Pengertian Zuhud dan Keutamaan Seorang Zahid

Pernahkah kamu mendengar kata “zuhud”? Pada hakikatnya, manusia terlahir tanpa membawa apa-apa.

Ketika meninggal dunia pun, tak ada yang akan dibawa ke alam berikutnya, baik keluarga yang membersamai dalam hidup maupun harta yang dipunyai. Tiada yang menyertai kecuali amal.

Sebuah hadits sahih yang dirawi oleh Imam Malik dari Anas bin Malik r.a. mengabarkan sabda Rasulullah saw. mengenai hal ini.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلَاثَةٌ فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى وَاحِدٌ يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ

Qaala rasuulullaahi shallallaahu ‘alaihi wa sallama yatba’ul-mayyita tsalaatsatun fayarji’uts-naani wa yabqaa waahidun yatba’uhu ahluhu wa maaluhu wa ‘amaluhu fayarji’u ahluhu wa maaluhu wa yabqaa ‘amaluh.

Artinya:

Rasulullah saw. bersabda, ‘Mayat diikuti oleh tiga hal, yang dua kembali dan yang satu menetap. Ia diikuti keluarga, harta, dan amalnya. Keluarga dan hartanya kembali, sedangkan amalnya menetap.’

(Hadits Sahih Muslim No. 5260 – Kitab Zuhud dan Kelembutan Hati)

Karena itu, sudah selayaknya bagi tiap individu, utamanya yang beriman pada hari akhir, untuk menanggalkan tendensi akan perkara keduniawian. Itulah zuhud.

Zuhud bermakna senada dengan upaya membebaskan hati dari dunia dan segala pengaruhnya.

Orang yang memiliki sifat demikian tidak terlalu sayang pada harta, tak juga disibukkan dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat sementara.

Akan tetapi, mungkinkah hal-hal yang bersifat duniawi dapat ditinggalkan? Padahal, kehidupan dunia menuntut manusia untuk menjadi makin materialistis seiring ia menua.

Nah, Hasana.id akan membahas persoalan zuhud lebih lanjut dalam artikel ini. Kamu akan mendapati arti, keutamaan, serta cara meraihnya dituliskan dengan detail di sini.

Pengertian Zuhud dan Dalilnya

Berasal dari bahasa Arab zuhdun, arti zuhud menurut bahasa adalah “sikap tak memaksakan diri terhadap hal-hal duniawi”.

Akar katanya adalah zahada yang berarti “memalingkan diri dari keduniawian”.

Sementara itu, KBBI mencatat arti “zuhud” sebagai “perihal meninggalkan keduniawian” atau “pertapaan”.

Pelakunya dilabeli sebagai “zahid”, artinya adalah orang yang hidup hanya untuk beribadah, meninggalkan kehidupan yang berorientasi pada dunia.

Nah, dalam Islam, mengerjakan ibadah akan mendapatkan pahala.

Namun, makna beribadah bukan hanya terbatas pada bersyahadat, menegakkan salat, berpuasa wajib, membayar zakat, serta pergi berhaji saja, melainkan justru tak ada batasnya.

Tiap laku seorang hamba bisa bernilai ibadah dan mengandung pahala jika ia melakukannya dengan menyebut nama-Nya, mengerjakan yang diperintahkan, serta menjauhi yang dilarang.

Karenanya, bekerja dapat menjadi ibadah jika pelakunya bertujuan hanya untuk mendapatkan ridha-Nya dan dilakukan atas dasar kewajiban memiliki penghasilan dan mencukupi kebutuhan.

Bekerja tak bisa digolongkan sebagai ibadah jika orientasinya untuk menumpuk kekayaan, misalnya.

Meski begitu, Islam tak melarang pemeluknya untuk menjadi kaya dan mewajibkan hidup miskin.

Rasulullah saw. menjelaskan bahwa bersikap zuhud berarti meyakini yang ada pada Allah Swt. (akhirat) lebih kuat daripada yang terdapat dalam genggaman (dunia).

Penjelasan Baginda Nabi ini tertera dalam riwayat hadits gharib at-Tirmidzi dari Abu Dzar r.a.

