Jujur, Sifat Terpuji yang Disukai Allah dan Pembagiannya dalam Islam

Di luar sana, tak jarang kita temui orang-orang yang hebat dan berhasil karena memiliki sifat jujur. Orang-orang seperti mereka juga cenderung lebih disukai karena kejujurannya.

Kejujuran memang sering kali tidak bisa dipisahkan dari kesuksesan. Bahkan, dikatakan bahwa kejujuran merupakan salah satu kunci dari kesuksesan itu sendiri.

Sifat yang menegakkan kejujuran pun dianggap sebagai akhlak yang mulia dan menjadi bagian dari napas kita sebagai kaum muslim.

Pembahasan mengenai kejujuran dan keistimewannya memang selalu menarik mengingat ada banyak topik yang terkait dengannya.

Untuk itu, pada kesempatan ini Hasana.id akan mengajak kamu sekalian untuk memahami lebih lanjut mengenai kejujuran dan bagaimana penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

Pengertian Jujur Menurut Islam dan Bahasa

Pertama-tama, kamu harus tahu terlebih dahulu apa itu pengertian jujur atau shidqu dalam bahasa Arab.

Dalam Islam, kejujuran merupakan suatu amanah yang harus dipenuhi oleh seorang umat muslim dalam menjalani kehidupannya sebagai manusia di bumi.

Kejujuran disebutkan sebagai sebuah pilihan karena manusia dapat memilih untuk jujur atau berdusta.

Apabila kamu bertindak atas dasar kejujuran, artinya kamu telah berhasil mengalahkan ketidakjujuran, dan sebaliknya.

Adapun menurut bahasa, jujur artinya nyata atau berkata benar dan dapat dipercaya. Dengan kata lain, sifat ini mencerminkan perkataan serta perbuatan yang sesuai dengan kebenaran.

Menurut Tabrani Rusyan dalam bukunya Pendidikan Budi Pekerti, kejujuran merupakan induk dari berbagai sifat-sifat mahmudah atau terpuji.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kejujuran berarti tidak curang, tidak berbohong, dan tulus atau ikhlas.

Dengan kata lain, kejujuran merupakan tindakan atau pernyataan yang sesui dengan faktanya sehinggal bisa dipercaya.

Bagi umat Islam sendiri, kejujuran sudah seharusnya menjadi perhiasan bagi mereka karena sifat ini sangat penting menurut Islam.

Kejujuran dalam Pandangan Islam dan Pembagiannya

Apa yang dimaksud dengan jujur menurut pandangan Islam dapat dijelaskan dalam beberapa tempat dan masing-masing mempunyai pengertian atau makna yang berbeda.

Seperti dipaparkan oleh Dr. K.H. Zakky Mubarok, MA., shidqu dapat diaplikasikan dalam enam derivasi yang berbeda, yaitu kejujuran dalam:

  • niat dan kehendak (pertama, shidqu fi al-niyat wa al-iradah);
  • perkataan (shidqu fi al-qaul);
  • melaksankan azam (shidqu fi al-wafa bi al-azmi)
  • berazam keempat, (shidqu fi al-azmi);
  • perbuatan (kelima, shidqu fi al-amal); serta
  • kedudukan penghayatan agama (keenam, shidqu fi al-maqamat).

Jika kamu tidak menemukan keenam derivasi di atas dalam diri seseorang, ia dapat dipastikan sedang berdusta.

Alasannya, perilaku jujur dan dusta adalah dua hal yang tidak bisa bersatu karena saling bertolak belakang.

Berikut adalah penjelasan lebih lanjut mengenai pembagian sifat jujur yang dikemukakan oleh K.H. Zakky Mubarok di atas.

Shidqu fi al-Niyat wa al-Iradah (Kejujuran dalam Niat dan Kehendak)

Langkah pertama untuk mencapai kejujuran adalah dengan memelihara perilaku tersebut sejak dalam niat atau kehendak.

Pembahasan mengenai poin ini sangat berhubungan dengan masalah keikhlasan karena orang ikhlas semata-mata melakukan perbuatannya karena Allah Swt.

Jika niat atau kehendak seseorang sudah ternodai oleh suara hati untuk melakukan sesuatu dengan tujuan selain Allah Swt., niatnya sudah tidak lagi bersih dan ikhlas.

Mengapa? Orang tersebut telah mendustakan hatinya untuk berpaling dari Allah Swt.

Hal ini sama dengan seorang alim yang gemar mengamalkan ilmunya dan menularkannya kepada kaum muslim lainnya dengan niat untuk menarik perhatian serta kecenderungan mereka.

Dalam kitabnya yang berjudul Risalah al-Qusyairi, Imam Zakariya menjelaskan bahwa kejujuran dan keikhlasan mungkin dua hal yang berbeda.

Namun, sejatinya keikhlasan merupakan cabang dari kejujuran. Ketika seseorang melakukan segala sesuatu dengan penuh kejujuran, pada saat itulah rasa ikhlas muncul.

Sebagian ulama juga mengaitkan kejujuran dalam niat dan kehendak dengan ketulusan seseorang dalam bertauhid.

Seseorang yang tidak jujur sama halnya dengan kaum munafik. Mereka tak berbeda dengan pendusta yang mengaku beriman, tetapi mengingkari kerasulan Nabi Muhammad saw.

Hal tersebut sejalan dengan firman Allah Swt. dalam surah Al-Munafiqin ayat 1 berikut ini.

إِذَا جَآءَكَ ٱلْمُنَٰفِقُونَ قَالُوا۟ نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُۥ وَٱللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ ٱلْمُنَٰفِقِينَ لَكَٰذِبُونَ

Iżā jā`akal munāfiqụna qālụ nasy-hadu innaka larasụlullāh, wallāhu ya’lamu innaka larasụluh, wallāhu yasy-hadu innal-munāfiqīna lakāżibụn.

Artinya:

“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata, ‘Kami mengakui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar rasul Allah’. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.”

Shidqu fi al-Qaul (Kejujuran dalam Perkataan)

Apabila yang dikatakan sesuai dengan realita, artinya seseorang bisa dikatakan jujur dalam perkataannya.

Untuk mencapai kejujuran pada tingkat ini, dijelaskan oleh K.H. Zakky Mubarok, ada dua hal yang harus dilakukan sebagai penyempurnaan.

Pertama, kamu sebaiknya menghindari kata-kata yang bernada sindiran karena hal yang demikian bisa mengandung dua kemungkinan, yaitu dusta atau benar.

Kata-kata sindiran bisa berarti dusta atau benar karena pemakaiannya cenderung berlawanan dengan hakikat yang sebenarnya.

Akan tetapi, ternyata tidak semua ketidakjujuran dilarang dalam agama.

Dalam kondisi-kondisi tetentu, seorang muslim diperbolehkan untuk melakukannya, terutama jika menyangkut perdamaian dan suatu kemaslahatan.

Sebagai contoh, seorang pimpinan perang diperbolehkan menipu musuhnya dengan kata-kata yang tidak jujur demi menjaga rahasia bawahannya.

Contoh lainnya adalah ketika seorang juru damai diperbolehkan berdusta kepada pihak-pihak yang sedang berselisih agar kedamaian dapat diraih.

Dalam hadits yang diriwayatkan al-Bukhari dari Ka’ab bin Malik, dinyatakan sebagai berikut.

وَلَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرِيدُ غَزْوَةً إِلاَّ وَرَّى بِغَيْرِهَا

Wala yakun rasulullahi shallallahu’alaihiwasallama yuriidu ghozwatan illa warrabi ghoirihaa.

Artinya:

“Rasulullah s.a.w. tidak berangkat perang, kecuali beliau mengecohkan perjalanan pada tujuan yang lainnya.” (Hadis Shahih, Riwayat al-Bukhari: 2728)

Dalam haditss tersebut, dikisahkan bahwa Nabi Muhammad saw. pernah suatu ketika mengambil jalan yang berbeda dari biasanya pada saat akan pergi berpereang.

