Era Khulafaur Rasyidin, Periode Sahabat Tercinta Nabi sebagai Pemimpin

Setelah kepergian Rasulullah saw., para sahabat Anshar menginginkan kekhalifahan umat Islam digantikan oleh seseorang dari kalangan mereka.

Namun, mayoritas kaum muslimin pada waktu itu mendambakan Abu Bakar ash-Shidiq r.a. yang menggantikan sang Nabi. Maka, dimulailah era Khulafaur Rasyidin.

Orang-orang yang mula-mula merasa ragu pada akhirnya turut membaiat Abu Bakar ash-Shidiq r.a. menjadi pemimpin baru umat Islam.

Setelah beliau, Umar bin Khaththab r.a. menggantikannya sebagai khalifah kedua. Khalifah ketiga setelahnya adalah Ustman bin Affan r.a, dan kemudian ditutup oleh Ali bin Abi Thalib r.a.

Semuanya adalah nama-nama Khulafaur Rasyidin sekaligus empat dari sepuluh nama sahabat yang dijamin masuk surga.

Kamu mungkin sudah banyak mendengar kisah tentang empat sahabat tercinta Rasulullah saw. ini dalam menemani kiprah dakwah sang Nabi selama beliau masih hidup.

Namun, apakah kamu tahu juga bagaimana mereka menggantikan sang Nabi tercinta dalam memimpin umat islam?

Masing-masing tokoh memiliki pembawaan dan karakter kepemimpinan yang berbeda-beda. Nah, artikel ini akan membahas biografi Khulafaur Rasyidin secara singkat.

Termasuk di dalam bahasan tersebut adalah sifat yang patut diteladani, gelar yang dimiliki, dan jasanya terhadap peradaban Islam.

Untuk melengkapi, saya sertakan juga secuplik sejarah dan pola pendidikan Islam pada masa kepemimpinan para sahabat Nabi yang mulia ini.

Hasana.id yakin kamu akan mendapatkan banyak hikmah dari kisah mereka.

Karena itu, kamu harus membaca artikel ini sampai habis dan jangan melewatkan sedikit pun informasi mengenai sejarah singkat Khulafaur Rasyidin.

Namun, simak dahulu pengertian Khulafaur Rasyidin, yuk!

Apa Arti Khulafaur Rasyidin?

Secara etimologi, khulafaur rasyidin artinya “pengganti (dalam bentuk jamak) Rasul yang cerdas”.

Berdasarkan terminologi, khulafaur rasyidin memiliki makna “pemimpin-pemimpin yang menggantikan peran Rasulullah saw. dalam mengatur kehidupan kaum muslimin dengan proporsional, bijak, cerdas, amanah, dan diberi petunjuk oleh Allah Swt.”

Ash-Shiddiq, Khalifah Pertama

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, Khulafaur Rasyidin berjumlah empat orang dan yang pertama adalah Abu Bakar ash-Shiddiq r.a.

Beliau dibaiat oleh seluruh kaum muslimin yang hadir dalam majelis pada saat itu.

Artinya, tak ada yang menghendaki posisi kekhalifahan kecuali diduduki oleh sahabat nabi yang jujur dan membenarkan ini.

Tak mengherankan, sebenarnya, karena Abu Bakar r.a. adalah sahabat terdekat Rasulullah saw. dan yang paling dicintai beliau setelah ‘Aisyah r.a.

Kesetiaannya tak diragukan, keimanannya pun demikian. Ia merupakan yang pertama memeluk Islam dari kalangan laki-laki dewasa dan yang kedua setelah Khadijah r.a.

Sabda Nabi tentang Abu Bakar

Dalam The Preaching of Islam, Thomas W. Arnold menuliskan sabda nabi tentang Abu Bakar ash-Shiddiq r.a.

“Nabi selalu berkata, ‘Tidak pernah saya mengajak seseorang masuk Islam tanpa ragu-ragu dan minta tempo berpikir, melainkan Abu Bakar’.”

Dalam beberapa peristiwa penting, Abu Bakar r.a. selalu terlihat membersamai Rasulullah saw., seperti pada saat ia menemani sang Nabi berhijrah ke Madinah.

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menuturkan bahwa Abu Bakar r.a. pernah ditunjuk oleh Nabi untuk menggantikannya mengimami shalat berjamaah menjelang akhir hidup beliau.

Hal ini yang lantas dijadikan oleh Umar bin Khaththab r.a. sebagai pertanda bahwa Rasulullah saw. menginginkan Abu Bakar r.a. yang menggantikan Nabi sebagai khalifah.

Abu Bakar pun memulai masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin.

Dalam Hayat Muhammad, Muhammad Husain Haekal menceritakan ucapan ‘Umar r.a. selanjutnya, yaitu:

“Kami akan mengikrarkan orang yang disukai oleh Rasulullah di antara kita semua ini.”

Ikrar ini kemudian dinamakan Ikrar Saqifa. Kata-kata Umar bin Khaththab ra. menyadarkan para sahabat yang hadir pada waktu itu.

Kaum muslimin golongan Muhajirin berikrar, pun demikian halnya dengan kalangan Anshar.

Pidato Indah sang Khalifah Pertama

Di atas mimbar, untuk pertama kalinya setelah dibaiat oleh seluruh sahabat, Abu Bakar r.a. menyampaikan pidatonya yang indah.

Khalid Muhammad Khalid merekamnya dalam Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perikehidupan Khalifah Rasulullah. Berikut kutipan pidato tersebut.

Hai, Kaum Muslimin. Saya telah diangkat sebagai pemimpin kalian, tetapi itu tidak berarti bahwa saya adalah yang terbaik di antara kalian. Maka jika saya benar, bantulah, dan jika saya salah, betulkanlah!

Ingatlah, orang yang lemah di antara kalian menjadi kuat di sisiku hingga saya serahkan haknya kepadanya!

Dan ingatlah, orang yang kuat di antara kalian menjadi lemah di sisiku hingga saya ambil yang bukan haknya daripadanya.

Taatilah saya selama saya menaati Allah dan Rasul-Nya! Dan jika saya tidak taat maka tiada keharusan bagi kalian untuk menaatiku!

Dalam pidato tersebut, tersirat makna amanah dalam memimpin, kejujuran, serta kewajiban menaati pemimpin yang hanya taat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Dapat dikatakan, inilah pendidikan pertama yang Abu Bakar r.a. ajarkan kepada para sahabat sebagai peserta didiknya.

Fokus utamanya setelah menjadi khalifah pembuka pada era Khulafaur Rasyidin adalah menyatukan kekuatan umat Islam di Jazirah Arab.

Hal ini bukan hal yang tak mungkin bagi Abu Bakar r.a. mengingat status sosialnya sebagai bangsawan Makkah yang terpandang dan kaya raya.

Dua Tahun Pertama Era Khulafaur Rasyidin

Masa Abu Bakar ra. menjadi khalifah amatlah singkat, yaitu tak lebih dari dua tahun.

Beliau memimpin umat Islam pada masa Khulafaur Rasyidin mulai tahun 632 M hingga 634 M yang mulanya diwarnai oleh pemberontakan.

Kemurtadan, upaya melepaskan diri dari umat, keengganan membayar pajak, serta adanya nabi palsu adalah masalah yang Khalifah Abu Bakar r.a. dapatkan dari para pemberontak.

Sang khalifah menyadari bahwa ulah para pengkhianat ini dapat memutus rasa aman dalam kehidupan bermasyarakat kaum muslimin.

Lebih mengkhawatirkan lagi, sikap mereka juga akan memberikan pengaruh buruk kepada orang-orang yang keimanannya masih lemah.

Karena itulah, Khalifah Abu Bakar r.a. lalu menghimpun kekuatan dan mengirim pasukan ke Yamamah (Riyadh, Arab Saudi) untuk menumpas segala tindak pemberontakan tersebut.

Sejarah Pendidikan Islam (Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia) mencatat banyak hafiz yang gugur akibat peristiwa itu.

Oleh karena itu, sebuah saran untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an datang dari Umar bin Khaththab kepada sang khalifah.

Abu Bakar menyetujui saran tersebut dan mengutus Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhuma, untuk merealisasikannya.

Penyatuan kekuatan umat Islam di Jazirah Arab menjadi dasar untuk memperjuangkan perluasan wilayah dakwah serta pendidikan Islam.

Al-Faruq, Amirul Mu’minin Kedua

Umar bin Khaththab muncul menggantikan Abu Bakar, r.a. menjadi pemimpin kaum muslimin selanjutnya pada era Khulafaur Rasyidin.

Selain Ash-Shiddiq, beliau merupakan sahabat lain yang sering disebut-sebut oleh Rasulullah saw. dalam sabda-sabdanya.

عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقُولُا وُضِعَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ عَلَى سَرِيرِهِ فَتَكَنَّفَهُ النَّاسُ يَدْعُونَ وَيُثْنُونَ وَيُصَلُّونَ عَلَيْهِ قَبْلَ أَنْ يُرْفَعَ وَأَنَا فِيهِمْ قَالَ فَلَمْ يَرُعْنِي إِلَّا بِرَجُلٍ قَدْ أَخَذَ بِمَنْكِبِي مِنْ وَرَائِي فَالْتَفَتُّ إِلَيْهِ فَإِذَا هُوَ عَلِيٌّ فَتَرَحَّمَ عَلَى عُمَرَ وَقَالَ مَا خَلَّفْتَ أَحَدًا أَحَبَّ إِلَيَّ أَنْ أَلْقَى اللَّهَ بِمِثْلِ عَمَلِهِ مِنْكَ وَايْمُ اللَّهِ إِنْ كُنْتُ لَأَظُنُّ أَنْ يَجْعَلَكَ اللَّهُ مَعَ صَاحِبَيْكَ وَذَاكَ أَنِّي كُنْتُ أُكَثِّرُ أَسْمَعُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ جِئْتُ أَنَا وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَدَخَلْتُ أَنَا وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَخَرَجْتُ أَنَا وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ فَإِنْ كُنْتُ لَأَرْجُو أَوْ لَأَظُنُّ أَنْ يَجْعَلَكَ اللَّهُ مَعَهُمَا

‘An ibni abii mulaikata qaala sami’tub-na ‘abbaasin yaquulu wudhi’a ‘umarub-nul-khaththaabi ‘alaa sariirihi fatakannafahun-naasu yad’uuna wa yutsnuuna wa yushalluuna ‘alaihi qabla an yurfa’a wa anaa fiihim qaala falam yaru’nii illaa bi rajulin qad akhadza bi mankibii min waraa-ii fal-tafattu ilaihi fa-idzaa huwa ‘aliyyun fatarahhama ‘alaa ‘umara wa qaala maa khallafta ahadan ahabba ilayya an alqallaaha bi mitsli ‘amalihi minka waimullaahi inkuntu la-azhunnu an yaj’alakallaahu ma’a shaahibaika wa dzaaka annii kuntu ukatstsiru asma’u rasuulallaahi shallallaahu ‘alaihi wa sallama yaquulu ji’tu anaa wa abuu bakrin wa ‘umaru wa dakhaltu anaa wa abuu bakrin wa ‘umaru wa kharajtu anaa wa abuu bakrin wa ‘umaru fa-in kuntu la-arjuu au la-azhunnu an yaj’alakallaahu ma’ahuma.

Artinya:

Dari Ibnu Abu Mulaikah, dia berkata,‘Aku mendengar Ibnu Abbas berkata, ‘Pada saat Umar bin Khaththab hendak meninggal, dia dibaringkan di atas tempat tidurnya. Para sahabat dan kaum muslimin lainnya berkumpul untuk bersama-sama memanjatkan doa dan ampunan kepada Allah bagi Umar sebelum dia meninggal dunia. Dan kebetulan pada saat itu, saya pun ikut berkumpul pula di sana. Tidak ada sesuatu yang mengejutkan saya, kecuali seorang laki-laki yang menepuk pundak saya dari belakang. Lalu, saya menoleh ke arah tersebut, dan ternyata ia adalah Ali bin Abu Thalib r.a. Setelah itu, ia pun memanjatkan doa dan ampunan kepada Allah bagi Umar bin Khaththab. Tidak berapa lama kemudian, Ali berkata, ‘Tidak ada lagi seorang pun sepeninggalmu yang lebih aku cintai daripada dirimu, hingga aku lebih suka bertemu Allah dengan membawa kebaikan seperti kebaikan yang kau bawa, hai Umar. Demi Allah, sungguh aku berbaik sangka kepada Allah bahwasanya Dia sengaja menyertakanmu kepada dua orang teman dekatmu, Rasulullah dan Abu Bakar yang telah kembali kepada-Nya lebih dahulu darimu. Sebagaimana sabda Rasulullah yang sering aku dengar,’Aku datang bersama Abu Bakar dan Umar. Aku masuk bersama Abu Bakar dan Umar. Aku keluar bersama Abu Bakr dan Umar.’ Sungguh, aku berharap agar Allah senantiasa menyertakanmu bersama Rasulullah dan Abu Bakar’.” (Hadis Shahih Muslim No. 4.402 – Kitab Keutamaan Sahabat)

Nama Umar Disebut dalam Doa Nabi saw.

Tekad kuat, kehendak yang mantap, fisik yang bugar, dan pembawaan yang suka berterus terang membuat nama Umar menjadi satu dari dua Umar yang disebut Rasulullah saw. dalam doa.

رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلَامَ بِأَحَبِّ هَذَيْنِ الرَّجُلَيْنِ إِلَيْكَ بِأَبِي جَهْلٍ أَوْ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ وَكَانَ أَحَبَّهُمَا إِلَيْهِ عُمَرُ

Rasuulallaahu shallallaahu ‘alaihi wa sallama qaalallaahumma a’izzal-islaama bi ahabbi hadzainir-rajulaini ilaika bi abii jahlin au bi ‘umarab-nil-khaththaabi qaala wa kaana ahannahumaa ilaihi ‘umar.

Artinya:

Rasulullah saw. pernah berdoa, ‘Ya Allah, muliakanlah Islam dengan salah satu di antara kedua orang yang paling Engkau cintai: Abu Jahal (‘Amr bin Hisyam) atau ‘Umar bin Khaththab.’ Ibnu Umar berkata, ‘Dan ternyata yang lebih Allah cintai di antara keduanya adalah ‘Umar bin Khaththab’.” (Hadis Jami’ At-Tirmidzi No. 3.614 – Kitab Budi Pekerti yang Terpuji)

Di bawah kepemimpinannya, kekuasaan Islam meluas dengan amat cepat.

Barqah (sebuah kota di Libya), Irak, Mesir, Persia (Iran), dan Syam (Lebanon, Palestina, Suriah, Yordania) termasuk wilayah yang dicakup.

Tak berlebihan agaknya jika dikatakan bahwa ‘Umar r.a. memiliki pengaruh terbesar kedua setelah Rasulullah saw. dalam sejarah pembentukan pemerintahan dengan corak islami.

Sepuluh Tahun Kemakmuran yang Terasa Singkat

Masa pemerintahan ‘Umar bin Khaththab r.a. adalah 10 tahun, dimulai dari tahun 634 M hingga 644 M.

Dalam satu dekade tersebut, sang amirul mu’minin berhasil menciptakan suasana yang relatif aman dan stabil.

Sebagai akibat dari meluasnya wilayah kekuasaan Islam, seperti yang dituliskan dalam Ensiklopedi Islam untuk Pelajar 6, kebutuhan hidup keumatan dalam segala aspek pun meluas.

Termasuk di antara hajat umat tersebut adalah teraturnya kepemimpinan dan seluruh instrumennya.

Karena itu, Umar mengambil kebijakan penting dalam bidang pemerintahan dan pendidikan.

Bidang Pemerintahan

Amirul Mu’minin ‘Umar bin Khaththab juga memperhitungkan dengan cermat siapa-siapa saja yang layak menjadi gubernur, guru, dan panglima, baik di dalam maupun luar Madinah.

Mereka haruslah sahabat Nabi yang fakih sekaligus seorang ulama. Berikut ini beberapa tokoh yang diberi tugas.

  1. Abu Musa Al-Asy’ari r.a. (ahli Al-Qur’an, fiqih, dan hadits) ditugaskan menjadi Gubernur Basrah, Irak.
  2. Abud Darda’ ditugaskan ke Damsyik (Damaskus, Suriah), Muaz bin Jabal ke Palestina, serta ‘Ubadah, radhiyallahu ‘anhum, ke Hims (Homs, Suriah) untuk mengajar agama dan Al-Qur’an.
  3. Amr bin al-Ash ra. (ahli dan pencatat hadits) ditugaskan sebagai panglima untuk menaklukkan Mesir.

Sementara itu, Umar bin Khaththab mengumpulkan Abdullah bin Umar (pengumpul hadits), Ali bin Abi Thalib (ahli tafsir dan hukum), Ibnu Abbas (ahli ilmu faraid dan tafsir Al-Qur’an), serta Ibnu Mas’ud (ahli Al-Qur’an dan hadis) radhiyallahu ‘anhum untuk berada bersama dengannya di pemerintahan pusat di Madinah.

Bidang Pendidikan

Umar menciptakan sistem pendidikan Islam yang lebih luas, maju, dan lengkap untuk membentuk figur-figur ahli dalam bidang terkait.

Beliau juga terkenal akan ijitihad-ijtihadnya di kalangan fuqaha. Beberapa di antaranya adalah hal-hal yang kini biasa dilakukan oleh kaum muslimin di seluruh dunia.

  1. Membangun sekolah.
  2. Menambahkan bacaan ‘ash-shalaatu khairum minan-nauum’ (shalat itu lebih baik daripada tidur) pada adzan Subuh.
  3. Menjadikan masjid sebagai pusat pengajaran dan pendidikan.
  4. Menentukan kalender Hijriah.
  5. Menggaji muazin, imam, dan guru dari dana baitul mal.
  6. Menyelenggarakan shalat tarawih berjamaah.

Hal ini dipandang amat penting berdasarkan firman Allah Swt. dan sabda Rasulullah saw. tentang ilmu sebagai berikut.

أَمَّنْ هُوَ قَٰنِتٌ ءَانَآءَ ٱلَّيْلِ سَاجِدًا وَقَآئِمًا يَحْذَرُ ٱلْءَاخِرَةَ وَيَرْجُوا۟ رَحْمَةَ رَبِّهِۦ قُلْ هَلْ يَسْتَوِى ٱلَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ

Amman huwa qaanitun aanaa-al-laili saajidaw wa qaa-imay yaḥdzarul-aakhirata wa yarjuu raḥmata rabbih, qul hal yastawilldziina ya’lamuuna walladziina laa ya’lamuun, innamaa yatadzakkaru ulul-albaab.

Artinya:

(Apakah kamu, hai orang musyrik, yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang-orang yang tidak mengetahui (tidak berilmu)?’ Sesungguhnya, orang yang berakal-lah yang dapat menerima pelajaran.” (QS surah Az-Zumar: 9)

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

Qaala rasuulullaahi shallallaahu ‘alaihi wa sallama man salaka thariiqan yaltamisu fiihi ‘ilman sahhalallaahu lahu thariiqan ilal-jannah.

Artinya:

Rasulullah saw. bersabda, ‘Barang siapa berjalan di suatu jalan untuk mencari ilmu, niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.” (Hadis Jami’ At-Tirmidzi No. 2.570 – Kitab Ilmu)

Dzun Nurain, Khalifah Ketiga Hasil Mufakat

Periode Khulafaur Rasyidin turut diwarnai oleh khalifah ketiga, Utsman bin Affan r.a. yang dipilih berdasarkan kesepakatan musyawarah.

Dengan harta dan jiwanya, menantu Rasulullah saw. ini amat berjasa pada masa awal dakwah Islam, baik dalam periode diam-diam maupun terang-terangan.

Beliau adalah seorang sahabat yang berjuluk Dzun Nurain – Pemilik Dua Cahaya.

Julukan ini tersemat padanya karena ia memiliki kesempatan istimewa untuk menjadi menantu Rasulullah saw. sebanyak dua kali.

Ia menikahi salah seorang putri Nabi yang bernama Ruqayyah r.a.

Setelah istrinya meninggal, Rasulullah saw. menikahkan Utsman bin Affan kembali dengan anak perempuan beliau yang lain, yaitu Ummu Kultsum r.a.

Keterangan ini tertera dalam Ensiklopedi Islam 5.

Selain Dzun Nurain, Utsman bin Affan ra. juga dijuluki Hijratain karena pernah berhijrah dua kali, yaitu hijrah kecil menuju Habsyi (Habasyah, Etiopia) dan hijrah besar menuju Madinah.

Beliau beserta Ruqayyah binti Muhammad r.a. mengikuti kedua peristiwa bersejarah tersebut.

Tak ada sahabat Nabi lain yang mengalami peristiwa serupa sehingga maka pantas saja Utsman bin Affan r.a. dijuluki demikian.

Dua Periode Pemerintahan Dinasti Utsman

Dua belas tahun, yang terbagi dalam dua kurun waktu, dihabiskan sang khalifah untuk memimpin kaum muslimin.

Kejayaan dan keberhasilan mewarnai periode enam tahun pertama, sedangkan pemberontakan dan pergolakan mengisi sisa masa kekhalifahan ‘Utsman bin Affan r.a.

Dengan kurun waktu kepemimpinan (644–656 M) yang lebih lama daripada dua pendahulunya, lebih banyak pula peristiwa yang terjadi pada kaum muslimin di bawah regulasi sang khalifah.

Dua di antaranya berhubungan dengan ilmu agama dan pengetahuan.

Pembukuan Naskah Al-Qur’an

Dalam History of the Arabs, Philip K. Hitti menuturkan bahwa Khalifah Utsman meminta naskah-naskah Al-Qur’an yang telah dikumpulkan pada masa kekhalifahan Abu Bakar oleh Zaid bin Tsabit r.a. untuk dibukukan.

Naskah ini berupa kumpulan ayat-ayat Al-Qur’an yang masih berserakan dan disimpan oleh putri Umar bin Khaththab, yaitu Ummul Mu’minin Hafshah r.a.

Dibentuklah badan pembukuan Al-Qur’an dengan Zaid bin Tsabit r. a. sebagai ketuanya. Lembaga ini beranggotakan Abdurrahman bin Haris dan Abdullah bin Zubair.

Tugas ketiga sahabat ini adalah menyalin kembali ayat-ayat Al-Qur’an ke dalam mushaf.

Penyalinan merujuk pada bacaan para hafiz sesuai instruksi khalifah Utsman bin Affan r.a.

Jika terdapat perbedaan bacaan antara hafiz yang satu dengan lainnya, yang disalin adalah yang memiliki dialek Quraisy (Arab).

Proses ini adalah bukti kuat bahwa Allah Swt. sendiri yang menjaga Al-Qur’an.

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا ٱلذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ

Innaa naḥnu nazzalnadz-dzikra wa innaa lahuu laḥaafizhuun.

Artinya:

Sesungguhnya, Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya, Kami benar-benar memeliharanya.” (QS surah Al-Hijr: 9)

Setelah selesai, salinan Al-Qur’an diberi nama Al-Mushaf dan diperbanyak menjadi lima kopi.

Satu di antaranya disimpan di Madinah dan diberi nama Mushaf al-Imam, sedangkan empat lainnya dikirim ke Basrah dan Kufah (Irak), Makkah, serta Suriah.

Timbulnya Ragam Cabang Ilmu Hadis

Dua belas tahun setelah Rasulullah saw. wafat bukanlah waktu yang sebentar untuk menyebarluaskan Islam.

Saat kepemimpinan ‘Utsman ra. berjalan, wilayah dengan penduduk yang beriman menjadi makin melebar, tak terbatas pada Jazirah Arab lagi.

Utsman bin Affan r.a. menyadari kemungkinan sulitnya bagi kaum muslimin di luar bangsa Arab untuk memahami Al-Qur’an yang berbahasa Arab.

Sampailah sang khalifah pada kesimpulan bahwa dibutuhkan ilmu hadits yang mendukung untuk mempelajari isi kalam Allah Swt. dengan mudah.

Dari sini, timbullah ragam cabang ilmu hadits yang diajarkan di masjid serta kuttab dan lantas diteruskan ke rumah-rumah kaum muslimin.

Kuttab adalah institusi akademis yang dibentuk setelah masjid pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a., demikian menurut Asama Hasan Fahmi dalam Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam.

Berpusat di Madinah, Kuttab memiliki tenaga pengajar yang tak lain adalah para sahabat Nabi.

Metode pembelajaran ini kemudian masih dilakukan hingga kini dan dikenal dengan nama sistem pendidikan bersanad.

Sasaran ajarnya tak memiliki batas usia serta gender dan umumnya dilakukan dalam halaqah, yaitu sebuah proses belajar-mengajar di mana guru dan muridnya duduk melingkar.

Babul ‘Ilmi, Khalifah Penutup Khulafaur Rasyidin

Dalam periode Khulafaur Rasyidin, ada suami dari putri kesayangan Rasulullah saw. sebagai khalifah terakhir, yaitu Ali bin Abi Thalib r.a.

Menantu sang Nabi ini masih merupakan sepupu beliau yang pertama memeluk Islam dari kalangan pemuda.

Ketika masih kecil, Abu Thalib bin Abdul Muthalib menitipkan Ali bin Abi Thalib r.a. kepada Abdul Muthalib untuk diasuh dan tinggal bersama Rasulullah saw.

Oleh karenanya, kedua sepupu ini menjadi amat dekat dan banyak mengetahui perihal kehidupan masing-masing.

Tak heran jika Prof. Dr. A. Syalabi bertutur dalam Sejarah dan Kebudayaan Islam bahwa kedekatan itu menjadikan ‘Ali r.a. sebagai sahabat yang paling banyak menyerap ilmu agama dari Rasulullah saw. dan merawi banyak hadits.

Pantas saja jika julukan babul ‘ilmi–pintu gerbang ilmu pengetahuan–disematkan pada dirinya.

Seandainya ilmu pengetahuan adalah sebuah kota maka Ali r.a. adalah pintu gerbang untuk memasukinya.

Begitulah kira-kira cara para sahabat yang sering mendapatkan hadits dari ‘Ali r.a. ini menghormatinya.

Ali r.a. juga pernah mengecoh kaum kafir Quraisy dan menjadi penyelamat nyawa Rasulullah saw. atas izin Allah Swt.

Ketika itu, ia berbaring di atas tempat tidur sang Nabi dan berpura-pura menjadi diri beliau.

Ia pulalah yang terus membersamai hingga mertua tercintanya berpulang kepada Sang Pencipta dan mengurus keperluan jenazah beliau.

Lima Tahun Terakhir Era Khulafaur Rasyidin

Periode pemerintahan Ali bin Abi Thalib r.a. merupakan masa-masa yang tak aman karena pecahnya perang saudara.

Pergolakan yang terjadi saat periode Dinasti Utsman sebelumnya tak lantas menyurut begitu khalifah ketiga tersebut wafat.

Keributan justru makin tersulut setelah Ali r.a. ditunjuk menjadi khalifah.

Karenanya, sang khalifah terakhir ini memusatkan fokus pemerintahannya pada keamanan, ketenteraman, ketertiban, dan persatuan umat Islam.

Kisah Wafatnya 4 Khulafaur Rasyidin

Abu Bakar ash-Shiddiq r.a.

Ayah Ummul Mu’minin ‘Aisyah r.a. ini menutup usia pada tanggal 21 Jumadil Akhir 13 H hari Senin.

Usianya pada saat itu sama dengan usia Rasulullah saw. ketika wafat. Abu Bakar diserang demam beberapa hari sebelum akhirnya mengembuskan napas terakhir.

Umar bin Khaththab r.a.

Khalifah kedua pada masa Khulafaur Rasyidin ini wafat pada tahun 644 M.

Abu Lu’luah Firoz, seorang budak dari Persia, menikam Umar bin Khaththab r.a. yang tengah berada di masjid dan menegakkan shalat Subuh.

Menjelang ajalnya, beliau masih memikirkan siapa sahabat berikutnya yang akan menggantikan ia memimpin umat Islam dan menunjuk sebuah majelis syura untuk melakukan musyawarah.

Kalimat di penghujung usianya masih terdengar relevan untuk masa sekarang: “Kematian akan sangat buruk bagiku seandainya aku tidak menjadi seorang muslim.”

Berdasarkan penanggalan Hijriah, menantu Rasulullah saw. ini syahid pada tanggal 17 Zulhijah 35 H (tahun 655 M) pada hari Jumat.

Pemberontakan dan pergolakan yang mengisi enam tahun terakhir masa kepemimpinan beliau mengakibatkan terbunuhnya sang khalifah.

Beliau terbunuh oleh para pemberontak yang menerobos masuk ke dalam rumah dan menemukan Utsman r.a. yang tengah tilawah.

Keadaannya yang syahid di akhir hayat ini pernah diutarakan oleh Rasulullah saw.

نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَعِدَ أُحُدًا فَتَبِعَهُ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ فَرَجَفَ بِهِمْ فَضَرَبَهُ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرِجْلِهِ وَقَالَ اثْبُتْ أُحُدُ نَبِيٌّ وَصِدِّيقٌ وَشَهِيدَانِ

Nabiyyallaahi shallallaahu ‘alaihi wa sallama sha’ida uhdan fatabi’ahu abuu bakrin wa ‘uamru wa ‘utsmaanu farajafa bihim fadharabahu nabiyyullaahi shallallaahu ‘alaihi wa sallama birajlihi wa qaalats-but uhudu nabiyyun wa shiddiiqun wa syahiidaan.

Artinya:

Nabi saw. pernah mendaki Gunung Uhud. Kemudian, beliau diikuti oleh Abu Bakar, Umar, dan Utsman hingga gunung itu bergetar. Nabi saw. kemudian menghentakkan kakinya seraya mengatakan, ‘Tenanglah, wahai Uhud. Sesungguhnya, di sisimu ada seorang Nabi, seorang shiddiq, dan dua orang syahid.” (Hadits Sunan Abu Dawud No. 4.032 – Kitab Sunah)

Khalifah terakhir ini wafat pada tanggal 24 Januari 661 M karena terbunuh oleh seorang pengkhianat dari kalangan Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam (Ibnu Muljam).

Ia menghantam dahi Ali ra. dengan pedang beracun atas dasar pembalasan dendam terhadap seorang karibnya yang terbunuh di Nahrawan, Irak.

Begitulah gaya kepemimpinan empat tokoh Khulafaur Rasyidin sepeninggal Rasulullah saw.

Mari berharap akan pemimpin yang meneladani sifat-sifat para sahabat tercinta Nabi ini. Semoga artikel ini bermanfaat!

Sumber:

Aminah, Nina. 2015. Jurnal Tarbiya: Pola Pendidikan Islam Periode Khulafaur Rasyidin. Bandung: UIN Sunan Gunung Djati.

Zainudin, Ely. 2015. Jurnal Intelegensia: Peradaban Islam pada Masa Khulafaur Rasyidin. Jepara: Universitas Islam Nahdlatul Ulama.

https://www.hadits.id/hadits/tirmidzi/3614

http://antalalai.com/quran/perayat.php?ayat&nomorsurat=39&nomorayat=9

https://www.hadits.id/hadits/tirmidzi/2570

https://www.hadits.id/hadits/muslim/4402

https://www.hadits.id/hadits/dawud/4032