Imam al Ghazali dan Kedahsyatan Pengetahuannya dalam Berbagai Disiplin Ilmu

Dikenal sebagai salah satu ulama sufi dunia, nama Imam al Ghazali menjadi sangat termasyhur di peradaban Islam.

Karyanya telah menjadi inspirasi bagi para pemikir Islam. Kitab-kitabnya juga telah tersebar ke seluruh penjuru dunia dan menjadi rujukan di berbagai sekolah agama hingga saat ini.

Untuk mengenal lebih jauh mengenai al Ghazali dan pengaruhnya terhadap peradaban umat Muslim, yuk simak rangkuman Hasana.id berikut ini.

Merunut Biografi Singkat Imam al Ghazali

Nama panjangnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad, Abu Hamid at-Thoussi al-Ghazali. Ia juga dikenal dengan nama panggilannya, yaitu Abu Hamid al-Ghazali.

Ia mendapatkan gelar Hujjatul Islam karena menjadi seorang ulama yang gigih memerangi segala macam bentuk bid’ah serta penyimpangan pemikiran tentang Islam.

Saat orang-orang mulai resah dengan perkembangan ilmu filsafat, al-Ghazali turut terlibat dalam lingkaran tersebut dan berhasil menjadi salah satu pemikir besar Islam.

Ia bukan hanya dikenal oleh kalangan umat Islam saja, tetapi juga di antara kaum intelektual non-Islam. Sebab, ilmu beliau sangatlah luas dan punya pemikiran serta bahasa yang menyentuh hati. Terutama saat membahas mengenai tasawuf.

Imam al Ghazali dilahirkan di kota Thus, Persia, tepatnya pada tahun 450 H. Ulama sufi ini menghembuskan nafas terakhirnya di kota kelahirannya tersebut pada 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah, bertepatan dengan tahun 1111 Masehi.

Riwayat Pendidikan al Ghazali

Saat masih remaja, al-Ghazali belajar fikih kepada Syekh Abu Naser al-Ismaily. Kepada Syekh Abu Naser ini lah ia banyak mencatat keterangan-keterangan mengenai ilmu tersebut.

Sesampainya di Thous, ia terus berupaya untuk menyibukkan diri dengan belajar. Hingga setelah kurang lebih tiga tahun, ia berhasil hafal seluruh catatan yang diperoleh dari Syekh Abu Naser.

Setelah itu, al-Ghazali pergi ke Naisabur untuk menimba ilmu dari Imam al-Haromain al-Juwaini. Ia belajar kepada imam tersebut dengan tekun hingga mahir dalam banyak bidang, termasuk hadis, retorika, ilmu mantiq, bahkan Alquran.

Selain itu, beliau juga memperdalam ilmu di bidang filsafat dan hikmah, hingga akhirnya memahami seluruh uraian-uraian para pakar dalam bidang tersebut.

Hal ini menegaskan kecerdasan dan kecepatannya dalam menangkap pesan ilmu pengetahuan. Karena ini juga lah, al-Ghazali mendapatkan gelar Bahrun Mughdiq yang artinya lautan luas tak bertepi dari gurunya, yaitu Imam al-Haromain.

Ketakwaan dan Kezuhudan Imam al Ghazali

Al-Ghazali diketahui telah meninggalkan kehidupan yang penuh dengan kemewahan dan kesenangan dunia sepanjang hidupnya.

Ia tidak banyak makan atau minum dan lebih suka mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan paling kasar. Ia juga suka berlindung di lokasi-lokasi yang tenang dan sepi.

Bukan hanya itu saja, ia juga membiasakan dirinya hidup dalam kesengsaraan dan memilih untuk membebani dirinya sendiri dengan amalan-amalan yang berat.

Tak ayal jika ia menjadi seorang ulama besar yang tetap hidup sederhana meskipun ilmunya sangat luas.

Bahkan, Imam Muhammad bin Yahya As’ad Al-Maihani pernah mengatakan bahwa tidak ada orang yang bisa meraih ilmu serta kemuliaan Imam al Ghazali, kecuali orang-orang yang akal pikirannya sungguh-sungguh matang.

