Aqidah Ahlussunnah Waljama’ah Asy’ariyah

Dalam perkembangan penyebarannya, Mazhab Asy’ari telah menjadi kiblat dalam ilmu kalam/ilmu teologi. Pemahaman Mazhab Ays’ari tersebar luas di seluruh belahan dunia yang dianut oleh mayoritas muslim berfaham ahlussunnah wal jama’ah yang sebenarnya.

Gagasan yang terkandung di dalamnya telah diuji oleh sekian banyak ulama dari masa ke masa. Apa yang ada dalam mazhab ini tentu hanya diuji oleh para ulama yang memilki ketajaman pikiran, naluri yang kuat, hati yang bersih serta ketekunan belajar dan mengkaji. Sehingga tidak ada keraguan lagi dalam menganut mazhab Asy’ari.

Meski demikian, tidak semua kalangan dapat mencerna apa yang ada dalam mazhab ini, sehingga banyak muncul kecurigaan yang berlebihan, bahkan memvonis sesat, keluar dari Alquran, sunnah dan manhaj ulama salaf terdahulu.

Lantas dengan kebodohan yang kita miliki, apakah kita berhak memvonis sesat mazhab yang agung ini tanpa mengenalnya lebih dalam?

Apa itu aqidah ahlussunnah asy’ariyah

Penamaan mazhab ini merupakan nisbat kepada pendirinya, yaitu Abu al Hasan al Asy’ari.

Mazhab asy’ari lahir dari kontek sosial yang berlaku pada masanya sehingga menjadi sebuah latar belakang yang patut kita teropong ke belakang.

Imam al Asy’ari hidup pada pertengan kedua abad ketiga dan awal abad keempat, pada masa itut islam sedang dalam puncak kekuasaan tertinggi, dimana terjadi kebebasan dalam berfikir. Akibatnya banyak orang dengan bebas dan berhak mengeluarkan pandangan serta membawa bukti dan argumentasi masing-masing.

Meskipun begitu, ada implikasi yang membuat setiap aliran yang dominan menggunakan pemikiran semata berkembang dan mudah mendapatkan pengikut. Aliran menyimpang pada masa itu adalah aliran mu’tazilah.

Pada awalnya paham mu’tazilah dapat disingkirkan melalui kebijakan politik khalifah Al Mutawakkil (232-247 H/846-861M). khalifah saat itu membatalkan keputusan tiga khalifah sebelumnya yang mendukung paham mu’tazilah.

Namun pada akhirnya paham mu’tazilah kembali kuat setelah wafatnya khalifah Mutawakkil. Penyebarannya semakin luas hingga merebak ke daerah timur. Oleh pendirinya Washil bin ‘Atha’ mengutus muridnya Hafsh bin Salim ke negeri Turmudzi. Tak hanya itu, ajaran mu’tazilah juga diikuti oleh penganut paham Syi’ah.

Meluasnya aliran ini juga didukung oleh aliran pecahan lain seperti khawarij, syi’ah imamiyah, syi’ah zaidiyah dan lainnya.

Adanya fenomena ini tentu telah merusak kemurnian ajaran islam yang telah ada sejak masa Rasulullah, dimana terjadi kekeliruan dalam mengenal Allah.

Sepetinya Allah telah mempersiakan tokoh-tokoh yang mengembalikan kemunian ajaran tauhid yang merujuk kepada ajaran salafus shalih. Tokoh tersebut adalah Abu al Hasan al Asy’ari yang merintis sebuah mazhab dengan berdasarkan alquran dan hadis, dengan meletakkan dasar dan kaedah yang kokoh dalam akidah.

Selain Imam Asy’ari juga ada ulama hebat yang semasa dengan beliau yang berada di belahan bumi lain, mereka tidak saling mengenal, akan tetapi memilki satu pemahaman yang benar dalam berakidah, yaitu al imam Abu Mansur al Maturidi al Hanafi(W.333H/944M) tinggal di Samarkan, Uzbekistan dan Imam Abu Ja’far al Thantawi al Hanafi di Mesir.

Kedua imam ini melakukan hal serupa yang dilakukan Imam Asy’ari untuk mengebalikan kemurnian ajaran islam dalam konteks teologi.

Mengenal Abu al Hasan al Asy’ari (260-330H/873-947M)

Nama lengkapnya Abu al Hasan Ali bin Ismail bin Abi Bisyr Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah Amir bin Abu Musa Abdullah bin Qais al Asy’ari.

Nama al Asy’ari adalah penyebutan dari nama pemuda suku Qathan yang dijadikan nama suku di Yaman.

Abu al Hasan al Asy’ari dilahirkan di kota Bashrah pada tahun 260H. beliau lahir dan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang taat dan berpegang teguh pada paham Ahlussunnah wal jamaah.

Ayah imam asy’ari pada masa itu adalah ulama hadis besar, Ini terbukti menjelang wafat dengan wasiat agar beliau Imam Asya’ari diasuh oleh Imam Alhafdz Zakaria Al-saji. Seorang pakar hadis dan fiqih Syafi’i.

Selain kepada Al saji, Imam Asy’ari juga berguru kepada ulama hadis lain seperti Abdurrahman al Khalaf al Dhabbi, Sahal bin Nuh al bashri, Muhammad bin Ya’qub al Maqburi dan ulama hadis lainnya.

Sayangnya, ketika beranjak usia sepuluh tahun, setelah wafat ayahnya Imam Asy’ari diasuh oleh seorang tokoh mu’tazilah yang merubah jalan hidupnya. Dimana Abu Ali al Jubba’I menikahi ibunya dan menjadi ayah tiri.

Sejak itu Imam Asya’ari berfaham mu’tazilah hingga usia 40 tahun.

Aqidah yang benar adalah aqidah ahlussunnah asy’ariyah / maturidiyah

Mendengar istilah asy’ariyah dan maturidiyah membuat sebagian kelompok merasa terganggu, risih dan merasa lain. Seakan-akan telah muncul sebuah mazhab baru yang berbeda dari ulama salaf terdahulu.

Kehadiran dua ulama besar ini membawa argumen-argumen yang dapat mematahkan pemahaman sesat dalam agama, sehingga membuat para ahli bid’ah tidak dapat berbicara apapun. Kemasyhuran dua ulama ini sangat melambung, sehingga oleh pengikutnya seperti alim ulama menisbatkana nama sebagai asy’ariyah dan maturidiyah, sebagai bentuk dukungan.

Sebenarnya kehadiaran kedua mazhab ini adalah sebuah jalan yang membawa argumen rasional untuk mengeluarkan kita dari kesesatan dalam bertauhid dan membela ajaran ulama salaf sebelum mereka.

Kebenaran akan mazhab asy’ari ini diperkuat oleh beberapa pernyataan ulama seperti Imam Tajuddin Subky. Pemahaman imam asy’ari memperkuat mazhab salaf terdahulu, dan membela apa yang diyakini sahabat, imam asy’ari memperkuat dengan hujjah dan dalil atas apa yang dibicarakannya dan berpegang teguh terhadap kemurnian akidah.

Dari sini jelas kita pahami, dan kita harus berpegang teguh atas kebenaran ini dan menjauhkan diri dari segala ajaran-ajaran yang membelok.

Kebenaran tentang mazab asy’ari juga disebutkan dalam Alquran secara tersirat dalam surat Al Maidah ayat 54.

….kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintaiNya…”

Penggalan ayat di jelaskan kembali dalam sebuah hadis dari Iyadh Al Asy’ari, dia berkata: “ketika ayat, ‘Allah akan mendatangkan satu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintaiNya’ maka Rasulullah bersabda sambil menunjuk kepada Abu Musa Al Asy’ari: “mereka adalah kaumnya laki-laki ini”

Pernyataan Nabi ini menjelaskan bahwa kebenaran itu ada pada Abu Musa Al Asy’ari dan kepada cucunya Imam Asy’ari serta pengikutnya.

Asy’ariyah / Asy’ariy Bukan Aqidah Baru

Meskipun Imam al Asy’ari sempat berfaham mu’tazilah hingga usianya 40 tahun dan menjadi tokoh yang juga kerap mewakili gurunya Abu Ali al juba’I dalam forum perdebatan. Akhirnya imam asy’ari keluar dari aliran mu’tazilah.

Timbul pertanyaan tentang peristiwa ini, apa latar belakangnya sehingga imam asyari kembali kepada paham ahlussunnah wal jamaah?

Menurut para ulama, seperti al hafidz ibnu ‘asakir al dimsyaqi, imam tajuddin subki dan ulama lainnya, ada hal yang melatar belakanginya.

Pertama, sebagai orang yang dianugerahi kecerdasan yang tinggi, imam asy’ari tidak puas dengan ideologi mu’tazilah yang lebih mendahulukan akal, tetapi sering mengalami kebuntuan, bahkan dapat dipatahkan dengan akal lainnya.

Keputusan yang diambil oleh imam asy’ari ini setelah beliau tidak keluar rumah selama lima belas hari, kemudian hari jumat setelahnya keluar dan berpidato di atas mimbar. Beliau mengatakan telah melakukan penelitian terhadap ajaran-ajaran yang telah ada dan tidak menemukan satupun kebenaran.

Seraya memohon petunjuk kepada Allah, imam asy’ari menyatakan keluar dari mu’tazilah. Beliau juga menyerahkan kitab yang beliau karang selama mencari kebenaran terhadapa ajaran islam yang murni.

Dari kitab itu, para ulama hadis dan fuqaha, meyakini kebenaran ajaran imam asy’ari yang sebenarnya. Dimana ajaran ini membawa kemurnian kembali ajaran-ajaran islam yang ada pada masa Rasulullah, para sahabat dan salafus shalih.

Kedua, imam asy’ari bermimpi bertemu Nabi pada permulaan Ramadhan. Mimpi ini terjadi sebanyak tiga kali. Mimpi ini menjadi seperi tanggung jawab dari Nabi untuk memahami benar kesalahan paham mu’tazilah.

Setelah bermimpi, imam asy’ari mendapatkan anugerah dapat memaparkan kajian dan dalil yang tidak pernah dipelajarinya dari seorang guru dan juga pemaparan imam asy’ari tidak dapat ditolak oleh lawan.

Jadi apa yang ada dalam ajaran imam asy’ari bukanlah suatu hal yang baru. Semuanya bersumber kapada nabi.

Setelah kembali kepada ahlussunnah wal jamaah, aktivitas imam asy’ari lebih banyak dari biasanya. Beliau mengajar di masjid jami’ kota Bashrah disamping juga menjawab berbagai pertanyaan yang datang dari berbagai daerah.

Selain itu imam asy’ari juga rutin mendatangi majlis mu’tazilah untuk bedebat. Hingga satu hari seseorang bertanya kenapa beliau sering bergaul dengan ahli bid’ah (mu’tazilah).

Para pengikut mu’tazilah pada masa itu mengisi kedudukan penting dalam pemerintahan, dengan kesibukan mereka mana mungkin mereka mendatangi imam asy’ari. Sehingga beliaulah yang mendatangi mereka. Bila tidak, kebenaran tidak dapat dibuktikan.

Upaya yang dilakukan Imam Asy’ari juga sebuah gerakan yang menunjukkan bahwa masih ada ulama Ahlussunnah yang hebat, memiliki kemampuan untuk menolak kesesatan.

Aliran-aliran yang keliru (wahabi, mu’tazilah, qadariyah, syiah, dll)

Sejarah islam mencatat adanya perpecahan aliran islam yang terbagi dalam beberapa firqah, yang satu dengan yang lainnya memilkiki perbedaan yang sangat tajam dan sulit didamaikan.

Bila kita menelaah kitab ushuluddin pasti ditemukan nama-nama firqah tersebut seperti Syi’ah, khawarij, mu’tazilah, mujassimah, ahmadiyah, jabariyah, wahabi dan lainnya.

Hal ini telah disebutkan oleh Nabi dalam sebuah hadis, bahwa Bani Israil terbagi-bagi kepada 72 firqah, sedangkan umat Nabi Muhammad terbagi kepada 73 firqah, yang semuanya akan masuk neraka kecuali 1 firqah, yaitu firqah yang berpegang teguh kepada iktiqad Nabi dan para sahabat.

Sayyid Abdurrahman bin Muhammad dalam kitabnya Bughyatul Mustarsyidin menyebutkan ke 72 golongan sesat itu bermuara pada 7 firqah.

Pertama. Syiah adalah kaum yang berlebih-lebihan memuja Sayyidina Ali dan tidak mengakui khalifah yang lain. Mereka terbagi menjadi 22 firqah.

Kedua. Khawarij sebaliknya, mereka adalah kaum yang membenci sayyidina Ali bahkan sampai mengkafirkannya. Mereka pecah menjadi 20 firqah.

Ketiga. Mu’tazilah mereka adalah kaum yang meyakini bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, manusia membuat pekerjaannya sendiri, meyakini Nabi mi’raj hanya dengan ruh, dan lain-lain tentang kesesatan aliran ini. Kaum mu’tazilah terpecah menjadi 20 golongan.

Keempat. Murji’ah mereka berfatwa kalau kemaksiatan tidak memberikan kemudaratan kalau sudah beriman, dan kebaikan tidak memberikan manfaat kalau kafir.

Kelima. Nariyah, mereka adalah firqah yang memfatwakan perbuatan manusia adalah makhluk, tetapi mereka juga berfatwa bahwa sifat tuhan tidak ada. Mereka pecah menjadai 3 firqah.

Keenam. Jabariyah, fatwa mereka bahwa manusia tidak berdaya apa-apa dan “ usaha” tidak ada sama sekali.

Ketujuh. Mutasyabihah adalah firqah yang meyakini adanya keserupaan Tuhan dengan manusia seumpa memilki tangan, kaki, duduk di kursi, naik tangga dan lain-lain. Kelompok ini bisa kita lihat menyerupai wahabi dewasa ini.

Dari ketujuh kelompok ini jumlahnya 72 kelompok, ditambah satu kelompok lagi menjadi 73. Kelompok terakhir ini disebut Firqatun Najiyah. Yaitu kelompok yang selamat dari api neraka. Kelompok inilah yang disebutkan Nabi sebagai kelompok yang berpegang teguh pada iktiqad ahlussunnah wal jamaah.

Bahasan Utama Dalam Aqidah Asy’ariyah

Yang menjadi kajian utama dalam mazhab asy’ari adalah bagaimana melepaskan pemikiran manusia yang kerap kali menyamakan Allah dengan makhluk. Selain itu ada pembahasan lain yang menjadi kajian utama yang tidak kalah penting untuk dikaji yaitu ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat.

Dua ayat yang dimaksudkan di atas disebutkan dalam QS Ali Imran ayat 7.

Ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang jelas dan terang maksudnya, sedangkan ayat mutasyabihat adalah ayat maksudnya masih samar-samar.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan ayat mutasyabihat, karena tidak mungkin juga alquran itu salah, hanya saja keterbatasan akal manusia dalam mencena ayat ini.

Ada dua sisi untuk memahami ayat mutasyabihat. Pertama, maksud ayat ini hanya Allah yang tahu. Kedua, orang-orang yang rasikh, yang memilki ilmu tinggi yang dapat menjangkau makna ayat mutasyabihat.

Maka orang-orang yang condong hatinya dalam kesesatan pasti akan salah mengambil makna dan iktibar ayat, orang-orang tersebut seperti kaum mu’tazilah.

Untuk ayat muhkamat, Allah juga menamakan ayat ini sebagai umm al kitab, yaitu pokok alquran.

Di dalam ayat mutasyabihat, ada ayat yang menjelaskan tentang sifat Allah, dimana bila ayat tersebut diartikan secara literal akan menimbulkan pengertian bahwa Allah memiliki kekurangan dan kesamaan dengan makhluk.

Dalam memahami ayat mutasyabihat, ulama ahlussunnah memiliki dua metode yaitu tafwidh yang diikuti mayoritas ulama salaf. Metode ini tidak melakukan penafsiran apapun terhadap makna ayat dan menyerahkan maknanya terhadap apa yang telah Allah tetapkan kepada zatNya.

Sebagian ayat mustasyabihat.

ى اسْتَوٰالْعَرْشِ عَلَى اَلرَّحْمٰنُ

“tuhan yang maha pemurah, ber-istiwa di atas ‘Arasy” QS Thaha ayat 5

Dalam ayat ini, jika berpijak pada metode tafwidh, kata “istiwa” dalam ayat tidak diartikan bersemayam. Karena diartikannya istiwa bersemayam, maka Allah sama dengan makhluk. Hal ini jelaslah mustahil.

Kedua, metode yang digunakan adalah metode takwil yang diikuti oleh ulama khalaf dan sebagian ulama salaf. Metode ini mengalihkan makna ayat mutasyabihat dan menempatkan makna yang maksudnya yang seiiring dengan teks lain yang muhkmat.

Dalam ayat di atas, istiwa diartikan dengan kekuasaan.

Apabila diamati seksama, dua metode ini memiliki kesamaan, yaitu tidak mensifati Allah dengan sifat-sifat yang dimiliki makhluk.

Yang paling umum diketahui masyarakat, bahasan dalam mazhab as’ary adalah sifat dua puluh. Para ulama menetapakan sifat ini berangkat dari kajian yang mendalam. Setidaknya ada 4 latar belakang kajian ini yang mesti kita ketahui.

Pertama, orang yang beriman meyakini Allah memilki semua sifat kesempurnaan.

Kedua, ulama ahlussunnah sebenarnya tidak membatasi sifat Allah dengan dua puluh sifat saja. Bahkan setiap sifat yang sempurna tentu dimiliki Allah

Ketiga,ulama membagi sifat Allah yang disebutkan dalam Alquran dan hadis menjadi sifat dzat dan sifat af’al.

Sifat dzat adalah sifat yang dimiliki oleh zat Allah seperti sifat dua puluh, sedangkan sifat af’al adalah sifat yang merupakan perbuatan Allah seperti yang tersebut dalam asmaul husna.

Keempat, sifat dzat ini dianggap cukup untuk mengantarkan Allah memiliki segala sifat kesempurnaan.

Kelima, sifat dua puluh juga sudah dianggap kuat untuk membentengi jiwa seseorang dari paham yang keliru terhadap Allah.

Yang membedakan dengan aqidah-aqidah yang keliru lainnya

Akidah yang menganut mazhab Asy’ari memiliki ciri khas tersendiri yang membedakannya dari yang lain, mazhab ini lebih membersihkan Allah dari segala sesuatu yang sama dengan makhlukNya, yang jelas hal sangat mustahil.

Ahlusunnah wal jamaah meyakini Allah ada tak bertempat dan berarah. Dalil tentang kebenaran ini banyak disebutkan dalam alquran dan hadis serta dalil akal. Allah berfirman:

شَيْءٌ كَمِثْلِهٖ لَيْسَ

tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia” Asy-Syura Ayat 11

Ayat ini merupakan ayat yang paling tegas dalam menjelaskan kesucian Allah secara mutlak. Dari aspek apapun Allah tidak menyerupai makhlukNya. Karena itulah Allah tidak butuh tempat yang menjadi tempatNya, dan tidak butuh arah yang menentukanNya.

Ayat di atas juga menjadi dalil bahwa Allah memililki sifat mukhalafatuhu lil hawadis. Yaitu Allah tidak menyerpai makhluknya.

Keberadaan Allah tanpa arah dan tempat juga dikatakan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

“Allah tidak ada sebelum adanya tempat, dan keberadaan Allah sekarang seperti keberadaanNya sebelum adanya tempat”

Sebagian di antara kita mungkin ada yang bertanya-tanya, apakah akal dapat menerima keberadaan sesuatu tanpa adanya arah dan tempat?

Jawaban pertanyaan ini ada dalam sebuah hadis shahih:

Imran bin hushain berkata “Rasulullah bersabda: Allah ada pada azal(keberadaan tanpa permualaan) dan belum ada sesuatupun selain Nya” HR Bukhari

Sayyidina ali juga mengatakan bahwa “Sesungguhnya Allah menciptakan ‘arasy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakkan kekuasaan-Nya, bukan untuk menjadikan tempat bagi dzat-Nya”

Keyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah adalah kesepakatan ahlussunnah wal jamaah yang selalu dijaga sejak generasi salafus shalih.

Bila ada paham selain paham ini, bisa dikatakan mereka adalah paham mujassimah dan musyabbihah. Sebagaimana perkataan al hafidz ibnu hajar al asqalani dalam kitab fathul bari.

sesungguhnya kaum musyabbihah dan mujassimah adalah mereka yang mensifati Allah dengan tempat, padahal Allah Ta’ala Maha Suci dari tempat

Aqidah asy’ariy terkait Allah

Salah satu permasalahan penting yang dibahas dalam aqidah asy’ari tentang Allah adalah menolak pembagian tauhid menjadi tiga. Pembagian ini tidak pernah ada sebelumnya, hanya Ibnu Taimiyah saja yang membaginya menjadi demikian.

Pembagian tauhid Rububiyah, Uluhiyyah dan Asma wa shifat tidak pernah ada, bahkan Rasul tidak ada mengatakan kepada seorang pun yang masuk islam tentang tauhid yang digaungkan oleh Ibnu Taimiyah meskipun dalam satu kalimat.

Pembatasan makna-makna dalam tauhid di atas sangatlah tidak rasional dan bertentangan dengan dalil-dalil alquran dan hadis.

Dalam pernyataan ulama ahlussunnah wal jama’ah tidak ada membedakan makna rabb dengan ilah.

Dalam mazhab asy’ariyah tidak ada makna Allah yang seperti demikian. Kita meyakini bersama Allah itu Maha Esa dalam dzat, sifat dan perbuatan-Nya.

Kitab dan buku-buku untuk mempelajari aqidah asy’ariy

Imam Asy’ari adalah seorang ulama besar yang memeliki kedalaman dalam mengkaji suatu masalah, memilki ilmu yang bervariasi, memiliki kekayaan aneka ragam informasi. Dengan bekal yang sangat cukup ini beliau telah melahirkan banyak karya. Hal ini telah disebutkan dalam sebuah kitab yang berjudul al ‘umad fi al ruqyah. Kitab ini memuat informasi yang cukup untuk mengenalkan sosok Imam Asy’ari kepada kita.

Imam Asy’ari juga seorang filosof besar, kepakarannya dalam bidang filsafat terbukti dengan lahirnya sebuah karya yang berjudul adab al jadal.

Imam Asy’ari juga seorang teolog dan pemimpin ahlussunnah wal jamaah terbesar. Hal ini dibuktikan dengan banyak lahirnya karya yang membantah faham-faham sesat Majusi, Atheis, Musyabbihah, Khawarij, dan Mu’tazilah.

Khusunya terhadap faham Mu’tazilah, Imam Asy’ari menghabiskan sebagian besar waktunya untuk meluruskan penyimpangan terhadap aliran ini. Dimana Imam Asy’ari sendiri pernah menjadi bagian di dalamnya. Kebobrokan faham ini telah diketahui jelas oleh Imam Asy’ari.

Bisa diakatakan juga, Imam Asy’ari adalah ulama yang banyak menguasai bidang ilmu, termasuk sejarah, yang tertuang dalam sebuah karya maqalat al islamiyyin wa ikhtilaf al mushallin.

Lebih dari itu, beliau juga ahli dalam ilmu fiqah, hadis, ushul fiqh dan bahasa. Dalam kitab qiyas dan al ijtihad Imam Asy’ari membantah ibnu al rawandi yang mengingkari hadis mutawattir.

Dari tiga ratusan kitab dan buku Imam Asy’ari hanya beberapa saja yang sampai kepada kita untuk bisa mengenal lebih dekat sosok Imam Asy’ari. Sebagaian diantaranya ada kitab:

Al umad fi al ru’yah

Sebuah kitab yang memaparkan dalil-dalil bantahan terhadap paham mu’tazilah. Dalam kitab ini Imam Asy’ari menyebutkan nama kitab yang telah dikarangnya,

Risalah istihsan al khaudh fi ‘ilm al kalam

Kitab setebal 14 halaman ini memberikan dalil-dalil seputar kajian dan metode ilmu kalam dalam menetapkan akidah ahlussunnah wal jamaah.

Al luma’ fi al radd ‘ala ahl al zaigh wa al bida’

Banyak asumsi yang lahir untuk kitab ini, ada yang mengatakan inilah kitab terakhir Imam Asy’ari. Karena di dalamnya memuat tentang kehebatan dan kematangan teologi, serta pengokohan mazhab asy’ari.

Tafsir alquran wa al radd ‘ala man khalafa al bayan min ahl al ikf wa al buthan

Sebuah kitab tafsir alquran yang ditulis oleh Imam Asy’ari untuk menolak kebohongan-kebohongan kaum mu’tazilah yang mengotak-atik maksud alquran.

Al ibanah ‘an ushul al diyanah

Kitab ini adalah kitab putih yang memuat dasar-dasar pokok mazhab Asy’ari dan bantahan terhadap kelompok mu’tazilah.

Mujarrad maqalat al Imam al Asy’ari

Kitab ini bisa dikatakan sebuah ensiklopedi karya-karya Imam Asy’ari. Juga didalamnya disebutkan bantahan-bantahan tentang ucapan atau pendapat yang dinisbatkan kepada Imam Asy’ari, padahal beliau tidak mengeluarkan pendapat tersebut.

Kitab ini dikarang oleh al imam abu bakar bin furak.

Kitab-kitab yang telah kami sebutkan di atas adalah kitab- kitab utama dalam mazhab Imam al Asy’ari yang keberadaanya sulit ditemukan. Akan tetapi kita tetap dapat mempelajari mazhab Imam al Asy’ari dari kitab-kitab pengikut beliau yang menjadi kurikulum di pondok pesantren di Indonesia seperti kitab ummul barahin, kifayatul awam, al jawahil al kalamiyyah dan lain-lain.

Bantahan atas pernyataan aqidah asy’ariyah sesat

Sebagian kelompok mengatakan bahwa mazhab Asy’ari adalah aliran yang membatasi sifat Allah kepada 20 sifat dan menolak sifat-sifat ynag lainnya.

Apa yang telah dituduhkan kepada mazhab Asy’ari dapat dipatahkan dengan 3 alasan.

Pertama. Asy’ariyah adalah ahli itsbat. Dalam mengklasifikasi sifat Allah ada dua kelompok besar yang saling bertolak belakang. Ahli itsbat dan ahli ta’thil.

Ahli itsbat adalah golongan yang menetapkan sifat-sifat Allah, sedangkan ahli ta’thil adalah golongan yang mengatkan Allah hanyalah sebuah “keberadaan” dan tidak memiliki sifat apapun.

Kedua. Semua sifat tentang Allah adalah sifat yang warid datangnya dari Allah dan Rasul.

Ketiga. Pembahasan dalam kitab-kitab Asy’ari memuat tentang sifat khabariyah.

Sifat khabariyah ini tentang keberadaanya hanya dapat diketahui dari sumber wahyu dan tidak dapat dijangkau oleh nalar manusia semata. Sifat khabariyah itu seperti beberapa potongan ayat yang memiliki makna organ tubuh seperti yad, wajhun. ‘ain, janbun.

Potongan ayat tersebut tidak dapat kita jangkau dengan pikiran bagaiman maknanya. Yang jelas kita harus membersihkan Allah dari sifat-sifat yang menyerupai makhluk.

Penutup

Dari apa yang telah kami paparkan, dalam bidang teologi kita harus merujuk kepada pemahaman kemurnian yang dibawa oleh Imam asy’ari dan imam maturidi.

Keduanya adalah imam besar dalam bidang teologi yang menyelamatkan akidah kita dari berbagai kesesatan dan penyimpangan.

Dalam ittihaf sadatul muttaqin disebutkan.

“ apabila disebutkan kaum ahlussunah wal jamaah maka maksudnya adalah orang-orang yang mengikuti paham Asy’ari dan paham Abu Mansur Al Maturidi”