Pengertian Hadits Qudsi dan Perbedaannya dengan Al-Qur’an

Apa yang pertama kali terlintas dalam pikiranmu ketika mendengar istilah hadits qudsi?

Barangkali, ada di antaramu yang beranggapan bahwa itu berkaitan dengan sabda-sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh para sahabat.

Namun, jika demikian, mengapa tidak disebut dengan hadits saja? Jika kamu ingin mengetahui jawabannya, uraian berikut ini hendaknya kamu simak dengan baik.

Pedoman Umat Islam

Seperti telah diketahui, Allah menurunkan firman-Nya melalui para manusia pilihan yang diangkat-Nya sebagai nabi dan rasul.

Sebagian wahyu tercatat, kemudian dibukukan menjadi kitab atau lembaran-lembaran suhuf.

Namun, ada pula yang hanya berupa wahyu yang para nabi menyampaikannya secara lisan dan tidak tercatat.

Umat Nabi Muhammad saw. mendapatkan mukjizat terbesar sepanjang masa berupa Al-Qur’an.

Kitab suci ini kemudian menjadi pedoman dalam menjalankan kehidupan, termasuk tentang beribadah, serta mematuhi perintah dan menjauhi larangan Allah.

Selain Al-Qur’an, umat muslim juga berpegang kepada sunah Rasul (as-sunnah).

Sunah Rasul adalah segala sesuatu yang telah dicontohkan oleh Baginda Nabi, baik perkataan, perbuatan, kecenderungan perilaku dan pemikiran, maupun kebiasaan.

As-sunnah merupakan pedoman kedua setelah Al-Qur’an. Informasi tentang keteladanan Rasulullah saw. tersebut diperoleh dari para sahabat yang kemudian merekamnya.

Para penerus dan ulama-ulama selanjutnya menamakan informasi tersebut dengan istilah hadits.

Nah, hadits qudsi adalah bagian dari as-sunnah, berupa catatan-catatan dari ucapan lisan Nabi Muhammad saw. Namun, hadits ini bukanlah hadits biasa (nabawi).

Perkataan Rasulullah saw. yang termasuk bagian darinya pun memiliki kedudukan berbeda daripada lisan beliau yang tercatat dalam hadits nabawi.

Pengertian Hadits Qudsi

Selain Al-Qur’an, hadits qudsi menjadi pelengkap bagi umat Islam sebagai pedoman untuk menjalankan perintah Allah Ta’ala.

Secara bahasa, istilah ini terdiri dari dua kata. Hadits bermakna sesuatu yang baru/dekat atau waktu yang singkat.

Bisa juga berarti sesuatu yang dikabarkan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari satu orang ke orang yang lainnya.

Berdasarkan terminologinya, hadits berarti segala hal yang datang dari diri Rasulullah saw., baik dalam bentuk perkataan, tindakan, maupun pengakuan (taqrir).

Sementara itu, qudsi bersinonim dengan qudus yang berarti suci, bersih, atau sifat kesucian Allah.

Hadits qudsi merupakan riwayat oleh Rasulullah saw., dianggap sebagai firman atau perkataan langsung dari Allah Ta’ala. yang kemudian dikutip dengan menggunakan lafal yang berasal dari beliau (Rasulullah) sendiri.

Biasanya, hadits ini diawali dengan frasa, “Rasulullah SAW bersabda,” atau, “Allah Swt. berfirman”.

Pengertian Menurut para Ulama

Para cendekiawan muslim terdahulu merumuskan definisi hadits qudsi sesuai pandangannya masing-masing.

Kali ini, Hasana.id juga ingin menyajikan beberapa pendapat ulama tentang pengertian hadits qudsi, antara lain.

  • Menurut Al-Jurjani dalam At-Ta’rifat, hadits ini adalah hadits yang secara makna berasal dari Allah langsung, tetapi susunan redaksinya atau kalimatnya datang dari Rasulullah saw.

Jadi, menurut beliau hadits ini adalah berita dari Sang Khalik kepada Nabi yang disampaikan melalui atau berupa ilham maupun mimpi.

Selanjutnya, Rasulullah saw. menyampaikan apa yang beliau dapatkan dengan menggunakan ungkapan atau ucapan beliau pribadi.

  • Imam Bukhari, ahli tafsir sekaligus penyusun Al-Jami As-Sahih juga menyampaikan pendapatnya dalam kitab tersebut.

Beliau mendefinisikan bahwa hadits qudsi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Nabi dan Tuhannya, dengan disampaikan secara makna dan secara lafal dari Allah Ta’ala.

  • Dalam Faidhul Qodir, al-Munawi mengartikan hadits qudsi sebagai berita yang disampaikan oleh Allah kepada Nabi secara makna, bisa dalam bentuk ilham ataupun mimpi.

Kemudian, beliau menyampaikan berita “makna” itu dengan redaksi hasil susunan beliau sendiri.

  • Menurut az-Zarqani, redaksi dan makna hadits qudsi sama-sama dari Allah.

Sementara pada hadits nabawi, maknanya diwahyukan untuk kasus di luar ijtihad Nabi Muhammad saw., dan redaksi haditsnya dari Rasulullah saw.

  • Al-Tibiy memberi pengertian bahwa hadits qudsi adalah teks dari Tuhan yang mempunyai derajat kedua setelah Al-Qur’an.

Turunnya memang bukan melalui perantara malaikat, melainkan hanya maknanya yang berasal dari Allah.

Itu tidak sama dengan Al-Qur’an yang lafal dan maknanya sama-sama dari Allah Ta’ala. Itulah sebabnya, pada umumnya, hadits diposisikan pada tingkatan terakhir.

Sebutan Lain

Ada juga sejumlah ulama lainnya yang menyebut hadits ini dengan istilah berbeda.

Di antaranya adalah al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani yang menyatakan adanya Hadits Ilahi, yaitu yang Nabi Muhammad mengambilnya sendiri dari Allah tanpa melalui perantara.

Sementara itu, Jalaluddin al-Mahalli juga menyebut-nyebut istilah hadits rabbani.

Lalu, ia memberikan contoh riwayat yang termasuk hadits rabbani, yaitu hadits tentang rahmat Allah Ta’ala kepada hamba yang mengingat-Nya.

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي ، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ، ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي ، وَإِنْ ذَكَرنِي فِي مَلَأٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ )) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Wa an Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu inna rasuulullahi shallallahu ‘alaihi wa sallam qaala yaquulullaahu ta’ala: Ana ‘inda zhanni ‘abdi bi wa ana ma’ahu iza zakarani. Fain zakarani fi nafsihi , zakartuhu fi nafsi, wain zakarani fi mala’in zakartuhu fi mala’in khayrin minhum.

Artinya:

“Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata bahwa Nabi saw. bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku saat sendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada pada itu (kumpulan malaikat).” (HR Bukhari No. 6970 dan Muslim No. 2675)

Pandangan para Ulama

Terkait dengan bentuk wahyu yang Allah Swt. sampaikan kepada nabi dan rasul terakhir ini, ada dua pendapat berbeda.

Pendapat yang pertama menilai bahwa lafal dan makna dari hadits qudsi semuanya berasal dari Allah Ta’ala.

Adapun pendapat yang kedua memandang bahwa Allah hanya menurunkan makna, sementara lafal atau redaksinya berasal dari Rasulullah sendiri.

Ibnu al-Asimin menawarkan jalan tengah guna menyikapi perbedaan pandangan tersebut.

Menurut beliau, akan lebih aman, ringkas, dan jelas, jika hadits ini dianggap merupakan hadits yang diriwayatkan Rasulullah dan Allah Ta’ala.

Dalam perkembangannya, sebagian besar cendekiawan muslim lebih condong pada pendapat penengah, yakni bahwa lafal dan maknanya bersumber dan diwahyukan oleh Allah.

Namun, hal ini menimbulkan kebingungan karena Allah juga mewahyukan Al-Qur’an dalam lafal dan maknanya sekaligus.

Jika demikian, apakah berarti hadits ini bisa disamakan dengan Al-Qur’an? Apakah kedudukan keduanya sama dalam akidah?

Jika sama, mengapa umat Islam hanya diperintahkan untuk mengimani Al-Qur’an saja? Untuk mengetahui jawabannya, simak poin di bawah ini.

Perbedaan dengan Al-Qur’an

Perlu diingat bahwa Al-Qur’an merupakan pedoman nomor satu bagi umat Islam. Allah bahkan memerintahkan umat manusia untuk beriman kepadanya.

Lain halnya dengan hadits qudsi yang tidak ada perintah sedikit pun untuk mengimaninya. Dengan kata lain, Al-Qur’an berposisi lebih tinggi dan lebih utama.

Selain itu, berikut beberapa hal yang menjadi pembeda di antara keduanya.

  • Keduanya sama-sama berasal dari satu sumber, yakni Allah Ta’ala.

Namun, Allah telah jelas menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah mukjizat-Nya yang bersifat mutlak keabsahannya, malah Ia sendiri yang menjaga orisinalitasnya.

Sebaliknya, tidak ada keterangan demikian tentang hadits qudsi.

  • Lafal dan makna Al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. benar-benar dalam bentuk utuhnya, tidak kurang dan tidak lebih.

Sementara itu, untuk hadits qudsi, tidak mengapa jika hanya maknanya yang diriwayatkan.

  • Seluruh isi dan makna Al-Qur’an merupakan hasil riwayat mutawatir (turun temurun) sehingga pasti dan mutlak.

Adapun hadits qudsi pada umumnya adalah nisbah kabar, yaitu dari Rasulullah. Itu pun dengan riwayat-riwayat tunggal sehingga kepastiannya masih diragukan.

  • Jumlah ayat, nama surat, sampai huruf-huruf Al-Qur’an tersusun secara sistematis atas ajaran Rasulullah saw. Hadits qudsi tidak memiliki struktur sistematis yang demikian.
  • Membaca Al-Qur’an bernilai ibadah, juga menjadi salah satu komponen utama dalam ibadah shalat, sementara hadits qudsi tidak memiliki nilai tersebut.
  • Al-Qur’an secara mutlak dinisbatkan kepada Allah Ta’ala. Karena itulah, ketika mengambil ayat Al-Qur’an untuk dikutip, kita menyebutkan, “Allah berfirman ….”
  • Namun, hadits qudsi bisa disandarkan kepada Allah melalui Rasulullah saw. sehingga kutipan biasanya diawali dengan, “Rasulullah saw. bersabda, Allah Ta’ala berfirman ….”

Bentuk lainnya yaitu “Rasulullah saw. bersabda, dari yang ia riwayatkan dari Rabbnya ‘Azza Wa Jalla….“

Jadi, sekarang sudah jelas bahwa kedudukan keduanya sama sekali berbeda.

Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah saw. melalui malaikat Jibril. Firman-firman mukjizat ini kemudian dibukukan menjadi Al-Qur’an.

Hadits qudsi tidak diturunkan dengan perantara malaikat Jibril, tetapi dalam bentuk mimpi atau ilham.

Derajat Hadits Qudsi

Seperti hadits pada umumnya, hadits qudsi telah melalui penelitian sedemikian rupa guna menentukan kualitasnya.

Oleh karena itu, selalu ada kritik terkait riwayat-riwayatnya, baik secara makna maupun secara kualitas perawinya.

Semua harus memenuhi persyaratan tertentu, seperti yang telah disepakati dalam ilmu hadits.

Meskipun berarti suci, tetapi alasannya hanya karena sabda Rasulullah saw. tersebut disandarkan kepada firman Allah.

Apabila dilihat dari segi kualitasnya, tidak semuanya memiliki derajat sahih. Ada pula sejumlah hadits yang hasan, bahkan memiliki derajat lemah atau dha’if.

