Perjanjian Hudaibiyah: Sejarah dan Teladan Rasulullah dalam Berdiplomasi

Perjanjian Hudaibiyah menjadi potongan kecil dalam sejarah perjalanan Islam di periode awal, terutama setelah munculnya Nabi Muhammad shalallahu ‘alahissalam.

Selain menjadi pengingat atas ketegangan militer yang terjadi antara umat Muslim dan kaum musyrik Quraisy di waktu itu, perjanjian tersebut juga menunjukkan jejak diplomasi Rasulullah saw.

Lalu, seperti apa isi perjanjian tersebut, apa yang melatarbelakanginya, dan mengapa penting bagi umat Islam masa kini untuk mengetahuinya?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Hasana.id telah merangkum informasi berikut ini khusus untuk kamu. Yuk, simak.

Sejarah dan Kisah Perjanjian Hudaibiyah di Masa Rasulullah saw.

Awal mula adanya perjanjian yang juga dikenal dengan nama “shulhul hudaibiyah” ini adalah saat kurang lebih 1400 pengikut Rasulullah saw. berencana menjalankan ibadah haji di Makkah.

Saat itu, kaum musyrik Quraisy tidak rela dan mengerahkan kekuatan militer yang cukup besar sebagai upaya menghalangi pintu masuk kota Makkah dari rombongan Rasulullah saw. tersebut.

Karena tidak ingin terjadi peperangan, Rasulullah saw. pun memilih untuk mengajak kaum musyrikin berunding untuk menemukan solusinya.

Hasil dari perundingan tersebut adalah lahirnya Perjanjian Hudaibiyah pada bulan Dzulhijah tahun 6 Hijriyah atau Maret 628 Masehi.

Keputusan yang diambil di antaranya adalah kesepakatan gencatan senjata dan diberinya kesempatan bagi umat Islam untuk menjalankan ibadah haji di Makkah.

Meskipun akhirnya kesepakatan tersebut dapat terjadi, proses perundingan sebelumnya berjalan cukup alot. Terutama dalam hal redaksi yang digunakan pada perjanjian.

Dilarangnya Rombongan Rasulullah Memasuki Makkah

Rombongan Nabi Muhammad saw. pergi ke Makkah tanpa membawa senjata. Tentu saja tidak bersenjata, karena memang tujuannya untuk haji bukan perang.

Akan tetapi, hal tersebut tidak menghentikan kelompok musyrik Quraisy untuk menghentikan perjalanan Rasulullah saat baru sampai di Hudaibiyah.

Rasulullah saw. pun meyakinkan kaum Quiraisy yang mencegatnya, sebab tujuan rombongannya hanya lah untuk beribadah.

Kaum Quraisy pun tidak dapat langsung percaya begitu saja dengan pernyataan Rasulullah. Akhirnya, dikirim utusan dari Makkah untuk mengecek kebenaran akan hal tersebut.

Di sisi lain, Rasulullah juga mengirim salah satu sahabatnya untuk meyakinkan para pemuka Makkah pada saat itu.

Setelah melakukan mediasi selama beberapa kali, para pemuka Makkah akhirnya mengutus Suhail bin Amr dan Mukriz untuk menemui rombongan Rasulullah.

Mandat yang diberikan pada mereka adalah untuk membuat kesepakatan apa pun dengan Nabi Muhammad saw., kecuali satu hal, yaitu kesepakatan yang memperbolehkan rombongan Rasulullah menginjakkan kaki di Makkah.

Perundingan Panjang Sebelum Disepakatinya Perjanjian Hudaibiyah

Kedua belah pihak akhirnya bertemu untuk merundingkan kesepakatan bersama antara rombongan Rasulullah saw. dengan kaum Quiraisy.

Perundingan pun berjalan alot, terutama saat kedua belah pihak mulai membuat kesepakatan tertulis untuk disetujui bersama.

Saat Nabi Muhammad saw. meminta juru tulisnya, yaitu Ali bin Abi Thalib, untuk memasukkan kata “bismillahirahmanirrahim“, perwakilan musyrik Quraisy, yaitu Suhail bin Amr, menolaknya dengan alasan kelompoknya tidak mengenal siapa itu ‘ar-rahman’.

Kaum Muslimin yang saat itu ikut dalam perundingan pun tidak terima akan penolakan Suhail.

