Aqiqah

Kita bisa meyakini bersama bahwa alam kehidupan dunia yang fana ini akan mencapai puncak akhir. Sebelum puncak akhir kehidupan itu, ada dua hal yang terjadi yaitu kelahiran dan kematian.

Kematian sesorang yang dicintai merupakan ujian bagi orang yang mencintai, agama memerintahkan untuknya bersabar, yang dengan kesabaran itu akan mendapatkan nilai di sisi Allah Swt

Begitu juga kelahiran seseorang yang dicintai merupakan kenikmatan bagi orang yang mencitai, agama memerintahkan untuknya bersyukur, yang dengan syukur itu akan mendapatkan nilai di sisi Allah Swt.

Nah, bagaimana cara bersyukur di saat lahirnya anak yang kita cintai

Di antaranya adalah dengan melaksanakan anjuran agama yaitu aqiqah.

Nah, di artikel kali ini hasana. id akan mengupas tentang aqiqah. Artikel ini lumayan panjang, tetapi komplet kok, jadi baca sampai tuntas, ya!

Apa itu Aqiqah?

Aqiqah berasal dari bahasa Arab dari kata ‘aqqa ya’uqqu/ya’iqqu artinya membelah, memotong.

Arti dari kata memotong disini ada dua: Pertama, arti dari kata memotong adalah menyembelih hewan aqiqah.

Kedua, arti dari kata memotong adalah mencukur rambut bayi yang diaqiqah.

Aqiqah menurut bahasa adalah satu nama bagi rambut bayi di ketika lahir, dan ada juga yang mengatakan aqiqah adalah nama bagi hewan yang disembelih.

Adapun aqiqah menurut syara’ adalah menyembelih hewan karena lahirnya anak baik laki-laki maupun perempuan pada hari ketujuh kelahirannya.[1]

Dalil Aqiqah

Di antara dalil tentang aqiqah yaitu sabda Rasulullah Saw:

الغلام مرتهن بعقيقته تذبح عنه يوم السابع ويحلق رءسه ويسم رواه الترمذى

Artinya: Seorang bayi tergadaikan dengan aqiqahnya disembelih aqiqah untuknya pada hari ketujuh dan dicukur kepalanya, dan diberi nama. (HR. Tirmizi)

Maksud dari kalimat yang ada pada hadis di atas ‘seorang bayi tergadaikan dengan aqiqahnya’’ Imam bin Hambal menafsirkan bahwa seorang bayi tidak bisa memberi syafaat kepada orang tuanya pada hari kiamat, jika orang tuanya tidak mengaqiqahkannya.[2]

Hukum Aqiqah

Hukum aqiqah pada dasarnya adalah sunnah muakkad artinya sunnah yang dikuatkan, Tuntutan ini ditujukan kepada orang yang wajib menanggung nafkah yaitu asal (bapak), jika ia mempunyai kemudahan untuk melaksanakannya.

Tidak ada tuntutan bagi asal yang kekurangan ekonomi. Adapun tinjauan kekurangan itu adalah dengan masa nifas (darah yang keluar sesudah melahirkan sang bayi) yang paling lama, yaitu enam puluh hari.

Artinya jika ia dalam keadaan kekurangan selama masa sebanyak nifas (enam puluh hari), maka gugur tuntutan terhadapnya walaupun ia berkemudahan setelah melewati masa itu.

Namun jika ia berkekurangan dalam masa nifas dan memperoleh kemudahan sebelum melewati masa sebanyak nifas, maka tidak gugur tuntutan terhadapnya, artinya tetap dituntutkan sampai sang bayi memasuki usia balig. [3]

Maksud dengan mempunyai kemudahan di sini, adalah kemudahan yang ditinjau pada zakat fitrah.

Artinya Tuntutan pelaksanaan aqiqah kepada asal (bapak) jika ia mempunyai harta yang lebih untuk memenuhi kebutuhan pokok dirinya dan orang-orang yang wajib ia nafkahi pada sehari dan semalam, sebagaimana pada kewajiban zakat firah. [4]

Kebutuhan pokok itu termasuk makanan pokok, termasuk pakaian, tempat tinggal yang layak, pelayan, yang mana semua itu ia butuhkan pada permulaan, dan termasuk melunasi semua hutangnya. [5]

Namun jika masih ada pakaian, tempat tinggal yang layak untuknya, tidak membutuhkan pelayan, dan tidak memiliki hutang, maka tinjauannya adalah makanan pokok saja.

Maka jika ia memiliki harta yang lebih dari makanan pokok pada sehari dan semalam, maka disunnahkan dengan kesunahan yang kuat kepadanya untuk melaksanakan aqiqah.

Namun jika ia tidak memiliki harta yang lebih dari itu, maka ia gugur dari tuntutan tersebut, artinya tidak akan dituntutkan kepadanya di akhirat kelak walaupun tidak diazab, karena bukan tuttutan wajib.

Waktu Aqiqah

Waktu aqiqah disunnahkan pada hari ketujuh dari kelahirannya sang bayi. Hitungan hari ketujuh itu termasuk hari pertama kelahiran sang bayi.

Namun jika orang tuanya tidak sempat melaksanakan aqiqah di hari ketujuh karena ada kesibukan misalnya, maka boleh dilaksanakan pada hari-hari berikutnya selama bayi itu belum mencapai usia balig.

Seandainya sang bayi meninggal sebelum hari ketujuh, maka kesunnahan melaksanakan aqiqah masih tetap, begitu juga tidak luput kesunnahan aqiqah karena berlalu hari ketujuh, selama anak itu belum memasuki usia balig.

Waktu yang disunnahkan meyembelih hewan aqiqah adalah di saat mulai terbit matahari, dan disunnahkan bagi orang yang menyembelih membaca doa berikut:

, باسم الله والله أكبر اللهم هذه منك وإليك اللهم هذه عقيقة فلان

Latin: Bismillaahi wallaahu akbar Allaahumma hazihi minka wailaika Allaahumma hazihi ‘aqiiqatu fulanin

Artinya: Dengan nama Allah, dan Allah Maha Besar, ya Allah ini dari engkau dan kepada engkau, ya Allah ini aqiqah fulan.

Semua biaya pelaksanaan aqiqah dibebankan kepada orang yang wajib menafkahi anak-anaknya (bapak), tidak boleh diambil dari harta orang lain baik itu istri atau anaknya walaupun anaknya itu mempunyai harta.

Maka jika sang bapak dalam pelaksanaan aqiqah mengambil harta anaknya misalnya, maka sang bapak wajib membayarnya, karena aqiqah adalah sunat yang dituntutkan kepada bapaknya bukan kepada anaknya, selama anaknya itu belum memasuki usia balig. [6]

Adapun anak zina semua biaya pelaksanaan aqiqahnya ditanggung oleh ibunya dengan cara sembunyi supaya aibnya tidak terbuka. [7]

Syarat dan Ketentuan Aqiqah

Ummat Islam zaman modern sekarang, dalam pelaksanaan aqiqahnya banyak yang sudah melupakan ketentuan-ketentuan aqiqah yang dianjurkan dalam syariat, mungkin karena minimnya ilmu pengetahuan agama atau karena pengaruh perkembangan zaman

Kenapa tidak?

Kebanyakan ummat zaman modern sekarang ini mereka melaksanakan aqiqah dengan cara mengundang teman-temannya untuk berkunjung ke rumahnya dan teman-temannya pun membawa berbagai macam bingkisan.

Padahal Kalau kita kaji dalam kitab-kitab yang mu’tabarah dalam mazhab Syafi’i khususnya, sebagaimana penjelasan dari salah seorang ulama Syafi’iyyah yaitu Syaikh Muhammad bin Qasim al-Ghazzi dalam kitabnya Fathul Qarib, beliau menerangkan bahwa:

‘’Aqiqah dilaksanakan dengan cara dihadiahkan (dibawakan) masakan daging tersebut kepada kaum faqir miskin, dan hendaknya tidak menjadikan aqiqah sebagai acara undangan’’

Dari penjelasan beliau dapat diambil kesimpulan bahwa pelaksanaan aqiqah dengan cara mengundang tetamu ke rumah jauh berbeda dengan anjuran dalam syariat, apalagi jika tetamunya membawa berbagai macam bingkisan,

Memangnya ada apa dengan bingkisan?

Sudah menjadi suatu kebiasaan di masyarakat di mana tetamu merasa tidak nyaman jika datang ke tempat acara kenduri tanpa membawa bingkisan.

Sehingga siapa saja yang menerima undangan jauh-jauh hari sebelum acara kenduri itu tiba mereka sudah mempersiapkan bingkisan-bingkisannya. Bingkisan-bingkisan itupun sesuai dengan acara kenduri itu sendiri.

Kalau misalnya acara kenduri berupa pesta perkawinan, maka biasanya bingkisan berupa baju koko, sarung, selimut wol, dan sebagainya.

Kalau misalnya acara kenduri berupa aqiqah, maka biasanya bingkisan berupa perlengkapan bayi, boneka, baju bayi, dan lain sebagainya.

Maka yang demikian itu semua dapat merepotkan bahkan memberatkan tetamu, kalau tetamunya orang yang ekonominya cukup wajar-wajar saja, karena bagi mereka itu hal yang kecil.

Namun kalau tetamunya kaum fakir miskin, maka bagi mereka itu termasuk hal yang merepotkan bahkan memberatkan, padahal anjuran pelaksanaan aqiqah adalah untuk kaum fakir miskin, agar mereka merasa terbantu dan bisa merasakan kebahagian

Namun kalau pelaksanaan aqiqah sepeti ini justru bukan menyenangkan malah menyusahkan mereka.

Oleh sebab itu, seyogianya pelaksanaan aqiqah dilakukan sebagaimana anjuran agama Islam yaitu dengan membawakan daging yang telah dimasak itu ke rumah-rumah kaum fakir miskin, bukan dengan mengundang mereka ke rumah kita.

Dengan cara seperti ini maka tidak akan merepotkan mereka kaum fakir miskin dan lebih besar ganjarannya di sisi Allah Yang Maha Kuasa.

Selain ketentuan aqiqah yang telah disebutkan di atas, ada lagi ketentuan lainnya, di antaranya adalah:

  1. Disunnahkan memasak daging aqiqah dengan bumbu yang manis seperti kismis, dan madu,

Tau gak kamu kenapa disunnahkan dengan menggunakan bumbu yang manis ?

Ada dua alasannya:

  1. karena Rasulullah mencintai makanan yang manis-manis

عن عائشة رضي الله عنها قالت كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يحب الحلواء والعسل

Artinya: “Dari Aisyah r.a beliau berkata adalah Rasulullah Saw menyukai makanan manis-manis dan madu”

  1. Untuk mengambil sempena supaya si bayi kelak menjadi anak yang manis akhlaknya
  2. Disunnahkan untuk tidak dipecahkan tulang-tulang daging aqiqah, tetapi dipotong tiap-tiap anggota tubuh daging tersebut pada persendiannya, karena untuk mengambil sempena supaya selamat anggota tubuh sang bayi dari cedera

Namun jika daging tersebut dipecahkan, maka tidak sampai kepada derajat makruh, tatapi khilaf aula (sebalik lebih utama)

Tentang syarat-syarat hewan yang digunakan untuk aqiqah yaitu sama halnya dengan syarat-syarat hewan yang digunakann untuk qurban, diantaranya sebagai berikut:

  1. Jenis hewan:

– Domba jantan yang berumur satu tahun atau yang telah tanggal giginya, sekalipun belum sempurna satu tahun

– Kambing jantan yang telah berumur dua tahun,

– Lembu jantan yang telah berumur dua tahun

– Unta yang telah berumur lima tahun [8]

B. Kriteria hewan:

– Tidak buta/rusak matanya yang nampak jelas rusaknya

– Tidak pincang yang nampak jelas pincangnya

– Tdak sakit yang nampak jelas sakitnya

– Tidak kurus yang hilang sumsumnya karena kekurusannya

-Tidak putus seluruh ekor atau sebagiannya

– Tidak hewan yang tercipta tanpa telinga

– Tidak putus seluruh telinga atau sebagiannya

– Tidak dalam keadaan hamil [9]

Adapun hewan yang dikebiri dan hewan yang pecah tanduknya, maka cukup untuk diaqiqah.[10]

Pihak yang melaksanakan aqiqah boleh memakan daging aqiqah jika aqiqahnya sunat (bukan nazar), tetapi tidak diperbolehkan menjual apapun dari daging aqiqah termasuk kulitnya

Namun jika ia bernazar untuk melaksanakan aqiqah maka aqiqah tersebut menjadi wajib. Jika aqiqah sudah menjadi wajib, maka tidak diperbolehkan lagi memakan daging aqiqah tersebut meskipun sedikit seperti halnya pada qurban.

Adapun syarat hewan yang disembelihkan untuk seorang bayi laki-laki adalah dua ekor kambing dan cukup sebagai gantiannya dengan 2/7 lembu. Sedangkan untuk seorang bayi perempuan adalah sekor kambing, berdasarkan hadis Rasulullah Saw:

عن عاءشة رضى الله عنها قالت امرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم ان نعق عن الغلام بشاتين متكافءتين وعن الجارية بشاة رواه الترمذى

Artinya: Diriwayatkan dari Aisyah ra beliau berkata: Rasulullah Saw memerintahkan kepada kami bahwa kami mengaqiqah untuk seorang bayi laki-laki dua ekor kambing yang setara dan untuk seorang bayi perempuan satu ekor kambing. (HR. Tirmizi)

Namun bagaiman jika yang lahir adalah seorang bayi khunsa?

Sebagian para ulama menjelaskan bahwa jika yang lahir adalah seorang bayi khunsa, maka ada dua kemungkina, boleh dihubungkan kepada bayi laki-laki atau kepada bayi perempuan.

Menurut pendapat yang kuat seorang bayi khunsa tersebut dihubungkan kepada bayi laki-laki karena untuk kehati-hatian (ihtiath), sehingga disembelihkan untuknya dua ekor kambing.

Hewan yang di aqiqah akan bertambah sebab bertambah kelahiran, misalnya setelah lahir seorang bayi laki-laki beberapa menit kemudian lahir lagi seoarang bayi perempuan, maka jumlah hewan yang diaqiqah adalah tiga ekor kambing, begitulah seterusnya.

Namun jika disembelihkan untuk seorang bayi laki-laki seokor kambing atau 1/7 lembu maka sudah tertunai asal sunat, sebagaiman hadis Rasulullah Saw:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا

Artinya: Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Saw mengaqiqahi untuk Hasan dan Husain dengan satu kambing dan satu kambing.” (HR Abu Dawud).

Berdasarkan hadis tersebut ulama menyimpulkan bahwa tertunai asal sunat jika disembelih satu ekor kambing untuk seorang bayi laki-laki, karena dua ekor kambing untuk seorang bayi laki-laki maksudnya adalah untuk kesempurnaan.

Namun salah seorang ulama Syafi’iyyah yang bernama Syekh Syarqawi dalam kitabnya Hasyiyatus Syarqawi ala Tuhfatit Thullab bi Syarhit Tahrir, menerangkan bahwa:

Menyembelih dua ekor kambing untuk seorang bayi laki-laki adalah serendah-rendah sempurna. Sedangkan yang sempurna adalah dengan menyembelih tujuh ekor kambing bahkan lebih tanpa ada batasan.

Selain disunnahkan menyembelih hewan pada hari ketujuh kelahiran bayi, juga disunnahkan pada hari itu memberikan nama untuk sang bayi, karena baginda Rasulullah Saw memerintahkan untuk memberikan nama kepada sang bayi pada hari ketujuh kelahirannya.

Walaupun demikian, tidak mengapa jika diberikan nama kepada sang bayi pada selain hari ketujuh kelahirannya, apakah sebelum hari ketujuh atau sesudahnya hari ketujuh.

Bahkan Imam Nawawi menyebutkan dalam kitabnya yaitu al-Azkar bahwa kesunnahan memberikan nama kepada sang bayi yaitu pada hari ketujuh maupun pada hari kelahiran sang bayi.

Disunnahkan untuk memberikan nama kepada sang bayi walaupun sang bayi meninggal sebelum hari ketujuh, bahkan disunnahkan juga untuk memberikan nama kepada bayi yang gugur yang telah sampai masa ditiup roh.

Nama-nama yang utama untuk diberikan terhadap sang bayi di antaranya adalah:

  • A’bdullah, artinya hamba Allah
  • A’bdur Rahman, artinya hamba Yang Maha Pengasih (Allah)
  • A’bdur Rauf, artinya hamba Yang Maha Pengasih (Allah)
  • dan nama-nama lain yang menunjuki kepada penghambaan diri kepada Allah Swt

Di antara nama-nama di atas ada nama lain yang banyak keutamaannya yaitu Muhammad, oleh sebab itu, berikanlah nama terhadap sang bayi dengan nama muhammad, boleh menambahkan dengan nama lain, misalnya:

  • Muhammad Faizan, artinya yang terpuji lagi yang murah hati,
  • Muhammad Kamran, artinya yang terpuji lagi beruntung, sukses
  • Muhammad Zain, artinya yang terpuji lagi tampan
  • Dan nama-nama lain yang di awali dengan Muhammad

Ada juga nama-nama yang haram untuk diberikan terhadap sang bayi, di antaranya adalah:

  • Malikul Muluk, artinya raja diraja
  • Qadhil Qudhah, artinya hakim segala hakim
  • Hakimul Hukkam, artinya hakim segala hakim
  • ‘Abdun Nabi, artinya hamba nabi
  • Jarullah, artinya tetangga Allah
  • Rafiqullah, artinya teman Allah
  • dan lain-lain yang semisal dengan nama malikul muluk yaitu nama-nama yang tidak layak pada makhluk, dan nama abdun yang dinisbahkan kepada makhluk seperti ‘abdun nabi di atas, karena dapat mengesankan kepada kesyirikan

Sayyid Abu Bakar Syatha dalam kitabnya Ianutu alThalibin menerangkan tentang penamaan dengan ‘abdun nabi, beliau menjelaskan bahwa:

Haram memberikan nama dengan ‘abdun nabi adalah menurut pendapat kuat versi Ibnu Hajar, sedangkan menurut pendapat kuat versi Imam Ramli adalah boleh (artinya makruh), apabila tidak dimaksudkan penghambaan yang sebenarnya.

Disunnahkan mencukur seluruh rambut sang bayi termasuk bayi perempuan pada hari ketujuh, dan disunnahkan juga bersedekah emas atau perak seberat rambut itu.

Amalan-amalan yang disunnahkan di saat bayi baru lahir:

  1. Disunnahkan azan pada telinga kanan dan iqamah pada telinga kiri

Hikmahnya adalah agar sang bayi selamat dari ganguan jin, dan untuk memperdengarkan kalimat tauhid kepada sang bayi sebelum sang bayi mendengar kalimat-kalimat lain,

  1. Disunnahkan membaca surat Al-Ikhlas dan membaca ayat ini pada telinga kanan sang bayi:

وَإِنّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

Latin: Wa innî u’îdzu bika wadzurriyyatahâ minasysyaithânir rajîm

Artinya: “ Dan sesungguhnya aku meminta perlindungan untuknya dan keturunannya kepada Mu dari setan yang terkutuk.”(QS. Ali Imran, ayat 36)

  1. Disunnahkan bagi laki-laki jika tidak ada maka perempuan dari ahli kebaikan untuk menyuapkan buah kurma kepada sang bayi, jika tidak ada kurma maka boleh dengan apa saja yang manis yang tidak terbuat melaui proses api. [11]

Amalan-amalan yang dibacakan untuk perempuan yang sedang sakit menjelang melahirkan

  1. Disunnahkan membaca ayat kursi
  2. Dibacakan surat Al-A’raf, ayat 54
  3. Dibaca surat muawwizatain, yaitu surat Al-Falaq dan An-Nas
  4. Dan memperbanyak membaca doa kemudahan, yaitu:

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الْعَظِيمُ الْحَلِيمُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ رَبُّ السَّمَوَاتِ، وَرَبُّ الْأَرْضِ، وَرَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ

Latin: Laa ilaaha illallahul A’zhiimul Haliim, laa ilaaha illallahu Rabbul a’rsyil a’zhiim, laa ilaaha illaullahu Rabbus samawaati, wa Rabbul ardhi, wa Rabbul a’rsyil kariim

Artinya: Tiada tuhan kecuali Allah Yang Maha Agung lagi Maha Memaafkan, tiada tuhan kecuali Allah pemilik arasy yang besar, tiada tuhan kecuali Allah pemilik segala langit dan bumi, dan pemilik arasy yang mulia.

  1. Disunnahkan juga memperbanyak membaca doa Nabi Yunus, yaitu:

لَا إِلَهَ إِلَا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمٍيْنَ

Latin: Laa ilaaha illa anta subhaanaka innii kuntu minazh-zhoolimiin”

Artinya : “Tidak ada Tuhan kecuali Engkau. Maha Suci Engkau, Sesungguhnya aku termasuk diantara orang-orang yang berbuat dhalim.” [12]

Hikmah Aqiqah

Hikmah yang terkandung di balik aqiqah adalah untuk menampakkan kegembiraan, kenikmatan, dan untuk menyebarkan atau mempublikasikan keturunan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah Yang Maha Kuasa atas karunia-Nya.

Hukum Aqiqah Setelah Dewasa

Tuntutan pelaksanaan aqiqah hanya ditujukan kepada asal (bapak), jika ia memiliki kemudahan berdasarkan ketentuan di atas, selama sang anak belum mencapai usia balig.

Apabila sang anak sudah mencapai usia balig maka gugurlah tuntutan kepada asal (bapak) karena sang anak sudah dianggap mandiri (istiqlal) dari bapaknya.

Namun masih dituntutkan di akhirat walaupun tidak diazab karena bukan termasuk tuntutan wajib tetapi tuntutan sunat, jika asal (bapak) tidak melaksanakannya, dan mempunyai kemudahan sebagaimana ketentuan-ketentuan yang telah dijelaskan di atas.

Apabila sang anak telah memasuki usia balig namun walinya tidak sempat mengaqiqahkannya padahal ia memiliki kemudahan sebagaimana ketentuan di atas.

Maka disunnahkan terhadap sang anak untuk mengaqiqahkan dirinya, maka di saat itu gugurlah tuntutan terhadap walinya.[13] Artinya terlepas tuntutan terhadap wali di akhirat.

Ataupun boleh dengan cara walinya memberikan uang atau kambing misalnya, kepada sang anak yang sudah balig tersebut agar sang anak melaksanakan aqiqah untuk dirinya, maka di saat anak itu mengaqiqahkan dirinya maka terlepaslah tuntutan terhadap walinya

Adapun jika wali (bapak) tidak sempat mengaqiqahkan anaknya karena tidak memiliki kemudahan sebagaimana ketentuan di atas, maka tidak dituntutkan terhadapnya.

Adapun terhadap sang anak di saat ia sudah balig, maka agama memberikan pilihan kepadanya di antara boleh melaksanakan aqiqah untuk dirinya dan juga boleh untuk tidak melaksanakannya

Namun alangkah bagusnya ia melaksanakan aqiqah untuk dirinya, karena untuk menempel aqiqahnya yang tidak sempat dilakasanakannya dulu. [14]

Penutup

Hanya sekian ulasan dari saya buat kamu semoga bermanfaat bagi saya dan kamu dan semoga menjadi bekal di akhirat kelak. Amiin ya Rabbal ‘alamin

  1. Abu Syuja’ Ahmad bin Husain al-Ashfihani, Matan Ghayah wa Taqrib, dalam Fathul Qarib, Jld II, Cet (Semarang: Toha Putra, t.t), h. 303.
  2. Syekh Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri, Jld II, Cet, (Semarang Toha Putra, tt), h. 302.
  3. Sayyid Abu bakr Syatha, Ianatu al-Thalibin, Jld II, Cet, (Semarang: Hikmah Keluarga, tt), h. 336.
  4. Sayyid Abu bakr Syatha, Ianatu al-Thalibin, Jld II,,, h. 336.
  5. Sekh Zakaria al-Anshari, Fathul Wahab bi Syarh al- Minhaj al-Thullab, Jld I, h. 200
  6. Sayyid Abu bakr Syatha, Ianatu al-Thalibin, Jld II, Cet, (Semarang: Hikmah Keluarga, tt), h. 335
  7. Syekh Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri, Jld II, Cet, (Semarang: Toha Putra, tt), h. 302-304.
  8. Syekh Zainuddin al-Malibari, Fathul Mui’n, cet (Semarang: Hikmah Keluarga, t.t), h. 331.
  9. Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazzi, Fathul Qarib, Jld II, Cet (Semarang: Toha Putra, t.t), h. 304.
  10. Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazzi, Fathul Qarib, Jld II,…h. 299.
  11. Syekh Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’in, Jld II, Cet (Semarang: Hikmah Keluarga, t.t), h. 338.
  12. Sayyid Abu Bakr Syatha, Ianatu al-Thalibin, Jld II, (Semarang: Hikmah Keluarga, t.t), h. 338-339.
  13. Sayyid Abu Bakr Syatha, Ianatu al-Thalibin, Jld II…, h. 336.
  14. Syekh Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri, Jld II, Cet (Semarang: Toha Putra, tt), h. 303.