Mengenal Sosok Imam Syafi’i, Wasiat, serta Kisah Teladannya

Tahukah kamu cara untuk menghargai tokoh besar umat Islam seperti Imam Syafi’i? Mengenal sosok beliau dan meneladani amal soleh yang dilakukannya bisa menjadi salah satu cara .

Kamu juga perlu memahami wasiat yang beliau tinggalkan, nasihat-nasihatnya, serta hal-hal penting lainnya mengenai sosok pendiri mazhab Syafi’i ini.

Untuk itu, Hasana.id akan membahas seputar sosok Imam besar Syafi’i yang bisa kamu simak di bawah ini!

Sekilas Tentang Biografi Imam Syafi’i

Lahir di Gaza pada tahun 150 H, Imam Syafi’i dikenal sebagai seseorang yang sangat alim dan saleh. Beliau juga jauh dari kesibukan dunia yang dapat menyebabkan lupa akan Allah Swt.

Saat berumur dua tahun, pendiri mazhab Syafi’i ini hijrah ke Mekkah bersama sang bunda dan berhasil menghafal Alquran setelah menginjak umur sembilan tahun.

Pada umur 12 tahun, beliau sudah menghafal kitab hadis al-Muwata dan mulai berguru pada Muslim bin Khalid, seorang mufti di Mekah.

Muslim bin Khalid juga lah yang memberikan izin kepada Syafi’i untuk mengiftakan hukum saat berumur 15 tahun. Di saat itu, Syafi’i telah menjadi seorang yatim dan hidup kekurangan.

Setelah itu, Imam Syafi’i pergi ke Madinah untuk belajar dengan Imam Malik selama beberapa waktu. Sampai akhirnya sekitar tahun 190 H, beliau datang ke Baghdad.

Syafi’i menetap di Kota Baghdad selama kurang lebih dua tahun dan di sana beliau bertemu dengan banyak ulama mazhab.

Beliau juga mulai mengarang kitab Qadim sebelum kembali ke Kota Mekah. Pada tahun 198 H, Syafi’i kembali ke Baghdad dan menetap sementara waktu.

Pendiri mazhab Syafi’i tersebut juga sempat hijrah ke Mesir sampai akhirnya wafat di sana pada tahun 204 H, tepatnya pada hari Jumat bulan Rajab.

Memahami Wasiat Imam Syafi’i

Meski telah wafat, Syafi’i tetap menjadi teladan bagi penganut mazhabnya yang tersebar di seluruh penjuru dunia.

Wasiat beliau pun banyak dikutip oleh ulama-ulama sesudahnya dalam pengajaran terkait fikih. Berikut adalah salah satu yang cukup terkenal di antara wasiat-wasiat Imam Syafi’i:

إذا صح الحديث فهو مذهبي

‘Iidha shahihaditshu fahu madhhibun

Artinya:

“Apabila sahih hadits maka itulah mazhabku”

Sayangnya, wasiat tersebut banyak disalahartikan oleh berbagai kalangan. Banyak yang berpendapat bahwa hal ini merupakan bentuk larangan dari Syafi’i untuk mengikuti pendapatnya.

Dengan kata lain, jika kamu menemukan hadis sahih yang bertentangan dengan pendapat beliau maka itulah yang harus kamu terima.

Jika diartikan demikian, tentu akan timbul pertanyaan mengenai sedalam apa keilmuan Imam Syafi’i, khususnya dalam hal ilmu hadis.

Oleh karena itu, Hasanah.id sangat tertarik untuk mengupas masalah ini agar kamu semakin memahami wasiat dari Imam besar Syafi’i.

Semua ulama sepakat bahwa kalam tersebut memang wasiat beliau, meskipun beberapa riwayat mempunyai redaksi yang berbeda-beda.

Komentar Imam Nawawi Mengenai Wasiat Imam Syafi’i

Untuk lebih memahami wasiat tersebut, kamu bisa melihat komentar Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ berikut ini:

وهذا الذى قاله الشافعي ليس معناه ان كل أحد رأى حديثا صحيحا قال هذا مذهب الشافعي وعمل بظاهره: وانما هذا فيمن له رتبة الاجتهاد في المذهب على ما تقدم من صفته أو قريب منه: وشرطه أن يغلب على ظنه أن الشافعي رحمه الله لم يقف على هذا الحديث أو لم يعلم صحته: وهذا انما يكون بعد مطالعة كتب الشافعي كلها ونحوها من كتب أصحابه الآخذين عنه وما أشبهها وهذا شرط صعب قل من ينصف به وانما اشترطوا ما ذكرنا لان الشافعي رحمه الله ترك العمل بظاهر أحاديث كثيرة رآها وعلمها لكن قام الدليل عنده على طعن فيها أو نسخها أو تخصيصها أو تأويلها أو نحو ذلك

Wahdha aldha qalah assyafi’ii laysa ma’nah ‘ana kl ahd ra’aa haditshaa sahihaan qala hadha madhhab assyafi’ii wa’amil bizahirih: wa’iinama hadha fymin lah rutbat alaijtihad fi almudhhab ‘alaa ma taqadam min sifatih ‘aw qarib minh: washartuh ‘an yaghlib ‘alaa zanah ‘ana alshshafieia rahimah allah lm yaqif ‘alaa hadha alhadith ‘aw lm yaelam sihtuh:

wahadha ‘iinama yakun baed mutalaeat kutib assyafi’ii klha wanahuha min kutub ‘ashabah alakhadhin ‘anh wama ‘ashbahuha wahadha shart saeb qul min yansuf bih wa’iinama aishtaratuu ma dhakarna li’ana assyafi’ii rahimah allah tarak al’amal bizahir ‘ahadith kathirat raha wa’almiha lkn qam aldalil ‘indah ‘alaa ta’an fiha ‘aw naskhaha ‘aw takhsisiha ‘aw tawiliha ‘aw nahwu dhalika

Artinya:

“Bukanlah maksud dari wasiat Imam Syafii ini adalah setiap orang yang melihat hadis yang shahih maka ia langsung berkata inilah mazhab Syafii dan langsung mengamalkan dhahir hadis. Wasiat ini hanya ditujukan kepada orang yang telah mencapai derajat ijtihad dalam mazhab sebagaimana telah terdahulu (kami terangkan) kriteria sifat mujtahid atau mendekatinya.

Syarat seorang mujtahid mazhab baru boleh menjalankan wasiat Imam Syafii tersebut adalah telah kuat dugaannya bahwa Imam Syafii tidak mengetahui hadis tersebut atau tidak mengetahui kesahihan haditsnya. Hal ini hanya didapatkan setelah menelaah semua kitab Imam Syafii dan kitab-kitab pengikut beliau yang mengambil ilmu dari beliau.

Syarat ini sangat sulit dipenuhi dan sedikit sekali orang yang memilikinya. Para ulama mensyaratkan demikian karena Imam Syafii mengabaikan makna eksplisit dari banyak hadis yang beliau temukan dan beliau ketahui namun itu karena ada dalil yang menunjukkan cacatnya hadis itu atau hadis itu telah dinasakh, ditakhshish, atau ditakwil atau lain semacamnya”. (Majmuk Syarh Muhazzab Jilid 1 hal 64).

Kedudukan Wasiat Imam Syafi’i

Dari komentar tersebut dapat dilihat kedudukan wasiat Imam Syafi’i dengan jelas, kecuali bagi mereka yang menganggap dirinya sederajat dengan mujtahid mazhab.

Tanggapan Imam Ibnu Shalat

Selain Imam Nawawi, Imam Ibnu Shalah juga mempunyai tanggapan mengenai wasiat Imam Besar Syafi’i tersebut yang tertulis di Adabul Mufti wal Mustafti halaman 54, sebagai berikut:

وليس هذا بالهين فليس كل فقيه يسوغ له أن يستقل بالعمل بما يراه حجة من الحديث

Walaysa hadha bialhayn falaysa kala faqih yasughi lah ‘an yastaqila bial’amal bima yarah hujatan min alhadits

Artinya:

“Tugas ini bukanlah perkara yang mudah, tidaklah setiap faqih boleh mengamalkan hadits yang dinilainya boleh dijadikan hujjah”. (Ibnu Shalah, Adabul Mufti wal Mustafti hal 54, dar Ma’rifah)

Dengan kata lain, wasiat tersebut justru menunjukan bahwa wawasan ilmu hadis Imam Syafi’i yang sangat luas dan bahkan tidak sembarang orang bisa berpendapat bahwa beliau tidak mengetaui suatu hadis sahih.

Namun, bisa jadi beliau tidak membahas suatu hadis sahih tertentu karena ada hal tertentu yang mengharuskannya untuk meninggalkan hadis tersebut, seperti karena sudah di takhsish atau nasakh.

Dalam hal ini, menguasai kitab-kitab para sahabat Imam Syafi’i menjadi hal yang wajib dilakukan sebelum berpendapat sembarangan.

Imam Nawawi sendiri mengakui sulitnya menemukan orang yang mencapai derajat keilmuan seperti Syafi’i.

Tanggapan Imam Ibnu Asakir

Bukan hanya Imam Nawawi saja, Imam Ibnu Asakir juga mengakui tingginya wawasan Imam Syafi’i dalam ilmu hadis, seperti yang beliau tulis dalam kitab Tarikh Dimasyqi saat meriwayatkan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal:

ما أحد يعلم في الفقه كان أحرى أن يصيب السنة لا يخطئ إلا الشافعي

Ma ahd yaelam fi alfaqih kan ‘uhraa ‘an yusib alsanat la yukhti ‘iilaa ashshafi’ii

“Tidak ada seorangpun yang mengetahui fiqh yang lebih hati-hati supaya sesuai dengan sunnah dan tidak tersalah kecuali Imam Syafi’i.” (Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq jilid 51 hal 350 dar Fikr)

Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, pendapat Imam Syafi’i juga mempunyai hujjah yang kuat. Beliau mengatakan bahwa jika tidak ada hadis sahih mengenai suatu masalah, maka perkataan Asy-Syafi’i bisa dijadikan patokan karena hujjah-nya paling kokoh dalam hal tersebut.

Bagaimana Para Ulama Mengamalkan Wasiat Imam Syafi’i

Dalam sejarahnya, beberapa ulama, seperti Abu Walid an-Naisaburi dan Abi Al-Wahid bin Al-Jarud telah berusaha mengamalkan wasiat Imam Besar Syafi’i.

Tepatnya, ulama-ulama tersebut mengamalkan wasiat beliau saat menghadapi masalah batal atau tidaknya puasa seseorang yang berbekam dan dibekam.

Saat itu, kedua ulama tersebut meninggalkan mazhab Syafi’i yang mengatakan bahwa hal tersebut tidak membuat puasa seseorang batal.

Akan tetapi, keduanya malah ditolak karena ternyata Syafi’i telah meninggalkan hadis tersebut mengingat hal ini bersifat mansukh.

Hal yang sama terjadi pada ajaran Imam Syafi’i terkait sunah kunut dalam salat subuh. Beberapa ulama pada waktu itu meninggalkan pendapat tersebut karena hadis sahih yang menyatakan Nabi meninggalkan kunut.

Namun, setelah mereka rujuk ditemukan bahwa mazhab Syafi’i tersebut mempunyai hujjah yang kuat dan tidak bertentangan dengan hadis sahih.

Para ulama setelahnya juga mengamalkan wasiat ini untuk meninggalkan pendapat-pendapat Syafi’i yang jadid dan kemudian berpegang pada pendapat qadim.

Hal tersebut bukan lain karena dalam qaul jadid, yang menghalangi Syafi’i untuk berpendapat sesuai suatu hadis adalah keraguan atas kesahihan hadis tersebut.

Jika disimpulkan bahwa suatu hadis itu sahih maka para ulama setelahnya akan berpegang pada pendapat qadim karena mengamalkan wasiat Syafi’i tersebut.

Pendapat Imam Syarwani Mengenai Wasiat Imam Syafi’i

Kamu bisa melihat penjelasan Imam Syarwani dalam hasyiah ala Tuhfatul Muhtaj berikut ini untuk memahaminya lebih baik:

يعلم منه أنه حيث قال في شيء بعينه إذا صح الحديث في هذا قلت به وجب تنفيذ وصيته من غير توقف على النظر في وجود معارض؛ لأنه – رضي الله تعالى عنه – لا يقول ذلك إلا إذا لم يبق عنده احتمال معارض إلا صحة الحديث بخلاف ما إذا رأينا حديثا صح بخلاف ما قاله فلا يجوز لنا ترك ما قاله له حتى ننظر في جميع القوادح والموانع فإن انتفت كلها عمل بوصايته حينئذ وإلا فلا

Ya’alam minh ‘anah hayth qal fi shay’ biaynih ‘iidha saha alhadith fi hadha qult bih wajaba tanfidh wasiatih min ghyr tawaquf ealaa alnazar fi wujud muearidan; li’anah – radi allah ta’alaa ‘anh – la yaqul dhlk ‘illa ‘iidha lm yabq ‘indah aihtimal muearid ‘iilaa sihat alhadith bikhilaf ma ‘iidha ra’ayna hadithaan saha bikhilaf ma qalah fala yajuz lana tarak ma qalah lah hataa nanzur fi jami’i alqawadih walmaw anie fa’iin antafat klha eamal biwasayatih hinayidh wa’illa fala

Artinya:

“Bisa di ketahui bahwa jika Imam Syafi berkata pada satu tempat “jika sahih hadis pada masalah ini saya akan berpendapat demikian”

Maka wajib di tunaikan wasiat Imam Syafii tersebut tanpa tawaquf pada dalil lain yang menentang (mu’aridh) karena Imam Syafii tidak mengucapkan demikian kecuali apabila tidak ada lagi kemungkinan ada mu`aridh kecuali hanya tentang sahnya hadis tersebut, dengan sebalik bila kita temukan satu hadis yang shahih maka tidak boleh bagi kita meninggalkan pendapat Imam Syafii sehingga kita tinjau kembali seluruh dalil mu’aridh dan qawadih dan segala mani`,

Apabila memang semuanya tidak ada maka baru bisa di amalkan wasiat beliau tersebut, jika tidak demikian maka tidak boleh.”

(Imam Syarwani, Hasyiah Syarwani `ala Tuhfatul Muhtaj Jilid 3 Hal 481 Dar Fikr)

Ketentuan tersebut bersifat menyeluruh untuk semua mazhab. Setelah mengutip wasiat Syafi’i, Imam al-Qurafi dalam Syarah al-Mahshul berpendapat bahwa selama tidak ada dalil yang kontra, artinya hal ini merupakan mahzab semua ulama bukan khusus Mazhab Syafi’i saja.

Pendapat Imam al-Qurafi Tentang Wasiat Imam Syafi’i

Berikut pendapat Imam al-Qurafi selengkapnya mengenai wasiat Imam Syafi’i:

فإنه كان مراده مع عدم المعارض، فهو مذهب العلماء كافة وليس خاصاً به، وإن كان مع وجود المعارض فهذا خلاف الإجماع …كثير من فقهاء الشافعية يعتمدون على هذا ويقولون: مذهب الشافعي كذا لأن الحديث صح فيه وهو غلط فإنه لا بد من انتفاء المعارض والعلم بعدم المعارض يتوقف على من له أهلية استقراء الشريعة حتى يحسن أن يقول لا معارض لهذا الحديث، وأما استقراء غير المجتهد المطلق فلا عبرة به

Fa’iinah kan maraduh mae edm almaearidi, fahu madhhab al’ulama’ kaft walays khasaan bih, wa’iin kan ma’ wujud almu’arid fahdha khilaf al’iijmae …kathayr min fuqaha’ ashshafi’iat tamidun ‘alaa hadha wayaqulun: madhhab alshshafieii kadha li’ana alhadith saha fih wahu ghlt fa’iinah la bd min aintifa’ almu’arid wal’alam bi’adam almuearid yatawaqaf ealaa min lah ‘ahliat aistiqra’ alshryet hataa yahsun ‘an yaqul la mu’arid lhdha alhadithu, wa’amaa aistiqra’ ghyr almujtahid almutlaq fala ‘ibratan bih

Artinya:

“Maksudnya adalah bila tidak ada dalil lain yang kontra. Ini adalah mazhab ulama seluruhnya bukan hanya khusus Mazhab Syafii. Sedangkan bila ada dalil yang kontra maka hal ini adalah bertentangan dengan ijmak ulama…

Banyak ulama fuqaha` Mazhab Syafii yang mencoba berpegang kepada perkataan Imam Syafii ini, mereka mengatakan ini adalah mazhab Syafi’i karena haditsnya shahih. Ini adalah hal yang salah karena harus tidak ada dalil lain yang kontra sedangkan untuk mengetahui tidak ada dalil yang kontra hanya mampu bagi kalangan yang memiliki kemampuan analisa syariat sehingga ia mantap menyatakan bahwa hadis ini tidak ada dalil lain yang kontra dengannya.

Adapun analisa selain mujtahid mutlak maka tidak di terima”. (al-Qurafi, Syarh Tanqih al-Fushul hal 450)

Pengamalan Wasiat Imam Syafi’i

Di sisi lain, Imam Taqi as-Subki berkomentar mengenai syarat untuk mengamalkan wasiat tersebut seperti diriwayatkan oleh Imam Nawawi dan Imam Ibnu Shalah berikut ini:

وهذا الذى قالاه رضي الله عنهما ليس راد لما قاله الشافعى ولا لكونها فضيلة امتاز بها عن غيره ولكنه تبيين لصعوبة هذا المقام حتى لا يغتر به كل احد
Wahadha aldhaa qalah radia allahu ‘anhuma laysa rad lma qalah ashaafi’i wala lakunuha fadilat amtaz biha ‘an ghyrh walakunah tabiiyn lisu’ubat hadha almaqam hataa la yaghtar bih klun ‘ahad

Artinya

”Perkataan keduanya (Imam Ibnu Shalah dan Imam Nawawi) ini bukan berarti menolak perkataan Imam Syafii sendiri dan bukan pula karena wasiat ini merupakan satu kelebihan yang membedakan beliau dengan ulama lainnya tetapi ini merupakan penerangan bagi sulitnya kedudukan ini sehingga tidak akan ada orang yang tertipu dengannya.” 

(As-Subki, Ma’na Qaul Imam Muthallibi “Iza shahha al-hadits fahuwa mazhaby” Hal. 93)

Dari penjelasan ulama-ulama yang telah Hasana.id kutip di atas, bisa disimpulkan bahwa seseorang tidak dapat serta merta menganggap satu hadis sahih dan pendapat Syafi’i yang bertentangan dengan hadis tersebut adalah salah.

Selain itu, wasiat Syafi’i tersebut tidak dapat diartikan sebagai larangan taqliq kepada beliau karena murid-murid yang belajar langsung pada beliau, juga masih mengikuti yang diajarkan.

Kemudian, mereka juga menyebarkan ajaran fikih mazhab Syafi’i kepada murid-muridnya sehingga mazhab tersebut pun dapat tersebar ke seluruh dunia.

Jika Imam Syafi’i sudah melarang taqliq kepada dirinya semasa hidup, maka mazhab beliau pun tidak akan diajarkan oleh murid-muridnya dan menyebar luar.

Nasihat-Nasihat Imam Syafi’i

Bukan hanya wasiatnya saja, tetapi nasihat Imam Syafi’i juga banyak dibahas dalam kitab-kitab ulama dan dijadikan bahan belajar bagi seluruh penuntut ilmu.

Selain tertulis rapi dalam kitab, nasihat beliau juga ada yang berbentuk syair dan dijadikan kutipan di banyak kesempatan.

Kamu bisa menyimak beberapa nasihat beliau dalam bentuk syair berikut ini:

Tentang Rahasia

Tentang rahasia, Syafi’i berpendapat bahwa orang yang membuka rahasianya sendiri kepada orang lain dan mendapatkan celaan daripadanya merupakan seorang yang bodoh.

إذا المرء أفشى سره بلسانه*** ولام به غيره فهو أحمق

إذا ضاق صدر المرء عن سرّ نفسه*** فصدر الّذي يستودع السّرّ أضيق

‘Iidha almar’ ‘afshaa sirah bilisanaha*** walam bih ghyrh fahu ‘ahmaq

‘Iidha daq sadar almar’an sr nafsha*** fasdar alldhy yastawdie alssr ‘adiq

Artinya:

“Jika seorang membuka rahasianya dengan lidahnya sendiri kemudian orang lain mencelanya karena itu, maka sungguh ia adalah orang bodoh.

Jika dadanya sempit untuk menanggung rahasia dirinya, ketahulah bahwa dada orang yang lain yang menyimpan rahasianya adalah lebih sempit.”

Menghadapi Orang Bodoh

Untuk menghadapi orang bodoh, Syafi’i berpendapat bahwa kamu sebenarnya tidak perlu menjawab atau bahkan membalasnya.

Dengan begitu, kamu bisa menjadi lebih baik saat seseorang tersebut bertambah kebodohannya.

يخاطبني السفيه بكل قبحٍ فأكره أن أكون له مجيبا*** يزيد سفاهةً فأزيد حلماً كعودٍ زاده الإحراق طيبا

Yukhatibuni alsafiah bikuli qbh fa’akarah ‘an ‘akun lah mujyba*** yazid sfahtan fa’azid hlmaan kewd zadh al’iihraq tayibana

Artinya:

“Orang bodoh mengejekku dengan segala rupa keburukan namun aku tidak suka untuk menjawabnya. Biarlah kebodohannya terus bertambah sedangkan aku terus menambah kesopananku, seperti kayu gaharu yang bertambah wangi ketika dibakar.”

Ilmu Membawa Kemuliaan

Menurut Imam Syafi’i, seseorang yang berilmu akan mendapatkan kemuliaan meskipun ia dilahirkan di keluarga biasa sekali pun.

Hal ini terjadi karena ilmu bisa mengangkat derajat seseorang yang memilikinya.

“Aku melihat bahwa pemilik ilmu itu akan mulia, meskipun ia dilahirkan di tengah keluarga buta huruf.

Ilmu selalu dapat mengangkat derajat pemiliknya sehingga semua orang mulia menghormatinya. Mereka akan mematuhi kata-kata sang pemilik ilmu, dan tanpa ilmu tak akan dikenal halal-haram.”

Menjauhi Pintu Raja

Dibanding mendekatkan diri kepada seorang raja, Syafi’i menasihati murid-muridnya untuk berlindung kepada Allah Swt.

“Di mana pun seorang raja berada, janganlah bernaung di pintunya. Apa yang kau inginkan dari seorang raja? Bila sang raja marah, ia akan mengejarmu, dan bila hatinya lega, ia akan merasa bosan kepadamu.

Berlindunglah hanya kepada Allah dan jauhi pintu para raja. Sesungguhnya berdiri di pintu seorang raja merupakan suatu kehinaan.”

Menggapai Cita-Cita

Saat kamu mempunyai cita-cita, melakukan yang terbaik untuk mencapainya adalah hal yang dianjurkan oleh Imam Besar Syafi’i.

Sama halnya saat kamu merasa gatal, kamu tentu akan menggaruk bagian yang gatal tersebut dengan kuku.

Dengan kata lain, kamu harus menyelesaikan sesuatu yang harus dikerjakan. Kemudian, jangan lupa untuk bersungguh-sungguh agar tujuanmu tercapai.

“Jika kulitmu gatal, garuklah dengan kukumu sendiri. Karena itu berarti engkau telah menyelesaikan tugasmu sendiri. Jika engkau bercita-cita, gapailah cita-citamu itu dengan segenap kemampuanmu.”

Tentang Keserakahan Manusia

Terkadang manusia bertindak serakah dan ingin mendapatkan semuanya. Padahal, ada di masa kamu tidak bisa memiliki dua hal yang berbeda secara bersamaan.

Syair Imam Syafi’i dalam Bahasa Indonesia berikut ini mungkin akan membuka pikiran kamu soal keserakahan manusia dan kesungguhan.

“Manakala engkau mendengar cerita tentang tongkat milik kakek-kakek menjadi pohon dan berbuah, percayalah!

Manakala engkau mendengar cerita tentang seorang nenek tewas ketika hendak minum kemudian tenggelam di kedalaman sungai, buktikanlah!

Jika kekayaan dapat dicapai melalui berangan-angan, maka akan kau temukan aku bergantung di tengah taburan bintang yang gemerlapan.

Tapi ingatlah! Orang yang diberi derajat mulia, tak mungkin diberi harta melimpah. Karena ilmu dan harta tak mungkin jalan bersama.”

Tentang Orang yang Berbudi Luhur

Adab, akal, dan harga diri merupakan beberapa hal yang dapat membedakan satu orang dengan lainnya.

Jangan sampai kamu menjadi bagian dari orang-orang bodoh yang tidak menghargai mereka yang beradab hanya karena rasa kebersamaan saja.

Jadilah seseorang yang berbudi luhur sehingga kamu tidak sama dengan mereka yang menilai kepala sama saja dengan ekor.

“Aku hidup di tengah-tengah orang bodoh yang tidak menghargai orang beradab. Mereka menilai bahwa kepala sama dengan ekor. Manusia memang dikumpulkan oleh rasa kebersamaannya. Tetapi di antara mereka ada perbedaan dari segi akal, adab dan harga diri.

Seperti halnya emas yang kemilau dibedakan dengan benda lainnya karena warna kuningnya. Jika batang cendana tidak memiliki bau yang harum, maka bagaimana mungkin manusia dapat membedakannya dengan kayu bakar.”

Tentang Cinta pada Seorang Wanita

Kata mutiara Imam Syafi’i bukan hanya soal ilmu fikih saja, beliau juga mempunyai nasihat mengenai bagaimana mencintai seseorang dengan benar.

Beliau mengingatkan bahwa bukan wanita yang dapat membuatmu menderita, tetapi mencintai seorang wanita yang tidak menyayangimulah yang bisa mendatangkan penderitaan.

“Semua orang menyenangi wanita, tetapi mereka berkata,”Mencintai wanita adalah awal sebuah derita.” Bukan wanita membuat derita, tetapi mencintai wanita yang tidak mencintaimulah yang akan menciptakan derita bagimu.”

Teladan yang Bisa Kamu Contoh

Berbicara soal imam besar tentu tidak lepas dari tabiat serta perilaku yang sangat pantas untuk ditiru, begitu juga dengan keistimewaan Imam Syafi’i yang tercermin dalam perilakunya.

Beberapa kisah teladan dari imam besar ini dapat kamu temukan di kitab Wafayatul A’yan wa Anba-u Abna-izzaman yang ditulis oleh Ibnu Khalikan.

Kali ini, Hasana.id akan fokus pada kisah Syafi’i saat berkunjung dan bermalam ke kediaman Imam Ahmad dan membuat tuan rumahnya tersebut bertanya-tanya.

Singkat cerita, selepas jamuan makan siang, pendiri mazhab Syafi’i ini langsung pergi ke kamarnya untuk istirahat dan baru keluar saat azan subuh.

Seusai salat, putri Imam Ahmad berbisik ke ayahnya karena merasa janggal dengan perilaku Imam Syafi’i tersebut. Ia mengira beliau tidak menjalankan salat sunah tahajud atau salat malam lainnya karena tidak keluar dari kamar sejak makan malam.

Putri Imam Ahmad semakin heran saat Imam Syafi’i langsung menjadi imam salat mereka tanpa mengambil air wudu terlebih dahulu

Menjawab bisikan dan kebingungan anaknya tersebut, Imam Ahmad pun berkata bahwa putrinya seharusnya dapat husnudzon kepada imam besar ini mengingat beliau adalah orang yang zahid, abid, dan alim.

Setelah waktu sarapan tiba, Syafi’i menyempatkan untuk bercerita kepada Imam Ahmad sebelum mulai menyantap hidangan yang disajikan.

Beliau yakin bahwa makanan yang disuguhkan Imam Ahmad kepadanya sangat penuh berkah sehingga ia dapat merasakan pikiran dan hatinya terbuka setelah menikmatinya semalam.

Bahkan, Imam Syafi’i juga merasa menemukan jawab atas masalah agama yang selama ini mengganggu pikirannya.

Oleh karena itu, Syafi’i pun mengungkapkan bahwa selepas makan malam ia menghabiskan semalam suntuk untuk ber-tadabbur hingga adzan subuh berkumandang.

Hikmah dari Kisah Teladan Imam Besar Syafi’i

Kamu bisa mengambil setidaknya tiga hikmah utama dari kisah Imam Besar Syafi’i di atas.

Tidak Berburuk Sangka

Hikmah yang pertama adalah sebaiknya kita tidak berburuk sangka kepada seseorang terutama pada ulama besar seperti Syafi’i saat beliau terlihat seperti menyimpang dari ukuran umum.

Meski dianggap tidak melakukan apa-apa, terbukti bahwa Syafi’i tidak tidur semalaman untuk mengkaji ilmunya tentang agama Islam.

Dalam hal ini, Imam Syafi’i memang tidak melaksanakan salat tahajud dan tidak berwudu lagi. Namun, bukan berarti hal yang dilakukannya tidak mencerminkan seorang ulama.

Yang beliau lakukan justru sesuai dengan kaidah “Al-muta’addi khoirun minal Qashir”, yaitu suatu hal yang berdampak besar bagi kemaslahatan umat seperti mengkaji ilmu sesungguhnya lebih utama dibanding ibadah individu seperti salat tahajud.

Selain itu, Syafi’i juga memang tidak mengambil air wudu sebelum salat subuh. Namun, hal ini dilakukan karena beliau masih menjaga wudunya karena tidak tidur semalaman.

Soal melanggengkan wudu atau Daaimul Wudlu sendiri, kamu bisa merujuk pada kitab Bidayatul Hidayah yang diriwayatkan oleh Imam Al-Ghazaly.

Ia mengungkapkan bahwa Nabi Musa pernah ditegur oleh Allah Swt. karena tidak memiliki wudu padahal nabi tersebut bisa saja mengalami bencana kapan saja, termasuk saat sedang tidak melanggengkan wudu.

Makanan yang Berkah

Hikmah kedua yang dapat diambil adalah makanan yang berkah dan halal bisa membawa manfaat bagi penyantapnya.

Imam Ahmad sendiri sangat terkenal dengan pendiriannya untuk makan makanan dari hasil keringat sendiri dan yang halalan thayyiban saja.

Perilaku Imam Ahmad ini juga diakui oleh Imam Syafi’i sehingga beliau kala itu dapat terbuka hati dan pikirannya setelah dijamu hidangan makan malam oleh Imam Ahmad.

Bukan hanya itu, Imam Ahmad tentunya menghidangkan makanan tersebut juga dengan niat tulus dan untuk menghormati gurunya sehingga menambah berkah dari jamuan tersebut.

Jadi, sebaiknya kamu tidak berpikiran negatif terlebih dahulu bahwa Imam Besar Syafi’i sebelumnya tidak pernah memakan hidangan yang demikian.

Saling Menghormati

Ketiga, hikmah yang bisa kamu petik dari kisah ini adalah saling menghormati dan silaturahmi.

Imam Syafi’i bukan hanya guru bagi Imam Ahmad, tetapi beliau juga jauh lebih muda dibandingkan sang tuan rumah tersebut.

Namun, hal ini tidak menghalangi Imam Syafi’i untuk mengunjungi muridnya tersebut dan sampai menginap di rumahnya. Kamu bisa meneladani sikap menghormati yang ditunjukkan oleh imam tersebut.

Meskipun demikian, tetap saja ada yang tidak setuju dan mengkritik tindakan Imam Syafi’i tersebut. Mendengar hal tersebut, beliau menyenandungkan dua bait syair yang dapat diartikan sebagai berikut:

قالوا يزورك أحمد وتزوره # قلت الفضائل لا تفارق منزله

إن زارني فبفضله أو زرته # فلفضله فالفضل في الحالين له

Qaluu yuzuruk ‘ahmad watuzawuruh # qult alfadayil la tufariq manzilih

‘Iina zarani fabifadlih ‘aw zartih # falifadlih falfadl fi alhalin lah

Artinya:

“Mereka berkata Ahmad mengunjungimu dan engkau mengunjunginya, mengapa? Aku menjawab: segala kemuliaan akhlak adalah milik Ahmad. Jika ia mengunjungiku, itu memang karena kemuliaan akhlaknya.

Dan jika aku mengunjunginya, itu karena aku berharap mendapatkan berkah kemuliaan akhlaknya. Dan pada keduanya (dia mengunjungiku dan aku mengunjunginya), kemuliaan akhlak itu tetap hanya milik Ahmad..” Masya Allah, Allahu Akbar wa lillahil hamdu…

Penutup

Dari ulasan singkat dan kisah tentang Imam Syafi’i di atas, kamu tentu dapat mengambil hikmah dan meneladani apa yang telah diajarkan oleh beliau.

Di era serba digital saat ini, dengan banyaknya media sosial yang membanjiri kehidupan bermasyarakat, mengingat kisah-kisah ulama besar seperti Syafi’i tentu bisa menjadi pengingat bagi kita untuk tetap berada di jalan Allah swt.

Semoga ulasan Hasana.id di atas bisa bermanfaat dan kamu dapat mengambil hikmah yang ada dari kehidupan dan ajaran Imam Syafi’i di atas. Aamiin allahumma aamiin.

Referensi:

https://lbm.mudimesra.com/2014/11/memahami-wasiat-imam-syafii.html

https://lbm.mudimesra.com/2015/12/biografi-singkat-imam-imam-pendiri-mazhab-4.html

https://lbm.mudimesra.com/2016/04/dua-nasihat-imam-syafii-ra.html

https://alif.id/read/raudal/hikmah-atawa-nasehat-imam-syafii-b232815p/