Berbagai Pelajaran yang Bisa Dipetik dari Kisah Nabi Khidir

Nabi Khidir alaihissalam adalah seorang tokoh yang penuh misteri. Keberadaannya masih menjadi perdebatan para ulama hingga kini.

Ada yang menyebutnya orang saleh, tetapi banyak yang berpendapat bahwa beliau termasuk jajaran hamba Allah dengan keistimewaan menjadi nabi.

Siapakah Sebenarnya Nabi Khidir?

Mungkin, kamu juga bertanya-tanya, siapakah Nabi Khidir? Namanya tak pernah secara eksplisit muncul dalam ayat Al-Qur’an.

Namun, banyak ulama menafsirkan bahwa sosok yang dimaksud dalam Al-Qur’an surah Al-Kahfi ayat 65 adalah Khidir, seseorang yang diberi rahmat berupa wahyu dan tugas kenabian.

فَوَجَدَا عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَآ اٰتَيْنٰهُ رَحْمَةً مِّنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنٰهُ مِنْ لَّدُنَّا عِلْمًا

Fa wajadā ‘abdam min ‘ibādinā ātaināhu raḥmatam min ‘indinā wa ‘allamnāhu mil ladunnā ‘ilmā.

Artinya: “Lalu, mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan rahmat dari sisi Kami dan yang telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”

Menurut kitab Nuruddzolam Syarh Aqidatul Awwam, nama asli beliau adalah Abu Abbad Balya bin Malkan.

Terdapat bermacam-macam pendapat tentang nasab keturunan beliau, di antaranya dari Ibnu Abbas, Ibnu Ishaq, Imam An Nuqos, dan sejumlah ulama lainnya.

Ibnu Abbas merumuskan bahwa Nabi Khidir adalah cicit dari Sam, putra Nabi Nuh alaihissalam.

Nammun, menurut Ibnu Ishaq, beliau adalah putra dari Ish bin Ishaq bin Ibrahim al-Kholil alaihissalam.

Imam An Nuqos malah menyampaikan pendapat yang cukup kontroversial.

Menurut beliau, Nabiyullah Khidir adalah putra Fir’aun yang menjadi teman Nabi Musa. Namun, semua keterangan di atas dianggap tidak shahih oleh Imam As-Sadiy.

Riwayat Nabi Khidir

Kisah yang lain diriwayatkan oleh al-Ustaz al-Hafiz Abul Qosim Abdillah bin Hasan dalam kitab At-Taqrib.

Tersebutlah seorang bernama Khodir, putra Raja Amil, putra Ish bin Ishaq. Ibu Khodir adalah seorang putri raja bernama Faris dan ibunya bernama Alha.

Khodir lahir di tengah hutan, bahkan menyusu kepada seekor kambing semasa bayinya sampai kemudian, seorang gembala menemukan dan merawatnya hingga dewasa.

Lalu, dia tumbuh menjadi anak cerdas, pandai membaca dan menyalin shuhuf-shuhuf Nabi Ibrahim.

Suatu ketika, Raja Amil mencari seorang penulis untuk menyalin shuhuf-shuhuf Nabi Ibrahim dan Nabi Syits.

Khodir menjadi salah satu dari penulis-penulis yang diboyong Raja ke istana. Raja menganggap tulisan Khodir paling bagus dan kemudian memilihnya.

Setelah terpilih, Raja menanyakan tentang nasab Khodir.

Berdasarkan keterangan Khodir, barulah raja tahu bahwa pemuda ini adalah putranya sendiri, hingga dia mengangkat Khodir sebagai pewaris takhta.

Raja Amil lengser, Khodir pun menggantikannya. Dia menjadi pemimpin yang adil dan bijaksana.

Namun, sejumlah perkara menyebabkan Khodir memutuskan untuk meninggalkan takhta dan pergi dari kerajaan.

Dia pun berkelana ke berbagai penjuru bumi. Lalu, Khodir berhasil menemukan air ma’ul hayat yang membuat hidupnya lebih panjang dari manusia biasa.

Tak heran jika banyak orang meyakini bahwa Khodir atau Nabi Khidir masih hidup sampai saat ini.

Benarkah Nabi Khidir Masih Hidup?