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الزَّهَادَةُ فِي الدُّنْيَا لَيْسَتْ بِتَحْرِيمِ الْحَلَالِ وَلَا إِضَاعَةِ الْمَالِ وَلَكِنَّ الزَّهَادَةَ فِي الدُّنْيَا أَنْ لَا تَكُونَ بِمَا فِي يَدَيْكَ أَوْثَقَ مِمَّا فِي يَدَيْ اللَّهِ

‘An-nabiyyi shallallaahu ‘alaihi wa sallama qaalaz-zahaadatu fid-dun-yaa laisat bitahriimil-halaali wa laa idhaa’atil-maali wa lakinnaz-zahaadata fid-dun-yaa anlaa takuuna bimaa fii yadaika au-tsaqa mimmaa fii yadai allaah…

Artinya:

Dari Nabi saw., beliau bersabda. ‘Zuhud terhadap dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan bukan juga menyia-nyiakan harta. Akan tetapi, zuhud terhadap dunia adalah keyakinan apa yang ada di tanganmu tidak lebih kuat dari apa yang ada di tangan Allah’.

(Hadits Jamik at-Tirmidzi No. 2262 – Kitab Zuhud)

Mengapa Harus Zuhud

Meninggalkan kecondongan akan dunia menjadi sikap yang harus melekat pada diri setiap hamba karena dunia dapat melalaikan manusia dalam membangun hubungan baik dengan Allah.

Singkat kata, ketiadaan zuhud membuat seorang hamba melupakan Rabb-nya.

Betapa pun rajinnya ia beribadah, jika tak ada kezuhudan dalam hidupnya, manisnya ibadah tak akan dapat dirasakan.

Jika seorang hamba menghendaki kehidupan akhirat yang baik, ia harus bersikap zuhud dalam kehidupannya di dunia.

Begitulah yang dituangkan oleh Abu al-Mawahib al-Syadzili dalam Kitab Minahus Saniyah.

Di samping itu, menginginkan kehidupan fana dan apa-apa yang menghiasinya hanya akan membuat pelakunya mendapatkan tepat apa yang diinginkannya, tak lebih dan tak kurang.

Ia tidak akan membawa amalan apa pun di akhirat kelak.

Pekerjaan yang dilakukannya semasa di dunia ditujukan hanya untuk mendapatkan kesenangan hidup pada saat itu saja tanpa memedulikan apakah perilakunya merupakan ibadah atau bukan.

Allah Swt. berfirman bahwa tempat kesudahan bagi orang-orang yang menginginkan keduniawian adalah neraka dan sia-sialah segala apa yang diusahakan mereka selama di dunia.

Na’udzubillaahi min dzaliik. Firman Sang Khalik ini mengabadi dalam Al-Qur’an surah Hud ayat 15 dan 16.

Contoh Zuhud Terbaik

Contoh yang terbaik tentu saja datang dari manusia paling mulia, Rasulullah saw. Tak pernah diinginkannya keuntungan duniawi karena sifatnya yang fana.

Para sahabat dan istri beliau juga sering bersaksi akan kezuhudan sang pembawa risalah. Berikut yang dapat Hasana.id sarikan dari beragam riwayat.

Tidak Pernah Kenyang Dua Kali Sehari

Berapa kali umumnya seseorang makan dalam sehari?

Para ahli gizi menyepakati bahwa frekuensi makan yang ideal bagi orang dewasa adalah tiga kali sehari untuk makan besar, ditambah satu hingga dua waktu untuk camilan.

Katakan semua manusia mengikuti aturan tersebut. Pertanyaan berikutnya adalah berapa kali orang-orang bersantap sampai kenyang dalam lima waktu makan itu?

Mungkin, pertanyaan ini terdengar aneh karena tiap kali makan, umumnya seseorang akan menikmati hidangan hingga perutnya terasa penuh.

Namun, tidak demikian yang dipraktikkan Rasulullah saw.

Ummul Mu’minin ‘Aisyah r.a. mengatakan bahwa selama Baginda Nabi hidup, tak pernah disaksikannya suaminya kenyang dua kali dalam sehari.

Artinya, manusia mulia ini membiarkan perutnya kenyang hanya sekali dalam satu hari.

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ لَقَدْ مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا شَبِعَ مِنْ خُبْزٍ وَزَيْتٍ فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ مَرَّتَيْنِ

‘An ‘aa-isyata zaujin-nabiyyi shallallaahu ‘alaihi wa sallama qaalat laqad maata rasuulullaahhi shallallaahu ‘alaihi wa sallama wa maa syabi’a min khubzin wa zaitin fii yaumin waahidin marrataiin.

Artinya:

Dari ‘Aisyah istri Nabi saw., berkata, ‘Rasulullah saw. wafat dan beliau tidak pernah kenyang roti dan minyak dua kali sehari.’

(Hadits Sahih Muslim No. 5283 – Kitab Zuhud dan Kelembutan Hati)

Imam Muslim memasukkan hadits ini ke dalam Kitab Zuhud.

Karena itu, tak keliru rasanya jika perilaku Rasulullah saw. yang tak pernah membiarkan dirinya kenyang dua kali sehari dimaknai sebagai tindakan menjaga kezuhudan.

Beliau saw. berhati-hati agar perkara mengenyangkan perut tak sampai menjadi orientasi akhir dari suatu amalan, terlebih lagi menjadikannya sebagai tujuan hidup.

Tradisi Mukbang, Haruskah Diikuti?

Jika boleh dihubungkan dengan era kekinian, tampaknya umat muslim harus berhati-hati dengan tren mukbang yang dimulai di Korea Selatan dan sudah mulai membudaya di Indonesia.

Bahkan, KBBI sudah memasukkan “mukbang” yang berasal dari bahasa Korea sebagai kata serapan.

Mukbang atau meokbang adalah akronim dari meok-eo, yang berarti “makan”, dan bangsong, yang bermakna “siaran” sehingga padanan katanya adalah “siaran makan”.

Dengan kata lain, mukbang adalah menyiarkan acara makan dengan porsi amat besar dan menjadikannya sebagai sumber penghasilan.

Hasana.id tak hendak menyimpulkan bahwa budaya tertentu itu keliru, apalagi mengharamkannya. Sama sekali tidak, tak ada yang salah dengan kebiasaan orang lain.

Namun, seorang muslim pantas berhati-hati. Jangan sampai ada laku hidup yang jauh dari apa yang dicontohkan Rasulullah saw.

Tidur di Atas Tikar

Rasulullah saw. adalah manusia mulia yang pantas mendapatkan perlakuan istimewa dan fasilitas yang baik untuk menopang hidupnya.

Jika seorang pemimpin daerah yang statusnya manusia biasa saja mendapatkan gaji dan sarana pendukung hidupnya, tentu Baginda Nabi berhak mendapatkan yang jauh lebih baik dari itu.

Seandainya Rasulullah saw. mau, para sahabat yang kaya raya, seperti Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf, tentu akan melimpahi beliau dengan fasilitas hidup yang mewah.

Pada kenyataannya, manusia paling mulia itu hidup miskin dan lebih suka demikian. Para sahabat juga sering kali menawarkan pemberian, tetapi Rasulullah saw. menolaknya.

Suatu kali, para sahabat menyaksikan beliau tidur beralaskan tikar. Alas tidurnya itu meninggalkan bekas pada kulit di sekitar lambung Rasulullah saw.

Mereka pun menyesali ketidakpekaannya terhadap kondisi Nabi.

Jika saja mereka mengetahuinya, tentu sudah dibuatkan untuk Rasulullah saw. selembar alas tidur yang empuk dan nyaman. Namun, apa respons Baginda Nabi?

فَقَالَ مَا لِي وَمَا لِلدُّنْيَا مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلَّا كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

Faqaala maa lii wa maa lid-dun-yaa maa anaa fid-dun-yaa illaa karaakibinis-tazhalla tahta syajaratin tsumma raaha wa tarakahaa.

Artinya:

Beliau bersabda, ‘Apa urusanku dengan dunia? Aku di dunia tidak lain seperti pengendara yang bernaung di bawah pohon, setelah itu pergi dan meninggalkannya.’

(Hadits Jamik At-Tirmidzi No. 2299 – Kitab Zuhud)

Tak dibutuhkannya alas tidur empuk nan nyaman.

Hal itu sebagaimana seorang musafir yang tak memerlukan apa pun, kecuali waktu beristirahat barang sebentar di bawah sebatang pohon sebelum melanjutkan perjalanannya kemudian.

Begitulah Rasulullah saw. mengibaratkan keberadaan dan kebutuhan beliau akan dunia fana ini. Beliau tak memerlukan apa-apa sehingga tidur di atas tikar kasar bukanlah perkara besar.

Hakikat Zuhud: Anggaplah Dunia Hina

Selamanya, teori lebih mudah daripada aksi. Hal demikian juga berlaku pada bab zuhud.

Mudah sekali mengatakan bahwa seorang muslim harus meninggalkan kecintaannya pada dunia dan mulai menjadi zahid, sedangkan praktiknya amat sulit dalam hidup.