Namun, untuk menengahi perdebatan tersebut, Rasulullah saw. pun mengikuti kemauan kaum Quraisy dan menyuruh Ali untuk menuliskan “bismika allahumma“.

Selanjutnya, Nabi Muhammad saw. meminta untuk menyambung kalimat pembuka tersebut dengan “hadza ma qadla ‘alaih Muhammad Rasulullah” yang artinya “inilah ketetapan Muhammad, yaitu Rasulullah”

Suhail saat itu kembali menyangkal usul ketetapan dari Rasulullah tersebut. Ia berdalih jika kaumnya percaya bahwa Nabi Muhammad saw. sebagai utusan Allah, tentu mereka tidak akan menghalangi rombongan Muhammad untuk mengunjungi Ka’bah.

لَوْ كُنَّا نَعْلَمُ أَنَّكَ رَسُول اللهِ مَا صَدَدْنَاكَ عَنْ البَيْتِ و لا قَاتَلْنَاكَ

Lau kunna na’lahu annaka rasulullahi maa shadad naka ‘an baiti wa la qatalnaka

Artinya:

“Kalau kami mengetahui bahwa kamu (Muhammad) adalah Rasulullah, maka kami tidak akan menghalang-halangimu dari Baitullah dan tidak akan memerangimu.”

Ia meminta agar ditulis ‘Muhammad bin Abdullah’. Hal ini menegaskan bahwa kaum Quraisy hanya mengakui Muhammad sebagai anak laki-laki Abdullah, tidak lebih dari itu.

Demi tercapainya Perjanjian Hudaibiyah tersebut, Rasulullah pun mengiyakan permintaan Suhail.

Di sini dapat kamu lihat betapa Nabi Muhammad saw. sangat menjunjung sikap agar tidak ada yang bertikai dan terjadi pertumpahan darah.

Prioritas utama Rasulullah adalah untuk mencari perdamaian meskipun isi dari kesepakatan tersebut mengurangi kebesaran agama Islam secara simbolis.

Isi Perjanjian Hudaibiyah yang Disepakati Rasullullah dan Kaum Quraisy

Perjanjian tersebut dinamakan demikian karena kesepakatan damai yang dilakukan berlangsung di lembah Hudaibiyah.

Lembah ini berada di arah barat Makkah, tepatnya sekitar 20 km, dan saat ini dapat ditemukan Masjid Ar-Ridlwan di lokasi tersebut.

Lalu, seperti apa isi Perjanjian Hudaibiyah yang saat itu disepakati oleh Rasulullah saw. dengan kaum Quiraisy di Makkah? Berikut poin-poin dari kesepakatan yang dibuat:

Pertama, kedua belah sepakat untuk melakukan gencatan senjata selama 10 tahun. Jadi, dalam jangka waktu tersebut, kaum Nabi Muhammad dan Quraisy setuju untuk tidak bermusuhan.

Mereka juga tidak akan melakukan perbuatan buruk kepada satu sama lain selama jangka waktu yang telah ditentukan.

Kedua, siapa saja yang termasuk dalam bagian suku-suku Arab diperbolehkan untuk membuat kesepakatan dan menggabungkan diri.

Dalam sejarahnya, poin dalam Perjanjian Hudaibiyah ini telah membuat suku Khuzu’ah bekerjasama dengan Rasulullah saw. dan keduanya juga mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian pertahanan.

Sementara itu, Bani Bakar memilih untuk memihak kaum musyrik Quraisy.

Ketiga, apabila ada seseorang yang datang kepada Nabi Muhammad saw. tanpa seizin keluarganya dan ia adalah bagian dari kaum musyrik, maka orang tersebut wajib dikembalikan ke Makkah.

Akan tetapi, jika ada seorang Muslim yang memilih untuk kembali ke Makkah dan datang kepada kaum musyrik, maka tidak ada kewajiban untuk mengembalikan orang tersebut sebagai kaum Nabi Muhammad saw.

Keempat, pada tahun disepakatinya Perjanjian Hudaibiyah, Nabi Muhammad saw. dan rombongannya belum diperbolehkan untuk memasuki Makkah dengan alasan apa pun. Sehingga, mereka diharuskan meninggalkan kota Makkah.

Akan tetapi, pada tahun selanjutnya, mereka diperkenankan masuk dengan syarat tidak membawa senjata dan hanya bermukim di Makkah paling lama tiga hari.

Senjata berupa pedang yang tidak dihunus dikecualikan dalam barang yang terlarang untuk dibawa.

Terakhir, Perjanjian Hudaibiyah ini disepakati oleh kedua belah pihak dengan dasar kesediaan penuh dan ketulusan antara keduanya.

Disebutkan juga bahwa pihak-pihak yang terlibat akan melaksanakannya tanpa diiringi dengan penyelewangan atau penipuan.

Wakil-Wakil yang Menyaksikan Perjanjian Hudaibiyah

Kesepakatan yang diambil dalam perjanjian ini disaksikan oleh perwakilan-perwakilan dari kedua belah pihak.

Seperti disebutkan sebelumnya, Mikraz bin Hafzh dan Suhail bin Amr menjadi tokoh yang mewakili pihak kaum musyrik Quraisy.

Sedangkan dari pihak kaum Muslim, Nabi Muhammad saw. didampingi oleh sahabat-sahabatnya, yaitu Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang berlaku sebagai juru tulis, Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq, dan Sayyidina Umar bin Khattab.

Selain itu, Muhammad bin Salamah, Abdurrahman bin Auf, Abdurrahman bin Suhail, dan Sa’ad bin Abi Waqqash juga ikut menyaksikan dirumuskannya Perjanjian Hudaibiyah.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidina Umar bin Khattab, serta beberapa sahabat lainnya sempat tidak setuju dengan isi kesepakatan dalam perjanjian ini.

Mereka umumnya tidak setuju dengan poin tentang dikembalikannya seorang dari kaum musyrikin jika datang ke Rasulullah dan belum diizinkannya kaum Muslim untuk beribadah ke Makkah.

Akan tetapi, setelah mendengarkan penjelasan dari Rasulullah saw., akhirnya para sahabat pun menerima Perjanjian Hudaibiyah meski dengan berat hati.

Setelah kesepakatan tersebut dibuat, rombongan Nabi Muhammad saw. pun kembali ke Madinah sesuai dengan perjanjian.

Mereka pulang setelah kurang lebih 20 hari menetap di Hudaibiyah. Sebelum kembali, Rasulullah sempat memerintahkan umat yang ikut untuk bertahallul atau mencukur rambut dan berihram.

Selain itu, mereka juga menyembelih beberapa unta sebelum beranjak kembali ke Madinah. Dikisahkan ada sekitar 70 ekor unta yang disembelih kala itu.

Keadaan Kaum Muslim Pasca Perjanjian Hudaibiyah

Satu tahun sejak waktu Perjanjian Hudaibiyah disepakati, Rasulullah saw. dan pengikutnya pun benar-benar bisa menunaikan ibadah haji serta umrah ke Makkah.

Perjalanan rohani tersebut kemudian dikenal dengan nama umrah qadha, karena dilakukan sebagai ganti untuk umrah yang tahun sebelumnya batal ditunaikan.

Peristiwa yang terjadi pada rombongan Nabi Muhammad saw. tersebut senada dengan firman Allah Swt. dalam Al-Quran Surah al-‘Ankabut ayat 67, berikut ini:

أَوَلَمْ يَرَوْا۟ أَنَّا جَعَلْنَا حَرَمًا ءَامِنًا وَيُتَخَطَّفُ ٱلنَّاسُ مِنْ حَوْلِهِمْ ۚ أَفَبِٱلْبَٰطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَةِ ٱللَّهِ يَكْفُرُونَ

A wa lam yarau annā ja’alnā ḥaraman āminaw wa yutakhaṭṭafun-nāsu min ḥaulihim, a fa bil-bāṭili yu`minụna wa bini’matillāhi yakfurụn

Artinya:

Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedang manusia sekitarnya rampok-merampok. Maka mengapa (sesudah nyata kebenaran) mereka masih percaya kepada yang bathil dan ingkar kepada nikmat Allah?

Dalam tafsir al-Baghawi, dijelaskan bahwa ayat di atas menyatakan adanya jaminan keamanan bagi umat Islam yang memasuki Makkah bersama Nabi Muhammad saw. pada tahun umrah qadha.