Mengenai panjang usia Nabiyullah Khidir, tentu saja banyak terjadi perbedaan pendapat.

Beberapa ulama besar, salah satunya Imam Bukhari, menukil argumen dari Imam Muslim yang mengungkapkan bahwa Khidir alaihissalaam telah wafat.

Nabi Muhammad saw. bersabda:

أَرَأَيْتَكُمْ لَيْلَتَكُمْ هَذِهِ فَإِنَّ عَلَى رَأْسِ مِائَةِ سَنَةٍ مِنْهَا لاَ يَبْقَى مِمَّنْ هُوَ عَلَى ظَهْرِ الأَرْضِ أَحَدٌ

Ara’aitukum lailatukum haadzihi fa inna ‘alaa ra’sin miiatin sanatin, minhaa laa yabqa mimman huwa ‘alaa dzahril ardhi ahadun.

Artinya: “Apakah kalian mengetahui malam kalian ini? Karena sesungguhnya pada penghujung seratus tahun darinya tidak tersisa seorang pun di muka bumi.” (Shahih Muslim: Juz VII, halaman 186, hadits nomor 6642)

Hampir senada dengan sabda Rasulullah saw., ahli hadits Syaikh Abu Bakar al-Arobi berkata bahwa sang nabi telah meninggal sebelum berusia seratus tahun.

Akan tetapi, dalam kesempatan yang lain, Shahih Muslim juga mengungkap riwayat yang berbeda.

Ungkapan berbeda tersebut muncul di Juz VIII halaman 199.

Di dalamnya diterangkan bahwa Abu Ishaq berkata, “Dikatakan, sesungguhnya laki-laki ini adalah al-Khadir alaihissalam.” Abu Ishaq sendiri adalah perawi kitab Imam Muslim.

Hal itu kemudian didukung oleh Imam Nawawi yang berpendapat bahwa Nabi Khidir masih hidup.

Imam Nawawi dalam Syarah Muslim kembali mengutip perkataan Abu Ishaq tersebut yang diriwayatkan dari penuturan Imam Muslim.

Bukti-Bukti Nabi Khidir Masih Hidup

Terdapat beberapa bukti lain tentang hidup Khidir alaihissalam.

Salah satu bukti tersebut terdapat dalam keterangan Abu Bakar bin Abiddunya dalam kitab Al-Hawatif yang sanadnya sampai kepada Sayyidina Ali karomallahu wajhah.

Beliau menerangkan, ketika Rasulullah saw. wafat, terdengar suara yang berkata bahwa Allah akan mengganti kebahagiaan dalam setiap musibah dan menganjurkan umat untuk bersabar.

Suara tersebut ditengarai terucap dari mulut Khidir alaihissalaam.

Selain itu, Syaikh Mahfudz Tremas dari Pacitan juga pernah menuliskan kitab yang khusus mengkaji Sayyidina Khidir berjudul Inayatul Muftaqir bima Yataallaqu bi Sayyidina Khidr.

Beliau mengungkapkan nasab Nabi Khidir hingga keberadaannya di masa sekarang berdasarkan cerita-cerita nyata dari ulama yang pernah bertemu langsung dengan sang Nabiyullah.

Kyai Haji Hamim Tohari Djazuli atau lebih akrab dipanggil Gus Miek pernah mendapatkan karomah dari Allah bertemu sang nabi, seperti dikutip dari Laduni.id.

Peristiwa itu mengandung unsur keajaiban yang tidak lumrah terjadi.

Suatu hari, Gus Miek kecil sedang memancing di sungai. Namun, umpan beliau ditangkap oleh ikan berukuran besar sehingga Gus Miek terseret tarikan ikan dan tercebur ke sungai.

Ternyata, ikan itu membawa beliau menemui gurunya, Nabi Khidir.

Ada pula kisah dari almaghfurlah K.H. Haizul Ma’ali Rembang. Ulama yang sering disapa Mbah Ali ini menjelang wafat kerap didatangi pembesuk berpakaian compang-camping.

Menurut Kyai Ma’mun Azizi, adik K.H. Haizul Ma’ali, setelah pertemuan itu, Mbah Ali menceritakan kepada anak-anaknya bahwa orang yang baru ditemuinya adalah Nabi Khidir.