Dengan begitu, musuh pun dapat terkecoh.

Hal tersebut berlaku pula pada orang yang mendamaikan perkara perang dengan berdusta. Bagi sebagian Rasulullah saw., hal tersebut bukanlah suatu hal yang salah.

Kedua, kamu juga harus menjaga makna jujur yang sebenarnya untuk mencapai kejujuran dalam perkataan.

Artinya, kamu harus berlaku tulus dan menjauhi baik kadzab (dusta) maupun munafiq (pura-pura).

Ingatlah bahwa kejujuran dalam perkataan menuntutmu untuk melakukan perbuatan apa pun tanpa bertentangan dengan hati nurani.

Contohnya, seorang pimpinan yang telah berikrar untuk mengemban amanah rakyat dan menjauhi korupsi seharusnya tidak berkhianat dan mementingkan diri sendiri.

Shidqu fi al-azmi (Kejujuran dalam Berazam)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berazam artinya bermaksud atau bertujuan. Jadi, maksud shidqu fi al-azmi disini adalah kejujuran dalam menyatakan maksud atau tujuan di masa depan.

Hal ini dekat kaitannya dengan kejujuran dalam menjanjikan sesuatu.

Seseorang yang mempunyai sifat jujur tentu akan menepati janjinya di masa depan yang pernah ia sampaikan kepada orang lain, sebagaimana firman Allah Swt. dalam surah Maryam ayat 54.

وَٱذْكُرْ فِى ٱلْكِتَٰبِ إِسْمَٰعِيلَ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ صَادِقَ ٱلْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولًا نَّبِيًّا

Ważkur fil-kitābi ismā’īla innahụ kāna ṣādiqal-wa’di wa kāna rasụlan nabiyy.

Artinya:

“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya, ia adalah seorang yang benar janjinya dan dia adalah seorang rasul dan nabi.”

Ayat tersebut menegaskan keutamaan orang yang jujur dalam menepati janjinya, yaitu akan mendapatkan pujian dari Allah Swt.

Shidqu fi al-amal (Kejujuran dalam Perbuatan)

Menegakkan kejujuran dalam bermu’amalah merupakan salah satu bentuk penyempurnaan dari kejujuran-kejujuran sebelumnya.

Salah satu bentuk kejujuran yang dianjurkan dalam ranah ini adalah tidak menipu, berkhianat, dan memalsukan sesuatu ketika berhubungan dengan orang lain, termasuk dalam perdagangan.

Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Muthaffifin ayat 1 yang menjadi pengingat bagi seluruh umat Islam untuk berlaku jujur dalam perbuatan.

وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِينَ

Wailul lil-muṭhaffifīn.

Artinya:

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang.”

Dalam tafsir al-Mukhtashar dijelaskan bahwa siksaan pedih menunggu orang-orang yang berbuat curang dalam hal timbangan dan takaran karena ia mengurangi hak orang lain.

Sifat yang demikian termasuk dalam ketidakjujuran dalam perbuatan dan wajib kita jauhi karena merugikan orang lain.

Shidqu fi al-maqamat (Kejujuran dalam Penghayatan Agama)

Inilah bentuk kejujuran yang menjadi amalan mulia bagi seluruh umat Islam.

Bukti dari kejujuran dalam bentuk ini adalah pada saat kita bisa menunaikan seluruh amalan hati, seperti ridha, zuhud, takut, dan tawakal terhadap Allah Swt.

Manfaat Jujur dan Keistimewaannya dalam Kehidupan Sehari-hari

Dari ulasan di atas, kamu tentu sudah bisa menyimpulkan sendiri bahwa kejujuran merupakan salah satu sifat terpuji dan kunci sukses dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Manfaat kejujuran pun beragam, mulai dari mengantarkan kepada kebaikan hingga meningkatkan martabat.

Nabi Muhammad saw. menjadi contoh sempurna sebagai sosok yang berhasil disegani dan meraih banyak keuntungan dengan menjunjung kejujuran.

