Mengenal Khalid bin Walid, Sang Pembawa Kemenangan

Perang Mu’tah menjadi saksi akan bagaimana seorang lelaki agresif yang baru tiga bulan memeluk Islam membuat kaum muslimin menang, padahal jumlah pasukan orang-orang beriman berbanding musuhnya kala itu adalah satu banding tujuh puluh. Laki-laki itu ialah Khalid bin Walid r.a.

Sebuah Pendahuluan: Perang Mu’tah

Jalan Cinta Para Pejuang karya Salim A. Fillah menera kisah ini. Pada mulanya, Rasulullah saw. menunjuk Zaid bin Haritsah r.a., anak angkat sang Nabi saw., untuk ‘memegang panji’ umat muslim. Jika ia gugur, panji diserahkan pada Ja’far bin Abi Thalib, saudara kandung ‘Ali bin Abi Thalib, radhiyallahu ‘anhuma.

Bila ia pun syahid, pemegang bendera selanjutnya adalah ‘Abdullah bin Rawahah r.a. Jika sahabat ketiga yang disebut Rasulullah saw. juga gugur, kaum muslimin akan menunjuk seseorang untuk meneruskan pertempuran di atas posisi panglima perang.

Dalam Perang Mu’tah yang sesungguhnya, semua pemilik nama yang ditunjuk Nabi Muhammad saw. mencapai syahid setelah bertahan menjaga panji kaum muslimin.

Gugurnya Tiga Panglima

Menyadari ketiga panglima sudah gugur, Tsabit bin Aqram al-Ajlani segera mengambil bendera tersebut dari tubuh panglima ketiga dan berlari secepatnya menuju Abu Sulaiman, radhiyallahu ‘anhuma, yang tengah melawan musuh-musuh dari atas kudanya.

Artinya, Tsabit bin Aqram al-Ajlani mewakili umat muslim saat itu menginginkan Abu Sulaiman, radhiyallahu ‘anhuma, untuk memimpin perang tersebut hingga akhir. Laki-laki yang dipanggil Abu Sulaiman tersebut berteriak dari atas kudanya bahwa ia tak layak.

Menurutnya, Tsabit-lah yang lebih pantas, karena saat Perang Badar berlangsung beberapa tahun sebelumnya, Tsabit bin Aqram al-Ajlani merupakan salah seorang pejuangnya, sedangkan Abu Sulaiman, radhiyallahu ‘anhuma, justru masih memusuhi Islam.

Akan tetapi, demi Allah Swt., Tsabit bin Aqram al-Ajlani tak mengambil panji itu kecuali memang untuk diserahkan pada Abu Sulaiman, radhiyallahu ‘anhuma, sejak awal. Abu Sulaiman kemudian mengambil bendera sebagai tanda kesediaannya menjadi panglima perang.

Di bawah pimpinannya, setelah itu, kaum muslimin berhasil memenangkan peperangan yang terlihat tak masuk akal pada awalnya, karena perbandingan jumlah pasukan yang amat jauh.

Pada saat yang bersamaan ketika Abu Sulaiman r.a. mengambil panji kaum muslimin, Allah Swt. menampakkan apa yang terjadi pada Rasulullah saw. di Madinah.

Nabi Mengisahkan tentang Peperangan di Atas Mimbar

Dari atas mimbar di Masjid Nabawi, Nabi Muhammad saw. mengisahkan peperangan tersebut pada para sahabat sambil bercucuran air matanya.

Setelah ketiga panglima gugur dengan gagah, ‘salah satu pedang dari pedang-pedang Allah Swt.’ mengambil panji kaum muslimin dan Yang Mahakuasa memberikan kemenangan melaluinya.

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ وَاقِدٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ هِلَالٍ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى زَيْدًا وَجَعْفَرًا وَابْنَ رَوَاحَةَ لِلنَّاسِ قَبْلَ أَنْ يَأْتِيَهُمْ خَبَرُهُمْ فَقَالَ أَخَذَ الرَّايَةَ زَيْدٌ فَأُصِيبَ ثُمَّ أَخَذَ جَعْفَرٌ فَأُصِيبَ ثُمَّ أَخَذَ ابْنُ رَوَاحَةَ فَأُصِيبَ وَعَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ حَتَّى أَخَذَ الرَّايَةَ سَيْفٌ مِنْ سُيُوفِ اللَّهِ حَتَّى فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ

Haddatsanaa ahmadub-nu waaqidin haddatsanaa hammaadub-nu zaidin ‘an ayyuuba ‘an humaidib-ni hilaalin ‘an anasin radhiyallaahu ‘annan-nabiyya shallallaahu ‘alaihi wa sallama na’aa zaidan wa ja’faran wab-na rawaahata linnaasi qabla an ya’tiyahum khabaruhum fa qaala akhadzar-raayata zaidun fa-ushiiba tsumma akhadza ja’farun fa-ushiiba tsumma akhadzab-nu rawaahata fa-ushiiba wa ‘ainaahu tadzrifaani hattaa akhadzar-raayata saifun min suyuufillaahi hattaa fatahallaahu ‘alaihim.

Artinya:

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Waqid. Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid, dari Ayyub, dari Humaid bin Hilal, dari Anas ra, bahwasanya Nabi saw. pernah mengumumkan kematian Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah kepada para sahabat sebelum berita kematian mereka sampai. Nabi sabdakan: ‘Bendera perang diambil oleh Zaid, lantas ia gugur. Kemudian, Ja’far mengambil alih benderanya, ia pun gugur. Lantas, diambil alih oleh Abdullah bin Rawahah, dan ia pun gugur – seraya kedua mata beliau berlinang – lantas bendera diambil oleh ‘si pedang Allah’, hingga Allah membuka kemenangan bagi mereka.’

(Hadis Shahih Al-Bukhari No. 3.929 – Kitab Peperangan)

Mendapatkan Julukan Pedang Allah

Apakah julukan ‘si pedang Allah’ tersebut terdengar familier? Mungkin iya, karena bisa jadi kamu pernah mendengarnya dinisbahkan pada Khalid bin Walid r.a. Dialah seseorang yang dipanggil sebagai Abu Sulaiman oleh Tsabit bin Aqram al-Ajlani, radhiyallahu ‘anhuma, saat Perang Mu’tah itu.

Julukan Khalid bin Walid dalam bahasa Arab adalah saifullah al-maslul, yang bermakna ‘pedang Allah yang terhunus’.

Nah, dalam artikel ini, kamu akan membaca kisah singkat Khalid bin Walid r.a., seorang putra pemimpin Bani Makhzum yang terkemuka, yang memperkuat barisan Islam di tahun yang sama saat Perjanjian Hudaibiyah terjadi, yaitu tahun keenam setelah Rasulullah saw. hijrah ke Madinah.

Hasana.id akan mengungkapkan silsilah, keadaannya sebelum memeluk Islam, kisah yang melatari keislamannya, dan kematian Khalid bin Walid r.a., semuanya hanya untuk kamu. Pasti banyak yang dapat dijadikan hikmah. Jadi, pastikan tak melewatkan apa pun, ya!

Garis Nasab Khalid bin Walid r.a.

Ia masih merupakan sepupu jauh Rasulullah saw. karena nasabnya bertemu dengan sang nabi pada Murrah. Garis keturunannya setelah itu secara berturut-turut adalah Yaqzhah, Makhzum, Umar, Abdullah, Al-Mughirah, Al-Walid, hingga dirinya sendiri.

Orang-orang menghormatinya dengan memanggil beliau menggunakan nama kunyah (berarti ‘julukan’, dibaca kun-yah) seperti dalam kisah Perang Mu’tah di atas, yaitu Abu Sulaiman, yang bermakna ‘ayahnya Sulaiman’. Hal ini karena Khalid memiliki dua putra, yakni Sulaiman dan Abdurrahman.

Dalam Khalid bin Al-Walid: Panglima yang Tak Terkalahkan, Mansur Abdul Hakim menuturkan bahwa Abu Sulaiman bukanlah satu-satunya nama kunyah yang beliau miliki. Orang-orang umumnya memanggil ia dengan nama Abu Walid juga.

Beberapa tokoh Quraisy terkenal yang masih merupakan paman Khalid r.a. adalah Hisyam bin Al-Mughirah, Al-Fakihah bin Al-Mughirah, Abu Hudzaifah bin Al-Mughirah, dan Abu Umayyah bin Al-Mughirah.

Abu Hudzaifah bin Al-Mughirah adalah salah satu dari empat tokoh yang mewakili kabilah-kabilah suku Quraisy dalam pemasangan Hajar Aswad. Sedangkan, Abu Umayyah bin Al-Mughirah terkenal sering mempersiapkan perbekalan para musafir, sehingga dijuluki Zad Ar-Rakib.

Ayahanda Khalid bin Walid r.a.

Keluarga Khalid r.a. termasuk dalam kalangan bangsawan dan terpandang di antara kaum Quraisy. Mungkin itu yang menyebabkan perilaku sang ayah, Al-Walid bin Al-Mughirah, terhadap dakwah Rasulullah saw. tak jauh berbeda dengan para pembesar Quraisy lainnya: memusuhi.

Dalam sebuah buku terjemahan yang berjudul 13 Jenderal Besar Islam Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah karangan Nabawiyah Mahmud, diterangkan bahwa permusuhan yang dilancarkan Al-Walid bin Al-Mughirah terhadap dakwah Rasulullah saw. termasuk yang paling sengit dan kuat.

Karena kebenciannya terhadap Islam, Al-Walid bin Al-Mughirah selalu membicarakan agama ini dengan nuansa mengolok-olok di kalangan keluarganya. Ia meninggal dunia dalam keadaan kafir di usia 95 tahun karena terluka parah akibat tertancap anak panah.

Ibunda Khalid bin Walid r.a.

Berbeda dengan sang ayah, ibunda Khalid berasal dari kalangan karib Nabi Muhammad saw, yaitu Bani Hilal bin Amir. Ia bernama Lubabah Ash-Shughra binti Al-Harits ra. Julukan Ash-Shughra bermakna ‘kecil’ dan disematkan padanya untuk membedakannya dengan salah seorang saudarinya yang bernama sama.

Jika ibunda Khalid adalah Lubabah ‘Kecil’, saudarinya yang bernama sama adalah Lubabah ‘Besar’ atau Lubabah Al-Kubra binti Al-Harits, radhiyallahu ‘anhuma.

Lubabah Al-Kubra memiliki nama kunyah Ummu Fadhl r.a. Mungkin, kamu lebih mengenalnya sebagai istri dari paman nabi yang bernama Abbas bin Abdul Muthalib r.a.

Saudari kandung lain dari ibunda Khalid adalah Ummul Mukminin (bermakna ‘ibu kaum mukmin’) Maimunah binti Al-Harits, radhiyallahu ‘anhum, yang merupakan istri Rasulullah saw. Itu sebabnya Bani Hilal bin Amir disebut sebagai kalangan karib sang nabi.

Lubabah Ash-Shughra binti Al-Harits menutup usianya dalam keadaan berislam setelah Khalid, radhiyallahu ‘anhuma, meninggal dunia.

Saudara-Saudara Kandung Khalid bin Walid r.a.

Khalid r.a. memiliki empat saudara kandung, yaitu Imarah, Hisyam, Al-Walid, dan Fathimah binti Al-Walid.

Imarah bin Al-Walid

Ia adalah sosok yang membersamai Amru bin Al-‘Ash dalam usaha penarikan kembali kaum muslimin yang melakukan hijrah dari Habasyah. Mereka melakukannya atas perintah kaum Quraisy.

Hisyam bin Al-Walid r.a.

Beliau termasuk orang-orang yang diberi hidayah oleh Allah Swt. dan memeluk Islam.

Al-Walid bin Al-Walid r.a.

Mulanya, Al-Walid bin Al-Walid berdiri bersama-sama dengan pasukan musuh dalam Perang Badar dan kemudian menjadi tawanan Abdullah bin Jahsy atau menurut riwayat lain ditawan oleh Salik al-Mazini al-Anshari, radhiyallahu ‘anhum.

Setelah ditebus oleh saudaranya, Hisyam ra, Al-Walid kemudian kembali ke Makkah dan mengumumkan keislamannya.

Al-Walid kemudian menyertai Nabi Muhammad saw. dalam peristiwa Umrah Qadha (bermakna ‘umrah yang tertunda’) di tahun ketujuh setelah hijrah. Keterangan ini bisa ditemukan dalam Khalid bin Al-Walid karangan Hakim.

Fathimah binti Al-Walid r.a.

Adik perempuan Khalid r.a. ini memeluk Islam saat peristiwa Fathu Makkah (Penaklukkan Makkah) terjadi dengan melakukan baiat secara langsung di depan Nabi Muhammad saw. Suaminya adalah seorang tokoh yang terpandang bernama Harits bin Hisyam r.a.

Uniknya, Khalid sering meminta pendapat tentang strategi pertempuran pada Fathimah, radhiyallahu ‘anhuma, terutama ketika ia ditunjuk menjadi panglima perang untuk menaklukkan Romawi dan Persia.

Saat Khalid dicopot dari jabatannya sebagai panglima oleh Amirul Mukminin (bermakna ‘pemimpin kaum mukminin’) ‘Umar bin Khaththab pun, ia menemui Fathimah, radhiyallahu ‘anhum, untuk mendengarkan pendapat adik perempuannya ini.

Setelahnya, Khalid r.a. dapat berbaik sangka dan mendukung keputusan sang amirul mukminin.

Ciri Fisik Khalid bin Walid r.a.

Masih dalam buku Khalid bin Walid, Hakim memberikan keterangan bahwa Khalid masih memiliki hubungan paman-kemenakan dari jalur ibunya dengan ‘Umar bin Khaththab r.a. yang umurnya tak berbeda jauh. Disebutkan bahwa postur tubuh keduanya sama, bahkan parasnya pun tampak serupa.

Sahabat-Sahabat Khalid bin Walid r.a.

Sebelum menjadi panglima di medan perang, Khalid r.a. hanyalah seorang pemuda yang senang menghabiskan waktu bersama sahabat-sahabatnya layaknya orang biasa. Mereka gemar berkuda dan berburu. Jika tidak, mereka bersenang-senang dengan menyanyikan berbaris-baris syair.

Di antara para sahabatnya, ada Amru bin Al-Ash, Abul Hakam Amru bin Hisyam bin Al-Mughirah, dan Ikrimah bin Abu Hakam.

Sifat Khalid bin Walid r.a.

Mahmud menuliskan sifat-sifat sang tokoh sebelum masuk Islam dalam bukunya 13 Jenderal Islam. Berawal dari sang ayah yang meninggal dunia tiga bulan setelah kaum muslimin Makkah hijrah ke Madinah, Khalid bin Walid r.a. harus muncul untuk mengambil alih posisi Al-Walid bin Al-Mughirah.

Penduduk Makkah, terutama suku Quraisy, amat menginginkan sang tokoh tetap berada berseberangan dengan Rasulullah saw., apalagi sesudah ‘Umar bin Khaththab dan paman nabi, Hamzah bin Abdul Muthalib memeluk Islam. Mengapa demikian?

Hal tersebut karena Khalid bin Walid r.a. merupakan sosok yang menguatkan barisan saat menjadi teman dan menakutkan ketika berselisih. Ia juga memiliki kemampuan menunggang kuda yang cakap dan dibutuhkan tatkala perang pecah.

Khalid bin Walid r.a. memiliki sifat agresif seorang prajurit yang cenderung menyelesaikan sesuatu dengan kekerasan, mengandalkan otot daripada otak, dan berwatak kasar. Ia tak pernah gentar dan takut pada siapa saja di medan perang.

Karena pengaruh ayahnya yang selalu mengolok-olok Islam dan Rasulullah saw., Khalid bin Walid pun ikut menentang Islam dalam waktu yang lama. Sikapnya menjadi bertambah parah saat saudaranya, Al-Walid bin Al-Walid memeluk Islam setelah Perang Badar usai.

Dasar Kemampuan Si Ahli Siasat Perang

Sebenarnya, tak heran mengapa Khalid bin Walid r.a. memiliki perangai seperti yang telah disebutkan di atas. Ayahnya membuatnya mempelajari dasar-dasar kemampuan perang, kepemimpinan, dan segala bentuk adu ketangkasan sejak ia kecil.

Hal ini bukanlah tanpa alasan. Keluarga Khalid bin Walid r.a. merupakan keluarga yang terpandang di tengah masyarakat, di mana anggota keluarganya menjadi pemimpin secara turun-temurun. Mereka bahkan dijuluki Ra’is ibn Ra’is, yang berarti Pemimpin Putranya Pemimpin.

Khalid bin Walid r.a. pun suatu saat juga diharapkan meneruskan garis kepemimpinan tersebut, sehingga ia sudah dipersiapkan sedari dini. Beliau belajar bagaimana cara berkuda hingga menjadi salah satu penunggang kuda yang andal.

Ia juga belajar menggunakan beragam senjata, seperti anak panah, lembing, pedang, tombak, dan lain-lain, baik ketika berjalan kaki maupun sambil menunggang kuda. Ayahnya dan orang-orang Bani Makhzum juga membuatnya tumbuh di lingkungan yang sesuai untuk menjadi panglima perang.

Dari ayahnyalah Khalid bin Walid r.a. mempelajari seni berperang dan strategi pertempuran: bergerak cepat di gurun pasir, mengejar dan menawan musuh, menyerang tanpa terduga, serta perang gerilya.

Kesemua latihan yang ia terima sejak kecil ini, mau tau mau membentuk karakter prajurit dan pemimpin perang dalam diri Khalid bin Walid r.a. Dengan semua yang dimilikinya, ia berhasil membawa pasukannya memenangkan banyak pertempuran.

Meski keterampilannya ini digunakan dalam peperangan melawan umat muslim pada awalnya, seperti dalam Perang Uhud dan Perang Khandaq, sisa hidupnya ia gunakan untuk membela Islam dengan segala pengetahuan, ketangkasan, dan sifat kepemimpinannya ini.

Agaknya, umat muslim harus berterima kasih pada Al-Walid bin Al-Mughirah karena telah membesarkan salah satu panglima besar dalam sejarah Islam walaupun ia tak memiliki pengetahuan tentang hal itu, tentu saja.

Berislamnya Sang Komandan Militer

Al-Waqidi menceritakan kisah masuk islamnya Khalid bin Walid r.a. dari sudut pandang sang tokoh dalam Kitab Al-Maghazi Muhammad.

Pada suatu hari di tahun keenam setelah peristiwa Hijrah, Khalid bin Walid mengetahui rencana Rasulullah saw. dan para sahabat menuju Masjidil Haram. Ia bersama-sama dengan beberapa orang dari kaum musyrikin berniat menghalau rombongan nabi sebelum tiba di tujuan.

Namun, ia mendapati Nabi Muhammad saw. tengah mendirikan salat Zuhur dan Asar berjamaah sebagai imam di sebuah daerah bernama ‘Usfan. Kendati ingin menyerang serombongan orang yang nampak tak siaga itu, Khalid bin Walid merasa tak kuasa.

Khalid bin Walid Mulai Tertarik dengan Islam

Ia disergap perasaan dalam hatinya bahwa Rasulullah saw. adalah orang baik dan dilindungi. Rasa yang menyergap tersebut kemudian membuatnya mengurungkan niat semula dan justru memutuskan untuk mengambil jalan berbeda dari sang nabi.

Saat peristiwa Umrah Qadha terjadi, Al-Walid bin Al-Walid r.a. memasuki Makkah bersama dengan Rasulullah saw. Ia mencari saudaranya, tetapi tak bisa menemukannya. Lalu, Al-Walid r.a. pun menuliskan surat untuk Khalid.

Dalam suratnya, Al-Walid r.a. menuliskan beberapa hal.

  1. Fakta bahwa Khalid bin Walid terus menjauhi Islam adalah sesuatu yang ganjil.
  2. Rasulullah saw. menanyakan di mana Khalid dan harapan beliau saw. tentang keislamannya.

Peristiwa di ‘Usfan sudah menerbitkan rasa ketertarikan Khalid bin Walid akan Islam dan surat dari saudaranya menambah perasaan itu. Setelahnya, ia bermimpi pergi dari tanah memprihatinkan yang dipenuhi najis menuju tanah luas yang subur berwarna hijau.

Khalid Ingin Segera Bertemu Rasulullah

Ia kembali disergap oleh perasaan aneh yang membuatnya ingin segera menemui Rasulullah saw. di Madinah. Khalid bin Walid bertolak dari Makkah dan memulai perjalanannya. Tak lama berselang dari titik keberangkatan, ia bertemu dengan ‘Ustman bin Thalhah.

Diutarakan niat dan tujuannya pada ‘Ustman bin Thalhah yang sudah ia anggap sebagai kawan. Khalid bin Walid juga menyampaikan bagaimana keadaan ini memengaruhinya. Apa yang disampaikannya itu rupanya membuat ‘Ustman juga tergerak untuk menemui Rasulullah saw. di Madinah.

Bepergianlah kedua orang ini di larut malam. Perjalanan diteruskan hingga menjelang waktu fajar dan mereka bertemu dengan ‘Amr bin Ash. Setelah bertukar salam, ‘Amr mengutarakan niat dan tujuan yang rupanya sama dengan Khalid dan ‘Ustman.

Mereka pun meneruskan perjalanan bersama-sama hingga sampai di Madinah. Kabar bahwa Khalid bin Walid, ‘Ustman bin Thalhah, dan ‘Amr bin Ash tiba telah sampai pada Rasulullah saw. dan beliau amat gembira mengetahuinya.

Khalid bin Walid menggunakan baju terbaiknya untuk menghadap Rasulullah saw. Al-Walid bin Al-Walid menyambutnya dan menyegera langkah saudaranya menuju sang nabi. Dikisahkan oleh Khalid bahwa Nabi Muhammad saw. terus tersenyum ketika melihat dirinya hingga ia berhenti di depan beliau saw.

Khalid Mengucapkan Syahadat

Setelah itu, Khalid bin Walid memberi salam, mengucap syahadat, dan menyatakan keislamannya. Ia meminta Rasulullah saw. untuk memohon ampunan baginya pada Allah Swt. Kemudian, ‘Amr dan ‘Ustman melakukan hal yang sama. Semuanya terjadi di bulan Safar tahun 8 Hijiriah.

Kehidupan barunya dimulai di tengah para sahabat di kota Madinah dalam situasi damai berkat Perjanjian Hudaibiyah. Namun, hal tersebut tak berlangsung lama karena tiga bulan setelah keislamannya, pecahlah perang pertama antara kaum muslimin dengan Heraklius dan pasukan Romawi.

Kemudian, kisah Khalid bin Walid r.a. kembali pada paragraf pertama artikel ini.

Wafatnya Pedang Allah Swt.

Perang Mu’tah menandai kemenangan pertamanya memimpin umat Islam dalam peperangan. Pada pertempuran pertama ini, sembilan dari sepuluh bilah pedang yang disiapkannya patah. Begitulah keagresifan dan sepak terjang Khalid bin Walid r.a. dalam melawan musuh-musuhnya.

Ia begitu memimpikan syahid di medan perang, tetapi Khalid bin Walid r.a. terserang penyakit untuk waktu yang cukup lama di usia senjanya. Beliau merasa ajalnya akan tiba, dan itu amat merisaukan dirinya.

Salah seorang sahabatnya yang mengunjunginya memberikan penghiburan seperti yang diabadikan oleh Hakim dalam Khalid bin Al-Walid.

Wahai Khalid, kamu harus tahu bahwa pada saat Rasulullah memberimu julukan dengan sebutan ‘pedang Allah’, sesungguhnya itu menjadi ketetapan bagimu untuk tidak meninggal di medan perang. Seandainya engkau meninggal di tangan orang kafir, maka itu artinya ‘pedang Allah’ telah berhasil dipatahkan oleh musuh Allah, dan itu tidak mungkin terjadi.

Akibat penghiburan dari temannya inilah, Khalid bin Walid r.a. tak lagi merasa risau dengan apa pun ketetapan-Nya.

Allah Swt. berkehendak Khalid bin Walid meninggal karena penyakit tersebut di atas tempat tidur saat ia berusia 58 tahun.

Makam Khalid bin Walid r.a. terletak di Homs, Suriah. Meski area tersebut pernah dirusak oleh pasukan Assad pada tahun 2013, pemugarannya kembali telah selesai dilakukan enam tahun kemudian.

Makamnya menjadi penanda bahwa seorang jenderal besar pernah hidup di tengah kaum muslimin dan memiliki peran masif dalam membungkam musuh-musuh Islam. Semoga pengetahuan tentang Khalid bin Walid r.a. ini bermanfaat, ya!

Sumber:

Fillah, Salim A. 2008. Jalan Cinta Para Pejuang. Yogyakarta: Pro-U Media.

https://www.hadits.id/hadits/bukhari/3929

https://alif.id/read/nur-hasan/memahami-persaudaraan-dari-fathimah-binti-al-walid-bin-mughirah-b212400p/

Click to access Bab%202.pdf