Fiqh Thaharah (Bersuci)

Pembukaan

Thaharah adalah perkara yang sering dibincangkan dalam dunia fikih. Semua kitab fikih membahas thaharah. Kenapa? Karena thaharah tersebut menjadi syarat utama keabsahan shalat dan beberapa ibadah lain yang menjadi ibadah pokok dalam Islam.

Nah sahabat hasana.id, kali ini kita coba mengulas tentang fikih thaharah, bagaimana kira-kira permasalahan thaharah ini. Yuk ikuti tulisan ini sampai tuntas.

Apa Itu Thaharah

Thaharah adalah bentuk kata mashdar dalam bahasa Arab dari asal thahara, yahthuru, thuhuran, thaharatan yang berarti bersih atau suci. Dalam istilah fikih thaharah berarti upaya untuk menghilangkan penghalang sahnya ibadah yang disyaratkan bersuci terlebih dahulu seperti salat, thawaf atau lainnya dengan menggunakan air atau tanah.

Orang yang sudah melakukan thaharah disebut dengan thahir (طاهر)yang artinya orang bersih dari segala hadas dan najis. Sedangkan sesuatu yang telah disucikan disebut dengan mathhur ( (مطهور.

Berbicara bab thaharah dalam kitab fikih, maka berarti bicara seputar empat hal yang menjadi pembahasannya. Syekh Abdullah bin Hijazi dalam kitabnya Hasyiah al-Syarqawi mengetengahkan bahwa ada empat perkara yang dicakup dalam bab tharah yakni, wudhu, mandi, tayammum, dan menghilangkan najis.[1]

  1. Wudhu

Wudhu adalah memakai air pada anggota wudhu yang telah ditetapkan syariat dengan niat pada awalnya. Wudhu terbagi dua, hukum wudhu ada dua. Pertama hukum wajib, wudhu yang wajib adalah bagi orang berhadas yang ingin melaksanakan shalat.

Kedua hukum sunat, wudhu sunat bagi orang yang masih suci tetapi ingin memperbarui wudhunya (tajdid wudhu).

Fardhu wudhu atau wajib wudhu adalah beberapa perkara yang tidak bisa ditinggalkan dalam wudhu, jika salah satu dari perkara-perkara tersebut tidak dilakukan, maka wudhu tidak dianggap atau tidak sah.

Adapun fardhu wudhu itu ada 4:

  1. Niat. Yaitu besitan hati saat berwudhu untuk mengangkat hadas kecil dari dirinya.
  2. Membasuh seluruh bagian muka dengan menggunakanan air muthlaq dari mulai tempat tumbuhnya rambut kepala hingga bawah dagu jika ditinjau secara vertikal dan dari telinga kanan hingga telinga kiri jika ditinjau secara horizontal.

Saat membasuh muka bagian yang perlu dijaga adalah bagian di bawah hidung. Hal ini karena bagian bawah hidung sering luput ketika membasuh muka. Biasanya orang yang berwudhu tidak sampai basuhannya ke bagian ini, padahal bagian bawah hidung adalah bagian yang wajib dibasuh karena masuk dalam bagan wajah.

  1. Mengusap kedua tangan sampai siku
  2. Mengusap sebagian kepala
  3. Membasuh kedua kaki (kanan dan kiri) sampai kepada mata kaki
  4. Tertib (berurut) seperti urutan di atas.
  5. Mandi

Dalam bahasa Arab mandi disebut al-ghasl (الغسل). Mandi dalam istilah bahasa adalah membersihkan badan dengan meratakan air ke seluruh tubuh dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Dalam istilah fikih, mandi adalah:

سيلان الماء على جميع البدن بنية [2]

“Mengalirkan air ke seluruh badan beserta niat”

Hal-Hal yang Mewajibkan Mandi

Al-Qadhi Abu Syuja’ yakni Ahmad bin Husain bin Ahmad al-Ashfihani r.a. dalam kitabnya Matan Ghayah wa al-Taqrib menyebut beberapa sebab yang mewajibkan mandi. Semua berjumlah enam. Tiga di antaranya berlaku bagi laki-laki dan perempuan sedangkan tiga yang lain terkhusus bagi wanita sajaز

Sebab Kewajiban mandi yang berlaku bagi laki-laki dan perempuan:

  1. Bertemu dua kemaluan (bersetubuh)
  2. Keluar mani
  3. Meninggal, kewajiban memandikan kepada orang yang masih hidup secara fardhu kifayah. Artinya jika dilakukan satu orang saja maka sudah memadai dan melebur kewajiban bagi orang lain. Tetapi jika tidak ada yang mau memandikan maka seluruh masyarakat dalam suatu kampung berdosa.

Sebab Kewajiban mandi yang berlaku bagi perempuan saja:

  1. Keluar darah Haiz
  2. Keluar darah Nifas
  3. Keluar darah wiladah (darah saat melahirkan)

Kewajiban Mandi

Yang dimaksud dengan kewajiab mandi adalah hal-hal yang wajib dilakukan saat mandi. Masih mengutip kalam al-Qadhi Abu Syuja’ beliau menyebut bahwa ada tiga kewajiban mandi yaitu:

  1. Niat
  2. Menghilangkan najis jika ada di badan
  3. Mengalirkan air ke seluruh bulu dan kulit

Dalam mengalirkan air ke seluruh bulu dan kulit perlu diperhatikan dalam bagian yang sulit dijangkau air. Misalnya orang yang gemuk ada lipatan-lipatan pada perutnya, itu wajib menyampaikan air ke bagian lipatan tersebut.

Begitupula di bagian dubur (pantat) maka perlu sedikit berjongkok agar air sampai ke bagian lipatan pantat.

Kesunnahan Mandi

Kesunnahan mandi ada 5:

  1. Mengucap basmalah (bismillahirrahmanirrahim)
  2. Berwudhu sebelum mandi
  3. Meratakan air dengan memakai tangan. Artinya tidak mengalirkan airnya saja tetapi memakai bantuan tangan untuk meratakan air
  4. Beriring. Artinya tidak membasahi sebagian badan saja kemudian berselang lama baru membasahi sebagian yang lain. Misalnya membasahi kepala dulu kemudian sepuluh menit kemudian baru melanjutkan mandi. Ini namanya tidak beriring. Walaupun mandinya tetap sah tapi tidak mendapat keutamaan sunnah. Karena beriring sunnah hukumnya. Beriring ini dalam bahasa Arab disebut muwalah.
  5. Mendahulukan yang kanan ketimbang yang kiri. Artinya mendahulukan membasahi bagian badannya yang kanan sebelum yang kiri.

Kenapa Thaharah Sangat Penting

Pentingnya thaharah karena ia menjadi syarat sahnya ibadah dalam arti keabsahan ibadah sangat tergantung pada thaharah. Jika thaharah ada maka ibadahnya sudah terdapat sebab untuk sahnya ibadah, dan sebaliknya jika tidak maka tidak ada jalan untuk sah ibadah.

Karena pernah ada dalam riwayat bahwa ada ahli kubur di masa Rasulullah SAW mendapat siksaan karena kurang perhatian dalam menjaga kesucian. Hal ini sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas beliau berkata:

“Pada suatu hari ketika Rasulullah SAW sedang berjalan melintasi hiythan (pemakaman) di Madinah atau Makkah (ada keraguan perawi). Beliau mendengar suara dua orang yang disiksa (kesakitan) dalam kuburnya. Rasulullah bersabda: “Keduanya disiksa tetapi bukan karena dosa besar”. Kemudian beliau menambahkan: “Benar, salah seorang dari mereka disiksa karena tidak membersihkan dari kencingnya dan yang satunya lagi karena suka mengadu domba (membuat permusuhan di antara manusia).

Karena itu orang yang hendak melakukan ibadah yang bersyarat thaharah seperti shalat dan thawaf perlu menyucikan badan, pakaian dan tempat ibadah itu dilangsungkan.

Selain itu, suci merupakan keadaan dari hamba yang sangat dicintai oleh Allah SWT. Hal ini sebagaimana keterangan dalam satu ayat:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

“Sesungguhnya Allah SWT mencintai orang-orang yang bertaubat dan yang menyucikan diri”.

Wahbah al-Zuhayli dalam kitabnya al-Tafsir al-Wajiz menafsirkan makna ayat ini bahwa Allah ridha (senang) dengan orang yang bertaubat dari dosa-dosanya dan orang yang bersuci dari hadas, najis dan segala perbuatan keji.[3]

Dari tafsir ini bisa dipahami bahwa Wahbah al-Zuhayli memberi arti umum saat menafsirkan thaharah dalam ayat, artinya bukan hanya menyucikan diri dari hal-hal yang membatalkan salat yaitu hadas dan najis saja, tapi juga dari maksiat (fawahisy) yang menjadi kotoran hati.

Ulama sufi (ahli tasawuf) sangat menggalakkan untuk selalu bersuci. Bahkan dalam adab-adab memuliakan ilmu, sepantasnya bagi seorang pelajar untuk selalu menjaga wudhunya selama belajar.

Dalam satu hadis Rasulullah saw. bersabda tentang keutamaan bersuci yang salah satu di antaranya adalah wudhu:

“Ketika seorang muslim berwudhu, kemudian membasuh wajahnya, maka keluarlah daripada wajahnya itu segala dosa yang dilakukan oleh matanya bersama tetesan air yang terakhir. Apabila ia membasuh kedua tangannya, keluarlah segala dosa yang dilakukan oleh kedua tanggannya bersama air yang terakhir (mengalir). Apabila dia membasuh kedua kakinya, keluarlah segala dosa yang dilakukan oleh kedua kakinya bersama air yang terakhir (mengalir) sehingga bersihlah ia daripada dosa. (HR. Muslim).

Alat Untuk Bersuci

  1. Air

Air adalah alat bersuci dalam Islam yang pertama, jika tidak ada air atau tidak bisa menggunakan air karena luka atau sakit maka baru dibenarkan kepada alat bersuci yang kedua yang akan dijelaskan nanti.

Syekh Hisyam al-Kamil dalam kitabnya Imta’ al-Nakhib Syarh Matan Ghyah wa al-Taqrib halaman 17 menyebut bahwa alasan syariat memilih air sebagai alat bersuci seperti menghilamgkan najis dan mengangkat hadas adalah perkara perkara ta’abbudi (tidak ditemukan alasan secara khusus dalam syariat tetapi ketika telah dinstruksikan oleh syariat maka kita wajib mentaatinya, tanpa perlu menanyakan atau mencari alasan khusus).

Macam-Macam Air

  1. Air Muthlaq

Perlu diketahui bahwa air yang dipakai dalam menyucikan najis atau mengangkat hadas adalah dengan air muthlaq atau air suci dan menyucikan.

Para ulama hanya membolehkan bersuci dengan air muthlaq ini. Air muthlaq ada tujuh yang sebagiannya turun dari langit dan sebagian yang lain keluar dari bumi, ketujuh air muthlaq ini yaitu:

  1. Air hujan
  2. Air laut
  3. Air sungai
  4. Air sumur
  5. Air mata air
  6. Air salju
  7. Air embun[4]
  8. Air Musyammasy (Dipanaskan Matahari)

Air yang dipanaskan matahari maksudnya air yang berada dalam wadah besi atau tembaga yang dipanaskan oleh matahari sehingga terkelupas bagian-bagian wadah tersebut.

Air musyammasy adalah suci dan menyucikan yakni dapat menghilangkan najis dan hadas, hanya saja hukum memakainya adalah makruh karena berpotensi berbahaya bagi kulit.

  1. Air Musta’mal

Air musta’mal adalah air yang sudah dipakai pada membasuh anggota wajib wudhu atau menghilangkan najis. Misalnya kita telah membasuh muka, basuhan pertama muka hukumnya wajib. Nah, air yang terjatuh dari basuhan muka itu dinamakan air musta’mal.

Atau air yang dipakai pada menghilangkan najis. Misalnya kita membersikan kencing yang ada di suatu kain. Nah, air yang dipakai untuk menyucikan kain tadi dinamakan air musta’mal. Tetapi syaratnya air tersebut tidak berubah warnanya, tidak bertambah jumlahnya, tidak berubah rasa dan bau.

Jika berubah warna, bertambah jumlah atau berubah rasa dan bau maka air tersebut tidak lagi dinamakan air musta’mal tetapi berubah menjadi air najis.

Air musta’mal ini suci tetapi tidak bisa dipakai untuk menyucikan benda lain atau untuk mengangkat hadas. Jika air ini terjatuh dalam wadah maka akan membuat air satu wadah menjadi musta’mal. Dengan ketentuan air dalam wadah tadi tidak banyak (tidak sampai dua qullah yaitu 270 liter).

Misalnya begini. Kamu berwudhu dengan menggunakan timba kecil. Kan air dalam timba kecil itu sedikit tidak sampai dua qullah. Jika air basuhan mukamu jatuh ke dalam wadah tersebut, maka air dalam timba tidak bisa dipakai lagi untuk bersuci. Kamu harus mengganti air lain untuk melanjutkan wudhu tadi.

Perlu digaris bawahi bahwa air yang dapat mengubah kepada musta’mal adalah air pada basuhan wajib. Berbeda seperti basuhan sunat maka tidak dapat membuat air menjadi musta’ma. Seperti air saat membasuh tangan di awal wudhu, itu tidak mengapa. Artinya percikan air basuhan tangan pada awal wudhu tidak dapat membuat air menjadi musta’mal. Kamu bisa lanjut memakai air dalam wadah jika ada percikan yang terjatuh ke dalam wadah tersebut dari basuhan tangan itu.

Tetapi pada basuhan tangan sampai siku itu basuhan wajib. Air yang terpercik pada basuhan ini dapat membuat air dalam wadah menjadi musta’mal.

  1. Air Najis

Air najis adalah air yang terjatuh najis yang tidak dimaafkan ke dalamnya. Seperti halnya bercampur kencing dalam air yang sedikit, maka seluruh air dalam wadah menjadi najis termasuk wadahnya.

Bebeda halnya jika najis terjatuh dalam air yang banyak (mencapai 270 liter atau lebih) seperti dalam air sumur atau air sungai. Maka jika jatuh najis ke dalamnya tidak dapat membuat air menjadi najis kecuali jika ditemukan bekasan najis. Bekasan najis yang dimaksud adalah perubahan warna, bau atau rasa pada air.

Bolehkah Memakai Air Zamzam untuk Berwudhu?

Air zamzam adalah air yang dimuliakan dan istimewa.

Boleh memakai air zamzam untuk berwudhu karena tidak ada larangan dalam syariat, adapun memakai air zamzam untuk menghilangkan najis hukumnya makruh.

  1. Tanah

Alat bersuci yang kedua adalah tanah. Tanah bisa dijadikan sebagai alat bersuci jika tidak ditemukan air, jauhnya air (melebihi jarak 2,5 KM), tidak bisa memakai air karena bagian yang wajib dibasuh dalam wudhu terluka atau sakit, dan alasan yang lain karena kondisi yang sangat dingin.

Tanah dipakai dalam praktik tayammum. Cara bertayammum dengan tanah dapat dilakukan pertama sekali dengan menyiapkan tanah berdebu atau debu yang suci dari najis.

Kemudian letakkan kedua telaak tangan di atas debu dengan jari-jari dirapatkan

Usapkan kedua telapak tangan pada seluruh bagian wajah dengan niat melakukan tayammmum untuk diperbolehkan melakukan shalat (karena tayammum tidak bisa menggangkat hadas, tetapi hanya untuk membolehkan shalat)

Bacaan niat tayammum:

نَوَيْتُ التَّيَمُّمَ لِاسْتِبَاحَةِ الصَّلَاةِ لِلّهِ تَعَالَى

Nawaitut tayammuma listibahatish shalati lillahi ta’ala

“Aku beniat tayammum untuk diperbolehkan shalat karena Allah ta’ala”

Setelah mengusap wajah masuk dalam mengusap tangan. Pastika tidak ada benda yang menghalangi debu di bagian tangan seperti cincin, jam tangan atau lainnya. Cara mengusap tangan terlebih dahulu letakkan kembali telapak tangan di atas debu yang telah disiapkan.

Usapkan debu dari punggung telapak tangan kanan hingga ke bagian siku. Ketika memulai dari punggung tangan kanan, letakkan ujung-ujung jari salah satu tangan tidak melebihi posisinya dari ujung telunjuk tangan yang lain.

Setelah mencapai siku, balikkan telapak tangan kiri ke bagian dalam lengan tangan sebelah kanan, lalu usapkan hingga sampai bagian pergelangan tangan. Usapkan bagian dalam jempol kiri ke bagian punggung jempol kanan maka selesai bertayammum bagian tangan kanan. Lakukan hal yang sama pada tangan sebelah kiri.

Perlu digaris bawahi bahwa pada tayammum berbeda dengan wudhu. Meratakan debu pada tayammum tidak dilakukan seperti meratakan air, hanya syarat saja. Sehingga cukup pada meratakan debu dengan dugaan yang kuat bahwa debu sudah tersapu pada bagian wajah dan lengan sebagai anggota wajib basuh pada tayammum.

  1. Batu

Batu (hajar) dapat menjadi alat bersuci pada istinja` (membersihkan kencing atau berak).

Dalam fikih, hajar tidak terbatas pada arti batu yang keras. Karena kata hajar dapat diumumkan kepada makna hakiki dan makna syar’i.

Hajar dengan makna hakiki adalah batu yang kita kenal pada umumnya. Yaitu benda keras yang berada di atas tanah dan biasa dipakai untuk melempar sesuatu atau bahan bangunan.

Adapun makna hajar syar’i dapat diumumkan kepada semua benda padat yang dapat menghilangkan kotoran dengan sifat yang kasar tetapi tidak termasuk dalam benda muhtaram (berharga) seperti batu akik, permata dan sejenisnya.

Dalam masalah istinja`, hajar syar’i ini dinamakan dengan hajar hakiki karena memiliki persamaan dapat menghilangkan kotoran.

Jadi semua benda keras yang dapat menghilangkan kotoran dan bukan barang berharga maka dapat dipakai sebagai alat istinja`, seperti kayu, daun kasar, kulit hewan atau bahkan tisu seperti zaman sekarang ini.

Jika ingin berintinja` dengan batu (baik hakiki maupun syar’i) maka yang perlu diperhatikan adalah harus tiga kali usapan dan menghilangkan kotoran yang ada serta harus berbeda bagian batu (tidak boleh satu bagian yang sama).

  1. Alat Dibag (Samak)

Samak yang dimaksudkan di sini bukan masalah menyucikan benda dijilat anjing tau babi karena itu masalah yang berbeda.

Tetapi maksud samak (dibagh) adalah menyamak kulit hewan selain anjing dan babi atau yang lahir dari keduanya.

Karena dalam fikih, dibenarkan untuk memanfaatkan kulit binatang yang telah mati dengan syarat disamak terlebih dahulu dengan ketentuan bukan kulit anjing, babi atau yang lahir dari keduanya atau salah satu keduanya.

Nah, yang dimaksudkan di sini adalah alat yang diapakai untuk menyamak kulit bangkai tersebut dapat dikategorikan dalam salah satu alat thaharah.

Dalam menyamak, alat yang dipakai adalah benda yang dapat menghilangkan fudhul pada binatang. Fudhul artinya zat yang melekat pada kulit hewan yang bisa membuat busuk berupa lendir, darah, nanah atau sejenisnya.

Benda yang diapakai untuk menyamak dibenarkan dari benda suci maupun benda najis. Benda suci seperti contohnya daun-daun yang kasar umpama daun salam. Contoh benda najis seperti kotoran burung yang biasa digunakan untuk meyamak karena mempunyai tekstur kasar dan menghilangkan lendir dan darah.

Hikmah Pensyariatan Thaharah

Telah dimaklumi bahwa thaharah merupakan perintah syariat yang wajib diikuti. Ketika syariat menetapkan sebuah hukum, ini tidak terlepas dari hikmah yang dikandung di dalamnya. Syekh Hisyam al-Kamil dalam kitabnya Imta’ al-Nakhib Syarh Matan Ghyah wa al-Taqrib halaman19 menyebut 4 hikmah pensyariatan thaharah dalam Islam, yaitu:

  1. Mengandung unsur ibadah sehingga seorang hamba diberi pahala ketika melakukan thaharah
  2. Thaharah adalah panggilan setiap insan, karena semua jiwa menyukai kebersihan secara tabiat insani
  3. Untuk menjaga kesehatan, karena kebersihan fisik mengantisipasi datangnya penyakit
  4. Beradap dengan Allah Swt., karena dengan bersuci kita telah siap berdiri di hadapan Allah baik dalam shalat atau membaca Al-Qur’an.

Penutup

Bersuci adalah sebagian syarat sahnya ibadah. Maka sepantasnya kita memahami betul tentang fikih thaharah agar ibadah kita tidak sekedar jongkok dan sujud, tetapi benar-benar menjadi ibadah yang sah dan diterima di sisi Allah Swt. Amin ya rabbal ‘alamin.

  1. Abdullah bin Hijazi, Hasyiah al-Syarqawi, Jld. I, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2013), h. 30.
  2. Zakaria al-Anshari, Tuhfah al-Thullab bi Syarh Tahrir Tanqih al-Lubab, dalam Abdullah bin Hijazi, Hasyiah al-Syarqawi, Jld. I, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2013), h. 30.
  3. Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsir al-Wajiz, (Beirut: Dar al-al-Fikri, 1994), h. 36
  4. Qadhi Abi Syuja’, al-Ghayah wa al-Taqrib, (Semarang: Haramain, t.t), h. 3.