Beberapa Karya yang Pernah Ditulis al Ghazali

Sebagai seorang ulama besar dengan ilmu yang sangat luas, Imam Abu Hamid al-Ghazali mempunyai cukup banyak karya ilmiah,

Peninggalan-peninggalannya yang sangat berharga bagi peradaban umat Islam tersebut, antara lain al-Munkhul, al-Iqtshod fi al-I’tiqod, al-Mustafa, al-Ihya’ Ulumuddin, al-Asma’ al-Husna, al-Basit, al-Munqidz fi al-Dholal,dan al-Khulashoh.

Selain itu, ada juga ar-Roddu Ala al-Bathiniyyah, Tahafut al-Falasifah, Minhaj al-‘Abidin, Syifa al-‘Alil, Risalah al-Waladiyyah, Bidayah al-Hidayah, Syifa’ al-‘All, Tahshin al-Adillah, dan Maqosid al-Falasifah.

Imam al Ghazali Ahli dalam Bidang Tasawuf dan Sufi

Meskipun dikenal dengan kepandaiannya dalam berbagai disiplin ilmu, tidak bisa dipungkiri jika tasawuf dan sufi menjadi bidang yang paling menonjol dari al-Ghazali.

Jika kita mungkin kesulitan untuk menjelaskan tasawuf dan sufi sebagai seorang awam, al-Ghazali memberikan penjelasan singkat yang dianggap sebagai pokok-pokok dalam ilmu tersebut.

Ia menjelaskan bahwa hablum minallah dan hablum minan nas merupakan ajaran paling utama dalam tasawuf.

Dua pilar dalam ilmu tasawuf tersebut disebutkan al-Ghazali di kitab karyanya dengan judul Ayyuhal Walad. Karena kitab tersebut diperuntukkan untuk mengenalkan ilmu ini pada anak-anak, bahasa singkat nan sederhana menjadikannya lebih mudah untuk kita mengerti juga.

Apalagi mengingat penjelasan singkat dan sederhana tersebut tidak mengurangi hakikat dari tasawuf sedikit pun.

Penjelasan Imam al Ghazali Mengenai Tasawuf

Berikut ada lah bunyi penjelasan Imam al Ghazali mengenai tasawuf dalam kitab tersebut:

ثم اعلم أن التصوف له خصلتان الاستقامة مع الله تعالى والسكون عن الخلق٬ فمن استقام مع الله عز وجل وأحسن خلقه بالناس وعاملهم بالحلم فهو صوفي

Artinya:

“Ketahuilah tasawuf memiliki dua pilar, yaitu istiqamah bersama Allah dan harmonis dengan makhluk-Nya. Dengan demikian siapa saja yang istiqamah bersama Allah Swt., berakhlak baik terhadap orang lain, dan bergaul dengan mereka dengan santun, maka ia adalah seorang sufi,”

Dari penjelasan di atas, arti tasawuf bukan lah semata soal hal-hal yang nampak saja, seperti serban, jubah, biji tasbih, dan berjenggot.

Bukan juga hanya soal memotong celana sampai di atas mata kaki, menunjukkan lafal tauhid, atau mengubah ejaan menjadi lebih Islami di depan khalayak umum.

Bagi al-Ghazali, tasawuf merujuk pada seseorang yang menjaga perilakunya agar selalu taat kepada perintah Allah Swt. baik secara lahir maupun batin.

Kemudian, perilaku tersebut juga disertai dengan kepedulian pada sesama dan alam sekitar dalam kehidupan bermasyarakat.

Dengan kata-kata tasawuf Imam al Ghazali tersebut, setiap orang berkesempatan untuk menjadi seorang sufi tanpa perlu mengubah penampilannya atau meninggalkan kegiatan sehari-harinya yang sudah ditekuni selama ini selama hal tersebut tidak melanggar syariat.

Memahami Kedahsyatan Ilmu Imam al-Ghazali

Ia disebut mempunyai ilmu hakikat, yaitu ilmu yang hanya dimiliki oleh orang-orang ma’rifat.

Saat membahas Kitab Kimiya’ as-Sa’adah yang ditulis oleh al Ghazali, Gus Mus menjelaskan bahwa ilmu hakikat merupakan ilmunya Allah Swt.

Oleh karena itu, mereka yang tidak mengerti umumnya tidak yakin dan tidak percaya. Tak jarang orang-orang takut dengan mereka yang mempunyai ilmu hakikat. Bahkan beberapa diantaranya mungkin sampai menganggap mereka stress, Gus Mus menambahkan.

Gus Mus juga menjelaskan bahwa ilmu yang didapatkan oleh Imam al Ghazali tersebut merupakan hasil dari tajribah atau pengalaman diri sendiri.

Hal tersebut juga tidak lepas dari semangat al Ghazali dalam memahami dan mendalami berbagai ilmu pengetahuan.

Metode tajribah tersebut juga memengaruhi karya-karya al Ghazali yang umumnya memiliki kandungan mendalam terkait ruhaniyah.

Sementara itu, karya-karya al Ghazali juga membahas beragam jenis ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh seluruh umat manusia. Termasuk di dalamnya adalah ilmu usul fikih, fikih, tasawuf dan ilmu-ilmu lainnya.

Karena kedahsyatan ilmunya tersebut, al-Ghazali juga sempat menduduki jabatan Naib Kanselor di Madrasah Nizhamiyah, yaitu pusat pengajian tinggi yang ada di Baghdad.

Nasihat-Nasihat al-Imam al-Ghazali Tentang Kebahagiaan

Albert Einsten dikenal dengan theory of happiness-nya yang menyatakan bahwa kehidupan yang tenang dan sederhana dapat membuat seseorang lebih bahagia daripada mengejar kesuksesan.

Jauh sebelum itu, Imam al Ghazali mengenalkan kebahagiaan sebagai suatu proses. Ulama yang dikenal sebagai sang “Hujjatul Islam” tersebut percaya setiap orang dapat meraih kebahagiaan selama ia tekun untuk mendapatkannya.

Proses tersebut dijelaskan dalam risalahnya yang berjudul Kimiya’ as-Sa’adah atau Kimia Kebahagiaan.

Terdapat filosofi yang sangat mendalam dari karya tersebut, termasuk bagaimana proses seseorang meraih kebahagiaan yang sejati.

Menurut al Ghazali, manusia sebagai salik selalu mencari jalan kebahagiaan dengan cara berlaku mujahadah secara terus menerus. Hal ini lah yang kemudian membawa mereka menuju musyahadah. Dalam tahap ini, tabir antara makhluk dan Sang Khalik telah tersingkap.

Ma’rifat an-Nafs, Mengenal Diri Sendiri

Imam al Ghazali memiliki pandangan bahwa hal utama yang harus dikerjakan seorang salik adalah mengenali dirinya sendiri. Sebab, menurutnya hal ini lah yang menjadi kunci untuk semakin mengenal Allah Swt.

Ia juga berpendapat bahwa tak ada seorangpun yang lebih dekat dengan seseorang, kecuali orang itu sendiri. Seseorang yang sudah bisa melakukan hal ini kemudian disebut sebagai ‘arif.

Menurut Imam al Ghazali, orang ‘arif merupakan seseorang yang telah berhasil mengenal dirinya dan Tuhannya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. bahwa siapa saja yang mengenal dirinya sendiri pasti juga benar-benar mengenal Tuhannya.

Oleh karena itu, sebagai makhluk-Nya, sudah sepantasnya kita berusaha mengenal diri kita sendiri. Sehingga kita dapat mencapai derajat selanjutnya, yaitu mengenal Allah Swt.

Kamu bisa menganalisis diri dengan mencari tahu kekuatan dan kelemahan yang dimiliki, serta memahami kesempatan yang mungkin datang di masa datang.

Selain itu, penting juga untuk mengantisipasi ancaman yang bisa terjadi atau harus kamu hadapi. Dengan kata lain, kamu bisa melihat diri sendiri dengan menggunakan analisis yang cukup populer, yaitu SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, Threats).

Mujahadah, Berupaya Memaksimalkan Potensi Diri

Saat seseorang telah memahami kekuatan dan kelemahan yang terdapat dalam dirinya, langkah yang harus dilakukan selanjutnya adalah memaksimalkan apa yang telah dimilikinya.

Bukan rahasia jika setiap umat manusia mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Oleh karena itu, fokus mengembangkan potensi diri menjadi salah satu kunci untuk selalu mengoptimalkan yang dimiliki.

Dalam hal ini, Imam al Ghazali menganjurkan mujahaddah tidak hanya dimaknai sebagai perbuatan spiritual saja, yaitu dengan senantiasa berzikir dan berdoa. Akan tetapi, ia juga menganjurkan umat Islam untuk menyeimbangkan hal tersebut dengan usaha secara fisik.

Sebagaimana sudah kita ketahui bersama bahwa doa tanpa usaha yang optimal juga bukan tidak mungkin berakhir sia-sia, begitu juga sebaliknya.

Menurut al-Ghazali, mujahaddah seharusnya dimaknai sebagai kesungguhan yang maksimal. Sebab, sesuai dengan frasa man jadda wajada, siapa pun yang bersungguh-sungguh pasti akan mendapatkan hasil yang setimpal.

Sikap optimis ini juga penting untuk ditanamkan dalam diri kita supaya berbagai macam kegiatan yang kita kerjakan akan berbuah maksimal.

Sa’adah, Mencapai Hasil Akhir

Imam al Ghazali telah mengajarkan langkah demi langkah untuk mencapai kebahagiaan seperti di atas. Jika dilakukan dengan maksimal dan bersungguh-sungguh, maka bukan tidak mungkin kebahagiaan yang hakiki tersebut dapat tercapai.

Ketika berada pada keadaan tidak menentu, kata-kata “jangan lupa bahagia” menjadi suatu hal yang penting untuk ditanamkan dalam diri.

Kalimat sederhana tersebut menjadi sangat bermanfaat jika senantiasa kita sugestikan dalam alam bawah sadar sendiri. Sebab, secara tidak sadar, hal tersebut akan menjadi stimulus dalam menjalani kehidupan dengan hati yang bahagia.

Selain itu, mindset ini juga akan membentuk imun tubuh kita menjadi lebih kuat dan akhirnya pikiran kita pun akan terjaga. Dengan demikian, ide-ide kreatif pun bisa muncul dan menjadikan kita semakin produktif.

Motivasi dan Kata-kata Imam al Ghazali Tentang Menuntut Ilmu

Perjalanan intelektual al Ghazali dimulai dari sebuah madrasah, sama dengan kebanyakan umat Muslim saat ini. Akan tetapi, apakah pemahaman kita terhadap ilmu-ilmu agama, sebaik ulama tersebut?

Meskipun kita mungkin tidak mampu menyamai al Ghazali dalam hal ini, setidaknya kita bisa belajar bagaimana untuk mendekatinya.

Bersama dengan adiknya, yaitu Ahmad al-Ghazali, Imam al-Ghazali sudah hidup tanpa orang tua sejak kecil.

Awalnya, dua bersaudara tersebut dititipkan pada teman ayahnya yang merupakan seorang sufi. Seseorang tersebut lah yang kemudian memasukkan mereka ke madrasah karena tidak mampu menghidupi keduanya.

Imam al Ghazali pun mengakui bahwa tujuan awal dirinya masuk ke madrasah bukan lah karena Allah Swt. Melainkan untuk bisa memperoleh makanan.

Menurut catatan Imam al-Subkhi, hal tersebutlah yang kemudian membuat keduanya memperoleh derajat luhur, yaitu huwa al-sabab fi sa’adatihima wa ‘uluw darajitima.

Seiring berjalannya waktu, keduanya semakin tenggelam dalam kegiatan belajar dan menumbuhkan mereka menjadi para pecinta ilmu.

Untuk mendukung kebutuhannya dalam menuntut ilmu, al-Ghazali harus berjuang setiap siang dan malam. Ia harus mencari uang dan makan supaya bisa terus belajar serta memenuhi kebutuhan akan perlengkapan belajar.

Semangat tersebut lah yang seharusnya menjadi dorongan agar kita selalu belajar dan mencari ilmu. Sebab, al-Ghazali yang tidak didukung dengan keadaan memadai pun selalu semangat belajar.

Ia bahkan rela berpindah dari satu kota ke kota lainnya agar dapat memperluas cakrawala pengetahuannya, baik dalam bidang agama maupun lainnya.

Lalu, kiat-kiat apa yang bisa kita ikuti dari cara Imam al Ghazali menuntut ilmu? Berikut beberapa di antaranya.

Belajar tanpa henti

Al-Ghazali tidak pernah berhenti untuk menuntut ilmu hingga ia wafat. Untuk belajar, al-Ghazali pergi dari satu guru ke guru lain sehingga bisa mendalami ilmu yang belum dia kuasai.

Bahkan setelah ia tidak lagi menjabat sebagai rektor di Madrasah Nizamiyyah, ia tetap mencari guru lainnya dan mempelajari berbagai hal sampai bertahun-tahun lamanya.

Kegemarannya berpindah untuk menuntut ilmu tersebut bahkan sempat membuatnya terlibat dalam sebuah perjalanan menarik yang tak mudah untuk dilupakan.

Hal tersebut terjadi saat sekelompok penyamun mengambil seluruh catatan belajarnya. Ia pun meminta mereka untuk mengembalikannya.

Akan tetapi, para penyamun tersebut malah tertawa dan mengatakan bahwa sesuatu tak bisa disebut sebagai pengetahuan jika ada orang yang mengambilnya darimu dan kamu menjadi tak lagi berilmu.

Kata-kata tersebut lah yang kemudian dijadikan sebagai pegangan bagi Imam al Ghazali untuk mengubah cara belajarnya.

Setelah peristiwa tersebut, al-Ghazali pun mulai menghafalkan seluruh catatan belajarnya agar dia tidak kehilangan pengetahuannya lagi.

Menjernihkan Hati Dari Penyakit-penyakitnya

Al-Ghazali juga mengajarkan kita untuk membersihkan hati dari berbagai penyakit-penyakitnya dalam proses menuntut ilmu.

Jabatan atau hal apa pun tidak seharusnya menjadi alasan bagi kita untuk berhenti menuntut ilmu. Sebab, ilmu ada bahkan pada sesuatu yang tidak pernah kita duga sekalipun.

Mempelajari Semua Disiplin Ilmu

Hal ini dapat diartikan tidak memilih-milih ilmu yang dipelajari dan melahap semua pengetahuan selama itu baik.

Imam al Ghazali juga sangat mengapresiasi kemajuan ilmu pengetahuan dengan memberikan kritikan-kritikan membangun sehingga ditemukan kebenaran yang sesungguhnya.

Dalam kitabnya, Tahafut al-Falasifah, al-Ghazali menjelaskan lebih lanjut mengenai hal ini sebagai berikut:

ومن ظن أن المناظرة في إبطال هذا من الدين, فقد جني علي الدين وضعف أمره, فإن هذه الأمور تقوم عليها براهين هندسية حسابية, لا يبقي معها ريبة…

Artinya:

“Siapa saja yang berpandangan bahwa kajian dalam mempersoalkan teori di atas bagian dari agama, maka telah berbuat jahat terhadap agama dan melemahkan sendi-sendinya. Sebab, teori di atas dikonstruksi atas bukti-bukti astronomi yang matematis, tiada keraguan sedikit pun terhadapnya..”

Dari uraian singkat di atas, akhirnya dapat kita simpulkan bahwa Imam al Ghazali merupakan seorang ulama yang tak pernah lelah menuntut ilmu. Oleh karena itu, tak ayal jika ia menjadi ulama besar dengan banyak karya tulis yang membahas berbagai disiplin ilmu.

Referensi:

https://www.nu.or.id/post/read/106165/kedahsyatan-ilmu-imam-ghazali-di-luar-nalar-manusia-biasa-

https://islam.nu.or.id/post/read/111025/penjelasan-imam-al-ghazali-tentang-tasawuf-dan-sufi

https://www.nu.or.id/post/read/82139/menjadi-santri-seperti-imam-al-ghazali

https://www.nu.or.id/post/read/126423/rumus-kebahagiaan-imam-al-ghazali