Nabi Muhammad tidak banyak menyampaikan riwayat tentang hadits ini. Oleh karena itu, jumlahnya jauh lebih sedikit daripada hadits nabawi.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa total hadits ini adalah kurang dari 200, jauh lebih sedikit daripada hadits nabawi yang jumlahnya mencapai lebih dari 4.000.

Disebutkan bahwa pada dasarnya, hadits ini merupakan wahyu Allah bagi Nabi Muhammad saw. yang bersifat pribadi.

Meski mungkin jumlahnya banyak, barangkali Rasulullah saw. memang tidak menyampaikan semuanya.

Tidak kepada sebarang orang beliau menyampaikan hadits ini, hanya kepada sahabat yang beliau nilai mumpuni untuk menerimanya.

Di antara riwayat-riwayat yang ada, tercatat hanya ada segelintir sahabat penerima hadits qudsi, misalnya Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, Aisyah r.a., dan Anas bin Malik.

Bentuk dan Ciri-Ciri

Bentuk hadits qudsi terdiri dari dua macam. Berikut penjelasannya.

  1. Pertama, hadits yang pada akhir sanadnya disebutkan:

قال رسول الله صلّى الله عليه وسلم فيما يرويه عن ربه عزّ وجل

Artinya:

“Rasulullah saw bersabda, dari yang ia riwayatkan dari Rabb-nya ‘Azza Wa Jalla…”

  1. Kedua, hadits yang pada akhir sanad-nya disebutkan:

قال رسول الله صلّى الله عليه وسلم: قال الله تعالى

Artinya:

“Rasulullah saw bersabda, ‘Allah Ta’ala berfirman:”

Sementara itu, ciri-cirinya adalah antara lain sebagai berikut.

  1. Menggunakan lafal Qaala Allahu ‘Azza wajalla atau Yaquulu Allah.

قال هللا عزوجل

  1. Menggunakan lafal Fi ma yarwiihi ‘ani Allahi Tabaaraka Wata’ala.

في ما يرويه عن هللا تبارك وتعالى

  1. Atau menggunakan bentuk redaksi lain yang sama maknanya dengan lafal-lafal di atas.

Contoh Hadits Qudsi

Berikut beberapa contoh hadits qudsi beserta terjemahannya.

Riwayat Muslim, Bukhari, Nasa’i, dan Ibnu Majah

:عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” لَمَّا قَضَى اللَّهُ الْخَلْقَ، كَتَبَ فِي كِتَابِهِ عَلَى نَفْسِهِ، فَهُوَ مَوْضُوعٌ عِنْدَهُ: إِنَّ رَحْمَتِي تَغْلِبُ غَضَبِي” (رواه مسلم (وكذلك البخاري والنسائي وابن ماجه

Artinya:

Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a., dia berkata telah bersabda Rasulullah saw, ‘Ketika Allah menetapkan penciptaan makhluk, Dia menuliskan dalam kitab-Nya ketetapan untuk diri-Nya sendiri. Sesungguhnyam rahmat-Ku (kasih sayangku) mengalahkan murka-Ku.”

Riwayat Bukhari dan Nasa’i

:عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ” قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: كَذَّبَنِي ابْنُ آدَمَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ، وَشَتَمَنِي وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ، فَأَمَّا تَكْذِيبُهُ إِيَّايَ فَقَوْلُهُ: لَنْ يُعِيدَنِي كَمَا بَدَأَنِي، وَلَيْسَ أَوَّلُ الْخَلْقِ بِأَهْوَنَ عَلَيَّ مِنْ إِعَادَتِهِ، وَأَمَّا شَتْمُهُ إِيَّايَ فَقَوْلُهُ: اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا، وَأَنَا الْأَحَدُ الصَّمَدُ، لَمْ أَلِدْ وَلَمْ أُولَدْ، وَلَمْ يَكُنْ لِي كُفُوًا أَحَدٌ” (رواه البخاري (وكذلك النسائي