Yang dapat kamu pahami dari penafsiran tersebut adalah jika perjalanan haji dan umrah yang telah diniati untuk dilakukan, namun batal karena terjadinya masalah tertentu, maka rangkaian ibadah tersebut bisa kamu ganti di waktu lainnya.

Misalnya, kamu bisa mengganti perjalanan tersebut saat kondisi telah aman, seperti yang dilakukan rombongan Nabi Muhammad saw. pasca Perjanjian Hudaibiyah.

Abdu al-Aziz bin Muhammad bin Ibrahim al-Kinany al-Sayfii dalam kitabnya yang berjudul Hidayatu al-Salik ila al-Madzahib al-Arba’ati fi al-Manasik, menjelaskan sebagai berikut:

Pelajaran dari Perjanjian Hudaibiyah untuk Masa Sekarang

Ada cukup banyak pelajaran yang bisa kamu ambil di dalam peristiwa perumusan perjanjian antara kaum Muslim dan musyrik Quraisy tersebut.

Salah satunya adalah sikap Nabi Muhammad saw. dalam bermusyawarah dan berdiplomasi demi kemaslahatan semua umat.

Pada saat perumusan Perjanjian Hudaibiyah, banyak saran dari beliau yang ditolak mentah-mentah oleh kaum Quraisy. Akan tetapi, ia tetap tenang dan berusaha mengerti keadaan sehingga hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi.

Misalnya, saat kaum Quraisy menolak mengakui Nabi Muhammad sebagai rasul Allah Swt., beliau tidak marah atau pun merasa tersinggung dengan pernyataan kaum musyrik tersebut.

Sebab, sebagai utusan Allah Swt., Rasulullah saw. mengerti bahwa keyakinan memang tidak dapat dipaksakan. Hal ini senada dengan kutipan Surah al-Baqarah ayat 256 berikut ini:

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّيْن

Laa ikrahha fiiddin

Artinya:

“Tidak ada paksaan di dalam (memeluk) Islam.”

Pelajaran berharga dari kejadian dalam Perjanjian Hudaibiyah ini adalah pentingnya menegakkan perdamaian di mana pun dan di situasi apa pun.

Rasulullah saw., memberikan pelajaran bagi kaum Islam bahwa diplomasi bisa menjadi jalan untuk menjauh dari pertumpahan darah.

Meskipun akhirnya hasil dari kegiatan diplomasi tersebut tidak menonjolkan Islam secara substansi.

Selain pentingnya mengambil langkah diplomasi dalam kasus-kasus tertentu, Nabi Muhammad saw. juga menunjukkan bahwa perilaku tidak memaksakan kehendak merupakan suatu hal yang tak kalah penting.

Lalu pelajaran apa lagi kah yang bisa kita petik dari Perjanjian Hudaibiyah? Berikut beberapa di antaranya.

Menahan Diri dari Meraih Keuntungan Jangka Pendek

Kisah perumusan Perjanjian Hudaibiyah bukan hanya memberikan pelajaran bahwa menjunjung perdamaian adalah hal yang penting, terutama dalam konteks masyarakat majemuk yang berbeda-beda.

Adanya peristiwa ini juga memberikan pelajaran bahwa terkadang lebih baik untuk menahan diri demi keuntungan yang lebih besar di masa datang.

Dalam perjanjian ini, Nabi Muhammad saw. menunjukkan sikap yang tidak mudah terbawa emosi, sehingga dapat menenangkan sahabat-sahabatnya saat mereka merasa dirugikan dengan isi dari Perjanjian Hudaibiyah.

Sikap Rasulullah yang dapat menahan diri untuk meraih keuntungan jangka pendek pada waktu itu pun menuaikan hasil yang maksimal di kemudian hari.

Beliau dapat melihat jauh ke depan bahwa adanya gencatan senjata di antara kaum Muslim dan kelompok musyrik Quraisy akan berdampak baik bagi umatnya di masa datang.

Di antara keuntungan jangka panjang yang didapat adalah kesempatan untuk berdakwah yang semakin luas di jazirah Arab dan wilayah Madinah dianggap memiliki otoritas sendiri karena perjanjian tersebut ditanda tangani bersama kaum Quraisy yang terhormat di negerinya.

Teladan Moderasi dalam Perjanjian Hudaibiyah

Hal lain yang dapat kamu pahami dari perundingan ini adalah bagaimana Rasulullah saw. memilih jalan moderasi. Mengambil jalan tengah demi tercapainya kata damai di antara dua belah pihak.

Meskipun saat itu sahabat-sahabatnya menolak untuk setuju akan usul perwakilan kaum Quraisy. Hal tersebut karena poin-poin tertentu dianggap sangat prinsip dalam perjuangan Islam.

Nabi Muhammad saw. dapat meyakinkan sahabat-sahabatnya tersebut bahwa jalan tengah yang beliau ambil juga mempunyai nilai kebijaksanaan dan kebenaran.

Beliau juga meyakinkan bahwa keputusan tersebut merupakan tuntutan Allah Swt. Dan lagi pula, setiap keputusan yang diambil demi perdamaian serta kemaslahatan umat tidak akan salah atau bahkan merugikan kaum Muslim.

Pelaksanaan Qadha Umrah saat Keadaan Tidak Memungkinkan

Pelajaran lain yang dapat diambil dari peristiwa seputar perjanjian ini adalah terkait dibatalkannya ibadah umrah ke Kota Makkah karena alasan tertentu.

Hal semacam ini tentu bisa saja terjadi di masa sekarang. Contohnya adanya wabah virus Corona yang menyebabkan jamaah umrah gagal memasuki Kota Makkah.

Persamaan antara kasus tersebut adalah adanya larangan dari pihak pemegang otoritas di Makkah untuk memasuki kawasannya.

Sedangkan yang membedakan adalah penyebabnya. Jika di masa Rasulullah penyebabnya adalah penolakan dari kaum musyrik Quraisy, maka kali ini penyebabnya adalah kemungkinan penyebaran virus Corona yang dapat merugikan semua pihak.

Sebagaimana dijelaskan dalam potongan Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 195 yang berbunyi:

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

wa lā tulqụ bi`aidīkum ilat-tahlukati

Artinya:

“Dan janganlah kamu semua mencampakkan diri kamu semua kepada kebinasaan”

Umat Islam tidak dibenarkan untuk mendekatkan dirinya pada kebinasaan. Hal ini juga selaras dengan sabda Rasulullah saw. dalam hadis riwayat Muttafaq’alaih berikut ini:

إذا كان الوباء – أو الطاعون – في بلد فلا تخرجوا منه ولا تدخلوا إليه

Artinya:

“Jika wabah tha’un melanda suatu daerah, maka kalian jangan keluar dan jangan memasuki wilayah epidemi-nya” (HR. Muttafaq ‘alaih)

Kedua dalil di atas menjelaskan bahwa mematuhi otoritas pemerintah setempat di masa pandemi yang dapat mengancam nyawa para jamaah adalah tindakan yang benar.

Lalu, bagaimana dengan mereka yang sudah terlanjur meniatkan untuk umrah ke Makkah? Sebenarnya, kamu bisa menjadikan peristiwa pasca Perjanjian Hudaibiyah sebagai referensi.

Saat itu, Rasulullah menerapkan umrah qadha sebagai ganti dari niat jamaahnya untuk berumrah di tahun sebelumnya yang batal. Artinya, hal yang sama juga dapat diterapkan pada kasus pembatalan karena penyebaran virus Corona.

Selanjutnya, kita bisa menunggu bagaimana pihak berwenang mengatur mengenai pelaksanaan qadha tersebut seiring dengan niat para jamaah untuk melangsungkan umrah yang sebelumnya batal.

Pelanggaran Perjanjian Hudaibiyah dan Berakhirnya Kesepakatan

Kesepakatan yang dibuat oleh Rasulullah dan kaum Quraisy tidak bertahan selama 10 tahun sebagaimana tertuang dalam perjanjian.

Kaum Quirasy beberapa kali melanggar pasal-pasal yang ada dalam perjanjian. Misalnya seperti saat ikut campur dalam pertempuran antara Bani Bakr dan Bani Khuza’ah.

Dengan adanya pelanggaran terhadap poin-poin dalam Perjanjian Hudaibiyah, kesepakatan damai antara kedua belah pihak terciderai dan seperti telah berakhir sebelum waktunya. Wallahu’alam bishawab.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *