Pengertian Qanaah, Manfaat, serta Tips

Mudah menerima segala ketetapan-Nya merupakan sikap yang patut melekat pada setiap hamba. Hal ini berlaku untuk rezeki, kondisi, jodoh, dan segala perkara yang masuk dalam hak Allah Swt. untuk ditetapi-Nya. Islam mengenalnya dengan kata qanaah.

Ketika seorang muslim memiliki sikap qanaah dalam dirinya, ia akan mencukupkan diri atas apa yang diberikan baginya dan merasa cukup pula akan hal-hal yang dimiliki.

Ia menjadi merasa tak memerlukan yang lebih daripada itu dan selalu mensyukuri nikmat, sekecil apa pun anugerah tersebut. Hatinya terasa lapang karena jauh dari mengingini yang belum menjadi haknya. Secara otomatis, ia jadi tak mudah iri dan cemburu akan kepemilikan orang lain.

Betapa nyaman menjalani hidup di dunia dengan hati yang selalu merasa cukup. Dengannya, kemudian, ia merasa kaya dan tak terdengar keluhan keluar dari lisannya. Rasulullah saw. pun mensabdakan hal yang serupa dalam satu hadis riwayat Ibnu Majah dari Abu Hurairah r.a.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

Qaala rasuulullaahi shallallaahu ‘alaihi wa sallam: laisal-ghina ‘an katsratil-‘aradhi wa lakinnal-ghinaa ghinan-nafs.

Artinya:

Rasulullah saw. bersabda: ‘Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta. Akan tetapi kekayaan itu adalah kaya hati.’

(Hadis Sunan Ibnu Majah No. 4127 – Kitab Zuhud)

Nah, artikel ini akan membahas topik menarik ini hanya untukmu. Kamu akan menemukan arti qanaah, manfaat, dan konsepnya dalam menjalani kehidupan ditulis lengkap dengan dalil yang mendasarinya di sini. Jadi, pastikan tak ada informasi yang terlewat, ya!

Pengertian Qanaah

Qanaah diambil dari bahasa Arab qanaa’atun yang berarti ‘merasa puas menerima apa-apa yang diberikan’. Akar katanya adalah qani’a, bermakna ‘rela’.

Kata ini sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi ‘kanaah’, maknanya ‘rela menerima pemberian apa pun dari Allah Swt., orang tua, atau atasan’.

Namun, tersebab kebiasaan yang berbeda di masing-masing daerah, kamu pun akan menemui transliterasi penulisan yang berbeda pula, seperti qana’ah atau qonaah.

Secara terminologi, qanaah berarti menerima segala kondisi, sekali pun berada dalam ketidakpunyaan atau tidak memiliki apa-apa yang dikehendaki. Beberapa definisi lain yang disampaikan para ahli adalah sebagai berikut.

  1. Kamus Arab-Indonesia karya Maftuh : suka menerima yang diberikan padanya
  2. Shalahudin karya Saifullah al-Aziz : rida dengan pemberian-Nya yang sedikit
  3. Al-Ghazali : kemampuan mengendalikan diri saat godaan nafsu terlihat
  4. Hamka :
  • Rela menerima apa yang tersedia
  • Berdoa kepada Allah Swt. akan tambahan secukupnya sambil terus berupaya
  • Sabar menerima ketetapan Allah Swt.
  • Meletakkan tawakal hanya pada Allah Swt.
  • Tak merasa dunia menarik dengan segala tipu dayanya

Apa pun definisi yang dikemukakan, rasanya tak keliru jika Hasana.id menyimpulkan bahwa qanaah identik dengan perilaku sederhana terhadap materi atau kebendaan.

Hakikat Qana’ah

Bagaimanapun para ahli menyarikan makna qanaah, mari kembalikan hakikatnya pada baginda nabi. Ibnu Majah merawi sebuah hadis mengenai topik ini dari ‘Ubaidullah bin Mihshan Al anshari ra. Berikut redaksi hadisnya.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ آمِنًا فِي سِرْبِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا

Qaala rasuulullaahi shallallaahu ‘alaihi wa sallam: man ashbaha minkum mu’aafin fii jasadihi aaminan fii sirbihi ‘indahu quutu yaumihi faka-annamaa hiizat lahud-dun-yaa.

Artinya:

Rasulullah saw. bersabda: ‘Barang siapa di pagi hari tubuhnya sehat, aman jiwanya, dan memiliki makanan pokok pada hari itu, maka seolah-olah dunia telah dihimpun untuknya.’

(Hadis Sunan Ibnu Majah No. 4131 – Kitab Zuhud)

Rasulullah saw. hendak mengisyaratkan bahwa seorang hamba yang mendapati dirinya terbangun di pagi hari dalam keadaan sehat dan aman serta memiliki makanan pokok yang dapat dimakan di hari itu adalah orang yang amat beruntung, seberuntung mereka yang memiliki kekayaan sehimpunan dunia.

Keadaan yang demikian adalah anugerah dari Allah Swt. yang patut disyukuri dan tak boleh dikeluhkan karena rezekinya dipandang sama saja banyaknya dengan mereka yang serba berada.

Ekstremnya, meskipun yang dimiliki amat minim, rasa cukup harus memenuhi hatinya sebanyak ketika ia memiliki gelimangan harta seluas dunia. Itulah qanaah.

Tips Menjadi Pribadi yang Qanaah

Sebuah jurnal Edu-Math yang diterbitkan tahun 2013 bertajuk Perspektif Islam, disusun oleh Sholahudin dan menera beberapa tips agar seorang muslim dapat menjalankan laku qanaah. Tips-tipsnya adalah sebagai berikut.

Memperkuat Keimanan kepada Allah Swt.

Banyak cara untuk dapat menjadikan keimanan pada-Nya menguat. Pertama, perbaiki dahulu ketepatan salat fardu. Mari mengingat-ingat, adakah diri masih sering menunda atau bahkan mengakhirkan waktu salat? Jika iya, apakah alasannya sesuai syariat atau hanya mengikuti nafsu semata?

Mari analogikan dengan menepati janji. Misalnya, kamu berjanji dengan seseorang untuk bertemu pukul 08.00 di sebuah tempat. Jika ia ternyata terlambat dan membuatmu menunggu, tentu kamu akan merasa kurang dihargai, kan?

Kedua, kerjakan perkara sunah sebanyak-banyaknya, termasuk menegakkan salat-salat sunah dan berpuasa di luar bulan Ramadan. Amalan-amalan tersebut dapat ‘menambal’ kekurangan yang mungkin kamu lakukan saat beribadah wajib.

Di samping itu, dengan melakukan ibadah sunah, kamu juga menambah intensitas interaksi dengan Sang Maha Pencipta. Makin banyak berinteraksi, makin kamu mencintai dan dicintai-Nya pula.

Jika sudah menjadi hamba yang dicintai oleh-Nya, kamu akan bersikap qanaah karena tak lagi berhasrat lebih pada hal-hal duniawi selain terhadap apa yang sudah dimiliki.

Meyakini Ketetapan Rezeki

Allah Swt. telah menuliskan bagi tiap-tiap hamba atas rezeki yang akan diterima, jodoh yang akan membersamainya, dan lama waktunya hidup di dunia. Kehendak-Nya-lah untuk melapangkan atau menyempitkan keadaanmu.

Sempitnya rezeki bukan berarti ujian dan lapangnya kondisi tidak pula bermakna anugerah. Bisa jadi yang dimaksudkan Allah Swt. adalah sebaliknya.

Mungkin saja, dengan menyempitkan rezeki sebagian orang, Yang Mahakuasa ingin mereka terhindar dari rasa cinta terhadap barang-barang duniawi di luar dari apa yang telah dianugerahkan-Nya. Ujung-ujungnya, intensi-Nya adalah mengajarkan mereka untuk qanaah.

Di samping itu, mengerdilkan liputan rezeki hanya pada uang adalah hal yang naïf, karena rezeki-Nya tak memiliki batas. Allah Swt. justru menyebut buah-buahan dalam satu frasa dengan rezeki di banyak ayat dalam Al-Qur’an. Beberapa di antara ayat-ayat tersebut adalah surah al-Baqarah ayat 22, 25, dan 126.

Merenungi Ayat-Ayat-Nya

Banyak di antara kalam-kalam-Nya yang Ia akhiri dengan klausa yang senada dengan ‘supaya kamu memikirkannya’. Contohnya seperti yang tertera dalam surah al-Hadid ayat 17 tentang tanda-tanda kebesaran Allah Swt.

ٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ يُحْىِ ٱلْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ ٱلْءَايَٰتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

I’lamuu annallaaha yuḥyil-ardha ba’da mautihaa, qad bayyannaa lakumul-aayaati la’allakum ta’qiluun.

Artinya:

Ketahuilah olehmu bahwa sesungguhnya Allah menghidupkan bumi sesudah matinya. Sesungguhnya, Kami telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda kebesaran (Kami) supaya kamu memikirkannya.

(Surah al-Hadid: 17)

Kitab Tafsir Jalalain menjelaskan bahwa ‘menghidupkan bumi sesudah matinya’ memiliki makna Allah Swt. berkuasa menumbuhkan sesuatu yang hidup, yaitu tanam-tanaman, di atas tanah yang tak bernyawa.

Hal ini dilakukan-Nya agar manusia senantiasa mengingat Sang Pencipta tiap kali pandangannya jatuh kepada tetumbuhan, pepohonan, bebungaan, serta makhluk hidup lain.

Setidaknya, terlintas dalam pikirannya bahwa tanam-tanaman tersebut tidak tumbuh dengan sendirinya, kecuali ada Zat Yang Mahakuasa yang menumbuhkan mereka.

Sehingga, dapat tercerna bahwa sesungguhnya Allah Swt. menginginkan para hamba untuk terus-menerus mengingat-Nya di segala keadaan. Dengan ingat pada-Nya, hati seseorang akan menjadi tenteram. Qanaah akan mudah diterapkan dengan kondisi kalbu yang demikian

ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ ٱللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ

Alladziina aamanuu wa tathma-innu quluubuhum bidzikrillaah, alaa bidikrillaahi tathma-innul-quluub.

Artinya:

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.

(Surah ar-Ra’d: 28)

Melihat ke Bawah

Qanaah erat kaitannya dengan zuhud. Jika yang satu bermakna menerima dengan rela apa pun yang diberikan, yang lain berarti meninggalkan kecenderungan akan hal-hal yang bersifat duniawi.

Apabila seorang hamba berlaku zuhud, secara otomatis ia akan qanaah karena perkara keduniawian tak lagi menggiurkan baginya. Hilang sudah keinginan untuk memiliki lebih dari yang ia punyai saat ini.

Nah, zuhud dapat diraih dengan memandang keadaan orang-orang yang ‘berada di bawah’, yaitu mereka yang kondisinya tak lebih berada dari diri sendiri. Sebuah hadis yang dirawi oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah r.a. mengabarkan nasihat Rasulullah saw. terkait.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ

Qaala rasuulullaahi shallallaahu ‘alaihi wa sallaman-zhuruu ilaa man asfala minkum wa laa tanzhuruu ilaa man huwa fauqakum fahuwa ajdaru anlaa tazdaruu ni’matallaah.

Artinya:

Rasulullah saw. bersabda: ‘Pandanglah orang yang berada di bawah kalian, jangan memandang yang ada di atas kalian. Itu lebih laik membuat kalian tidak mengufurkan nikmat Allah.’

(Hadis Sahih Muslim No. 5264 – Kitab Zuhud dan Kelembutan Hati)

Membaca Sirah Sahabat Nabi

Sahabat-sahabat Rasulullah saw. adalah generasi terbaik sepanjang zaman yang Islam miliki. Perlombaan di antara mereka adalah menjadi yang terbagus dalam akhlak dan amalan. Candaannya tetap mengundang tawa, tetapi tanpa dusta.

Dari merekalah teladan Rasulullah saw. terproyeksi kepada kaum muslimin hingga kini. Para sahabat ini mendapatkan pengajaran langsung dari guru terbaik, maka tak heran jika banyak dari laku hidup orang-orang ini yang dapat dicontoh.

Kisah Teladan dari Fatimah binti Muhammad

Contoh qanaah, misalnya, Fathimah binti Muhammad, putri Rasulullah saw. sendiri yang menjadi teladan. Suatu ketika, ia datang kepada ayahnya untuk meminta pembantu agar meringankan pekerjaan rumah tangganya.

Sang suami, ‘Ali bin Abi Thalib ra. menceritakan kepada Rasulullah saw. akan alasannya. Pekerjaan-pekerjaan berat dalam rumah tangga yang dilakukan Fathimah r.a. berulang-ulang setiap hari telah meninggalkan bekas-bekas kepayahan pada dirinya.

Alat penyiram tanaman yang ditariknya setiap hari, membuat telapak tangannya terluka dan meninggalkan bekas. Wadah air dari kulit (geriba) yang digendongnya tiap kali, melukai lehernya, dan itu juga membekas.

Rasulullah saw. menjawab dengan perintah untuk bertakwa pada Allah Swt., menunaikan kewajiban Rabb-nya, dan menyelesaikan kerja-kerja dalam rumah tangga. Lalu, saat Fathimah r.a. hendak tidur, sang ayah memerintahkannya untuk membaca tasbih, tahmid, dan takbir, total sejumlah 100 kali.

Dikatakan padanya bahwa mengucapkan kalimat-kalimat tayibah adalah lebih baik dari pembantu.

Maksudnya adalah dibandingkan dengan keberadaan pembantu untuk meringankan tugasnya, membaca tasbih, tahmid, dan takbir di malam hari dapat membantu jiwa dan raga Fathimah r.a. untuk siap menghadapi segala pekerjaannya esok hari.

Dengan demikian, semua yang dikerjakan terasa ringan dan pembantu tak lagi ia butuhkan. Kesimpulannya, Rasulullah saw. menolak permintaan Fathimah r.a. Lantas, apa jawaban sang putri tercinta?

قَالَتْ رَضِيتُ عَنْ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَنْ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Qaalat raadhiitu ‘an allaahi ‘azza wa jalla wa ‘an rasuulullaahi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Artinya:

Fathimah berkata; aku rida kepada Allah dan Rasul-Nya saw.

(Hadis Sunan Abu Dawud No. 2595 – Kitab Pajak, Kepemimpinan, dan Fai)

Luar biasa, kan? Jawabannya mantap, tanpa ‘tetapi’, tiada pula argumen tambahan.

Manfaat Qanaah

Menerapkan hidup qana’ah akan mendatangkan banyak manfaat. Beberapa di antaranya telah disinggung dengan singkat di atas. Berikut ini adalah keuntungan-keuntungan lain dari melekatkan qanaah pada diri.

Menjadi Manusia yang Paling Mulia

Rasulullah saw. pernah ditanya tentang ciri manusia yang paling mulia. Beliau katakan ciri-cirinya terdapat pada semua individu yang memiliki hati yang bersedih dan ucapan yang benar.

Maksud dari hati yang bersedih adalah kalbu yang bersih yang dimiliki oleh hamba yang senantiasa mengerjakan perintah Allah Swt. dan menjauhkan diri dari apa-apa yang terlarang. Hatinya suci, tiada kelaliman dan kedurhakaan, tidak ada pula iri dan dengki.

Penjelasan Rasulullah saw. ini diabadikan oleh Ibnu Majah dalam hadis yang dirawinya dari Abdullah bin ‘Amru r.a.

قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ قَالَ كُلُّ مَخْمُومِ الْقَلْبِ صَدُوقِ اللِّسَانِ قَالُوا صَدُوقُ اللِّسَانِ نَعْرِفُهُ فَمَا مَخْمُومُ الْقَلْبِ قَالَ هُوَ التَّقِيُّ النَّقِيُّ لَا إِثْمَ فِيهِ وَلَا بَغْيَ وَلَا غِلَّ وَلَا حَسَدَ

Qiila lirasuulillaahi shallallaahu ‘alaihi wa sallam: ayyun-naasi afdhal? Qaala kullu makhmuumil-qalbi shaduuqil-lisaan. Qaaluu shaduuqul-lisaani na’rifuh, famaa makhmuumul-qalb? Qaala huqat-tqiyyun-naqiyyu, laa itsma fiih wa laa baghyi wa laa ghilla wa laa hasad.

Artinya:

Ditanyakan kepada Rasulullah saw.; ‘Manusia bagaimanakah yang paling mulia?’ Beliau menjawab: ‘Semua (orang) yang hatinya bersedih dan lisan (ucapannya) benar.’ Mereka berkata; ‘Perkataannya yang benar telah kami ketahui, lantas apakah maksud dari hati yang bersedih?’ Beliau bersabda: ‘Hati yang bertakwa dan bersih, tidak ada kedurhakaan dan kelaliman padanya, serta kedengkian dan hasad.’

(Hadis Sunan Ibnu Majah No. 4206 – Kitab Zuhud)

Nah, kuncinya ada pada keadaan hati. Seorang hamba yang qanaah, hatinya akan terbebas dari iri dan dengki karena senantiasa merasa cukup. Kalbu yang demikian dapat menjadi modal yang cukup untuk masuk dalam golongan manusia yang paling mulia.

Diberikan-Nya Nikmat Tambahan

Kisah menarik dan luar biasa datang dari salah seorang sahabat bernama Jabir bin Abdullah r.a. Ia menceritakan pengalamannya yang dialaminya bersama dengan tiga ratus orang lain dari kaum muslimin.

Perginya Jabir bin Abdullah Beserta Rombongan

Dikisahkan, Rasulullah saw. mengutus Jabir bin Abdullah r.a. dan rombongan ke sebuah tempat. Perjalanan menuju destinasi ini memakan waktu yang cukup lama sehingga para sahabat harus membawa bekal. Saat berangkat, mereka meletakkan bekal-bekal itu di atas leher.

Lamanya perjalanan ternyata tak sebanding dengan bekal yang mereka bawa. Akibatnya, para sahabat ini kehabisan persediaan makanan, padahal masih ada banyak hari ke depan hingga mereka menyelesaikan urusan. Tak ada penganan apa pun yang tersisa, kecuali satu butir kurma.

Yang mendengar cerita Jabir r.a. kemudian tercengang dan berpikir bagaimana keadaan mereka yang tanpa bekal ini selanjutnya? Untuk mengenyangkan satu pria dewasa saja, satu butir kurma tak akan cukup, apalagi bagi tiga ratus orang?

Mari mengilas balik saat rombongan besar ini diutus oleh Rasulullah saw. Apakah mungkin baginda nabi tidak mengetahui bahwa perjalanan yang harus ditempuh amat jauh? Hasana.id rasa tidak, mengingat sang nabi seringkali memimpin perang yang membutuhkan perencanaan matang.

Rasulullah saw. tentu mengetahui bahwa jarak perjalanan itu amat jauh, sebagaimana beliau tahu bahwa perlu banyak bekal untuk menemani kepergian para sahabat tersebut.

Maka, rasanya tak keliru pula jika Hasana.id menyimpulkan bahwa baginda nabi menghendaki para sahabat mempraktikkan langsung materi qanaah dalam iring-iringan besar selama berhari-hari itu. Rasulullah saw. ingin mereka merasa cukup dengan apa yang dibawa.

Mendapatkan Rezeki yang Tidak Disangka

Jadi, bagaimana kelanjutan perjalanan mereka yang tanpa bekal itu? Manfaat apa yang mereka dapatkan dari bersikap qanaah?

Hadis yang dirawi Ibnu Majah dari Jabir r.a. langsung ini merekam kelanjutannya.

فَقَالَ لَقَدْ وَجَدْنَا فَقْدَهَا حِينَ فَقَدْنَاهَا وَأَتَيْنَا الْبَحْرَ فَإِذَا نَحْنُ بِحُوتٍ قَدْ قَذَفَهُ الْبَحْرُ فَأَكَلْنَا مِنْهُ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ يَوْمًا

Faqaala laqad wajadnaa faqdahaa hiina faqadnaahaa wa atainal-bahri fa-idzaa nahnu bihuutin qad qadzafahul-bahru fa-akalnaa minhu tsamaaniyata ‘asyara yaumaa.

Artinya:

Jabir berkata, ‘Di hari kami kehabisan bekal, kami menemukan ikan besar yang terhempas oleh air laut, lalu kami pun memakannya selama delapan belas hari lamanya.’

(Hadis Sunan Ibnu Majah No. 4149 – Kitab Zuhud)

Masyaallah! Mahakuasa Allah menenteramkan para hamba yang qanaah dengan balasan nikmat yang tak tanggung-tanggung.

Apa kamu bisa membayangkan sebesar apa ikan yang dihempas lautan jika tiga ratus orang dapat memakannya hingga delapan belas hari lamanya? Sungguh, yang demikian amat mudah bagi Allah!

Tak Bermaknanya Harta Benda

Hidup seorang muslim haruslah selalu berorientasi kepada Allah Swt. karena dari-Nya ia berasal, dan kepada-Nya pulalah ia kembali. Dengan pola pikir itu, sudah sepantasnya bagi kaum muslimin mendasarkan segala laku untuk mencari keridaan dari Yang Maha Meridai.

Bekerja mencari nafkah, berdagang menambah penghasilan, menuntut ilmu, menikah, memiliki anak, dan lain-lain dilakukan atas dasar ibadah dan mengharapkan rida Allah Swt. Tak ada tujuan lain selain itu.

Maka, seharusnya seorang hamba tak risau jika rezekinya tak banyak, wajahnya tak menawan, atau apa pun yang dimilikinya tak memuaskan.

Ketika Allah Swt. yang menjadi tujuan hidupnya, ia akan memahami bahwa Sang Pencipta tak memandang seseorang berdasarkan harta dan rupa yang dimiliki, tetapi hati dan amalan yang sudah dilakukannya. Hal ini sesuai dengan apa yang telah disabdakan Rasulullah saw. melalui Abu Hurairah r.a.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَفَعَهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَى أَعْمَالِكُمْ وَقُلُوبِكُمْ

‘An abii hurairah rafa’ahu ilan-nabiyyi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, qaala: innallaaha laa yanzhuru ilaa shuwarikum wa amwaalikum wa lakin innamaa yanzhuru ilaa a’maalikum wa quluubikum.

Artinya:

Dari Abu Hurairah yang dimarfukkan kepada Nabi saw. Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta benda kalian, tetapi Dia hanya memandang kepada amal dan hati kalian.’

(Hadis Sunan Ibnu Majah No. 4133 – Kitab Zuhud)

Dengan demikian, harta benda menjadi tak berguna di pandangan Allah Swt. dan beruntunglah orang-orang yang qanaah karena hidupnya tak disibukkan dengan kebendaan yang tak ia miliki.

Penutup

Qanaah semakna dengan mencukupkan diri atas apa yang ia miliki. Orang-orang yang hidup dengan sikap ini memiliki hati yang senantiasa bersyukur terhadap segala nikmat Allah Swt. Seminim apa pun anugerah yang ia terima, hatinya yang lapang akan menganggap kondisinya sama dengan orang kaya.

Semoga kamu termasuk orang-orang yang dimudahkan-Nya menjadi diri yang qanaah. Aamiin.