Artinya:

“Diriwayatkan dari Abi Hurairah ra., bahwasanya Nabi saw bersabda, ‘Telah berfirman Allah Swt: ‘Ibnu Adam (anak-keturunan Adam/umat manusia) telah mendustakan-Ku dan mereka tidak berhak untuk itu, dan mereka mencela-Ku, padahal mereka tidak berhak untuk itu, adapun kedustaannya kepada-Ku adalah perkataanya, ‘Dia tidak akan menciptakan aku kembali sebagaimana Dia pertama kali menciptakanku (tidak dibangkitkan setelah mati)’, adapun celaan mereka kepada-Ku adalah ucapannya, ‘Allah telah mengambil seorang anak, (padahal) Aku adalah Ahad (Maha Esa) dan Tempat memohon segala sesuatu (Al-Shomad), Aku tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada bagi-Ku satu pun yang menyerupai.”

Riwayat Muslim dan Ibnu Majah

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ؛ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي، تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ”. (رواه مسلم وكذلك ابن ماجه

Artinya:

Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a, beliau berkata: telah bersabda Rasulullah saw, ‘Telah berfirman Allah Tabaraka Wata’ala (Yang Mahasuci dan Mahaluhur), Aku adalah Dzat Yang Mahamandiri, Yang Paling tidak membutuhkan sekutu; Barang siapa beramal sebuah amal menyekutukan Aku dalam amalan itu maka Aku meninggalkannya dan sekutunya.”

Kitab Kumpulan Hadits Qudsi

Tidak banyak kitab yang memuat hadits ini, salah satunya adalah al-Itthihafat as-Sunniyyah bi al-Hadits al-Qudsiyyah oleh Abdur Ra’uf al-Munawi.

Di dalamnya terdapat koleksi 272 hadits, tetapi belum ada pemisahan mengenai status kesahihannya. Ulama lain kemudian mensyarahkan kitab tersebut.

Beliau adalah Muhammad Munir bin Abduh al-Damsyiqy yang dalam syarah-nya memberikan penjelasan tentang asal usul riwayat hadits dan statusnya sehingga lebih jelas kualitasnya.

Selain karya Abdur Ra’uf al-Munawi, ada beberapa kitab lainnya, yaitu al-Kalimah at-Tayyibah oleh Ibnu Taimiyah, Adab al-Haditst al-Qudsi karya Ahmad Syarbashi, 101 hadits dalam Misykatu al-Anwar Fima Rawa A’n Allah Swt oleh Ali Ibn al-Arabi al-Taaei.

Abu Abdullah Mustafa bin Al-A’dawi juga menyusun kitab serupa dengan judul Al-Sahih al-Musnad Min al-Ahadith al-Qudsiyyah.

Jumlah hadits yang dimuat dalam kitab tersebut adalah sebanyak 185, masing-masing telah dilengkapi dengan penjelasan sanad-nya.

Di antara kitab yang paling populer, ada pula Hadzirah al Taqdis wa Zakhirah al-Ta’nis karya Abu Nasr bin Husain bin Ali al-Husaini al-Bukhari al-Qanujim yang terbagi menjadi 14 bab.

Terakhir, ada Al-Allamah Mulla Ali al-Qari yang menyusun 40 hadits dalam al-Arbau’na al-Qudsiyyah.

Perbedaan Hadits Qudsi dan Hadits Nabawi

Telah disebutkan sebelumnya bahwa narasi berisi informasi tentang Sunah Rasul yang diriwayatkan oleh para sahabat disebut dengan hadits.

Diketahui pula bahwa hadits dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu hadits qudsi dan hadits nabawi. Berikut perbedaan antara keduanya.

