Sejarah Kerajaan Demak dan Kaitannya dengan Walisongo

Bagi masyarakat Indonesia, tentu tidak asing dengan nama Kerajaan Demak. Bahkan, banyak yang menyebut kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa adalah Kerajaan Demak. Namun, informasi tersebut tidak sedikit juga orang yang baru mengetahuinya.

Bahkan, tidak semua orang mengetahui adanya keterkaitan antara Kerajaan Demak dengan salah satu wali yang tergabung dalam Walisongo.

Nah, untuk mencari tahu lebih lanjut mengenai Kerajaan Demak dan hal-hal terkait, tidak ada salahnya untuk membaca sejumlah informasi yang telah dikumpulkan oleh Hasana.id berikut!

Sejarah Kerajaan di Pulau Jawa

Pulau Jawa menjadi salah satu pulau di Indonesia yang memiliki banyak peninggalan sejarah. Bahkan, jika diingat-ingat, setidaknya ada lebih dari 2 kerajaan yang pernah berdiri di Pulau Jawa.

Sebut saja mulai dari kerajaan Singasari yang terkenal akan cerita Ken Arok dan Ken Dedes hingga munculnya kerajaan islam pertama di Pulau Jawa, Kerajaan Demak.

Bicara mengenai kerajaan yang ada di Pulau Jawa, kebanyakan kerajaan di masa lampau merupakan kerajaan yang memiliki kepercayaan terhadap agama Hindu dan Budha. Tidak heran jika banyak sekali peninggalan sejarah yang membuktikan hal tersebut.

Misalnya saja seperti candi Borobudur di Magelang yang menjadi ciri khas dari candi bercorak Budha. Berbeda lagi dengan candi Prambanan yang justru memperlihatkan corak budaya Hindu.

Namun, kerajaan-kerajaan bercorak Hindu dan Budha tersebut lambat laun meredup dan diganti dengan kerajaan Islam.

Bicara mengenai kerajaan Islam di Pulau Jawa ternyata tidak terlepas dari banyaknya pendakwah Islam yang mendarat di Pulau Jawa. Berbeda dengan kerajaan bercorak Hindu dan Budha, kerajaan Islam di Indonesia lebih memilih pemerintahan berbentuk kesultanan.

Salah satu yang paling terkenal setelah runtuhnya kerajaan Majapahit yang termahsyur adalah Kesultanan Demak atau yang dikenal dengan Kerajaan Demak.

Kerajaan Demak disebut-sebut tidak hanya menguasai kota-kota dan daerah yang ada di Pulau Jawa tetapi juga berhasil menguasai sejumlah pelabuhan yang ada di Jambi dan Palembang.

Tidak heran jika munculnya Kerajaan Demak ini menjadi awal dan memiliki andil besar dalam penyebaran agama Islam di Indonesia.

Kerajaan Demak – Kerajaan Islam Pertama di Pulau Jawa

Kesultanan Demak, merupakan sebutan lain dari Kerajaan Demak, kerajaan islam pertama di Pulau Jawa. Tidak hanya menjadi kerajaan Islam pertama, kerajaan satu ini juga menjadi kerajaan terbesar yang berada di wilayah pantai utara Jawa.

Sebelum menjadi sebuah kerajaan Islam yang besar, rupanya wilayah kekuasaan Kesultanan Demak merupakan daerah yang dikuasai oleh kerajaan Majapahit.

Setelah perebutan kekuasaan yang bergejolak di kerajaan Majapahit dan membuat kerajaan tersebut runtuh, muncullah Kerajaan Demak dengan kekuatan baru dan bercorak Islam.

Kerajaan Demak yang didirikan sekitar tahun 1678 oleh Raden Patah juga disebut-sebut sebagai pewaris dari kerajaan sebelumnya, Majapahit. Bahkan, Raden Patah juga dianggap sebagai putra terakhir dari kerajaan Majapahit.

Raden Patah Sebagai Pemimpin Pertama di Kerajaan Demak

Kisah yang menceritakan Raden Patah sebagai pendiri dari Kerajaan Demak sendiri tertuang dalam Babad Tanah Jawi.

Cek Ko-Po

Namun, sumber lain juga menyebutkan jika Kerajaan Demak yang berada di pesisir utara Pulau Jawa ini juga kemungkinan didirikan oleh seorang Tionghoa Muslim yang bernama Cek Ko-Po. Tidak heran jika Cek Ko-Po sering dianggap orang yang sama dengan Raden Patah.

Sayangnya, pendapat tersebut dipatahkan oleh sejarawan bernama Merle Calvin Ricklefs yang menyebut bahwa Cek Ko-Po dan Raden Patah merupakan orang yang berbeda.

Disebutkan pula bahwa Cek Ko-Po merupakan orang yang berasal dari Tiongkok. Kendati demikian, Merle menyatakan bahwa kemungkinan besar memang Cek Ko-Po yang mendirikan Kesultanan Demak dan memiliki putra bernama Rodim.

Sementara Tome Pures dalam bukunya yang berjudul Sume Oriental menyatakan bahwa Pate Rodim atau Rodim yang sebelumnya disebut sebagai anak dari Cek Ko-Po merupakan penguasa Demak yang wilayah kekuasannya sampai Palembang.

Saat Rodim meninggal, dirinya digantikan oleh sang adik yang bernama Trenggana.

Sumber lain juga mengatakan bahwa Raden Patah merupakan putra dari Cek Ko-Po yang mendirikan Kesultanan Demak di tahun 1500 M. Namun, hal tersebut ternyata dibantah oleh kronik Tiongkok yang berada di Kuil Sam Po Kong, Semarang.

Apakah Raden Patah Orang Tiongkok?

Dalam kronik tersebut disebutkan bahwa hanya ibunda dari Raden Patah saja yang berasal dari Tiongkok sehingga Raden Patah tidak memiliki nama marga di depan namanya seperti orang Tiongkok pada umumnya.

Lebih lanjut, nama Tiongkok Raden Patah, Jin Bun yang berarti orang kuat ternyata juga terkait dengan nama dalam bahasa Arabnya, Fatah. Bahkan, Raden Patah mendapat gelar Sultan Syah Alam Akbar al-Fatah. Nama Fatah inilah yang kemudian sampai saat ini dikenal dengan nama Patah.

Asal Usul Raden Patah

Namun, asal usul Raden Patah di dalam Babad Tanah Jawi mempunyai versi yang berbeda. Raden Patah adalah anak Raja Brawijaya dari seorang selir yang berdarah Tionghoa.

Kendati ibunya merupakan seorang Tionghoa, ternyata ibunya juga putri dari salah satu Kyai Batong atau Kyai Tan Go Hwat.

Dalam Babad Tanah Jawi, Raden Patah disebut pernah menolak saat diminta untuk menggantikan posisi Arya Damar sebagai Adipati Palembang.

Raden Patah yang ditemani oleh Raden Kusen akhirnya melarikan diri ke Pulau Jawa. Keduanya disebutkan sempat berguru pada Sunan Ampel yang berada di Surabaya.

Pembangunan Pesantren oleh Raden Patah

Selanjutnya, Raden Kusen diceritakan mengabdikan diri ke kerajaan Majapahit, sedangkan Raden Patah pergi ke Jawa Tengah dan membuka sebuah pesantren di area hutan Glagahwangi.

Kemajuan pesantren milik Raden Patah ini pun membuat Raja Brawijaya atau Bhre Kertabhumi merasa terancam jika Raden Patah akan melakukan pemberontakan.

Maka diutuslah Raden Kusen untuk memanggil Raden Patah agar menghadap ke Raja Brawijaya. Dari pertemuan tersebut, Raja Brawijaya terkesan dengan Raden Patah dan mengakuinya sebagai putranya.

Sejak saat itu, Raden Patah diangkat menjadi bupati dan mengubah nama Glagahwangi menjadi Demak.

Pemberontakan Melawan Kerajaan Majapahit

Rupanya Raden Patah berniat untuk melakukan pemberontakan terhadap kerajaan Majapahit setelah berhasil memimpin Demak. Niatan Raden Patah ini ternyata sempat dilarang oleh Sunan Ampel.

Namun, setelah Sunan Ampel meninggal, barulah Raden Patah menggempur ibukota Majapahit dan menguasai Majapahit.

Pada masa pemerintahannya, Raden Patah tidak mengubah ibukota dari Kerajaan Demak ke ibukota Majapahit. Bahkan, Raden Patah meresmikan Masjid Agung Demak pada tahun 1479 sebagai simbol dari pusat pemerintahan.

Tidak hanya itu saja, Raden Patah juga diketahui memperkenalkan penggunaan Salokantara sebagai kitab yang mengatur undang-undang kerajaan.

Toleran Terhadap Sesama

Di masa pemerintahannya, Raden Patah dikenal sebagai sosok yang sangat toleran terhadap orang lain yang memiliki agama berbeda dengannya. Bahkan, ia tidak merebut kembali kuil Sam Po Kong di Semarang yang dulunya dibangun oleh Laksamana Cheng Ho sebagai masjid.

Menurut buku Tome Pires yang berjudul Suma Oriental, Raden Patah atau yang dikenal dengan nama Pate Rodim kembali meresmikan pembangunan Masjid Agung Demak yang usai dibangun kembali di tahun 1507.

Dalam buku tersebut juga disebutkan bahwa Raden Patah meninggal pada tahun 1518 di usianya yang ke-63 tahun. Setelah itu, pemerintahan Demak dilanjutkan oleh Yat Sun atau Pati Unus. Atau, di dalam Babad Tanah Jawi disebutkan bahwa Pangeran Sabrang Lor adalah gelar Pati Unus.

Pembangunan Masjid Agung Demak

Salah satu peninggalan sejarah dari masa pemerintahan Raden Patah yang sampai saat ini bisa dijumpai adalah Masjid Agung Demak.

Selain digunakan sebagai salah satu tanda pemerintahan Kesultanan Demak, Masjid Agung Demak ini juga menjadi tempat berkumpulnya para ulama besar di zaman itu yang dikenal dengan sebutan Walisongo.

Tidak heran jika imam dari Masjid Agung Demak sendiri adalah anggota dari Walisongo. Adapun bangunan Masjid Agung Demak memiliki ciri khas yang unik dengan adanya gambar yang menyerupai bulus. Gambar bulus tersebut menjadi salah satu simbol berdirinya Masjid Agung Demak.

Pemerintahan Kesultanan Demak di Bawah Pati Unus

Pati Unus atau yang bergelar Pangeran Sabrang Lor merupakan menantu dari Raden Patah yang berhasil menyerang bangsa Portugis di Malaka di tahun 1512. Gelar Pangeran Sabrang Lor ini ternyata diberikan karena Pati Unus menyeberangi Laut Jawa menuju Malaka demi membasmi bangsa Portugis.

Sebelumnya, Pati Unus merupakan seorang bupati di Jepara yang dikenal sebagai salah satu pelabuhan terbaik di Jawa. Tidak heran jika wilayah Jepara sendiri sangat ramai pada saat itu.

Selain itu, Pati Unus juga memiliki pemerintahan yang sangat baik sehingga Raden Patah pun menikahkan salah seorang putrinya dengan Pati Unus.

Kendati nama Pati Unus dikenal dengan nama Yat Sun, rupanya Pati Unus merupakan salah seorang cucu dari mubaligh asal Persia, Syekh Khaliqul Idrus. Tidak heran jika masyarakat di Jepara lebih mengenal beliau dengan nama Adipati bin Yunus atau yang diadaptasi menjadi Pati Unus.

Sepeninggal Raden Patah, dari tahun 1518 hingga 1521 Pati Unus diangkat menjadi raja dari Kerajaan Demak. Tidak puas dengan serangan pertama, Pati Unus pun memimpin penyerangan terhadap bangsa Portugis di tahun 1521.

Sayangnya, Pati Unus gugur dalam peperangan ini sehingga tahta dari Kesultanan Demak diwariskan kepada Trenggana atau yang dikenal dengan nama Sultan Trenggana.

Sultan Trenggana Sebagai Sultan Ketiga di Demak

Setelah Pati Unus gugur dalam penyerangan bangsa Portugis di Malaka, maka Trenggana menjadi sultan Demak yang ketiga. Sultan Trenggana adalah salah satu putra dari Raden Patah dengan Ratu Asyikah, putri dari Sunan Ampel.

Awal Mula Trenggana Diangkat Menjadi Sultan

Namun, sebelum mendapatkan posisi sebagai Sultan Demak, Trenggana sempat berselisih dengan Putra Mahkota, Pangeran Surowiyoto.

Disebutkan pula setelah Pangeran Surowiyoto gugur, barulah Trenggana diangkat menjadi Raja Kerajaan Demak. Di tahun 1524, Sultan Trenggana menunjuk seorang Pemuda bernama Fatahillah sebagai Panglima Kerajaan.

Fatahillah sendiri merupakan pemuda dari Pasai yang sejak saat itu mulai memperkenalkan pemakaian gelar berdasarkan budaya Arab kepada Kerajaan Demak.

Tidak heran jika sejak saat itu Trenggana bergelar Sultan Ahamd Abdullah Arifin. Selanjutnya, Fatahillah atau yang dikenal dengan Raden Fatahillah ini berhasil menyerang Portugis di wilayah Sunda Kelapa yang kini dikenal dengan nama Jakarta.

Trenggana, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati

Tidak hanya itu saja, Sultan Trenggana mengundang Sunan Kalijaga untuk pindah ke Kerajaan Demak di tahun 1543. Sebelumnya, Sunan Kalijaga disebutkan membantu Sunan Gunung Jati untuk berdakwah di Cirebon.

Namun, Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus sempat memiliki perbedaan pendapat saat akan menentukan jatuhnya hari pertama di bulan Ramadhan.

Terkait dengan hal tersebut, ternyata Sultan Trenggana lebih memilih pendapat dari Sunan Kalijaga yang membuat Sunan Kudus mundur dari jabatannya sebagai Imam Masjid Agung Demak.

Setelah peristiwa tersebut, Sunan Kalijaga pun diangkat menjadi Imam Masjid Agung Demak dan mendapat hadiah tanah di daerah Kadilangu.

Perseteruan Antara Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus

Perseteruan yang terjadi di antara dua Sunan yang termasuk ke dalam Walisongo ini ternyata tidak hanya terjadi sekali saja. Dilansir dari laman Histori.id, perseteruan antara Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga sudah sering terjadi sejak konflik di antara Aria Penangsang dan Jaka Tingkir.

Perebutan kekuasaan yang terjadi setelah wafatnya Sultan Trenggana ini pun menimbulkan keresahan bagi rakyat di Kerajaan Demak. Melihat hal tersebut, Sunan Kudus akhirnya ditunjuk sebagai penengah yang terjadi di antara Aria Penangsang dan Jaka Tingkir.

Dilansir dari buku Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati, Sunan Kudus akhirnya mengangkat Aria Penangsang, Jaka Tingkir dan juga Sunan Prawata menjadi muridnya. Hal itu dilakukan agar masalah yang terjadi dan membuat gempar di Kerajaan Demak bisa teredam.

Sayangnya, keadaan kembali memanas ketika Jaka Tingkir dan Sunan Prawata memutuskan untuk berguru kepada Sunan Kalijaga. Sunan Kudus merasa tercoreng wibawanya dikarenakan hal tersebut. Apalagi diketahui Sunan Kalijaga merupakan saingan dari Sunan Kudus.

Akibatnya, Sunan Kudus pun secara tidak langsung mendorong Aria Penangsang, satu-satunya murid yang masih setia kepadanya untuk melakukan tindakan balas dendam kepada Jaka Tingkir dan juga Sunan Prawata.

Kisah ini juga tercantum dalam Babad Tanah Jawi di mana Aria Penangsang memerintahkan Rangkud untuk membunuh Sunan Prawata di tahun 1549.

Berakhirnya Pemerintahan Kerajaan Demak

Setelah berhasil menghabisi Sunan Prawata dan juga keluarganya, rupanya Sunan Kudus juga memberikan nasihat kepada Aria Penasang yang saat itu menjabat sebagai Raja Jipang untuk menghabisi Jaka Tingkir.

Dalam Serat Kandha disebutkan jika rencana pembunuhan terhadap Raja Pajang tersebut gagal. Mengetahui hal tersebut, akhirnya Sunan Kudus memutuskan untuk mendamaikan antara Raja Jipang dan Raja Pajang.

Sunan Kudus pun memanggil keduanya dan memberikan nasihat. Setelah terjadi perebutan kekuasaan yang cukup lama, tahta dari Kerajaan Demak pun akhirnya diberikan kepada Raja Jipang, Aria Penangsang.

Kendati demikian, ternyata pemilihan Aria Penangsang sebagai sultan Demak juga ditentang oleh sebagian besar keluarga kerajaan. Tidak lama setelah itu, Ratu Kalinyamat dan Aria Pangiri yang dibantu oleh Jaka Tingkir berhasil mengalahkan Aria Penangsang.

Di tahun 1549, anak angkat Jaka Tingkir yang bernama Dana Sutawijaya berhasil menghabisi nyawa dari Aria Penangsang.

Sejak saat itu, akhirnya wilayah dari Kerajaan Demak dipindahkan dari Jipang ke Pajang. Perpindahan kekuasaan ini juga menjadi awal mula berakhirnya masa pemerintahan Kesultanan Demak dan menjadi awal dari kerajaan Pajang.

Peninggalan Sejarah dari Kerajaan Demak

Sebagai pelopor dari berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, tidak heran jika Kerajaan Demak ini memiliki banyak bukti peninggalan sejarah. Bahkan, bukti peninggalan sejarah tersebut bisa dilihat dan dikunjungi sampai saat ini. Adapun peninggalan sejarah dari kerajaan Islam ini, antara lain:

Masjid Agung Demak

Masjid Agung Demak merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia yang berdiri di masa pemerintahan Kerajaan Demak. Masjid Agung Demak sendiri berada di daerah Kauman, Demak, Jawa Tengah. Masjid Agung Demak sendiri didirikan oleh Raden Patah.

Tidak hanya menjadi salah satu simbol dari Kerajaan Demak, Masjid Agung Demak merupakan tempat yang digunakan oleh Walisongo sebagai tempat pembelajaran bagi para ulama. Khususnya dalam menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa.

Berbeda dari bangunan masjid pada umumnya yang ada di Indonesia Masjid Agung Demak memiliki gaya yang kental akan budaya Jawa.

Tidak heran jika Masjid Agung Demak sekilas terlihat seperti candi. Sebagai tambahan informasi, interior dari Masjid Agung Demak sendiri menggunakan kayu yang memiliki ukiran khas Jawa.

Saat ini Masjid Agung Demak digunakan sebagai salah satu tempat yang paling banyak dikunjungi atau diziarahi oleh umat muslim di Indonesia. Bagi kamu yang ingin mengunjungi Masjid Agung Demak juga dapat mengunjungi bangunan museum yang berada di sekitar masjid.

Di dalam museum tersebut terdapat berbagai hal yang merangkum dan memperlihatkan sejarah dari kerajaan serta Masjid Agung Demak.

Makam Raden Patah

Bukti sejarah dari Kerajaan Demak lainnya adalah adanya makam Raden Patah. Makam Raden Patah sendiri berada di sekitar Masjid Agung Demak. Raden Patah merupakan pendiri dari Kerajaan Demak yang merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa.

Makam Sunan Kalijaga

Selain makam dari Raden Patah, kamu juga dapat menemukan peninggalan Kerajaan Demak yang lain. Salah satunya adalah makam dari Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga merupakan salah satu sosok yang erat kaitanya dengan Kerajaan Demak.

Sunan Kalijaga juga menjadi salah satu anggota dari Wali Songo yang terkenal di kalangan muslim Indonesia. Lokasi dari makam Sunan Kalijaga sendiri berada di sekitar Masjid Agung Demak. Lokasi tersebut juga menandakan bahwa Sunan Kalijaga memiliki kedudukan yang tinggi.

Bahkan disebut-sebut bahwa Sunan Kalijaga memiliki kedudukan yang sama seperti kepala daerah yang menguasai beberapa wilayah di Kerajaan Demak.

Pintu Bledek

Peninggalan sejarah lainnya dari Kerajaan Demak adalah pintu bledek. Pintu bledek atau yang dikenal juga dengan Lawang Bledek merupakan salah satu pintu yang berada di area Masjid Agung Demak. Pintu berbahan kayu jati ini memiliki ornamen yang cukup unik.

Di pintu ini terdapat ukiran dari sebuah makhluk yang disimbolkan sebagai makhluk penangkap petir. Cerita tentang Bledek atau Petir dalam bahasa Jawa merupakan cerita yang berasal dari hikayat Ki Ageng Selo.

Diceritakan bahwa Bledek merupakan salah satu makhluk penangkap petir yang kerap mengganggu di wilayah Kerajaan Demak.

Soko Guru

Peninggalan lainnya dari Kerajaan Demak adalah soko guru. Soko guru merupakan 4 buah tiang penyangga yang berada di Masjid Agung Demak. Soko guru sendiri merupakan tiang penyangga yang berbahan dari kayu.

Usut punya usut, soko guru merupakan tiang penyangga Masjid Agung Demak yang dibuat oleh Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, dan Sunan Kalijaga.

Adapun lambang dari soko guru sendiri merupakan simbolisasi dari persatuan dan kekuatan. Soko guru bisa ditemukan pada bagian tengah Masjid Agung Demak.

Dampar Kencana

Peninggalan sejarah lainnya dari Kerajaan Demak adalah dampar kencana. Dampar kencana merupakan singgasana raja yang berada di dalam Masjid Agung Demak. Pada masa itu dampar kencana digunakan oleh pemimpin atau raja Kerajaan Demak untuk khotbah mimbar.

Namun, saat ini dampar kencana bisa kamu jumpai di museum yang berada di areal Masjid Agung Demak.

Mihrab

Selain dampar kencana yang digunakan sebagai singgasana Raja Demak saat memimpin khotbah mimbar di Masjid Agung Demak, terdapat pula peninggalan lainnya. Ialah Mihrab yang memiliki gambar hewan Bulus atau kura-kura. Uniknya hewan Bulus tersebut ternyata juga dijumpai pada prasasti Condro sengkolo

Penutup

Wah, siapa yang menyangka jika berdirinya Kerajaan Demak ternyata juga berperan besar dalam penyebaran Islam yang ada di Pulau Jawa.

Bahkan, Kerajaan Demak yang dipimpin pertama kali oleh Raden Patah juga berkaitan dengan Walisongo yang dikenal sebagai penyebar agama Islam yang cinta damai.

Source:

https://histori.id/kerajaan-demak/#:~:text=Kesultanan%20Demak%20atau%20Kerajaan%20Demak,yang%20mulai%20mengalami%20masa%20kemunduran.

https://historia.id/agama/articles/legenda-kota-suci-demak-DB8QG

https://historia.id/kuno/articles/benarkah-kesultanan-demak-bagian-dari-turki-usmani-Pzd5y

https://berkalaarkeologi.kemdikbud.go.id/index.php/berkalaarkeologi/article/download/670/621/3251

https://sejarahlengkap.com/indonesia/kerajaan/silsilah-kerajaan-demak#:~:text=Silsilah%20kerajaan%20Demak%20dimulai%20dari%20pendirinya%2C%20yaitu%20Raden%20Patah.&text=Raden%20Patah%20adalah%20putra%20dari,Raden%20Kanduwuran%20dan%20Raden%20Pamekas.

https://historia.id/kuno/articles/dua-wali-dalam-konflik-demak-vo1V1

http://pariwisata.demakkab.go.id/?page_id=370

https://www.nu.or.id/post/read/114576/relasi-dakwah-islam-wali-songo-dengan-islam-nusantara

https://www.nu.or.id/post/read/114576/relasi-dakwah-islam-wali-songo-dengan-islam-nusantara

https://news.detik.com/berita/d-4710982/selain-ali-imran-yang-dikutip-putin-ini-ayat-alquran-tentang-perdamaian

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *