Memahami Makna Suudzon dan Husnudzon

Prasangka adalah sesuatu yang selalu muncul dalam hati manusia. Terkadang, munculnya tidak dapat dihindari, tetapi tetap bisa dikontrol, bagaimanapun juga. Sangkaan yang buruk tentu berlawanan dengan yang baik, masing-masingnya dikenal oleh orang-orang beriman sebagai suudzon dan husnudzon.

Terdapat istilah habluminallah (hubungan dengan Allah Swt.) dan habluminannas (hubungan antar manusia) dalam ajaran Islam. Seorang muslim wajib memiliki husnudzon terhadap Sang Pencipta dan orang lain dalam rangka membangun keterikatan yang baik.

Hal ini terdengar mudah, tetapi entah mengapa sangat sulit membiasakan diri berprasangka baik, utamanya jika seseorang tengah dihimpit oleh kesulitan hidup atau ia berada di zaman di mana kejahatan terjadi di segala tempat.

Mau tidak mau, ia akan terus-menerus mempertanyakan intensi segala hal yang menimpanya dan tindakan orang lain padanya.

Jika sudah begini, suudzon yang akan muncul untuk mendominasi prasangkanya. Mudah sekali berprasangka buruk, dan ini bukanlah hal yang bagus. Secara konstan menaruh kecurigaan dan selalu merasa waswas hanya akan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap ketetapan Allah Swt. dan pada sesama pula.

Pada akhirnya, membangun peradaban yang dekat dengan nilai-nilai Islami tidak akan dapat dilakukan. Jangankan meniru generasi para sahabat, mendekatinya saja tak akan bisa.

Lalu, bagaimana caranya membangun kebiasaan untuk berprasangka baik? Apa pula yang dapat dilakukan untuk mengenyahkan suudzon? Ada kalanya, prasangka buruklah yang benar. Jika demikian, apakah kemudian berburuk sangka dibenarkan?

Pada artikel kali ini, Hasana.id akan menyediakan informasi mengenai makna suudzon dan husnudzon yang insyaallah dapat memotivasi kamu untuk selalu berbaik sangka pada ketetapan-Nya dan juga terhadap orang lain, khususnya sesama muslim. Simak hingga habis, ya!

Pengertian Umum Suudzon dan Husnudzon

Pengertian Suudzon

Suudzon artinya ‘prasangka buruk’, yang berasal dari dua penggalan kata dalam bahasa Arab, yaitu suu-u dan zhan. Kata suu-u berarti ‘keburukan’ atau ‘kejelekan’, akar katanya dari kata saa-a yang berarti ‘berbuat buruk’ atau ‘memburukkan’.

Sedangkan, zhan berarti ‘dugaan kuat’, akar katanya dari kata zhanna yang berarti ‘menduga’. Gabungan kata ini sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi sebuah kata dasar dan dikategorikan dalam kelompok kata benda. Penulisan bakunya adalah ‘suuzan’.

Namun, kebiasaan yang tidak sama di daerah yang satu dengan yang lainnya menyebabkan adanya perbedaan penulisan transliterasi. Kamu umum mendapati kata ‘suuzan’ ditulis menjadi suudzon, suuzhan, suuzon, suudzan, suuzhon, dan lain-lain yang serupa.

Pengertian Husnudzon

Husnudzon adalah ‘prasangka baik’ dalam bahasa Indonesia. Sama seperti ‘suuzan’, kata ini sebenarnya diambil dari dua penggalan kata-kata lain, yaitu husn dan zhan. Kata zhan dalam husnuzhan memiliki pengertian yang persis sama dengan kata zhan dalam suuzhan di atas.

Sementara itu, kata husn artinya ‘kebaikan’ yang berakar dari kata hasuna dengan makna ‘baik’, ‘tampan’, atau ‘cantik’. Gabungan kata ini sudah menjadi kata serapan dalam bahasa Indonesia dengan ‘husnuzan’ sebagai kata bakunya.

Kata ‘husnuzan’ ini pun memiliki banyak versi penulisan, tergantung bagaimana orang-orang terbiasa menuliskan transliterasinya, seperti khusnudzon atau husnudzon.

Maksud Husnudzon = Amal yang Utama

Seorang muslim wajib menambatkan husnuzannya pada dua tujuan, yaitu Allah Swt. dan sesama manusia, seperti yang sudah disinggung sebelumnya. Rasulullah saw. menyabdakan bahwa berbaik sangka adalah amal yang utama.

أَفْضَلُ الْأَعْمَالِ حُسْنُ ظَنِّ بِاللهِ وَحُسْنُ ظَنِّ بِعِبَادِ اللهِ

Afdhalul-a’maali husnuzhanni billaahi wa husnuzhanni bi’ibaadillaah.

Artinya:

Seutama-utama amal adalah berprasangka baik kepada Allah dan berprasangka baik kepada hamba-hamba Allah.

Macam-Macam Husnuzan

Sekarang, mari membahas dua prasangka baik yang disebutkan dalam hadis di atas.

Husnuzhan Billah (Berprasangka Baik pada Allah Swt.)

Sebuah hadis qudsi merekam firman Allah Swt. sebagai berikut.

أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ

Anaa ‘inda zhanni ‘abdiibii.

Artinya:

Aku (Allah) sesuai dengan prasangka hamba-Ku terhadap Aku.

Maksud hadis ini adalah bagaimanapun seorang hamba berprasangka – antara suudzon atau husnudzon – terhadap Allah Swt., sangkaannya itulah yang benar.

Jika ia menaruh prasangka baik atas ketetapan-Nya, Sang Pencipta pun membenarkan dan membuat kebaikan-kebaikan yang ada dalam benak hamba tersebut menjadi nyata.

Sebaliknya pun begitu, jika ia berprasangka buruk terhadap apa yang Allah Swt. tetapkan untuknya, Sang Pencipta pun juga membenarkan dan membuat keburukan-keburukan yang ia sangkakan menjadi terealisasi.

Dengan kata lain, bagaimana kesudahan takdir yang seorang hamba jalani tergantung pada dirinya sendiri. Ia akan bahagia pada akhirnya jika saat ini ia berpikir demikian. Hadis qudsi di atas juga dapat dimaknai sebagai pelajaran yang Allah Swt. berikan pada hamba-hamba-Nya.

Pelajaran tersebut adalah apa yang seseorang duga, sangka, atau pikirkan adalah yang akan terjadi kemudian, sehingga menjadi sangat penting untuk belajar mengendalikan suudzon maupun husnudzon.

Kamu harus memaksa diri untuk berpikir positif sekalipun tidak menyukai apa yang tengah menimpamu, karena di dalam ketetapan-Nya yang mungkin kamu benci, pasti tersimpan kebaikan untukmu. Hal ini merujuk pada sebuah ayat dalam Al-Qur’an yang menuliskan firman-Nya.

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Kutiba ‘alaikumul-qitaalu wa huwa kurhul lakum. Wa ‘asaa an takrahuu syai-aw wa huwa khairul lakum. Wa ‘asaa an tuhibbuu syai-aw wa huwa syarrul lakum. Wallaahu ya’lamu wa antum laa ta’lamuun.

Artinya:

Diwajibkan atas kamu berperang. Padahal perang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi, kamu membenci sesuatu, padahal sesuatu itu baik bagi kamu. Dan boleh jadi pula, kamu mencintai sesuatu, padahal sesuatu itu buruk bagi kamu. Dan Allah Mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.

(Surah al-Baqarah: 216)

Meskipun konteks ayat di atas adalah peperangan, ilmu-Nya dapat diaplikasikan dalam semua aspek. Seorang hamba tidak memiliki pengetahuan akan kadar Allah Swt. yang terjadi pada dirinya. Maka, mempertanyakan intensi terjadinya saja agaknya tak layak, apalah lagi menyangkakan yang buruk.

Husnuzhan bi ‘Ibadillah (Berprasangka Baik pada Hamba Allah Swt.)

Dalam menjalani hidup, kamu pasti sering mendapatkan beragam perlakuan, baik yang menyenangkan maupun yang tidak, dari orang lain. Hal ini yang kemudian menjadikanmu menaruh suudzon dan husnudzon pada mereka sesuai dengan bagaimana kamu diperlakukan.

Jika orang lain berbuat baik padamu, kamu memiliki husnuzan pada mereka. Namun, bila mereka memperlakukanmu dengan buruk, suuzanlah yang menguasai benakmu. Padahal, Allah Swt. memerintahkan kepada para hamba untuk menjauhi sebagian besar prasangka.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

Yaa ayyuhal-ladziina aamanuuj-tanibuu katsiram minazh-zhanni inna ba’dhazh-zhanni itsmu.

Artinya:

Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah olehmu kebanyakan prasangka. Sesungguhnya, sebagian prasangka itu adalah dosa.

(Surah al-Hujurat: 12)

Ternyata, sebagian prasangka adalah dosa berdasarkan kalam-Nya. Tak berlebihan agaknya jika kata ‘sebagian prasangka’ itu lantas dimaknai dengan ‘sangkaan yang buruk’.

Allah Swt. tak akan memerintahkan manusia untuk menjauhi sesuatu tanpa maksud. Dalam hal-hal yang harus dijauhi tersebut pasti terkandung keburukan. Nah, suuzan erat kaitannya dengan pikiran negatif.

Seseorang yang memiliki prasangka dan pikiran yang selaras dalam keburukan, tak akan tenang menjalani hidup bagaimanapun keadaannya saat itu.

Maka, husnuzan adalah sesuatu yang dapat dilakukan seorang hamba untuk memiliki hidup yang tenang; menaruh prasangka baik terhadap sesamanya, apa pun yang ia terima dari sekelilingnya.

Syukuri perlakuan baik yang diterima dan anggap saja perlakuan sebaliknya sebagai pelajaran yang mendewasakan.

Suuzan yang Tebersit di Dalam Hati

Ada kalanya, seseorang tak bisa mengendalikan apa yang tebersit dalam hatinya. Ia sudah berupaya untuk selalu menghadirkan prasangka baik terhadap apa pun. Namun, bisa jadi, ia memiliki suuzan atas suatu hal yang sifatnya hanya sekilas lalu dan tak sempat ia utarakan, terlebih lagi diyakini.

Bagaimana bila itu yang terjadi? Apakah ia tetap berdosa? Beruntungnya, Allah Maha Pengampun dan mengampuni seorang hamba yang memiliki bersitan buruk terhadap orang lain, yang tak kuasa ia tolak, sepanjang pikiran tersebut tetap berdiam dalam benaknya.

Rasulullah saw. pernah ditanya mengenai seorang suami yang tebersit untuk menalak istrinya, tetapi hanya diucapkan di dalam hati. Jawaban Nabi Muhammad saw. setelah itu dapat menjadi rujukan atas perkara suuzan yang tak dapat dikontrol.

An-Nasa’i meriwayatkan hadis yang merekam jawaban Rasulullah saw. tersebut dari dua jalur, yaitu Abu Hurairah dan Abdur Rahman, radiyallahu ‘anhum.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي كُلَّ شَيْءٍ حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَكَلَّمْ بِهِ أَوْ تَعْمَلْ

‘An abii hurairah annan-nabiyya shallallaahu ‘alaihi wa sallama qaala ‘abdur-rahmani ‘an rasuulillaahi shallallaahu ‘alaihi wa sallama qaala innallaaha ta’aalaa tajaawaza ‘an ummatii kulla syai-in haddatsat bihi anfusahaa maa lam takallam bihi au ta’mal.

Artinya:

Dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw. bersabda – dari jalur lain, dari Abdur Rahman berkata dari Rasulullah saw. bersabda – ‘Sungguh, Allah memaafkan umatku atas ucapan yang tebersit di dalam dirinya selagi tidak diutarakan atau diamalkan.’” (Hadis Sunan An-Nasa’i No. 3.379 – Kitab Talak)

Kesimpulannya, bersitan buruk yang tak kuasa ditolak seseorang dalam benaknya dianggap sebagai suatu kekhilafan dan diampuni oleh Allah Swt. karena sifatnya tak sengaja.

Namun, agar tak terbiasa dengan hal-hal semacam itu, kamu harus segera mengenyahkan bersitan buruk tersebut serta menggantinya dengan prasangka dan pikiran positif.

Hikmah Husnuzan

Allah Swt. tak mungkin menganjurkan sesuatu jika tak mengandung hikmah dan kebermanfaatan bagi para hamba. Nah, kebaikan dari memiliki husnuzan terhadap Allah Swt. dan hamba-hamba-Nya adalah sebagai berikut.

Memahami Hakikat Alam Semesta

Hikmah dari terbiasanya berprasangka baik adalah kamu akan sadar dan memahami bahwa ada yang mengatur serta menjalankan segala sesuatu yang terdapat dalam alam semesta ini.

Semuanya bekerja sesuai dengan kehendak dan ketetapan-Nya. Dengan kata lain, suatu hal itu tidak terjadi karena kebetulan.

Takdir yang dijalani, rezeki yang diterima, jodoh yang dibersamai, serta umur yang dimiliki, semua tertulis dalam Lauhul Mahfudz (Kitab yang Nyata) untuk kamu lewati.

Begitu pula dengan sikap dan perlakuan yang didapat dari sesama manusia. Allah Swt. menakdirkanmu menerimanya karena sebuah alasan, jika tak menguatkan, sifatnya menjadi pelajaran.

Makin Dekat dengan Allah Swt.

Husnuzan membuatmu memahami hakikat alam semesta yang berjalan sesuai dengan ketetapan-Nya. Dengan demikian, kamu akan makin dekat dengan Sang Pencipta karena sadar bahwa Ia yang Mahakuasa tak menginginkan keburukan terjadi pada dirimu.

Menanamkan Sikap Tawakal

Berbaik sangka pada-Nya juga akan membuatmu percaya pada ‘hasil kerja’ Allah Swt. Dalam tiap langkah mencapai sesuatu, kamu akan menaruh tawakal karena yakin Yang Mahakuasa akan memperkenankan bagimu segala yang diusahakan.

Hidup Tenteram dan Jiwa Tenang

Dengan tawakal, hidupmu akan terasa lebih tenteram sehingga jiwamu pun akan tenang. Meyakini segala sesuatu terjadi untuk yang terbaik akan membuatmu lebih damai, tanpa cemas dan takut berlebihan.

Contoh Kisah Suudzon dan Husnudzon

Kisah Thalhah bin Abdurrahman r.a.

Tersebutlah salah seorang putra Abdurrahman bin Auf, yaitu Thalhah, dan istrinya, radhiyallahu ‘anhum, dalam kisah ini. Tak jauh berbeda dengan sang ayah yang diketahui berharta banyak, putranya pun demikian. Pada masanya, ia terkenal sebagai seseorang yang kaya dan dermawan.

Thalhah bin Abdurrahman r.a. hampir setiap hari menyambut tamu yang tak lain adalah sahabat-sahabatnya sendiri. Sebagaimana adab memuliakan tamu, ia pun menjamu dan mengulurkan bantuan pada mereka.

Keadaan menjadi berbeda tatkala Thalhah bin Abdurrahman r.a. kehabisan hartanya. Rumahnya sepi tanpa kunjungan dari sahabat-sahabatnya. Menyadari hal ini, istri Thalhah r.a. pun berkata suatu hari, “Sepenglihatanku, tidak ada kaum yang lebih buruk dibandingkan karib-karibmu.”

Thalhah bin Abdurrahman r.a., yang terkejut mendengar penilaian istrinya terhadap para sahabatnya, berkata, “Mengapa pendapatmu seperti itu?”

Istrinya menjawab, “Bagaimana tidak? Saat dirimu masih berada, mereka datang mengunjungi rumah ini setiap hari. Lalu, ketika dirimu sudah tidak berharta, tak ada dari mereka yang datang lagi kemari. Bahkan, sahabat-sahabatmu seolah-olah tidak mengenal dirimu.”

Thalhah bin Abdurrahman r.a. pun mengerti mengapa istrinya berpendapat demikian. Beliau r.a. berkata, “Aku memiliki pendapat berbeda, wahai istriku. Mereka justru karib-karibku yang baik.

“Sahabat-sahabatku hanya datang kemari menyambung silaturahmi saat kita sanggup menjamu dan mengulurkan bantuan. Lalu, saat kita tak berharta seperti ini, mereka tidak kemari karena memahami bahwa kita tidak dalam keadaan mampu menyuguhi jamuan, sedang mereka tidak ingin kita terbebani.”

Hikmah dari kisah ini berfokus pada keutamaan karakter seseorang seperti Thalhah bin Abdurrahman ra. Rasanya, wajar saja bagi seseorang diliputi kekalutan jika ia tengah ditimpa kesulitan hidup berupa habisnya harta. Kemudian, kekalutan tersebut bisa saja berdampak pada timbulnya buruk sangka.

Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan Thalhah bin Abdurrahman r.a. Beliau tetap dapat menjernihkan pikirannya dan masih berprasangka baik atas perilaku orang lain terhadap dirinya dan keluarganya.

Prasangka dalam Pembagian Ganimah

Setelah perang Hunain usai, tibalah waktu pembagian ghanimah. Rasulullah saw. membagikan harta rampasan tersebut hanya pada kaum Muhajirin dan orang-orang yang tergolong dalam kelompok al-muallafah qulububum, atau mualaf yang perlu dilunakkan hatinya agar keislamannya makin kuat.

Kelompok mualaf Makkah ini turut maju ke medan perang, tetapi keyakinannya akan pertolongan Allah Swt. belum cukup kuat, hingga tak heran jika mereka yang pertama-tama melarikan diri dari medan pertempuran saat pasukan muslimin terdesak di celah sempit.

Sementara itu, kaum Anshar tak mendapatkan bagian, bahkan satu peser pun. Padahal, karena peran merekalah kaum muslimin dapat memenangkan perang Hunain.

Mereka datang menyambut seruan perang dari ‘Abbas bin ‘Abdil Muthalib ra. saat jumlah kaum muslimin yang tadinya dua belas ribu orang tinggal tersisa tak lebih dari empat puluh nama saja di sekeliling Rasulullah saw.

Pembagian ghanimah yang terdiri dari kambing dan unta sebanyak lebih dari satu lembah itu tentu saja dirasa tak adil oleh sahabat dari kalangan Anshar. Timbullah buruk sangka dan protes dari mereka terhadap Rasulullah saw.

Tak cukup sampai di situ, seorang sahabat bernama Hassan bin Tsabit r.a. bahkan menuliskan sebuah kritik dalam bentuk syair pada sang Nabi saw. Ia menganggap kebijakan tersebut tak bijak karena Rasulullah saw. memprioritaskan kaumnya saja.

Ialah Sa’ad bin Ubadah r.a. dari kalangan Anshar yang kemudian menyampaikan apa yang dirasakan oleh kaumnya kepada Rasulullah saw. Nabi Muhammad saw. lantas memintanya untuk mengumpulkan para sahabat Anshar di sebuah ladang tempat ternak biasa digembala.

Setelah tempat tersebut penuh oleh kaum Anshar, Rasulullah saw. hadir dan menyampaikan sesuatu pada mereka. Salim A. Fillah menuliskan pembicaraan dengan kalangan Anshar tersebut dalam sebuah tulisan berjudul “Sudut Pandang dan Kesetiaan”.

“Amma ba’du. Wahai semua orang Anshar, ada kasak-kusuk yang sempat ku dengar dari kalian, dan di dalam diri kalian ada perasaan yang mengganjal terhadapku.

“Bukankah dahulu aku datang, sementara kalian dalam keadaan sesat lalu Allah memberi petunjuk kepada kalian melalui diriku? Bukankah dahulu kalian miskin lalu Allah membuat kalian kaya melalui wasilahku?

“Bukankah dahulu kalian bercerai-berai lalu Allah menyatukan hati kalian dengan perantaraanku?”

Rasulullah saw. tak bermaksud mengungkit-ungkit peran beliau dalam menyampaikan risalah agama yang dengannya kaum Anshar dapat memeluk Islam. Sungguh, tidak demikian, meskipun tak ada yang salah dengan perkataan sang nabi.

Nabi Muhammad saw. justru menginginkan ada salah seorang dari mereka yang mendebat pernyataannya. Rasulullah saw. bersabda kembali,

Demi Allah, kalau kalian menghendaki, dan kalian adalah benar lagi dibenarkan, maka kalian bisa mengatakan padaku:

‘Engkau datang kepada kami dalam keadaan didustakan, lalu kami membenarkanmu. Engkau datang dalam keadaan lemah, lalu kami menolongmu. Engkau datang dalam keadaan terusir lagi papa, lalu kami memberikan tempat dan menampungmu.’

Pada saat itu, air di pelupuk mata para sahabat Anshar sudah mulai berurai. Penglihatan mereka hangat terasa dan suara tangis pun terdengar ramai. Rasulullah saw. melanjutkan sabdanya,

Apakah di dalam hati kalian masih membersit hasrat terhadap sampah dunia, yang dengan sampah itu aku hendak mengambil hati segolongan orang agar mereka berislam, sedang keimanan kalian tak mungkin lagi kuragukan?

“Wahai semua orang Anshar, apakah tidak berkenan di hati kalian jika orang-orang pulang bersama kambing dan unta, sedang kalian kembali bersama Allah dan Rasul-Nya ke tempat tinggal kalian?

Makin lama didengar, sabda Rasulullah saw. kian mengharukan dan menyesakkan dada para sahabat Anshar. Pada saat itu, suara tangis makin keras. Satu sama lain menjadi saksi akan air mata yang turun membasahi jenggot masing-masing.

Nabi Muhammad saw. menutup sabdanya dengan doa untuk seluruh orang-orang Anshar yang membuat hati mereka menjadi tenteram.

Demi Zat yang jiwa Muhammad dalam genggaman-Nya, kalau bukan karena hijrah, tentu aku termasuk orang-orang Anshar.

“Jika manusia menempuh suatu jalan di celah gunung, dan orang-orang Anshar memilih celah gunung yang lain, tentulah aku pilih celah yang dilalui orang-orang Anshar.

“Ya Allah, sayangilah orang-orang Anshar, anak orang-orang Anshar, dan cucu orang-orang Anshar.

Akhir dari cerita prasangka dalam pembagian ganimah ini berakhir dengan memesona, sebagaimana selalu memesonanya orang-orang Anshar dengan akhlak mereka yang tak perlu diragukan. Sahabat-sahabat mulia ini menjawab,

Kami rida kepada Allah dan Rasul-Nya dalam pembagian ini. Kami rida Allah dan Rasul-Nya menjadi bagian kami.

Penutup

Suudzon dan husnudzon adalah dua hal yang saling berkebalikan. Sementara yang satu tak boleh dimiliki oleh seorang muslim, yang lain justru harus menjadi kebiasaan dan mendarah daging dalam laku sehari-hari.

Sekelumit pengetahuan tentang suudzon dan husnudzon telah dipaparkan di sepanjang artikel ini. Semoga dengan membacanya, kamu mulai belajar untuk mengenyahkan segala prasangka buruk yang datang dan hanya menyisakan sangkaan yang baik-baik saja dalam benak.

Hasana.id berharap artikel mengenai suudzon dan husnudzon ini bermanfaat!

Sumber:

https://kbbi.kemdikbud.go.id/Cari/Etimologi?eid=140580

https://kbbi.kemdikbud.go.id/Cari/Etimologi?eid=30510

Etika Berprasangka

https://umma.id/post/ini-hikmah-husnudzon-agar-kita-selalu-berprasangka-baik-704765?lang=id

https://islam.nu.or.id/post/read/88644/ghibah-dan-buruk-sangka-di-dalam-hati

Sudut Pandang dan Kesetiaan

https://islam.nu.or.id/post/read/102549/ketika-sahabat-berprasangka-buruk-kepada-rasulullah