Mengenal Siapa Saja Istri Rasulullah dan Keistimewaan Ummahatul Mukminin

Istri Rasulullah tak hanya satu orang saja. Beliau menikahi lebih dari satu wanita karena beberapa alasan.

Berbeda dengan umat Islam yang dibatasi untuk boleh memiliki istri maksimal empat dalam sekali waktu.

Alasan kenapa istri Nabi Muhammad banyak adalah karena beliau diberi kekhususan oleh Allah untuk memiliki istri lebih dari empat dengan syarat adil.

Mengingat para istri Rasulullah memiliki kedudukan mulia maka kali ini, Hasana.id akan membahas siapa saja dan apa keistimewaan dari Ummahatul Mukminin.

Khadijah binti Khuwailid

Wanita yang pertama kali dinikahi Rasulullah saw. adalah Khadijah binti Khuwailid yang merupakan perempuan dari bangsa Quraisy.

Sebelum menikah dengan Rasulullah saw., ia merupakan seorang janda yang sebelumnya menjadi istri dari Abi Haleh Al Tamimy dan Oteaq Almakzomy.

Khadijah lahir pada tahun 68 sebelum Hijriah, dari sebuah keluarga yang terpandang. Khadijah dikenal sebagai sosok yang penyayang, ulet, dan cerdas.

Masyarakat pada zaman jahiliah pun sampai memberi sebutan istri Nabi Muhammad ini sebagai thahirah atau “seorang wanita yang suci”.

Khadijah berprofesi sebagai pedagang yang memiliki modal kuat sehingga mampu memberi upah untuk orang yang menjalankan usahanya.

Pemuda yang Dijuluki Al-Amin

Suatu hari, Khadijah mengetahui informasi mengenai seseorang bernama Muhammad dan tertarik akan kejujuran, kemuliaan akhlak, dan sifat amanah beliau.

Pada waktu itu, beliau belum diangkat sebagai nabi dan rasul Allah Swt.

Khadijah lantas memberikan pekerjaan kepada Muhammad untuk menjual barang dagangannya ke negeri Syam dan ditemani seorang anak bernama Maisarah.

Sang pemuda yang dijuluki al-amin (yang dapat dipercaya) itu diberinya modal yang cukup besar, tidak seperti orang lain yang juga bekerja pada Khadijah.

Begitu sampai di negeri Syam, Muhammad mulai menjual dagangannya.

Kemudian, uang yang dihasil dari penjualan tersebut beliau gunakan sebagai modal untuk membeli barang dagangan yang dijual kembali di Kota Makkah.

Keuntungan yang didapatkan oleh Muhammad berlipat ganda sehingga Khadijah menambahkan bonus untuk beliau.

Setelah sampai di Makkah, Maisarah menceritakan perilaku terpuji Muhammad kepada Khadijah.

Khadijah merasa tertarik dan mengutus Maisarah untuk mendatangi Muhammad guna menyampaikan sebuah pesan.

Pesan tersebut berisi kegaguman Khadijah atas sikap amanah, kepribadian yang baik, dan kejujuran perkataan sang pemuda.

Khadijah melamar Muhammad melalui seorang wanita bernama Nafisah.

Setelah menerima informasi dari para kerabat tentang hasil pertemuan dengan Khadijah, beliau tidak keberatan untuk menerima seorang janda yang berusia 15 tahun lebih tua.

Lima belas tahun setelah menikah dengan Khadijah, yakni ketika berusia 40 tahun, Muhammad diangkat menjadi utusan Allah.

Saudah binti Zam’ah bin Qois

Sampai wafatnya Khadijah, Rasulullah tidak pernah menikahi wanita lain. Setelah itu, barulah beliau menikah lagi, yaitu dengan Saudah binti Zam’an bin Qois.

Usulan menikahi Saudah tidak datang dari Rasulullah saw. sendiri, melainkan dari sahabat Khadijah, Khaulah binti Hakim.

Khaulah merasa prihatin dengan Rasulullah yang hidup sendiri setelah ditinggal istri pertamanya.

Alasan Nabi menikahi Saudah yang ketika itu berusia 50 tahun adalah untuk meringankan penderitaan, meningkatkan derajat, dan menjaganya dari fitnah kaum musyrik Makkah.

Ketika itu, istri Rasulullah yang kedua ini merupakan janda dari Sakran bin Amr bin Abd Syam yang meninggal pada saat hijrah di Habasyah.

Saudah sendiri telah memiliki lima atau enam orang anak dari pernikahannya yang pertama.

Rasulullah mengutus seorang perempuan untuk melamar Saudah. Keduanya lalu menikah pada awal bulan Syawal tahun ke-10 Hijriah.

Terdapat beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa Saudah binti Zam’an bukan seorang wanita yang cantik mengingat dirinya sudah berumur dan badannya juga tidak langsing.

Meskipun begitu, Saudah memiliki sejumlah keistimewaan. Beliau adalah seorang wanita dermawan dan senantiasa menjaga shalat dan puasanya.

Menolak Diceraikan Rasulullah saw.

Dikisahkan, ketika usia Rasulullah sudah makin tua, beliau berniat untuk menceraikan Saudah. Perempuan tersebut kemudian berkata kepada Rasulullah saw. seperti ini:

“Wahai Rasulullah, janganlah Engkau menceraikanku. Bukan karena aku masih menghendaki laki-laki, tetapi karena aku ingin dibangkitkan dalam keadaan menjadi istrimu maka tetapkanlah aku menjadi istrimu dan aku berikan hari giliranku kepada Aisyah.”

Rasulullah saw. pun mengabulkan permohonannya dan tetap menjadikan Saudah sebagai istri beliau. Dari kejadian ini, Allah Swt. menurunkan ayat Al-Qur’an yang berbunyi:

وَإِنِ ٱمْرَأَةٌ خَافَتْ مِنۢ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۚ وَٱلصُّلْحُ خَيْرٌ ۗ وَأُحْضِرَتِ ٱلْأَنفُسُ ٱلشُّحَّ ۚ وَإِن تُحْسِنُوا۟ وَتَتَّقُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

Wa inimra`atun khāfat mim ba’lihā nusyụzan au i’rāḍan fa lā junāḥa ‘alaihimā ay yuṣliḥā bainahumā ṣul-ḥā, waṣ-ṣul-ḥu khaīr, wa uḥḍiratil-anfususy-syuḥḥ, wa in tuḥsinụ wa tattaqụ fa innallāha kāna bimā ta’malụna khabīrā.

Artinya:

“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka), walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS An-Nisa: 128)

Aisyah binti Abu Bakar As-Shiddiq

Apakah kamu tahu bahwa Aisyah merupakan istri Rasulullah yang dinikahi dalam keadaan masih gadis, tidak seperti yang lainnya?

Nabi Muhammad saw. mempersunting Aisyah sebagai istri ketiganya setelah Saudah bin Zam’ah.

Aisyah merupakan seorang anak perempuan dari Abu Bakar al-Siddiq dan Ummu Ruman. Keluarga ini masih tergolong kaum dari marga Bani Taim.

Wanita dari Bani Taim sendiri sudah terkenal sebagai sosok yang patuh, lemah lembut, dan bisa bergaul dengan baik.

Istri Rasulullah yang satu ini memiliki julukan tersendiri, yaitu Humaira, yang berarti “pipi merona”.

Beliau merupakan wanita dengan kepribadian yang sangat baik, cantik, matanya besar, berambut keriting, berkulit putih, dan tubuhnya langsing.

Mengenai berapa usia Aisyah ketika dinikahi Rasulullah saw., terdapat beberapa versi.

Versi pertama menyebutkan bahwa usia Aisyah istri Nabi Muhammad pada saat itu adalah 6 atau 7 tahun. Kemudian, pada usia Aisyah yang ke-10, keduanya tinggal serumah.

Namun, ada pendapat lain yang dilandaskan pada riwayat Abdurrahman bin Abu Abi Zannad dan Ibnu Hajar al-Asqalani.

Menurut pendapat ini, usia Aisyah ketika dipersunting Rasululllah saw. adalah kira-kira 19 atau 20 tahun.

Nabi Muhammad saw. memperistri Aisyah tepat pada bulan Syawal tahun ke-10 kenabian.

Mereka berdua menikah di Makkah sekitar tiga tahun setelah istri Rasulullah yang pertama, Khadijah binti Khuwailid, wafat.

Waktu itu, mahar yang Rasulullah berikan untuk Aisyah adalah sebesar 12 uqiyyah atau 400 dirham.

Terdapat sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad saw. menikahi Aisyah karena mimpi.

Suatu hari, Rasulullah saw. bermimpi didatangi oleh malaikat yang membawa istri ketiganya tersebut dengan dibalut kain sutera.

Malaikat itu mengatakan bahwa perempuan yang dibalut kain sutera ini adalah istri Rasulullah saw. Disebutkan, mimpi tersebut mendatangi Rasulullah saw. sampai tiga kali.

Rasulullah saw. menanggapi ucapan malaikat dalam mimpinya itu dengan berpikir bahwa apabila mimpi tersebut datangnya dari Allah, tentunya Allah akan mengabulkannya.

Benar saja, Allah pun akhirnya mewujudkan mimpi tersebut menjadi kenyataan.

Hafshah binti Umar bin Khatab

Istri Rasulullah yang keempat, yang dinikahi setelah Aisyah binti Abi Bakar As-Shiddiq, adalah Hafshah binti Umar bin Khattab.

Rasulullah menikahi Hafshah pada bulan Sya’ban tahun 3 Hijriah.

Ketika dinikahi Rasulullah saw., Hafshah berusia 21 tahun (riwayat lain mengatakan usianya adalah 18 atau 20 tahun).

Hafshah merupakan seorang janda yang ditinggal wafat oleh mantan suaminya, yakni Khunais bin Hudzafah as-Sahmi, yang gugur di medan perang.

Mantan suaminya tersebut termasuk seseorang yang menjadi muslim pada masa-masa awal kedatangan Islam.

Setelah Khunais meninggal, Hafshah dipulangkan ke rumah sang ayah, Umar bin Khattab. Keadaan ini lantas membuat Umar bin Khattab merasa sedih dan makin kesulitan.

Perekonomian Umar bin Khattab pada waktu itu tidak sedang dalam keadaan yang bagus. Kehadiran Hafshah di rumahnya tentu saja membuat beban terasa makin berat.

Sementara itu, sang ayah juga sedih melihat Hafshah yang menjalani hidupnya sebagai seorang janda.

Melihat kondisi ini, Rasulullah saw. kemudian memutuskan untuk melamar Hafshah.

Beliau menikahi Hafshah sebagai bentuk perhatian dan untuk membantu keluarga dua sahabat beliau, Umar bin Khattab dan Khunais bin Hudzafah.

Zainab binti Khuzaimah

Istri Rasulullah selanjutnya, yaitu Zainab binti Khuzaimah, merupakan seorang janda dari Abdullah bin Jahsya al-Asadi. Ketika dinikahi Rasulullah saw., usia Zainab adalah 29 tahun.

Penyebab Rasulullah saw. menikahi Zainab adalah karena ingin melindungi dan meringankan beban kehidupan yang dialami wanita tersebut.

Beliau merasa tersentuh dan luluh ketika mendapati Zainab hidup menjanda, sementara sejak kecil ia dikenal baik, sopan, dan dermawan terhadap orang-orang miskin.

Zainab dikenal sebagai istri Nabi Muhammad saw. yang senang meringankan beban saudara-saudaranya.

Dikisahkan, ia memiliki seorang budak dari Habasyah dan sangat menyayangi budak tersebut sampai-sampai budak itu diperlakukan selayaknya seorang kerabat dekat.

Ummu Salamah

Istri Rasulullah berikutnya yang akan Hasana.id bahas adalah Ummu Salamah, seorang perempuan yang bernama asli Hind bin Abi Umayyah bin al-Mughirah.

Ummu Salamah dan keluarganya adalah bagian dari generasi assabiqunal awwalun. Perlu diketahui, generasi tersebut merupakan sekelompok orang yang pertama masuk Islam.

Mereka turut berhijrah bersama umat Islam lainnya ke Habasyah atau sekarang lebih dikenal dengan Ethiopia dan melanjutkan lagi hijrah ke Madinnah.

Ketika hijrah ke Madinnah, ia dan suaminya, Abu Salamah, mengalami kejadian buruk.

Mereka dipaksa berpisah dari anak-anaknya yang dirampas oleh kaum musyrik selama setahun.

Ketika anak-anaknya ditahan, Abu Salamah pergi ke Madinah dan gugur dalam Perang Uhud.

Ummu Salamah pun menjadi janda dan anak-anaknya menjadi yatim sepeninggal Abu Salamah.

Melihat kondisi tersebut, Rasulullah berkeinginan untuk menikahi Ummu Salamah.

Setelah Ummu Salamah selesai menjalani masa iddah (waktu tunggu setelah ditinggal suami sebelumnya), Nabi mengutus Umar bin Khattab meminang Ummu Salamah untuk beliau.

Pada awalnya, Ummu Salamah menolak lamaran tersebut secara lembut dengan alasan dirinya adalah seorang pencemburu, sudah berumur, dan memiliki banyak anak.

Ummu Salamah tidak mau menelantarkan anak-anaknya dan menjadi lalai akan kewajibannya sebagai seorang istri Rasulullah.

Namun, beberapa waktu kemudian, Rasulullah saw. mendatangi Ummu Salamah sendiri dan meminangnya secara langsung.

Namun, lagi-lagi, Rasulullah saw. ditolak dengan alasan yang sama.

Rasulullah saw. kemudian menyatakan bahwa beliau siap menerima Ummu Salamah apa adanya. Ummu Salamah akhirnya bersedia menerima pinangan Nabi Muhammad saw.

Zainab binti Jahsy bin Rabab

Istri Rasulullah yang satu ini dikenal penyayang dan dermawan.

Zainab binti Jahsyi tak lain adalah sepupu Rasulullah saw. dan telah memeluk Islam sejak masih di Makkah. Ia lalu ikut hijrah ke Madinah bersama kaum muslimin yang laiinya.

Pernikahan Zainab dengan Nabi Muhammad saw. merupakan perintah langsung dari Allah. Zainab sebelumnya telah menikah dengan anak angkat Rasulullah, yakni Zaid bin Haritsah.

Akan tetapi, pernikahan keduanya tidak harmonis sehingga Zaid sering berkonsultasi kepada Rasulullah untuk menjatuhkan talak kepada istrinya.

Setelah bercerai, Rasulullah saw. memerintahkan Zaid melamarkan Zainab untuk dirinya.

Dalam keseharianya, Zainab adalah seorang yang pandai dalam membuat sesuatu, contohnya adalah menyamak kulit atau membuat kerajinan tangan.

Dari kegiatannya itu, ia bisa mendapatkan rezeki dan sering menyisihkannya untuk fakir miskin.

Juwairiyah binti al-Harits

Istri Rasulullah yang satu ini merupakan seorang perempuan mulia dan pemuka kaum Bani Musthaliq.

Juwairiyah adalah perempuan yang cantik, baik hati, juga memiliki wawasan yang luas. Sebelumnya, Juwairiyah pernah menikah dengan Musafi bin Shafwan.

Juwairiyah dianggap sebagai berkah bagi kaumnya. Ketika ia masuk Islam, seluruh kaumnya yang musyrik turut masuk Islam juga.

Mahar sebesar 400 dirham diberikan oleh Rasulullah saw. ketika menikahi Juwairiyah.

Setelah menjadi Ummahatul Mukminin, Juwairiyah lebih memilih menggunakan waktunya sebaik mungkin untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

Pada usia yang ke 60 tahun, ia wafat. Juwairiyah dimakamkan di Baqi’. Pemakaman ini juga merupakan tempat peristirahatan terakhir para istri Rasulullah lainnya.

Ummu Habibah binti Abu Sufyan

Istri Rasulullah berikutnya, Ummu Habibah binti Abu Sufyan, adalah putri dari Shafiyah binti Abul’Ash bin Umayyah bin Abdu Syams, bibi dari Utsman bin Affan.

Di kalangan ulama, ada perbedaan pendapat mengenai nama asli Ummu Habibah. Ada yang mengatakan nama aslinya adalah Hindun dan ada pula yang berpendapat namanya Ramlah.

Namun, Ibnu Abdil Barr menyatakan nama asli Ummu Habibah yang paling masyhur adalah Ramlah.

Sebelum menjadi istri Rasulullah, Ummu Habibah pernah menikah, yaitu dengan Ubaidullah bin Jahsy bin Riab. Ia dan sang suami hijrah ke Habasyah demi mencari keselamatan.

Pada waktu itu, di bawah pimpinan sang ayah, Abu Sufyan bin Harb, kaum musyrik Makkah banyak melakukan tindakan keji terhadap kaum muslimin.

Ketika di Habasyah, sang suami murtad dengan masuk Nasrani dan ingin mengajak Ummu Habibah untuk memeluk ajaran yang serupa.

Akan tetapi, ajakan tersebut tidak diindahkannya. Suami Ummu Habibah akhirnya meninggal sebagai pemeluk agama Nasrani, setelah sebelumnya ia mabuk karena minum khamar.

Ummu Habibah pun menjadi seorang janda dengan satu orang putrinya yang bernama Habibah.

Rasulullah saw. kemudian mengutus seseorang bernama Amr bin Umayyah adh-Dhamri kepada Raja Najasyi agar raja tersebut mau menikahkan Ummu Habibah kepada beliau.

Sepulangnya Ummu Habibah dari Habasyah, akad nikah pun dilangsungkan di Kota Madinah. Pernikahan keduanya berlangsung pada tahun 6 Hijriah.

Yang menjadi wali nikah Rasulullah sawa. dengan Ummu Habibah adalah Khalid bin Sa’id. Rasulullah meminangnya dengan mahar senilai 400 dinar.

Di antara istri Rasulullah yang lain, Ummu Habibah mendapatkan mahar yang paling mahal.

Sahfiyah binti Huyai bin Akhtab

Salah satu istri Rasulullah, Shafiyah binti Huyai, merupakan seorang bangsawan dari Bani Quraizhah dan Bani an-Nadhir. Sang ayah merupakan tokoh dan ulama bagi kaum Yahudi.

Suatu ketika, Rasulullah menawari Shafiyah untuk memeluk Islam dan disetujuinya.

Setelah itu, Rasulullah saw. menjadikannya istri dan yang menjadi mahar adalah pembebasannya sebagai seorang tawanan.

Ketika Rasulullah saw. mendapati ada bekas lebam di wajah Shafiyah, beliau pun penasaran dan bertanya tentang keadaannya.

Shafiyah menjawab bahwa ia telah ditampar oleh suaminya karena menceritakan sebuah mimpi.

Dalam mimpinya, ia bercerita bahwa seolah-olah rembulan hilang dari tempatnya dan masuk ke rumah Shafiyah.

Meskipun sama sekali tidak menyebut nama Rasulullah saw., Shafiyah tetap saja diperlakukan kasar oleh suaminya.

Sebelum masuk Islam, Shafiyah sudah menjadi sosok yang mulia. Setelah masuk Islam pun, Allah pun tetap menjaga kemuliaan Shafiyah dengan menjadikannya sebagai istri Rasulullah.

Mariyah al-Qibtiyah

Rasulullah saw. menerima hadiah dari Raja Muqawqis, pemimpin Mesir, yaitu seorang perempuan bernama Mariyah al-Qibtiyah.

Hadiah tersebut diberikan sebagai bentuk jawaban atas ajakan Nabi Muhammad saw. untuk memeluk agama Islam.

Mariyah menjalani hidupnya dengan tenang dan tenteram sebagai istri Rasulullah.

Pada tahun kedua pernikahan, Mariyah hamil. Rasulullah saw. pun sangat bahagia karena sebelumnya hanya Khadijah yang memberi beliau keturunan.

Maimunah binti al-Harits

Istri Rasulullah yang terakhir ini memiliki nama asli Barrah. Kemudian, Rasulullah menggantinya dengan Maimunah setelah menikahinya.

Menurut cerita, Maimunah bertemu dengan Rasulullah saw. di daerah Saraf, sekitar 10 km dari Makkah. Di sinilah, Rasulullah saw. merayakan pernikahan dengan Maimunah.

Itulah tadi informasi mengenai istri Rasulullah. Seluruh Ummahatul Mukminin ini tentunya juga adalah orang yang mulia. Ada banyak sifat yang bisa dijadikan teladan.

Perlu diketahui juga bahwa Rasulullah menikahi banyak wanita bukan untuk menuruti nafsunya.

Para istri Rasulullah memiliki latar belakang tersendiri yang membuat beliau memiliki alasan yang baik dan tepat untuk menikahinya.