Mereka pun langsung mengejar pembesuk tersebut, tetapi sosoknya sudah tidak terlihat lagi.

Selain itu, Sunan Kalijaga, juga diceritakan pernah berguru kepada sang nabi yang penuh rahasia ini.

Waktu itu, beliau diperintahkan gurunya, Sunan Bonang, untuk pergi ke Malaka supaya berguru kepada sang nabi dan Maulana Maghribi.

Riwayat lain dalam Suluk Linglung menyebutkan bahwa ketika Sunan Kalijaga akan berangkat haji dari Malaka, beliau dihentikan oleh Sayyidina Khidir.

Sang nabi menasihati beliau agar mengurungkan niatnya untuk pergi ke Makkah.

Kisah Nabi Khidir dalam Al-Qur’an

Salah satu riwayat terpopuler mengenai kisah Nabi Khidir dalam Al-Qur’an ditemukan di surah Al-Kahfi ayat 62–85.

Surah sepanjang 110 ayat ini memuat beberapa kisah, salah satunya tentang Nabi Musa yang berguru kepada seseorang yang berilmu tinggi.

Diceritakan bahwa Allah memerintahkan Nabi Musa alaihissalam pergi ke sebuah tempat untuk menemui salah seorang hamba-Nya yang saleh.

Dalam perjalanan, Nabi Musa mengalami suatu peristiwa unik, yakni ikan yang terjun ke laut dengan cara yang aneh.

Pertemuan tersebut digambarkan berlokasi di sebuah tempat bertemunya dua laut.

Tak jauh dari tempat tersebut, terdapat sebuah batu besar yang sempat dijadikan tempat berlindung oleh Nabi Musa dan muridnya. Ternyata, di situlah tempat Nabi Khidir berada.

Singkat cerita, Nabi Musa bertemu dengan Nabiyullah Khidir alaihissalam dan meminta kepada beliau agar diizinkan mengikuti perjalanan.

Maksudnya, agar Khidir alaihissalaam dapat mengajarkan ilmu-ilmu Allah kepada Nabi Musa.

Sayyidina Khidir tidak menolak permohonan itu. Namun, beliau juga memberi peringatan bahwa sebenarnya Nabi Musa tidak akan sanggup bersabar.

Beliau juga mewanti-wanti agar Nabi Musa tidak menanyakan apa pun sebelum dijelaskan kepadanya.

Selanjutnya, terungkap bahwa dua orang suci itu berjalan bersama-sama ke suatu tempat.

Surah Al-Kahfi menceritakan secara singkat mengenai tiga peristiwa yang dialami oleh Nabi Khidir dan Nabi Musa beserta muridnya.

Peristiwa Menenggelamkan Perahu

Dalam suatu pelayaran, tiba-tiba Nabi Khidir melubangi salah satu permukaan perahu hingga membuat penumpangnya tenggelam.

Menyaksikan peristiwa itu, Nabi Musa menanyakan alasan Nabiyullah Khidir melubangi perahu tersebut, sebagaimana dikisahkan dalam ayat berikut.

فَانْطَلَقَاۗ حَتّٰٓى اِذَا رَكِبَا فِى السَّفِيْنَةِ خَرَقَهَاۗ قَالَ اَخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ اَهْلَهَاۚ لَقَدْ جِئْتَ شَيْـًٔا اِمْرًا

Fanṭalaqā, ḥattā iżā rakibā fis-safīnati kharaqahā, qāla a kharaqtahā litugriqa ahlahā, laqad ji`ta syai`an imrā.

Artinya: “Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.” (Al-Kahfi: 71)

Perkataan sang nabi benar terbukti, ternyata Nabi Musa tidak mampu bersabar. Beliau pun menyesal dan meminta maaf, sang guru pun memakluminya.

Kemudian, dua nabi Allah melanjutkan perjalanan hingga berjumpa dengan seorang anak.

Membunuh Seorang Anak

Seorang bocah yang tampaknya berjiwa bersih dan tanpa dosa, Nabi Khidir malah membunuhnya. Itulah peristiwa kedua yang terjadi kemudian.