  1. Lafal dan makna hadits qudsi dua-duanya atau salah satunya dapat bersumber dari Allah Swt. Lafal dan makna Hadits Nabawi dua-duanya adalah redaksi dari Rasulullah saw. sendiri.
  2. Hadits qudsi disandarkan oleh Nabi Muhammad saw kepada Allah Ta’ala, sedangkan hadits nabawi disandarkan kepada Rasulullah saw. sendiri.
  3. Hadits nabawi menginformasikan berbagai bentuk sunah Rasul, seperti perkataan, perbuatan, dan pengakuan, sedangkan hadits qudsi hanya berupa narasi perkataan.
  4. Isi hadits nabawi pada umumnya menjelaskan kandungan wahyu, di antaranya bahkan tidak jarang merupakan hasil ijtihad Rasulullah saw. sendiri.
  5. Apabila ijtihad tersebut kurang tepat, Allah menurunkan wahyu lain sebagai penjelasannya. Pada hadits qudsi, isinya memang wahyu, tetapi lafalnya adalah ijtihad Rasulullah.
  6. Redaksi hadits nabawi tidak menggunakan frase yang menjelaskan bahwa keterangan di dalamnya adalah firman Allah.

Melihat berbagai uraian di atas, dapat dikatakan bahwa perbedaan di antara keduanya tidaklah terlalu mencolok, kecuali soal kandungan, penisbahan, dan redaksinya.

Selebihnya, keduanya sama-sama terucap dari lisan Rasulullah saw. dan beberapa riwayatnya perlu dikaji lagi kualitasnya.

Cara Mengetahui Hadits Sahih

Ada tiga unsur pokok dari suatu hadits, yaitu sanad, matan, dan rawi. Sanad artinya sandaran yang dapat dipercaya.

Dalam ilmu hadits, sanad adalah rangkaian urutan orang-orang yang membawa informasi hadits dan jika ditelusuri akan menuju kepada Rasulullah saw, sebagai sumber awalnya.

Matan adalah muatan dari suatu hadits (redaksi hadits).

Adapun rawi adalah orang yang membawa informasi hadits, mulai dari pertama yang mendengarnya dari Rasulullah sampai orang yang menuliskan narasi tersebut dalam kitabnya.

Jadi, rawi pertama adalah para sahabat, sedangkan rawi terakhir adalah para imam yang kita ketahui telah membukukannya.

Contohnya adalah seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan sebagainya.

Sebuah hadits memiliki kualitas tertinggi jika tiga unsur tersebut berhasil dikaji secara menyeluruh sehingga menghasilkan kepastian bahwa sumbernya adalah benar-benar Rasulullah.

Dengan catatan, tanpa ada kejanggalan dan kecacatan dalam riwayatnya. Berikut uraiannya.

  • Sanadnya tersambung. Artinya, masing-masing rawi pernah bertemu sehingga menurunkan narasi hadits.

Penelitian dilakukan untuk menemukan ketersambungan sanad, salah satunya dengan mencermati sejarah hidup tiap-tiap perawi secara menyeluruh.

  • Perawi tergolong adil. Adil di sini berarti perawi memiliki kredibilitas yang baik sebagai seorang pribadi sepanjang hidupnya.
  • Perawi yang cermat. Kecermatan yang dimaksud adalah perawi memunyai kemampuan hafalan yang baik dan kuat.
  • Syadz atau janggal. Artinya tidak ada kejanggalan atau dalam hal ini pertentangan dengan hadits lainnya.

Jika ditemukan pertentangan, maka perlu dilakukan pengujian terhadap kualitas masing-masing perawi.

  • Illat atau cacat. Artinya, hadits juga terhindar dari cacat, baik secara riwayat maupun muatannya.

Karena itulah, penelitian lebih jauh perlu dilakukan terhadap semua aspek penilaian hadits guna memastikan tidak adanya kecacatan, meski hanya samar.

Sebuah hadits dikatakan sahih jika lulus penilaian dan telah memenuhi seluruh kriteria di atas tanpa terkecuali.

Kurang sedikit saja maka derajatnya sudah akan berkurang. Seperti diketahui, penilaian tersebut berlaku untuk semuanya, baik hadits qudsi maupun hadits nabawi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *