Peninggalan Kerajaan Samudra Pasai dan Sejarah Awal Perkembangan Islam Tanah Air

Peninggalan Kerajaan Samudra Pasai menjadi bukti sejarah yang penting bagi perjalanan awal Islam di Nusantara.

Sebagai kerajaan Islam pertama dan tertua di Indonesia, Samudra Pasai memiliki banyak peninggalan sebagai bukti arkeologis. Salah satunya adalah makam Sultan Malik Al-Saleh.

Untuk mengupas lebih dalam mengenai peninggalan-peninggalan kerajaan ini beserta sejarah masuknya Islam ke Nusantara, Hasana.id telah merangkum ulasan berikut ini. Yuk, simak!

Peninggalan Kerajaan Samudra Pasai dan Sejarah Berdirinya

Menurut sejarah, Islam masuk ke tanah air sejak abad 13 sampai 15 Masehi. Hal tersebut dibuktikan dengan peninggalan-peninggalan kerajaan Islam, termasuk peninggalan Kerajaan Samudra Pasai yang terletak di Kabupaten Lhokseumawe, Aceh Utara.

Hubungan perdagangan antara Nusantara dengan pedagang yang mayoritas datang dari Timur Tengah lah yang menjadi jembatan utama penyebaran Islam di Tanah Air.

Kerajaan Samudra Pasai sendiri berdiri sejak abad 13 Masehi dengan Sultan Malik al Saleh atau Meurah Silu sebagai tokoh pendiri sekaligus raja pertama kerajaan tersebut.

Sebelumnya, Kerajaan Samudra Pasai terdiri dari dua kerajaan yang berbeda, yaitu Peurlak (Samudera) dan Pase (Pasai).

Kedua kerajaan tersebut kemudian bersatu saat para pedagang Islam datang dan menyebarkan agama tersebut di wilayahnya.

Wilayah kerajaan Samudera Pasai sendiri cukup luas, yaitu meliputi seluruh wilayah Aceh saat ini.

Pada masa kejayaannya, kerajaan tersebut menjadi pusat perdagangan penting yang kerap dikunjungi oleh pedagang-pedagang dari Siam, Cina, India, Persia, dan Arab. Sedangkan komoditas utama yang ada di Kerajaan Samudera Pasai adalah lada.

Lalu, apa saja peninggalan Kerajaan Samudra Pasai yang terekam oleh sejarah? Berikut beberapa peninggalannya.

Makam Sultan Malik Al Saleh

Makam Sultan Malik Al Saleh ini terletak di Gedong Utara Aceh. Makam ini jadi peninggalan terpenting dari Kerajaan Samudra Pasai.

Dikutip dari Indonesian Heritage, makam tersebut mengandung angka 1297, menjadikannya sebagai batu nisan tertua yang pernah ditemukan.

Nisan tersebut juga dikenal sebagai Batu Aceh dan saat ini dikembangkan menjadi nisan khas bagi umat Islam di Tanah Air.

Batu nisan yang ada di Makam Sultan Malik memperlihatkan peralihan dari pengaruh arsitektur Buddha ke Islam, yang saat itu memang masih sangat kental.

Desain batu nisan tersebut dinilai memiliki kesamaan dengan stupa meskipun bagian batangnya berbentuk persegi panjang tegak. Akan tetapi, bagian puncaknya cenderung terlihat lancip pada ujungnya.

Pengaruh arsitektur Buddhis tersebut digabungkan dengan dekorasi berupa kaligrafi naskhi yang pada pertengahan abad ke-13 sangat populer di India.

Nilai keislaman lain yang ada dalam batu tersebut adalah penggunaan bahasa Arab di dalamnya, dengan kosakata yang sangat khas dalam agama Islam.

Berikut adalah kalimat yang tertulis pada nisan di makam Sultan Malik Al Saleh:

“Ini kubur adalah kepunyaan almarhum hamba yang dihormati, yang diampuni, yang taqwa, yang menjadi penasehat, yang terkenal, yang berketurunan, yang mulia, yang kuat beribadah, penakluk, yang bergelar dengan Sultan Malik As-Salih. (Tanggal wafat, bulan Ramadhan tahun 696 Hijrah/1297 Masehi)”.

Sedangkan dibagian belakang tertulis kalimat sebagai berikut:

“Sesungguhnya dunia ini fana, dunia tiada kekal. Sungguh, dunia ibarat (rumah) sarang yang ditenun oleh laba-laba. Cukup sudah bagimu dunia ini wahai pencari makan. Hidup (umur) hanya sekejap, siapapun akan mati”

Selain Sultan Malik, komplek makam tersebut juga menjadi tempat persinggahan terakhir bagi Sultan Malikus Zahir dan para penerusnya.

Naskah Surat Sultan Zainal Abidin

Surat ini ditulis sendiri oleh Sultan Zainal Abidin. Isi dari suratnya adalah pesan kepada Kapitan Moran yang menjadi perwakilan Raja Portugis di India.

Peninggalan Kerajaan Samudra Pasai tersebut ditulis oleh Sultan Zainal sebelum ia menghembuskan napas terakhir pada tahun 923 Hijriyah atau 1518 Masehi.

Suratnya ditulis menggunakan bahasa Arab. Selain berisi pesan kepada Kapitan Moran, isi surat ini juga terkait dengan keadaan Kesultanan Samudera Pasai pada abad ke-16.

Selain itu, surat tersebut juga menceritakan keadaan terakhir Kesultanan Samudera Pasai pasca ditaklukkan oleh bangsa Portugis pada tahun 1511 Masehi.

Tertulis juga nama-nama kerajaan serta negeri yang mempunyai hubungan erat dengan Kerajaan Samudera Pasai dalam surat tersebut.

Kerajaan atau negeri yang dimaksud di antaranya adalah Negeri Fariyaman (Pariaman) dan Mulaqat (Malaka).

Masjid Peninggalan Kerajaan Samudra Pasai

Sebuah masjid tua yang terletak di Gempong Dayah Seupeng, Kabupaten Aceh Utara disebutkan merupakan salah satu peninggalan kerajaan Islam pertama di Tanah Air tersebut.

Menurut sejarah, masjid tersebut didirikan pada abad ke-18 dan sering digunakan sebagai tempat ibadah serta pusat perkembangan ajaran tauhid.

Masjid tersebut terakhir digunakan oleh warga untuk beribadah pada tahun 1990 dan kini tak lagi dimanfaatkan untuk ibadah karena kondisinya yang perlu direnovasi.

Sedangkan Masjid Raya Baiturrahman merupakan masjid peninggalan Kerajaan Aceh, bukan Kerajaan Samudra Pasai.

Dalam sejarahnya, masjid termegah di Asia Tenggara tersebut dibangun pada masa kesultanan Iskandar Muda, tepatnya pada tahun 1612.

Masjid Raya Baiturahman ini sudah beberapa kali mengalami renovasi dan perluasan, sehingga sampai saat ini masih menjadi pusat peribadahan di Aceh.

Stempel Kerajaan Samudra Pasai

Selanjutnya, yang menjadi peninggalan Kerajaan Samudra Pasai adalah stempel. Stempel ini diduga milik Muhammad Malikul Zahir, sultan kedua Samudra Pasai.

Sejarawan atau ahli sejarah menemukan stempel ini di Desa Kuta Krueng, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara.

Stempel tersebut memiliki ukuran 2×1 cm dan dibuat dari tanduk hewan. Gagang dari stempel ini sudah patah saat pertama kali ditemukan oleh para peneliti sejarah.

Pendapat lain menyebutkan bahwa stempel yang ditemukan tersebut telah digunakan oleh kesultanan Samudra Pasai sampai masa pemerintahan Sultan Zainal Abidin.

Dirham

Dirham yang menjadi peninggalan Kerajaan Samudra Pasai ini berbeda dengan yang sekarang. Peninggalan kerajaan ini terbuat dari 70% emas murni delapan belas karat.

Bahan yang digunakan untuk membuat dirham berdiameter 10mm dan berat 0,6 gram setiap koinnya tersebut tidak menggunakan campuran kimia kertas sedikit pun.

Ditemukan dua jenis dirham di Kerajaan Samudra Pasai, yaitu 1 dirham dan 1/2 dirham.

Salah satu sisi mata uang emas tersebut terpatri tulisan Muhammad Malik Al-Zahir. Sementara sisi lainnya tertulis nama Al-Sultan Al-Adil.

Saat itu, dirham banyak dimanfaatkan sebagai alat transaksi, terutama untuk jual-beli tanah. Hal ini juga lah yang mendorong tradisi mencetak dirham emas. Bahkan, tradisi tersebut menyebar ke seluruh Sumatera.

Saat Aceh berhasil menaklukkan Kerajaan Samudra Pasai pada tahun 1524 Masehi, semenanjung Malaka juga melanjutkan tradisi mencetak dirham emas tersebut.

Cakra Donya

Cakra Donya merupakan suatu lonceng yang dianggap keramat bagi kaum Muslim di Banda Aceh. Sebab, lonceng ini merupakan hadiah saat Sultan Ali Mughayat Syah dan pasukannya berhasil mengalahkan Portugis.

Kaisar Yonglee sebagai penguasa Kerajaan Cina lah yang saat itu mengutus Laksamana Cheng Ho untuk memberikan lonceng tersebut kepada Kerajaan Samudra Pasai sebagai simbol persahabatan kedua kerajaan tersebut.

Lonceng yang dibuat pada tahun 1409 di Cina tersebut memiliki bentuk seperti mahkota besi dan stupa.

Peninggalan Kerajaan Samudra Pasai ini mempunyai ukuran tinggi 1,25 meter dan lebar 75 cm.

Namanya sendiri terdiri dari dua kata yaitu Cakra yang berarti poros kereta, matahari atau cakrawala, atau lambang-lambang wishnu, dan Donya yang berarti dunia.

Kamu bisa melihat bagian luar Cakra Donya memiliki hiasan dan simbol berbentuk aksara Cina dan Arab.

Sayangnya, aksara Arab yang ada dalam Cakra Donya tersebut sudah tidak bisa dibaca lagi karena sudah aus.

Sementara itu, terdapat juga aksara Cina yang tulisannya dibaca Sing Fang Niat Tong Juut Kat Yat Tjo pada Cakra Donya.

Nisan Sultanah Nahrasiyah

Selain makam Sultan Malik, makam dan nisan lainnya juga dianggap sebagai peninggalan Kerajaan Samudra Pasai.

Salah satunya adalah makam Sultanah Nahrasiyah yang terletak di Desa Meunasah Kuta Krueng. Makam tersebut disebut sebagai makam Muslim paling indah yang ada di Asia Tenggara.

Kamu bisa melihat silsilah Raja Samudera Pasai di makam Sultanah Nahrasiyah dan bagian jirat tinggi yang bersatu dengan nisan.

Terdapat hiasan berupa tulisan ayat Alquran di makam Sultanah Nahrasiyah. Ada juga pahatan Surah Yasin dari ayat pertama hingga terakhir.

Kemudian, terdapat juga potongan Surah Surah al-Baqarah dan Ali Imran ayat 18-19. Selain itu, tertulis juga kata-kata dalam aksara Arab yang artinya dalam Bahasa Indonesia berbunyi:

“Inilah makam yang bercahaya, yang suci, ratu yang agung yang diampuni. Almarhumah Nahrasiyah yang digelar dari bangsa Khadiyu anak sultan Haidar bin Said anak sultan Zainal Abidin anak sultan Ahmad anak Sultan Muhammad bin Malik As-Shalih, atas mereka rahmat dan keampunan, mangkat pada hari senin 17 Zulhijjah Tahun 832 atau 1428 M”

Menurut sejarahnya, konstruksi makam ratu Samudera Pasai tersebut dibuat dari pualam yang langsung didatangkan dari Gujarat, India.

Makam-Makam Lainnya

Peninggalan Kerajaan Samudra Pasai yang lainnya adalah berupa makam-makam, mulai dari makam Sultan Muhammad Malik al-Zahir hingga makam Ratu al-Aqla.

Sultan Muhammad Malik al-Zahir merupakan putra Sultan Malik dan makamnya berada tepat di samping makam ayahnya tersebut. Pada tahun 1287-1326 Masehi beliau pernah memerintah Samudra Pasai.

Selain itu terdapat juga makam cicit khalifah al-Muntasir dari Dinasti Abbasiyah, yaitu Teungku Sidi Abdullah Tajul Nillah. Ia merupakan salah satu mantan Menteri Keuangan di Kerajaan Samudera Pasai.

Letak makam peninggalan Kerajaan Samudra Pasai tersebut ada di Gempong Kuta Krueng. Makam ini dihiasi dengan batu nisan yang terbuat dari marmer dan kaligrafi.

Berbeda dengan makam Teungku Sidi Abdullah, makam Teungku Peuet Ploh Peuet berada di Gempong Beuringen, Kecamatan Samudera.

Kamu bisa melihat kaligrafi dari Alquran Surah Ali Imran ayat 18 tertulis di bagian nisan makamnya, yang berbunyi:

شَهِدَ ٱللَّهُ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةُ وَأُو۟لُوا۟ ٱلْعِلْمِ قَآئِمًۢا بِٱلْقِسْطِ ۚ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ

Syahidallāhu annahụ lā ilāha illā huwa wal-malā`ikatu wa ulul-‘ilmi qā`imam bil-qisṭ, lā ilāha illā huwal-‘azīzul-ḥakīm

Artinya:

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Dalam lingkungan makam Teungku Peuet, terdapat juga 44 makam para ulama Kerajaan Samudra Pasai yang terbunuh saat menentang perkawinan antara raja dan putri kandungnya.

Peninggalan berupa makam lainnya adalah makam Ratu al-Aqla atau Nur Ilah yang berlokasi di Gempong Meunje Tujoh Keca Matangkuli.

Sama dengan beberapa makam peninggalan Kerajaan Samudra Pasai lainnya, makam Ratu Al-Aqla juga mempunyai hiasan kaligrafi campuran bahasa kawi dan Arab pada batu nisannya.

Ratu al-Aqla sendiri merupakan putri dari Sultan Muhammad Malikul Dhahir, yaitu anak pertama dari Sultan Malikul Saleh yang memimpin kerajaan pada tahun 1297-1326.

Kitab dan Sumber Sejarah Kerajaan Samudra Pasai

Selain peninggalan Kerajaan Samudra Pasai di atas, eksistensi kerajaan Islam pertama di Tanah Air ini juga tercatat dalam suatu sumber sejarah.

Kitab Rihlah yang ditulis oleh Ibnu Batutah menjadi salah satu sumber sejarah yang menegaskan keberadaan Kerajaan Samudra Pasai.

Pada tahun 1345 Masehi, Ibnu Batutah yang merupakan seorang pengelana asal Maroko singgah di Kerajaan Samudra Pasai.

Marco Polo, seorang penjelajah dari Italia, juga sempat mencatat kesan-kesannya tentang Kerajaan Samudra Pasai dan Kerajaan Perlak dalam perjalanannya ke China yang dilanjutkan ke Jawa dan Sumatra.

Dalam sejarahnya, Sultan Malik al-Saleh memperistri putri Raja Perlak sehingga kerajaan tersebut kemudian menjadi bagian dari Kerajaan Samudra Pasai.

Putra dari pasangan tersebut lah yang kemudian menggantikan Sultan Malik al-Saleh sebagai Raja Samudra Pasai dengan gelar al-Malikuzh Zhahir I.

Disebutkan oleh Buya Hamka bahwa gelar-gelar yang diberikan pada kesultanan Samudra Pasai tersebut sangat dipengaruhi sistem kerajaan di Mesir dan Makkah.

Hal tersebut dapat dilihat dari penggunaan azh-Zhahir yang merupakan gelar kesultanan saat Dinasti Mamluk yang kedua.

Setelah al-Malikuzh Zhahir I, Kerajaan Samudra Pasai diperintah oleh al-Malikuzh Zhahir II. Raja ini lah yang dijumpai oleh Ibnu Batutah saat ia mengunjungi Samudra Pasai.

Sejarah dan Perkembangan Kerajaan Samudra Pasai

Peninggalan Kerajaan Samudra Pasai tentu tidak terlepas dari sejarah perkembangan kesultanan Islam pertama di Indonesia tersebut.

Kerajaan yang didirikan oleh Sultan Malik al-Saleh ini berakhir pada masa sultan ke-16, yaitu Sultan Zainal Abidin Malikul Zahir karena adanya serangan dari Portugis.

Setelah Putri Sultan Kerajaan Samudra Pasai menikah dengan Sultan Kerajaan Aceh ke-13, yaitu Sultan Alaidin Riayatsyal al-Qahar , Kerajaan Samudra Pasai pun menyatakan bergabung dengan Kerajaan Aceh.

Samudra Pasai bukan hanya memiliki peran penting pada bidang perdagangan di Nusantara. Kerajaan ini juga menjadi pusat berkembangnya Islam.

Para sultan di kerajaan ini dikenal dengan kepribadiannya yang gemar beribadah dan taat mengikuti perintah agama.

Jejak peninggalan Kerajaan Samudra Pasai yang tertuang dalam kisah perjalanan Ibnu Battutah ke Pasai pun menggambarkan bahwa sultan yang memimpin saat itu sangat rendah hati, salih, pemurah, dan memiliki perhatian pada fakir miskin.

Meskipun saat itu ia sudah menaklukkan banyak kerajaan, Sultan Malikul Zahir tidak rakus dan tamak terhadap harta.

Masa Kejayaan Kerajaan Samudra Pasai

Pada masa kejayaannya, Kerajaan Samudra Pasai meliputi beberapa wilayah, termasuk Aceh Timur, Aceh Tenggara, Aceh Tengah, Aceh Utara, Pidie, dan Beireuen.

Dalam sejarahnya, kerajaan tersebut juga dikisahkan sempat menguasai selat Malaka yang menjadi ujung tombak transaksi perdagangan di Nusantara.

Masa kejayaan tersebut terjadi di masa Sultan Malik Tahir memimpin kerajaan tersebut pada tahun 1297-1326 Masehi.

Bahkan kisah peninggalan Kerajaan Samudra Pasai menyebutkan bahwa kerajaan tersebut sempat menjadi pusat perdagangan internasional, bukan hanya di Nusantara saja.

Dari beberapa raja yang pernah memimpin kerajaan tersebut, ada raja yang memiliki peran cukup besar. Raja ini mampu membawa Samudra Pasai mencapai kejayaan.

Salah satunya adalah Sultan Muhammad az-Zahir yang memimpin pada tahun 1297 sampai 1326 Masehi. Ia diketahui sebagai raja yang pertama kali memperkenalkan koin emas atau dirham dan menjadikannya sebagai mata uang kerajaan.

Mata uang yang kemudian dikenal sebagai salah satu peninggalan kerajaan Samudra Pasai tersebut resmi digunakan dalam perdagangan pada tahun 1297.

Ketika Sultan Mahmud Malik az-Zahir memerintah pada tahun 1326-1345, Kerajaan Samudra Pasai juga meneruskan kejayaannya dalam hal perdagangan.

Bahkan saat itu, banyak dijumpai pedagang dari Cina dan India yang membeli rempah-rempah di Kerajaan Samudra Pasai.

Runtuhnya Kerajaan Samudra Pasai

Seperti banyak kerajaan lain di Nusantara, Kerajaan Samudra Pasai juga mengalami masa keruntuhannya, tepatnya pada tahun 1521 Masehi. Kerajaan Samudra Pasai yang dipimpin oleh Sultan Zainal Abidin diserang Bangsa Portugis..

Rasa iri terhadap kemajuan perdagangan Kerajaan Samudra Pasai disinyalir menjadi alasan utama Bangsa Portugis melakukan serangan tersebut.

Karena memiliki angkatan perang yang lebih kuat, Bangsa Portugis pun berhasil menjatuhkan Kerajaan Samudera Pasai dibawah kekuasannya.

Keadaan tersebut kemudian mendorong Sultan Ali Mughayat Syah untuk mengambil alih Kerajaan Samudra Pasai pada tahun 1524 Masehi.

Dipindahkannya peninggalan Kerajaan Samudra Pasai, yaitu Lonceng Cakra Donya ke Kerajaan Aceh menjadi bukti pengambilan alih tersebut.

Demikianlah beberapa peninggalan Kerajaan Samudra Pasai dan sejarahnya yang menjadi awal perkembangan Islam di Tanah Air. Semoga bermanfaat!