Pengertian dan Macam-Macam Tawassul dan Penjelasan Mengenai Hukumnya

Pernahkah kamu mendengar istilah tawassul? Apabila pernah, tahukan kamu bagaimana hukum dari amalan ini apabila dikerjakan?

Beberapa ulama memperbolehkan tawassul. Namun, beberapa lainnya juga diketahui menentangnya karena dikait-kaitkan dengan perbuatan syirik.

Kira-kira benarkah begitu? Apabila kamu ingin menemukan jawabannya, Hasana.id telah merangkumkan informasi tentang tawassul dalam artikel ini. Pastikan kamu menyimaknya sampai habis, ya!

Pengertian Tawassul

Pengertian tawassul adalah mendekatkan diri kepada Allah atau berdoa kepada-Nya dengan menggunakan wasilah. Definisi lainnya adalah mendekatkan diri dengan bantuan perantara.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat al-Maidah ayat 35, yaitu:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Ya ayyuhalladziina aamanuttaqullaaha wabtaghuu ilaihil wasiilata wajaahiduu fii sabiilihi la’allakum tuflihuun

Artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya (wasilah) dan berjihadlah pada jalan-Nya supaya kalian mendapat keberuntungan”.

Wasilah ada bermacam-macam. Orang yang dekat dengan Sang Pencipta pun bisa menjadi wasilah sebagai perantara agar manusia bisa semakin dekat dengan-Nya.

Selain orang yang dekat dengan Allah, ibadah dan amal kebajikan serta mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar ma’ruf nahi mungkar) juga bisa dijadikan sebagai wasilah (perantara) untuk mendekatkan diri pada Allah.

Al-Qur’an dan hadis tidak melarang mengenai tawassul dengan sesama manusia, seperti dengan orang-orang terdekat Allah, yaitu para nabi, rasul, sahabat Rasulullah, syuhada, tabi’in, dan ulama shalihin.

Oleh karenanya, berdoa dengan menggunakan wasilah orang-orang yang dekat dengan-Nya tidak dilarang dan telah disepakati kebolehannya.

Dengan melakukan hal tersebut, nyatanya tetap saja memohon kepada Allah karena hanya kepada-Nya manusia meminta.

Dari sisi psikologis, tawassul dapat membantu manusia dalam berdoa. Misalnya saja ketika meminta orang yang dekat dengan-Nya agar mereka ikut memohon kepada Allah atas apa yang menjadi permintaan.

Macam-Macam Tawassul

Menurut KH Wazir Ali, seperti yang dikutip dari laman NU Online, kunci kebahagiaan hidup di dunia setidaknya ada empat, di mana salah satunya adalah tawassul. Ada pun kunci kebahagiaan yang lain adalah takwa, iman, dan jihad fii sabilillah.

Kiai Wazir juga menjelaskan mengenai macam-macam tawassul. Berikut penjelasan lebih rincinya.

1. Bi Asmaillah (Dengan Nama Allah)

Tawassul maca mini adalah yang paling tinggi. Contohnya adalah seperti bertawassul kepada Allah untuk memohon agar disembuhkan dari sakit.

Amalan ini juga dapat dilakukan dengan cara menyebut asmaul husna, baik secara lengkap maupun sebagian. Dapat juga dengan menyebut ismul a’dham yang menurut KH Wazir adalah password dalam berdoa.

Meskipun ismul a’dham disamarkan, tetapi masih bisa dipelajari dari beberapa kitab, seperti Fatawa Nawai dan Imam Nawawi.

2. Bi A’mal Shalihat (Dengan Amal yang Baik)

Dijelaskan bahwa dalam kitab Riyadlus Shalihin dikisahkan terdapat tiga orang sahabat dan dalam perjalanan, mereka menemukan gua. Karena rasa penasarannya, ketiganya pun memasuki gua itu.

Begitu sudah masuk, tiba-tiba ada angin kencang yang merobohkan batu besar sehingga menutupi gua.

Kejadian ini membuat mereka mengalami kesulitan, yaitu tidak makan selama satu minggu dan tidak ada yang mendengar ketika mereka berteriak-teriak memanggil orang.

Mereka akhirnya melakukan muhasabah. Salah satu dari mereka berdoa dan bertawassul dengan berbuat baik kepada orang tua (birrul walidain).

Doa tersebut kemudian terkabul yang ditandai dengan batu yang menutupi gua terdorong angin besar sehingga sinar matahari bisa masuk.

Seorang yang lainnya kemudian berdoa dengan amal unggulannya, dan akhirnya batu tersebut mulai tergeser sedikit demi sedikit.

3. Bis Shalihin (Dengan Orang-Orang Saleh)

Dalam hal ini, berdoa bisa dilakukan dengan perantara orang-orang saleh, baik yang masih hidup atau yang sudah wafat. Dikisahkan dalam suatu hadis sahih, terdapat salah satu sahabat yang buta dan ia ingin bisa melihat.

Ia kemudian berdoa dengan bacaan tawassul, Allahumma inni as’aluka wa atawajjahu bi nabiyyika fi hajati hadzihi… (Ya Allah saya meminta dan menghadapmu dengan wasilah kepada Nabi dalam memenuhi kebutuhan saya ini…).

Sahabat tersebut akhirnya dapat melihat.

Ada pun untuk bertawassul dengan orang yang sudah meninggal bisa dilakukan melalui para nabi atau rasul.

Mereka masih hidup di kuburannya. Yang dilakukan adalah para nabi itu melaksanakan salat. Bahkan orang yang punya kelebihan dapat melakukan kontak dan belajar kepada mereka.

Kiai Wazir menambahkan bahwa Nabi Adam a.s. juga pernah bertawassul kepada Nabi Muhammad saw. meskipun Nabi Muhammad belum lahir.

Hal tersebut dilakukan ketika Nabi Adam melakukan kesalahan. Beliau kemudian membaca doa ya rabbi as’aluka bihaqqi muhammdin.

Selanjutnya, Imam Syafi’i juga pernah menuturkan bahwa ia memiliki masalah yang berat. Kemudian dirinya bertawassul dan mengambil berkah kepada gurunya, Abu Hanifah.

Ia mendatangi makam Abu Hanifah setiap malam selama masalah tersebut masih menimpanya. Sebelum datang ke makam, ia juga melaksanakan salat dulu dua rakaat.

4. Bi Dzat (Dengan Dzat)

Bertawassul dengan cara ini bisa dilakukan dengan kedudukan (bi jahi), kemuliaan (bi hurmati), dan kemurahan (bi karamati). Salah satu contoh dari tawassul bi dzat adalah dengan selawat nariyah.

Akan tetapi, jenis ini diperselisihkan oleh para ulama. Bagi sebagian besar ulama, tawassul dengan empat macam ini sebenarnya tidak masalah. Namun menurut Ibn Taimiyah, semua tawassul dapat diterima secara syariat kecuali bi dzat.

Apakah Tawassul Termasuk Syirik

Sebagian orang mungkin bertanya-tanya perihal apakah tawassul termasuk perbuatan syirik atau tidak.

Karena seperti yang sering dilihat, masyarakat Indonesia seperti memiliki budaya sendiri, salah satunya adalah mengunjungi makam wali untuk berdoa meminta sesuatu.

Perlu diingat, tujuan tawassul sendiri adalah mendekatkan diri pada Allah dengan menggunakan perantara. Entah itu berupa amal baik atau melalui orang saleh yang dianggap memiliki posisi yang dekat dengan Allah Swt.

Karena merupakan pintu dan perantara doa kepada Allah, amalan ini bisa dibilang merupakan salah satu cara dalam berdoa.

Berdoa masih bisa dilakukan dengan cara lain, misalnya berdoa pada sepertiga malam terakhir, di Maqam Multazam, dengan didahului bacaan alhamdulillah, dan lainnya.

Kesepakatan Ulama

Para ulama telah sepakat untuk memperbolehkan tawassul kepada Allah dengan wasilah amal saleh. Contohnya adalah dari cerita tiga orang yang terperangkap di gua yang telah diceritakan di atas.

Sementara itu, terdapat perbedaan di kalangan ulama tentang bagaimana hukumnya bertawassul tidak dengan amalnya sendiri, melainkan dengan amal dari seseorang yang dianggap saleh dan memiliki kedudukan tinggi di mata Allah Swt.

Sebagian besar ulama mengatakan bahwa hal tersebut diperbolehkan, tetapi sebagian lainnya mengatakan tidak boleh.

Ketika dikaji secara lebih detail dan mendalam, perbedaan yang ada tersebut hanya sebatas perbedaan lahiriyah, bukan yang mendasar.

Karena pada dasarnya, bertawassul kepada dzat (entitas seseorang) sama saja dengan bertawassul pada amal perbuatannya.

Jadi, amalan ini termasuk ke dalam tawassul yang diperbolehkan oleh para ulama. Dasar dari pendapat ini dijelaskan dengan dalil sebagai berikut:

عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ إِنَّ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ كَانَ إِذَا قَحَطُوْا اسْتَسْقَى بِالعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ المُطَلِّبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إَلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتُسْقِيْنَا وَإِنَّا نَنَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَافَيَسْقُوْنَ. أخرجه الإمام البخارى فى صحيحه ج: 1 ص:137

‘An anas ibni balikin inna ‘umar ibnil khoththobi kaana idzaa qahathuustasqa bil ‘abbas ibni abdil muthollib faqoola allahumma innaakunnaa natawassalu alaika binabiyyinaa fatusqiinaa wainnaa nanatawassalu ilaika bi’ammi nabiyyinaa fasqinaa fayasquuna.

Artinya:

Dari Anas bin malik bahwa Umar bin Khattab ketika menghadapi kemarau panjang, mereka meminta hujan melalui Abbas bin Abdul Muttalib, lalu Umar berkata: “Ya Allah, kami telah bertawassul dengan Nabi kami SAW dan Engkau beri kami hujan, maka kini kami bertawassul dengan Paman Nabi kita SAW, maka turunkanlah hujan, maka hujanpun turun.” (HR. Bukhori)

Penjelasan Imam Syaukani

Imam Syaukani menjelaskan perihal bertawassul kepada Nabi Muhammad ataupun orang saleh lain, baik pada masa hidupnya maupun setelah wafat merupakan ijma para sahabat.

Tawassul bukan meminta kekuatan dari orang yang masih hidup atau sudah mati, tetapi merupakan perantara kepada kesalehan seseorang atau kedekatan dirinya kepada Allah.

Jadi bukanlah manfaat dari manusia, melainkan dari Allah yang telah memilih orang tersebut menjadi hamba yang saleh.

Baik hidup maupun mati tidak membedakan atau membatasi kekuasaan-Nya. Hal ini dikarenakan ketakwaan dan kedekatan mereka kepada Allah tetap abadi walaupun telah wafat.

Orang yang bertawassul menjadikan perantara berupa sesuatu yang dicintai Allah dan berkeyakinan bahwa Ia juga mencintai wasilah tersebut.

Namun, orang yang bertawassul tidak boleh memiliki keyakinan bahwa wasilah kepada Allah dapat memberi manfaat padanya.

Jika ia berkeyakinan seperti itu, barulah bisa disebut dirinya telah melakukan perbuatan syirik. Ketahuilah yang bisa memberi manfaat sesungguhnya hanyalah Allah semata.

Jadi, sejatinya tawassul adalah berdoa meminta sesuatu kepada Allah melalui wasilah. Baik itu berupa amal saleh atau melalui orang yang saleh dengan kedudukan tinggi di mata Allah Swt.

Tawassul hanya merupakan pintu dan perantara dalam berdoa, jadi bukan termasuk perbuatan yang syirik. Hal ini dikarenakan orang yang bertawassul meyakini hanya Allah-lah yang dapat mengabulkan segala doa.

Tawassul dengan Rasulullah

Berikutnya, Hasana.id akan mengajak kamu untuk membahas mengenai tawassul dengan Rasulullah saw. secara lebih mendalam.

Dalam Surat An-Nisa – 64

Perihal bertawassul kepada Rasulullah rupanya telah disebutkan dalam beberapa firman Allah, salah satunya adalah dalam Al-Qur’an Surat an-Nisa ayat 64:

وَلَوْ اَنَّهُمْ اِذْظَلَمُوْااَنْفُسَهُمْ جَاءُوْكَ فَاسْتَغْفَرُوااللهَ وَاسْتَغْفَرَلَهُمُ الَّرسُوْلُ لَوْ جَدُوااللهَ تَوَّاباً رَحِيْماً

Walau annahum idzdhalamuu anfusahum jaa uuka fastaghfarullaaha wastaghfarolahumullarrosuulu lau jadullaaha tawwaban rahiiman

Artinya:

“Walaupun sesungguhnya mereka telah berbuat zalim terhadap diri mereka, kemudian mereka datang kepadamu (Muhammad), mereka meminta ampun kepada Allah dan Rasul memintakan ampun untuk mereka, pasti mereka menjumpai Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.”

Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah Swt. mengampuni dosa-dosa dari orang zalim. Di samping doa mereka, terdapat pula wasilah (doa) dari Rasulullah saw.

Bertawassul juga sudah diamalkan oleh para sahabat Rasulullah sejak masa beliau masih hidup.

Dalam Kitab Al-Adzkar

Dalam kitab al-Adzkar, Imam Nawawi mengutip bacaan tawassul yang digunakan oleh para sahabat Nabi Muhammad saw. ketika memiliki hajat tertentu, bunyinya adalah sebagai berikut.

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ ، يَا مُحَمَّدُ إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِيْ هَذِهِ لِتُقْضَى لِي ، اَللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ

Allâhumma innî as’aluka wa atawajjahu ilaika bi nabiyyika muhammadin shallallâhu alaihi wa sallama nabiyyir rahmah. Yâ muhammadu, innî tawajjahtu bika ilâ rabbi fî hâjatî hâdzihî lituqdhâ lî. Allâhumma fa syaffi‘hu fiyya.

Artinya:

“Wahai Tuhanku, aku memohon dan menghadap kepada-Mu dengan bersandar pada kedudukan mulia nabi-Mu, Nabi Muhammad SAW, nabi penuh kasih. Wahai Nabi Muhammad SAW, melaluimu aku menghadap kepada Allah agar segala hajatku terpenuhi. Ya Allah, terimalah syafa’atnya untuk pemenuhan hajatku.”

Hadis di atas memuat riwayat dari sahabat Rasulullah, yaitu Utsman bin Hunaif.

Ia berkisah bahwa salah seorang dengan penglihatan yang cacat pergi mendatangi Nabi Muhammad saw. dan memintanya berdoa kepada Allah untuk kesembuhan penyakitnya.

Oleh karenanya, apabila kamu memiliki hajat, ada baiknya untuk mengamalkan sunah Rasulullah yang satu ini di mana beliau telah mengajarkannya pula pada para sahabatnya.

Dalam Hadis

Di hadis lain dijelaskan bahwa Allah memerintahkan hamba-Nya untuk bertawassul sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. ketika Fatimah binti Asad wafat. Pada hadis tersebut, Rasulullah bersabda:

اَللهُ الَّذِى يحُىْ وَيمُيِتُ وَهُوَ حَيٌّ لاَيَمُوْتُ اغْفِرْ لأِ مّىِ فَاطِمَةَ بِنْتِ أَسَدٍ وَلَقّنْهَا حُجَّتَهَا وَوَسِّعْ عَلَيْهَا مَدْ خَلَهَا ِبحَقّ ِنَبِيّكَ وَاْلأَنْبِيَاءِ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِى فَاءِنَّكَ اَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ وَكَبَّرَأَرْبَعًا وَاَدْخَلُوْ هَا هُوَ وَاْلعَبَّاسُ وَاَبُوْ بَكْرٍ الّصِدّيِقِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمْ

Artinya:

“Allah yang menghidupkan dan yang mematikan dan Dialah yang hidup tidak mati; Ampunilah! Untuk Ibu saya Fathimah binti Asad dan ajarkanlah kepadanya hujjah (jawaban ketika ditanya malaikat) kepadanya dan luaskan kuburnya dengan wasilah kebenaran Nabimu dan kebenaran para Anbiya’ sebelum saya, sesungguhnya Engkau Maha Pengasih dan Rasulullah takbir empat kali dan mereka memasukkan ke dalam kubur ia (Rasulullah), Sahabat Abbas Abu Bakar As-Shaddiq r.a.” (HR. Thabrani).

Hadis ini menjelaskan bahwa Rasulullah sendiri bertawassul kepada Allah dengan menjadikan dirinya sebagai orang yang mulia sebagai wasilahnya.

Beliau juga bertawassul dengan nama para nabi sebelumnya yang berhak mendapatkan selawat dan salam.

Dalam Kitab Riyadlus Shalihin

Dalam kitab Riyadlus Shalihin bab Wadaais-shahib, Rasulullah mengizinkan Sayyidina Umar untuk bertawassul dengannya juga menyertakan beliau dalam segala doanya di Makkah ketika menunaikan ibadah umrah.

عَنْ عُمَرَبْنِ اْلخَطَّابِ رَضِىَاللهُ عَنْهُ قَالَ اِسْتَأْذَنْتُ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى اْلعُمْرَةِ فَأذِنَ لىِ وَقَالَ: لاَتَنْسَنَا يَااُخَيَّ مِنْ دُعَائِكَ فَقَالَ كَلِمَةً مَايَسُرُّنِى اَنَّ لىِ بِهَاالدُّنْيَا. وَفِى رِوَايَةِ قَالَ اَشْرِكْنَا يَااُخَىَّ فِى دُعَائِكَ. رواه ابوداود والترمذى

‘An ‘umarabnil khoththaabi radliyallahu’anhu qaala istak dzantunnabiyya shallallahu ‘alaihi wasallama fil ‘umroti fa dzina lii waqaala: la a tan sanaa yaa u khoyyamindu’aa ika faqaala kalimatan maayasurrunii anna liibihaddunya. Wa fii riwaa yati qaala asy riknaa yaa u khoyya fii du’aa ika.

Artinya:

“Dari shahabat Umar Ibnul Khattab r.a. berkata: saya minta idzin kepada Nabi SAW untuk melakukan ibadah umrah, kemudian Nabi mengidzinkan saya dan Rasulullah SAW bersabda; wahai saudaraku! Jangan kau lupakan kami dalam doamu; Umar berkata: suatu kalimat yang bagi saya lelah senang dari pada pendapat kekayaan dunia. Dalam riwayat lain; Rasulullah SAW bersabda: sertakanlah kami dalam doamu”. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Hadis ini menjelaskan bahwa Nabi Muhammad meminta sahabatnya, Umar bin Khattab untuk menyertakan beliau dalam doanya selama di Makkah.

Meskipun apabila Rasulullah yang berdoa sendiri, tentu lebih diterima. Namun beliau masih meminta doa kepada sahabatnya tersebut.

Bertawassul dengan orang-orang yang dekat dengan Allah tidak berarti meminta kepada mereka.

Amalan ini merupakan salah satu cara agar Allah mengabulkan doa dengan memohon agar orang-orang yang dekat dengan-Nya ikut memohonkannya juga kepada Allah.

Yahudi Bertawasul dengan Rasulullah saw.

Rupanya, tawassul juga dilakukan oleh orang-orang Yahudi Khaibar ketika mereka menghadapi musuh sebelum Nabi Muhammad saw. lahir.

Mereka menjadikan Rasulullah sebagai wasilah. Dengan bertawassul, mereka diketahui dapat membuat musuh-musuhnya melangkah mundur.

Nabi Muhammad saw. sendiri merupakan sosok yang tidak asing bagi orang-orang Yahudi. Hal ini diketahui lantaran gambaran dan ciri-ciri dari Rasulullah tertulis dalam kitab-kitab suci mereka.

Menurut Keterangan Ibnu Abbas

Perihal tawassul orang Yahudi dengan Rasulullah telah dijelaskan dari keterangan Sayyidina Ibnu Abbas sebagai berikut:

قال ابن عباس رضي الله عنهما: كانت يهود خيبر تقاتل غطفان، فلما التقوا هزمت يهود فدعت يهود بهذا الدعاء، وقالوا إِنَّا نَسْئَلُكَ بِحَقِّ النَّبِيِّ الأُمِّيِّ الَّذِيْ وَعَدْتَنَا أَنْ تُخْرِجَهُ لَنَا فِي آخِرِ الزَّمَانِ؛ إِلّا أَنْ تَنْصُرَنَا عَلَيْهِمْ. قال: فكانوا إذا التقوا دعوا بهذا الدعاء فهزموا غطفان، فلما بعث النبي صلى الله عليه وسلم كفروا، فأنزل الله تعالى: “وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا” أي بِكَ يَا مُحَمَّدُ، إلى قوله فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ

Artinya:

“Ibnu Abbas bercerita bahwa dahulu Yahudi Bani Khaibar kerap bentrok fisik dengan Bani Ghathfan. Kalau perang berkecamuk, satuan pasukan Yahudi Khaibar itu mesti cerai-berai. Yahudi Khaibar lalu berdoa seperti ini, ‘Innâ nas’aluka bi haqqin nabiyyil ummiyyil ladzî wa ‘adtanâ an tukhrijahû lanâ fî âkhiriz zamân illâ an tanshuranâ’ (Ya Allah, kami memohon kepada-Mu melalui kebenaran nabi ummi yang Kaujanjikan kepada kami diutus di akhir zaman, kecuali Kaubantu kami mengalahkan mereka).”

Dikisahkan bahwa setiap kali berperang, Yahudi Khaibar selalu berdoa dengan bacaan tersebut dan mereka pada akhirnya berhasil menghancurkan satuan pasukan Ghathfan.

Dijelaskan Dalam SUrat Al-Baqarah – 89

Hal ini telah dijelaskan dalam firman Allah dalam Al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 89, yaitu

وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ

Walammaajaa ahum kitaabun min ‘indillaahi mushaddiqunlimaa ma’ahum wakaanuu minqablu yastaftihuuna’alalladziinakafaruu falammaajaa ahum maa’arafuukafaruubihi fala’natullahi ‘alalkaafiriin

Artinya:

“Ketika sebuah kitab dari sisi Allah membenarkan apa yang ada di tangan mereka itu datang kepada mereka–padahal mereka itu sebelumnya memohon kemenangan atas orang-orang kafir–, tetapi ketika sesuatu yang sudah mereka kenal dengan baik itu datang ke tengah mereka, mereka mengingkarinya, maka laknatullah jatuh mengenai orang-orang kafir,” (Surat Al-Baqarah ayat 89)

Melalui catatan kaki, Sayyi Muhammd bi Alwi al-Maliki al-Hasani menyebutkan bahwa riwayat ini bisa dilihat pada Tafsir al-Qurhubi, al-Jami’ li Ahkamil Quran, juz II, halaman 26–27.

Penjelasan dari Sayyidina Abbas cukup masyhur di kitab-kitab tafsir yang muktamad.

Selanjutnya dijelaskan bahwa pandangan Ibnu Abbas ini kemudian dikutip dari kalangan ahli hadis yang otoritatif, yaitu Ibnu Abi Hatim, As-Syaukani, Al-Alusi, dan Al-Baghawi.

Bertawassul dengan Orang yang Sudah Meninggal

Orang yang sudah mati, badan dan jasadnya akan rusak dan hancur. Namun, rohnya tetap hidup karena mereka berada di alam barzah.

Segala amal perbuatan mereka untuk diri sendiri telah diputus. Rasulullah bersabda sebagaimana yang telah dikutip dalam kitab Shahih Muslim juz II, bahwa:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قاَلَ: اِذَامَاتَ اْلاِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ اِلاَّ مَنْ ثَلاَثٍ اِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْوَلَدٍ صَاِلحٍ يَدْعُوْلَهُ.

‘An abiihurairata anna rasuulallaahi shallallaahu ‘alaihiwasallama qola: idzaamaatalinsaanu inqatha’a ‘amaluhu illamantsalaatsin. Illa min shadaqatin jariyatin au ‘almin yuntafa’ubihi auwaladin shalihin yad ‘uu lahu

Artinya:

“Apabila manusia telah mati maka terputuslah darinya amalnya, kecuali tiga; kecuali dari shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfa’at atau anak shaleh yang mendoakan” (HR. Muslim)

Hadis di atas menerangkan apabila manusia telah meninggal, maka segala amalnya untuk diri sendiri akan diputus. Namun untuk orang lain, seperti ahli kubur yang mendoakan, tidak ada keterangan yang melarang.

Salam Ketika Melewati Kuburan

Diketahui bahwa Rasulullah akan menyampaikan salam setiap melewati kubur. Hal ini menunjukkan bahwa ahli kubur menjawab salam yang kita ucapkan.

Diriwayatkan Imam Tirmidzi bahwa Rasulullah bersabda:

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ يَاأَهْلَ اْلقُبُوْرِ يَغْفِرُاللهُ لَنَا وَلَكُمْ وَأَنْتُمْ سَلَفُنَا وَنَحْنُ بِاْلأَثَرِ

Assalaamu’alaikum yaa ahlalqubuuri yaghfirullaahu lanaa walakum wa antum salafunaa wanahnu bil atsari

Artinya:

“Keselamatan atas engkau wahai ahli kubur, mudah-mudahan Allah mengampuni kami dan mengampuni kalian, kalian pendahulu kami dan kami mengikuti jejak kalian.” (HR. Tirmidzi)

Salam Rasulullah tersebut tentunya dijawab oleh ahli kubur dan juga salam kita akan dibalas dengan jawaban, “Mudah-mudahan keselamatan bagi engkau wahai orang yang masih hidup di dunia.”

Perihal diterimanya doa ahli kubur kepada kita segalanya adalah urusan Allah. Agama tidak menerangkan bahwa ada larangan untuk mendoakan orang tua, begitu pula orang tua di alam barzah yang mendoakan kepada orang yang berdoa agar selamat.

Tidak Sama dengan Meminta Kepada Ahli Kubur

Bagi orang yang berdoa di dunia, perlu diketahui bahwa bertawassul terhadap orang yang sudah meninggal tidaklah sama artinya dengan meminta kepada ahli kubur. Hal ini diyakini bahwa mereka tidak dapat berbuat dan memberikan apa pun.

Bertawassul kepada mereka yang sudah meninggal artinya adalah agar ahli kubur bersama dengan orang yang mendoakannya memohon kepada Allah.

Seperti halnya ketika seseorang berdiri di depan makam Rasulullah saw. dan mengucapkan salam, beliau akan menjawab salam dari orang tersebut.

Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa di dalam kubur, Rasulullah juga mendoakan para pemberi salam atau orang yang bertawassul.

Demikianlah informasi mengenai tawassul yang dapat Hasana.id bahas. Semoga penjelasan di atas dapat menjawab pertanyaanmu terkait dengan seluk beluk bertawassul.

Apabila informasi ini dirasa berguna, kamu dapat membagikannya ke orang-orang terdekat. Dengan begitu, wawasan mereka mengenai tawassul juga bisa bertambah.

Sumber:

http://www.piss-ktb.com/2013/05/2359-aqidah-cara-bertawassul-yang-baik.html

https://islam.nu.or.id/post/read/9743/mengapa-bertawassul

https://www.nu.or.id/post/read/71252/makna-dan-macam-macam-tawassul

https://islam.nu.or.id/post/read/20279/tawassul-apakah-bukan-termasuk-syirik

https://islam.nu.or.id/post/read/9908/tawassul-dengan-rasulullah-saw

https://islam.nu.or.id/post/read/27010/tawassul-dianjurkan-dalam-islam