidiah.

Sabda Rasulullah saw. yang dirawi oleh at-Tirmidzi dari Ibnu ‘Umar berikut ini mendukung pendapat tersebut.

مَن مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيُامْ أُطْعِمَ عَنْهُ مَكَانَ يَوْمٍ مِسْكِيْنٌ

Man maata wa ‘alaihi shiyuum uth’ima ‘anhu makaana yaumin miskiin.

Artinya:

Siapa saja meninggal dunia dan mempunyai kewajiban puasa maka dapat digantikan dengan memberi makan kepada orang miskin pada tiap hari yang ditinggalkannya.

(Hadis Jamik at-Tirmidzi No. 651 – Kitab Puasa)

Uniknya, sabda Nabi di atas dinyatakan sebagai hadits gharib (ganjil) oleh Imam Tirmidzi, perawinya sendiri.

Sebagian ahli hadits bahkan menyatakan bahwa ini merupakan hadits maukuf (ditunda) dan tidak bisa dipakai sebagai penguat suatu pendapat tertentu.

Pendapat kedua menyatakan yaitu ahli waris tidak boleh membayar puasa qadha si almarhum dengan fidiah, tetapi harus dengan berpuasa.

Dalam pelaksanaannya, pihak keluarga boleh meminta orang lain yang melakukan saum dalam rangka mengqadha puasa si almarhum.

Pendapat yang ini dianggap lebih kuat karena hadits yang mendasarinya merupakan hadits sahih.

Dirawi oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim rahimahullah, dari ‘Aisyah r.a., berikut bunyi sabda Nabi yang dimaksud.

مَنْ مَاتَ وَ عَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

Man maata wa ‘alaihi shiyaamun shaama ‘anhu waliyyuh.

Artinya:

Siapa saja yang meninggal dunia dan mempunyai kewajiban qadha puasa maka walinya (keluarganya) berpuasa menggantikannya.”

(HR Bukhari dan Muslim, dari ‘Aisyah r.a.)

Penutup

Status hari yang ditinggalkan saat Ramadhan sama dengan utang dan harus dibayar.

Oleh karenanya, kamu wajib mengerjakan puasa qadha jika meninggalkan saum fardhu tersebut dengan uzur.

Menyegerakan penunaiannya juga lebih disukai karena manusia tak mengetahui kapan umurnya akan berakhir.

Semoga pembaca Hasana.id termasuk orang-orang yang mendapat kemudahan dari-Nya dalam menunaikan puasa qadha. Aamiin.

Sumber:

https://www.hadits.id/hadits/muslim/508

https://kbbi.kemdikbud.go.id/Cari/Etimologi?eid=66427

https://www.hadits.id/hadits/majah/1690

https://islam.nu.or.id/post/read/105797/ini-lafal-niat-qadha-puasa

https://islam.nu.or.id/post/read/120416/kewajiban-qadha-bagi-yang-meninggalkan-niat-puasa-ramadhan

https://www.hadits.id/hadits/bukhari/1814

https://islam.nu.or.id/post/read/118693/sayyidah-aisyah-selalu-mengqadha-puasa-ramadhan-di-bulan-sya-ban–mengapa-

https://islam.nu.or.id/post/read/89869/hukum-mengqadha-tetapi-lupa-jumlah-utang-puasa

https://islam.nu.or.id/post/read/38547/puasa-sunnah-sya039ban-diniati-qadha-ramadhan

http://antalalai.com/quran/perayat.php?ayat&nomorsurat=2&nomorayat=

http://antalalai.com/quran/perayat.php?ayat&nomorsurat=2%20%20&nomorayat=%20184

https://islam.nu.or.id/post/read/14066/cara-meng-qadha-atau-mengganti-puasa

https://www.hadits.id/hadits/tirmidzi/678

https://www.rumahfiqih.com/konsultasi-2035-bolehkah-qadha-puasa-dicicil-tiap-senin-dan-kamis.html