Apa yang harus dilakukan mula-mula untuk bisa meraihnya? Guru terbaik sepanjang zaman, Rasulullah saw., pernah mengajarkan caranya, yaitu anggaplah dunia ini hina.

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jabir bin Abdullah r.a., bahwa suatu hari, Rasulullah saw. pernah memasuki pasar bersama dengan beberapa orang di samping beliau.

Rombongan Baginda Nabi melewati bangkai anak kambing yang fisiknya tak sempurna, terlihat dari telinganya yang menempel.

Terjadilah dialog antara Rasulullah saw. dengan orang-orang yang membersamai beliau.

Rasulullah saw. menawarkan bangkai tersebut dengan harga satu dirham, di mana harga kambing hidup yang sehat adalah sebesar satu dinar.

Jelas, tak ada yang menerima tawaran tersebut. Untuk apa membeli bangkai?

Biarpun kambing itu dalam keadaan hidup, mereka tak menginginkannya tersebab cacat fisik yang ada padanya, apalagi ketika sudah mati seperti itu. Menjijikkan.

Kemudian, meluncurlah sabda Rasulullah saw. yang hendak mengajarkan sebuah hikmah agung.

فَقَالَ فَوَاللَّهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ

Faqaala fawallaahi laddun-yaa ahwanu ‘alallaahi min hadzaa ‘alaikum.

Artinya:

Beliau bersabda, ‘Demi Allah, dunia lebih hina bagi Allah melebihi (bangkai) ini bagi kalian’.

(Hadis Sahih Muslim No. 5257 – Kitab Zuhud dan Kelembutan Hati)

Semua manusia ingin masuk surga, tetapi sedikit di antaranya yang ingin wafat mendahului lainnya.

Padahal, orang biasa tak bisa memasuki surga-Nya dalam keadaan masih bernyawa. Bukankah begitu? Lalu, mengapa kematian ditakuti?

Jika jawabannya adalah karena takut berpisah dengan dunia, orang tua, pasangan hidup, anak-anak yang lucu, harta tercinta, dan lain-lain, artinya kezuhudan telah gagal diraih.

Untuk memutus rasa cinta pada dunia dan seisinya, Rasulullah saw. katakan bahwa perkara duniawi itu lebih hina daripada bangkai kambing cacat yang tak seorang pun menginginkannya.

Belajar Zuhud: Melihat ke Bawah

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ

Qaala rasuulullaahi shallallaahu ‘alaihi wa sallaman-zhuruu ilaa man asfala minkum wa laa tanzhuruu ilaa man huwa fauqakum fahuwa ajdaru anlaa tazdaruu ni’matallaah.

Artinya:

Rasulullah saw. bersabda, ‘Pandanglah orang yang berada di bawah kalian, jangan memandang yang ada di atas kalian. Itu lebih laik membuat kalian tidak mengufurkan nikmat Allah’.

(Hadis Sahih Muslim No. 5264 – Kitab Zuhud dan Kelembutan Hati)

Rasulullah saw. pernah menasihati agar kaum muslimin dapat menghindar dari keinginan terhadap dunia, yaitu lihatlah keadaan orang-orang yang tak lebih beruntung darinya.

Misalnya, pada saat ini, kamu diuji-Nya dengan tempat tinggal yang kurang memuaskan, seperti atapnya berlubang atau lainnya.

Mengeluh, meski terdengar wajar, tentu tak memberikan solusi apa pun.

Praktikkan nasihat Rasulullah saw. dan lihatlah orang-orang lain yang belum berkesempatan memiliki tempat tinggal pribadi.

Pasti ada di antara mereka yang justru menginginkan keadaanmu, walaupun tak sempurna.

Hadits yang dirawi dari Abu Hurairah r.a. di atas berorientasi untuk menjadikanmu bersyukur terhadap apa yang kamu miliki.

Dengan bersyukur, Allah Swt. limpahkan perasaan cukup dalam hati sehingga kamu tak lagi menginginkan hal-hal lain.

Rasa syukur akan membuat Allah Swt. menambahkan anugerah-Nya kepadamu.

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ

Wa idz ta-adzdzana rabbukum la-in syakartum la-aziidannakum wa la-ing kafartum inna ‘adzaabii lasyadiid.

Artinya:

Dan (ingatlah juga), tatkala Rabb-mu memaklumkan, ‘Sesungguhnya, jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.’”

(QS Surah Ibrahim: 7)

Hadits di atas juga berisi larangan untuk melihat keadaan orang-orang yang tampaknya lebih baik dari diri kita.

Tindakan tersebut berpotensi menimbulkan perasaan iri dalam hati dan membuatmu menginginkan isi dunia yang lain. Pada akhirnya, sikap zuhud akan semakin jauh dari diri.

Hubungan Zuhud dan Wara’

Wara’ atau warak diambil dari bahasa Arab wara’un yang maknanya adalah “sikap menghindari persoalan yang status kehalalannya belum jelas karena khawatir akan keharamannya”.

Kata ini berakar dari wari’a yang bermakna “bersikap hati-hati dalam menegakkan agama”.

Lantas, apa hubungan zuhud dengan warak? Keduanya adalah sikap-sikap yang dibutuhkan seorang hamba agar memiliki kehidupan yang baik, baik di dunia maupun di akhirat.

Dengan kezuhudan, seseorang akan selalu merasa cukup sehingga tak menginginkan hal-hal di luar jangkauannya.

Dengan warak, ia terhindar dari perkara-perkara yang haram karena sikap kehati-hatiannya.

Jika seseorang jauh dari segala yang diharamkan Allah, dapat dipastikan hidupnya tenteram. Doanya selalu diijabah, ia pun mudah menerima ilham dan hidayah tersebab lunak hatinya.

Pada intinya, zuhud dan warak memiliki kesamaan, yaitu mendekatkan pelakunya kepada Allah Swt.

Lawan dari Zuhud

Kebalikan dari zuhud adalah cinta dunia yang umum dikaitkan dengan ambisi mendapatkan segala hal duniawi, seperti harta, kekuasaan, dan status sosial.

Rasulullah saw. mengisyaratkan dalam sebuah hadits bahwa seseorang yang bersikap ambisius terhadap keduniawian hanya akan merusak hidupnya sendiri.

Hadits yang dimaksud dirawi oleh at-Tirmidzi dari Malik al-Anshari r.a.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ

Qaala rasuulullaahi shallallaahu ‘alaihi wa sallama maa dzi’baani jaa-i’aani ursilaa fii ghanami bi afsada lahaa min hirshil-mar-i ‘alal-maali wasy-syarafi lidiinih.

Artinya:

Rasulullah saw. bersabda, ‘Dua serigala lapar yang dilepas menyerang sekawanan kambing. Perusakannya tidak melebihi ambisi seseorang untuk memperoleh harta dan kemuliaan yang merusak agamanya’.

(Hadits Jamik at-Tirmidzi No. 2298 – Kitab Zuhud)

Rasulullah saw. menggunakan pengibaratan dua serigala yang lapar. Bisakah kamu membayangkannya?

Bukan hewan karnivora pun, jika lapar, insting hewaninya menuntun mereka untuk bertindak lebih agresif daripada biasanya.

Apalagi jika yang dibicarakan adalah hewan pemakan daging seperti serigala yang liar dan buas terhadap makhluk hidup lain di luar spesiesnya.

Rasa lapar yang dirasakan tentu saja membuat mereka sanggup menyerang mangsa dan berbuat kerusakan hebat.

Nah, kerusakan yang disebabkan sepasang serigala lapar itu tak lebih hebat daripada apa yang diperbuat oleh ambisi seseorang akan dunia.

Lebih lanjut, yang dirusak oleh sikap ambisius ini tak lain adalah agamanya sendiri.

Kandang kambing yang porak-poranda setelah diserang sepasang serigala dapat diperbaiki kembali dengan kayu dan paku.

Namun, jika yang rusak adalah agama seorang muslim, dengan apakah ia akan sanggup memperbaikinya?

Penutup

Zuhud adalah sikap meninggalkan kecenderungan pada hal-hal duniawi yang melalaikan seseorang akan penghambaan kepada Sang Pencipta.

Setiap muslim harus memiliki kezuhudan dalam dirinya agar didapatkan kehidupan akhirat yang baik.

Jika tak tahu dari mana memulai langkah untuk meraih zuhud, pelajari saja hakikat kezuhudan dari Rasulullah saw. yang menganggap dunia tak lebih bernilai dari seonggok bangkai.

Teladani pula bagaimana Baginda Nabi merasa cukup dengan makanan dan fasilitas hidup yang sederhana tanpa pernah sekali pun memiliki keinginan untuk mendapatkan yang lebih baik.

Keutamaan sifat zuhud akan membuat para zahid ringan dalam menjalani hidup, selalu merasa cukup, ridha dengan ketetapan-Nya yang mana pun, dan menjaga keutuhan agamanya.