Tentu saja, Nabi Musa kembali terkejut dengan kejadian itu sehingga sontak melanggar kesanggupannya menahan diri untuk tidak bertanya yang kedua kalinya.

Lagi-lagi, Nabi Musa gagal menahan diri.

فَانْطَلَقَا ۗحَتّٰٓى اِذَا لَقِيَا غُلٰمًا فَقَتَلَهٗ ۙقَالَ اَقَتَلْتَ نَفْسًا زَكِيَّةً؈ۢبِغَيْرِ نَفْسٍۗ لَقَدْ جِئْتَ شَيْـًٔا نُكْرًا ۔

Fanṭalaqā, ḥattā iżā rakibā fis-safīnati kharaqahā, qāla a kharaqtahā litugriqa ahlahā, laqad ji`ta syai`an imrā.

Artinya: “Maka berjalanlah keduanya hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata,’Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar’.” (QS Al-Kahfi: 74)

Nabi Musa pun kembali meminta maaf. Kemudian, beliau juga berjanji bahwa jika gagal bersabar untuk ketiga kalinya, dirinya akan berhenti dari perjalanan tersebut.

Menegakkan Dinding Rumah

Nabi Khidir masih memakluminya dan memberikan kesempatan terakhir. Lalu, dalam perjalanan berikutnya, mereka akhirnya tiba di sebuah kota atau negeri.

Masyarakat negeri itu tidak sedikit pun memberikan jamuan bagi dua orang nabi tersebut, meski telah memintanya.

Di satu tempat di dalam negeri tersebut, berdiri sebuah rumah dengan dinding yang nyaris roboh. Kemudian, Nabi Khidir memperbaiki dan membangun dinding itu hingga tegak kembali.

Ternyata, dalam suatu peristiwa yang biasa ini pun, Nabi Musa tidak sanggup menahan komentarnya.

Beliau berkata bahwa sesungguhnya gurunya itu dapat meminta upah untuk pekerjaan menegakkan dinding tersebut.

Penjelasan Nabi Khidir

Pernyataan terakhir itu sekaligus menjadi bukti bahwa prediksi Nabiyullah Khidir telah seratus persen terjadi.

Alhasil, dua manusia istimewa tersebut pun berpisah. Namun, beliau akhirnya juga menjelaskan sendiri apa maksud dari perbuatan-perbuatannya tadi.

اَمَّا السَّفِيْنَةُ فَكَانَتْ لِمَسٰكِيْنَ يَعْمَلُوْنَ فِى الْبَحْرِ فَاَرَدْتُّ اَنْ اَعِيْبَهَاۗ وَكَانَ وَرَاۤءَهُمْ مَّلِكٌ يَّأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبًا

Qāla hāżā firāqu bainī wa bainik, sa`unabbi`uka bita`wīli mā lam tastaṭi’ ‘alaihi ṣabrā.

Artinya: “Khidir berkata, ‘Inilah perpisahan antara aku dengan kamu, kelak, akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (QS Al-Kahfi: 78)

Itulah ayat terakhir dalam Al-Qur’an tentang kisah pertemuan Nabi Khidir dengan Nabi Musa.

Keterangan dari Allah Swt. tentang Kisah Dua Nabi

Masih di surah yang sama, dalam empat ayat selanjutnya, Allah memfirmankan penjelasan atas berbagai perbuatan yang selalu dipertanyakan oleh Nabi Musa.

Pertama, ketika Khidir alaihissalam melubangi perahu milik para nelayan miskin. Tujuannya memang benar, yakni untuk merusak perahu tersebut agar segera tenggelam.

Namun, mengapa beliau setega itu menenggelamkan perahu milik orang miskin?

Ternyata, Nabi Musa tidak mengetahui bahwa di lautan tersebut terdapat seorang raja kejam yang kerap merampas setiap perahu yang ditemuinya.

Perahu nelayan miskin itu ditenggelamkan untuk menghindari si raja zalim yang akan berpapasan dengan mereka.

Kedua, tentang peristiwa pembunuhan anak. Hanya karena perkenan Allah-lah Nabi Khidir mampu melihat masa depan.

Beliau diberi pengetahuan bahwa ibu bapak dari anak tersebut adalah dua orang saleh yang disayangi Allah, sementara, si anak akan tumbuh menjadi orang yang memiliki sifat buruk.

Bahkan, keburukannya dikhawatirkan dapat menjerumuskan orang tuanya pada kekafiran. Karena itulah, Khidir alaihissalam membunuh si anak demi menyelamatkan kedua orang tuanya.

Nabi Khidir juga menjelaskan kepada Nabi Musa bahwa Allah akan mengganti kematian buah hatinya dengan seorang anak yang baru.

Adiknya ini memiliki sifat dan kesucian yang lebih baik daripada mendiang kakaknya.

Adapun yang ketiga yakni ketika sang nabi menegakkan dinding rumah yang telah roboh.

Dinding rumah itu adalah milik penduduk negeri tersebut, yakni dua orang anak yatim dari orang tua yang saleh. Di bawah dinding itu, tertimbun harta benda simpanan bagi dua anak tersebut.

Nabi Khidir menegakkan dinding untuk mengamankan simpanan itu agar ketika dewasa, dua orang anak tadi dapat mengeluarkan dan mempergunakannya.

Pelajaran dari Kisah Pertemuan Nabi Musa dengan Khidir a.s.

Nabi Musa pastinya telah memperoleh hikmah dari pertemuan dengan Nabi Khidir. Lalu bagaimana dengan kita?

Nah, berikutnya, Hasana.id akan menguraikan sejumlah pelajaran yang bisa kamu petik dari peristiwa yang terungkap dalam Al-Qur’an tersebut.

Menanti Buah Kesabaran

Sebelum bertemu dengan Khidir alaihissalam, Nabi Musa telah melalui perjalanan panjang untuk mencari beliau.

Hal itu seperti disebutkan dalam surah yang sama, yaitu bahwa Nabi Musa tidak akan berhenti berjalan sampai menemukan tempat bertemunya dua lautan.

وَاِذْ قَالَ مُوْسٰى لِفَتٰىهُ لَآ اَبْرَحُ حَتّٰٓى اَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ اَوْ اَمْضِيَ حُقُبًا

Wa iż qāla mụsā lifatāhu lā abraḥu ḥattā abluga majma’al-baḥraini au amḍiya ḥuqubā.

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya, ‘Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun’.”

Ayat tersebut sendiri sudah mengungkapkan bagaimana seseorang harus memiliki kesabaran dalam hidupnya.

Khusus dalam riwayat Nabi Musa, beliau bersabar ketika ingin meraih tujuannya untuk menemukan seseorang demi menimba ilmu darinya.

Selanjutnya, sebagaimana telah dikisahkan di atas, kedua nabi tersebut melakukan perjalanan bersama.

Namun, mereka akhirnya berpisah akibat Nabi Musa tiga kali menanyakan tentang sesuatu sebelum gurunya menjelaskan kepadanya terlebih dahulu.

Hal itu juga memunculkan hikmah kesabaran. Allah bisa saja menetapkan takdir berbeda apabila Nabi Musa tetap berlaku sabar selama perjalanan.

Bukan mustahil Nabi Musa akan mengalami peristiwa-peristiwa berbeda selain yang telah disebutkan dalam surah Al-Kahfi.

Nilai kesabaran pun dapat dipelajari dari sosok Khidir alaihissalam. Beliau bersabar menghadapi Nabi Musa yang selalu kritis.

Nabi Khidir juga tidak menjadi jemawa meskipun memperoleh rahmat keilmuan yang tinggi dari Allah Subhanahu wa ta’ala.

Adab Berguru dan Menuntut Ilmu

Imam Fakhruddin ar-Razi merumuskan tentang adab berguru dan menuntut ilmu berdasarkan tafsir beliau atas surah Al-Kahfi ayat 66.

Rumusan tersebut dikaji secara mendalam dalam karya beliau, Mafatih al-Ghaib.

قَالَ لَهٗ مُوسٰى هَلْ اَتَّبِعُكَ عَلٰٓى اَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا

Qāla lahụ mụsā hal attabi’uka ‘alā an tu’allimani mimmā ‘ullimta rusydā’

Artinya: “Musa berkata kepada Khidir, ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’” (QS Al-Kahfi: 66)

Menurut tafsir Imam Fakhruddin ar-Razi, ayat tersebut memunculkan sejumlah poin penting yang perlu dicermati.

Secara garis besar, poin itu antara lain adalah bersikap rendah hati, patuh, ikhlas, mau mengabdi, dan meyakini datangnya ilmu hanya dari Allah Subhanahu wa ta’ala.

Meneladani Nabi Musa, seorang nabi bagi kaum Bani Israil, status kenabian tidak membuat beliau merasa lebih unggul.

Bahkan, beliau meminta izin belajar kepada Nabi Khidir dengan penuh rendah hati.

Sejak awal, Nabi Musa telah diperingatkan oleh sang guru. Beliau tidak merasa mampu, pun tidak menyerah sebelum bertanding.

Nabi Musa hanya mengikuti perintah Allah dan menempuh ilmu sebisa mungkin.

Nabi Musa gagal menahan diri untuk tidak bertanya, tetapi beliau menebusnya dengan meminta maaf sekaligus memohon agar diberi kesempatan lagi.

Akhirnya, Nabi Musa memutuskan untuk berhenti setelah berkali-kali gagal memenuhi kesanggupan. Kesadaran semacam itu juga menunjukkan sikap rendah hati.

Selalu Berprasangka Baik

Dua kali Nabi Musa menanyakan maksud perbuatan Khidir alaihissalam dengan nada menyalahkan.

Yang pertama adalah ketika Nabi Khidir menenggelamkan perahu dan kedua ketika membunuh seorang anak.

Padahal, Khidir alaihissalam sebelumnya telah memperingatkan Nabi Musa agar bersabar atas segala sesuatu yang belum diketahui dengan pasti.

Hal itu juga terekam dalam surah Al-Kahfi ayat sebelumnya.

وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلٰى مَا لَمْ تُحِطْ بِهٖ خُبْرًا

Wa kaifa taṣbiru ‘alā mā lam tuḥiṭ bihī khubrā.

Artinya: “Dan bagaimana kamu dapat bersabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” (Al-Kahfi: 68)

Nabi Musa belum memiliki wawasan cukup tentang suatu peristiwa. Namun, beliau sudah berani mengutarakan penilaian yang beliau yakini benar menurut pemahamannya.

Sayangnya, penilaian beliau mengandung prasangka yang buruk. Sementara itu, Khidir alaihissalam ternyata mempunyai maksud dan tujuan tersendiri.

Seperti juga telah diceritakan dalam Al-Qur’an, pada akhirnya Nabiyullah Khidir menjelaskan segala tujuan perbuatannya menjelang perpisahan beliau dengan Nabi Musa.

Peristiwa ini mengandung hikmah bahwa setiap orang sebaiknya selalu memelihara prasangka baik terhadap segala sesuatu, apalagi yang belum diketahui dengan benar maksud dan tujuannya.

Peringatan Nabi Khidir kepada Nabi Musa tersebut juga bisa berlaku untuk siapa saja, terlebih manusia dewasa ini.

Hendaknya kita tidak terburu meyakini, menilai, bahkan menghakimi sesuatu sebelum menemukan informasi dari berbagai sisi.

Referensi:

https://islam.nu.or.id/post/read/112673/9-adab-mencari-ilmu-dari-kisah-nabi-musa-dan-nabi-khidir?_ga=2.29853240.628805744.1612719226-219976202.1612719226
https://quran.laduni.id/Quran-Surah-Al-Kahf/hal/60
https://quran.laduni.id/post/read/44148/kisah-sunan-kalijaga-dihadang-nabi-khidir-saat-hendak-pergi-haji.html
https://islam.nu.or.id/post/read/105820/kisah-nabi-khidir-dan-kota-yang-berubah?_ga=2.268004745.628805744.1612719226-219976202.1612719226
https://alif.id/read/akhmad-yazid-fathoni/mengenal-kitab-pesantren-32-inayatul-muftaqir-menelusuri-jejak-nabi-khidir-versi-syekh-mahfudz-tremas-b233991p/
http://www.piss-ktb.com/2014/05/3092-kajian-tarikh-kajian-kitab-badai.html
http://www.piss-ktb.com/2013/09/2794-kontroversi-dan-khilaf-seputar.html