Salah satu contohnya adalah pada saat beliau diminta untuk menjalankan usaha dagang oleh Siti Khodijah.

Pada waktu itu, karena kejujurannya, beliau berhasil mendapatkan keuntungan yang besar dari usahanya.

Tentang manfaat dan keutamaan menjaga kejujuran dalam kehidupan sehari-hari, kamu bisa menyimak informasi berikut ini.

Jujur sebagai Jembatan Mengatasi Masalah Kemasyarakatan

Untuk mengatasi berbagai masalah yang ada dalam masyarakat dan dalam ranah kebangsaan, menanamkan kejujuran merupakan hal yang wajib dilakukan.

Kejujuran tersebut juga harus dimulai dari pikiran serta dibuktikan dengan ucapan dan tindakan. Selain itu, bukan hanya kepada orang lain, kejujuran juga harus ditegakkan terhadap diri sendiri.

Sama halnya dengan akar dari kejujuran dalam ucapan dan tindakan, yaitu ada pada kejujuran dalam berpikir.

Jika berpikir dengan kejujuran saja susah, bisa dipastikan, kejujuran akan sulit ditemukan dalam tindakan dan ucapannya.

Padahal, kejujuran sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, apalagi jika yang bersangkutan merupakan publik figur atau pemangku kekuasaan.

Kejujuran mereka akan berpengaruh pada kemaslahatan masyarakat luas. Oleh sebab itu, kesadaran untuk menjunjung kejujuran harus ada pada diri seluruh umat.

Jujur sebagai Modal Utama dalam Berbisis

Metode dagang Nabi Muhammad saw. yang menjunjung tinggi kejujuran sudah menjadi rahasia umum.

Bahkan, karena kejujurannya, beliau mendapatkan gelar al-Amin atau “yang dapat dipercaya”.

Meskipun beliau adalah utusan Allah Swt. dan diciptakan oleh-Nya sebagai rahmat untuk alam semesta, Rasulullah saw. tetaplah seperti sosok yang rendah hati.

Sebagai manusia biasa, Rasulullah saw. juga mencari nafkah seperti kebanyakan umat lainnya. Beliau berdagang sampai ke negeri seberang untuk memenuhi hajat hidup diri dan keluarga.

Hal inilah yang mempertegas bahwa manusia sudah seharusnya berikhtiar dalam segala hal, termasuk dalam mencari rezeki.

Memang sudah jelas disebutkan bahwa Allah Swt. menjamin seluruh makhluknya untuk memperoleh rezeki.

Akan tetapi, bukan berarti kita bisa diam saja dan tidak melakukan apa-apa untuk mendapatkan rezeki tersebut karena rezeki bersifat pasif.

Oleh karena itu, manusia sudah sepantasnya proaktif dalam mencarinya dengan selalu berusaha dan berikhtiar.

Salah satunya adalah dengan berbisnis atau berdagang seperti yang diajarkan oleh Rasulullah saw.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 29, yang bunyi dan artinya adalah sebagai berikut:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

Yā ayyuhallażīna āmanụ lā ta`kulū amwālakum bainakum bil-bāṭili illā an takụna tijāratan ‘an tarāḍim mingkum, wa lā taqtulū anfusakum, innallāha kāna bikum raḥīmā.

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya, Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”

Menurut tafsir Al-Madinah al-Munawarah, makna perdagangan yang berlandaskan “suka sama suka” adalah ketika kedua belah pihak bertransaksi secara jujur, tanpa adanya penipuan, kecurangan, atau bahkan penyembunyian aib.

Ayat tersebut tentu makin menegaskan bahwa dalam dunia perdagangan, kejujuran merupakan modal yang paling utama, bukan selalu uang.

Kejujuran dapat mendatangkan uang, sedangkan ketidak jujuran akhirnya hanya menggerus uang atau modal yang sudah ada.

Jujur dalam berdagang dan berbisnis dianjurkan oleh Islam karena sifat ini dapat melahirkan kepercayaan atau trusti dan kepercayaan sangat mahal harganya jika kita berbicara soal bisnis.

Sebaliknya, ketidakjujuran dapat menghambat kita dalam menjalankan bisnis dengan lancar. Di samping itu, usaha yang kita kerjakan pun menjadi tidak berkah.

Orang lain pun akan berpikir seribu kali untuk menjalin kemitraan dengan kita apabila bisnisnya dilandasi dengan ketidakjujuran.

Karena itu, setiap umat Islam yang ingin memperoleh keberkahan dalam berbisnis dan mudah mendapatkan keuntungan dianjurkan untuk menjalankan bisnisnya dengan basis kejujuran.

Kisah Inspiratif tentang Kejujuran

Sebagai agama yang menjunjung tinggi aspek moral, Islam mengajarkan umatnya untuk berperilaku jujur baik kepada diri sendiri maupun pada orang lain.

Buah dari berperilaku jujur pun sangat luar biasa, seperti keberhasilan yang telah dicapai oleh para ulama besar pada saat Islam belum sebesar sekarang.

Salah satu kisah kejujuran yang direkam oleh sejarah adalah kisah seorang shultanul auliya’ atau pemimpin para wali yang bernama Syaikh Abdul Qadir al-Jilan r.a.

Dikisahkan bahwa ketika masih kecil, Abdul Qadir hendak menuntut ilmu ke negeri seberang.

Karena saat itu transportasi belum semudah sekarang, ia pun dititipkan oleh ibunya kepada sebuah rombongan atau kafilah yang akan berdagang.

Saat itu, ibunya berpesan supaya Abdul Qadir selalu jujur jika ditanya dan ia pun mengiyakan nasihat tersebut.

Untuk menjaga keamanan, ibunya pun menjahitkan uang saku di bawah ketiak baju Abdul Qadir sebelum ia berangkat ke negeri seberang.

Di tengah-tengah perjalanan, ada segerombolan perampok yang memboikot rombongan Abdul Qadir. Perhiasan, barang dagangan, dan harta benda lainnya dirampas oleh orang-orang tersebut.

Abdul Qadir kecil pun turut ditanya apakah ia membawa uang atau tidak oleh para perampok tersebut. Dengan jujur, ia pun menceritakan bahwa ia mempunyai uang yang diberikan ibunya.

Pimpinan gerombolan perampok tersebut pun mendekati Abdul Qadir untuk mengeceknya dan ternyata benar, ia mempunyai uang di bawah ketiaknya.

Melihat hal ini, pimpinan perampok tersebut pun tertegun dan tanpa sadar, air matanya menetes karena ketulusan serta kejujuran Abdul Qadir.

Pada saat itu juga, ia menyatakan bertaubat dan meminta agar diangkat sebagai murid oleh Abdul Qadir.

Setelah dewasa, Abdul Qadir pun tumbuh menjadi seseorang yang santun, cerdas, dan alim. Ia bahkan mendapat gelar Shultanul Auliya.

Muridnya tersebar di berbagai penjuru bangsa, termasuk Indonesia.

Namanya pun tak jarang disebutkan setiap kali umat Islam bertawasshul dalam ritual-ritual keagamaan, seperti tahlilah dan tasyakuran.

Demikian ulasan Hasana.id mengenai jujur. Semoga informasi di atas dapat membantu kamu mengutamakan kejujuran dalam perkataan dan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari.

Aamiin.

Referensi:

https://www.nu.or.id/post/read/24288/kejujuran-intisari-dari-islam

https://islam.nu.or.id/post/read/27613/jujur-tidak-mesti-hancur

https://www.laduni.id/post/read/50494/jujur-dalam-pandangan-islam

https://www.nu.or.id/post/read/116653/jujur–kiat-bisnis-untung-dan-barokah-

https://www.nu.or.id/post/read/34266/buah-kejujuran

Click to access Bab%202.pdf

Click to access 58054-ID-etika-bisnis-dalam-perspektif-islam-eksp.pdf

https://staim-bandung.ac.id/project/nilai-kejujuran-dalam-al-quran/

https://tafsirweb.com/1561-quran-surat-an-nisa-ayat-29.html