Fiqh Qurban

Apa yang ada di benak sahat hasana.id saat mendengar qurban? Ya, pasti pikiran akan tertuju pada hari raya Idul Adha dan kisah teladan Nabi Ibrahim bersama anaknya Ismail.

Nah, pada artikel kali ini, kita coba angkat kajian tentang qurban dengan pembahasan yang lebih menarik dan mendalam tentunya. Mari baca sampai tuntas, ya sahabat hasana.id.

Apa Itu Qurban

Dalam kamus Munawwir, qurban berasal dari kata qaruba-yaqrubu-qurban-qurbanan yang memiliki arti dekat. Sedangkan maksud qurban pada istilah syariat adalah menyembelih hewan/binatang tertentu dengan maksuda untuk mendekatakan diri kepada Allah pada hari raya haji atau idul adha dan tiga hari setelahnya pada hari tasyrik.[1]

Dalil Qurban

Dalil Al-Qur’an

QS. Al-Kautsar 1-3

إِنَّآ أَعْطَيْنَٰكَ ٱلْكَوْثَرَ (1) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2) إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ (3)

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah shalat dan berqurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah).

Syekh Wahbah al-Zuhayli menafsirkan kalimat “wanhar” dengan berqurbanlah karena Allah. Beliau menambahkan niat dalam melakukan qurban perlu dikhlaskan supaya berbeda dengan kaum jahiliyah yang juga berqurban tapi qurban mereka bukan kerena Allah.[2]

QS. Al-Hajj: 34

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۗ فَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا ۗ وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ

Artinya: “Dan bagi setiap umat, telah kami jadikan kepada mereka syaria’at pada penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut nama Allah karena rezeki yang telah diberikan kepada mereka dari bintang ternak. Maka Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu berserah dirilah (kepada-Nya) dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk dan patuh”.

Dalil Hadis

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ فِيْ كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَّةٌ[3]

Artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya atas tiap-tiap ahli rumah pada tiap-tiap tahun itu ada qurban”.

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يَضَحْ فَلَا يَقْرَبَنَّ مٌصَلَّانَا (رواه أحمد وابن ماجه)[4]

Artinya: “Diriwayatkan daripada Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang mempunyai kemampuan tetapi tidak berqurban, maka janganlah ia menghampiri tempat shalat kami”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

عن زيد بن أرقم قال : قَالَ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَاهَذِهِ الأُضْحِىُّ قَالَ : سُنَّةُ أَبِيْكُمْ إِبْرَاهِيْمُ ( واه ابن ماجه 1 )

Artinya: “Dari Zaid ibn Arqam berkata: para sahabat Rasulullah SAW bertanya: Ada apa qurban ini? Sunnah bapakmu Ibrahim”. (HR. Ibnu Majah).

Selain itu terdapat pula hadis diriwayatkan daripada Aisyah daripada Nabi SAW yang artinya: “Tidak ada suatu amalan pun yang dilakukan pada hari raya qurban yang lebih Allah cintai dari menyembelih hewan qurban. Sesungguhnya hewan qurban itu akan datang pada hari kiamat beserta tanduk-tanduknya, bulu-bulunya dan kuku-kukunya. Sesungguhnya sebelum darah hewan qurban jatuh ke tanah, ia (pahalanya) telah diterima di sisi Allah, maka beruntunglah kalian semua dengan pahla qurban itu”. (HR. Tarmizi).

Hukum Qurban

Ada perbedaan pendapat di antara ulama mazhab terkait hukum berqurban. Perbedaan pendapat ini wajar karena masing-masih imam mazhab punya pandangan mereka sendiri.

Sahabat hasana.id, dalam mazhab 4 yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali hanya mazhab Hanafi yang mewajibkan qurban, selain mazhab ini hukum qurban adalah sunnah muakkad (sunat yang kuat). Tetapi mereka menghukumi makruh jika seseorang telah mampu berqurban dan tidak melaksanakannya.[5]

Sebagian redaksi al-Muwatha’ terdapat keterangan sebagai berikut:

قال رحمه الله تعالى: اعلم بأن القرب المالية نوعان: نوع بطريق التمليك كالصدقات، نوع بطريق الإتلاف كالعتق ويجتمع في الأضحية معنيان فإنها تقربٌ بإرقة الدم وهو إتلاف ثم بالتصدق باللحم و هو تملك. قال (وهي واجبة على المياسير والمقيمين عندنا)[6]

Artinya: “Berkata (Imam Hanafi) rha. Ketahuilah bahwasanya perbauatan mendekatkan diri kepada Allah melalui harta itu ada dua bentuk. Yaitu pertama dengan jalan memilikkan sesuatu kepada orang lain seperti sedekah dan satu bentuk lagi yaitu melepaskan seperti memerdekakan budak. Ibadah qurban terdapat kedua bentuk tersebut. Maka qurban itu adalah taqarrub (upaya mendekatkan diri kepada Allah) dengan menumpahkan darah, hal ini masuk dalam bentuk melepaskan. Kemudian daging qurban itu disedekahkan kepada orang lain, hal ini masuk dalam bentuk memilikkan kepada orang lain. Imam Hanafi berkata (Qurban hukumnya wajib atas orang yang mampu atau punya kelapangan rezeki dan orang yang bermukim (menetap pada suatu daerah/bukan musafir) berdasarkan pendapat yang kita yakini.

Imam Abu Hanifah memandang qurban wajib berpegang pada ketentuan suatu perintah seperti pada surat al-Kautsar ayat 2. Pada ayat ini Allah SWT memerintahkan qurban dengan bentuk fi’il amar (kata yang menunjukkan kepada perintah). Menurutnya kata perintah menujjukan kepada wajib.[7]

Sedangkan Imam Syafi’i dalam kitabnya al-Umm menyatakan secara sharih (jelas) bahwa hukum qurban adalah sunnah, beliau berkata:

الضحايا سنة لا احب تركه[8]

Artinya: “Qurban hukumnya sunnah dan saya tidak suka jika meninggakannya”.

Imam Nawawi (ulama Syafi’iyyah) dalam kitabnya Raudhah al-Thalibin berpendapat qurbam itu hukumnya sunnah muakkad (sangat dikuatkan). Sepantasnya orang yang mampu selalu menyisihkan hartanya untuk berqurban. Hukumnya tidak wajib kecuali jika dinazarkan.[9]

Waktu Qurban

Waktu qurban telah ditetapkan oleh syari’at. Melaksanakan qurban di luar waktu yang tlah ditetapkan tidak sah sebagai qurban, tetapi akan beralih kepada sedekah biasa.

Penyembelihan hewan qurban dilaksanakan pada empat hari yaitu 1 hari raya Idul Adha dan 3 hari tasyrik (10,11, 12, 13 dan 14 Zulhijjah). Disyaratkan pada waktu ini hewan qurban tidak disembelih kecuali setelah dilaksanakannya shalat Idul Adha dan boleh dilaksanakan kapan saja pada hari tasyri, baik pagi ataupun malam. Waktu penyembelihan qurban berakhir setelah berakhirnya tiga hari tasyrik.[10]

Syarat Hewan Qurban

Hewan yang boleh dijadikan sebagai qurban sudah ditetapkan, Imam Nawawi meyebut telah menjadi ijma’ ulama bahwa binatang yang boleh diqurbankan adalah binatang ternak seperti unta, sapi (termasuk kerbau), kambing atau biri-biri. Tidak boleh hewan liar seperti kijang, sapi liar dan lain sebagainya.

Imam Nawawi dalam kitabnya al-Siraj al-Wahhaj menyebutkan bahwa, syarat hewan qurban harus selamat dari cacat yang dapat mengurangi dagingnya. Maka tidak boleh berqurban dengan hewan yang kurus, majnun (gila) dan yang terpotong bagian kupingya, yang pincang, yang buta, yang mempunyai penyakit kulit yang jelas, tidak mempunyai tanduk, sobek atau berlubang daun telinganya.[11]

Kemudian, umur bagi hewan qurban juga telah ditetapkan. Rasulullah bersabda dalam satu hadis yang diriwayatkan daripada Jabir:

لَا تَذْبَحُوْا إِلَّا مُسِنَّةً إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذْعَةً مِنَ الضَّأْنِ (رواه الجماعة الا البخارى)

Artinya: “Janganlah kamu menyembelih sebagai hewan qurban kecuali yang ‘musinnah’ jika kamu sukar memperolehnya maka sembelihlah hewan yang berumur satu tahun”. (HR. Jama’ah selain Bukhari).

Musinnah yang dimaksud dalam hadis adalah umur kambing, sapi dan unta. Namun terdapat perbedaan umur di antara jenis binatang ini yang disyaratkan dalam qurban.

Musinnah pada kambing dan sapi adalah yang sudah sempurna 2 tahun dan memasuki tahun ketiga. Sedangkan musinnah pada unta adalah yang sempurna 5 tahun dan memasuki tahun keenam.[12]

Adapun terkait dengan jumlah orang dari suatu hewan qurban, ulama fikih telah sepakat bahwa seekor biri-biri atau kambing hanya untuk berqurban satu orang saja. Seekor unta atau sapi boleh untuk berqurban tujuh orang, apabila dijadikan untuk satu orang saja maka lebih utama.

Jika penyembelihan tidak sesuai dengan syarat-syarat di atas seperti yang populer dilakukan orang hari ini, dimana mereka melakukan qurban patungan hingga lebih dari tujuh orang. Patungan bahkan dilakukan oleh satu ruang atau kelas belajar yang jumlahnya kadang-kadang sampai 40 orang.

Maka hukum patungan qurban seperti ini tidak sah sebagai qurban. Karena hal ini tidak memenuhi syarat yang telah ditetapkan dalam suatu ibadat, sehingga sama saja ia tidak masuk ke dalam ibadat tersebut.

Maka melakukan patungan seperti ini masuk dalam kategori sedekah biasa, tidak dianggap qurban. Boleh melakukan patungan terhadap qurban unta atau sapi, tetapi dilakukan oleh maksimal 7 orang saja.

Tata Cara Qurban

Imam al-Nawawi dalam kitabnya Raudhah al-Thalibin menerangkan ada beberapa cara qurban yang perlu diperhatikan oleh yang menyembelih, penulis merangkumkan sebagai berikut:

  1. Meniatkan dalam hati melakukan qurban, baik dirinya menyembelih sendiri atau orang lain
  2. Hendaknya menajamkan alat yang dipakai untuk menyembelih seperti parang, golok atau pisau
  3. Menyembelih dengan sekuat tenaga
  4. Memutuskan tiga saluran, yaitu saluran nafas, saluran makanan dan saluran darah
  5. Disunnahkan bagi penyebelih untuk mengahadap kiblat beserta hewan yang disembelih juga dihadapkan ke arah kiblat
  6. Mulai menyembelih dengan membaca basmalah.[13]

Sejarah Qurban

Sejarah qurban berasal dari kisah Nabi Ibrahim. Apabila ditanya siapakah manusia pertama yang menyembelih qurban? Maka jawabannya adalah Nabi Ibrahim as.

Nabi Ibrahim mempunyai anak bernama Ismail yang kemudian diangkat juga menjadi rasul. Nabi Ibrahim dan dan Nabi Ismail keduanya berarti rasul yang juga berhubungan darah sebagai ayah dan anak. Ismail adalah anak kandung pertama Nabi Ibrahim dari pernikahan dengan istinya, Hajar. Dari pernikahan ini keduanya tidak mempunyai keturunan dalam waktu yang lama, barulah kemudian dikarunia anak pada usianya yang sangat senja.

Setelah begitu lama menantikan kelahiran seorang anak, tiba-tiba anak itu diperintahkan untuk disembelih. Sungguh dibawa rasa keget dalam diri Ibrahim dan juga keragu-raguan.

Alkisah pada suatu malam dalam tidurnya, Nabi Ibrahim bermimpi mendengar pesan dari Tuhan. Isi pesan itu adalah perintah untuk menyembelih anak yang dikasihinya, Ismail.

Karena mimpi yang tidak dinyana itu, pada hari setelahnya beliau dihinggapi keraguan akan perintah itu atang dari Allah atau dari syaitan yang sedang mengganggunya. Mimpi itu terjadi pada malam 8 Zulhijjah sehingga sampai saat ini kepada umat Muhammad, tanggal 8 Zulhijjah diperingati dengan kesunnahan berpuasa Tarwiyah atau puasa keraguan dan renungan.

Malam berikutnya tepatnya malam 9 Zulhijjah, Nabi Ibrahim mendapat pesan yang sama yaitu perntah menyembelih anaknya. Dengan ini membuat beliau yakin bahwa perintah itu memang datang dari Allah karena yang datang dari syaitan itu tidak berwujud sama.

Atas keyakinan ini, tanggal 9 Zulhijjah diperingati sebagai hari Arafah yaitu hari pengetahuan dan keyakinan di samping banyak pula perbedaan pendapat atas penamaan hari ini sebagai hari Arafah.

Setelah meyakini kebenaran mimpi itu, Nabi Ibrahim berdiskusi dengan Ismail. Hal ini diabadikan dalam Al-Quran surat As-Saffat ayat 102:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعْىَ قَالَ يَٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلْمَنَامِ أَنِّىٓ أَذْبَحُكَ فَٱنظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!”.

Mendengar ayahnya bertanya semacam itu, Ismail mengerti kedudukan dirinya sebagai anak yang harus memathui ayahnya, lagipula perintah ini dari Allah SWT. Nabi Ismail tau bahwa ini perintah Allah sebagaimana terpahami pada jawabannya:

قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ

Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.

Nabi Ismail menjawab: “kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu” tidak bukan “kerjakanlah apa yang ingin engkau kerjakan wahai ayahku”. Itu menandakan bahwa permintaan itu bukan keinginan ayahnya, tetapi dari Zat yang lebih mulia dari ayahnya.

فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ (103) وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ (104) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا ۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (105) إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ (106) وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ (107)

Artinya: Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim telah membaringkan anaknya atas pelipis(nya). Kami panggil dia “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimoi itu. Sesungguhnya Kami memberi balasan kepada orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seeokor sembelihan yang besar”. (QS. As-Shaffat: 103-107).

Syekh Wahbah al-Zuhayli dalam tafsirnya al-Wajiz menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim membaringkan anaknya pada satu bagian pelipis yang dilengketkan di atas tanah. Tujuannya adalah agar Ibrahim tidak melihat wajah anaknya sehingga menimbulkan rasa iba karenanya. Tatkala sedang siap menyembelihkan Ismail, tiba-tiba ada seruan dari arah gunung yang berada di sebelah sisi Nabi Ibrahim bahwa ia telah membenarkan mimpi dan perintah itu. Lantas Allah SWT mengganti Ismail dengan binatang yang gemuk dari jenis domba.[14]

Doa-Doa Bagi Yang Ber-Qurban

Agar lebih menyempurnakan ibadah qurban kita, disunnahkan menambahkan beberapa do’a sebelum menyembelih qurban.

Ada dua versi do’a yang berbeda bagi orang yang berqurban tergantung dirinya menyembelih hewan qurban sendiri atau hanya menyaksikan penyembelihan:

-Do’a bagi orang yang menyembelih qurban sendiri:

بِسْمِ اللهِ وَاللهُ أَكْبَرُ، أَللَّهُمَّ هَذَا عَنِّي

Bismillahi wallahu akbar, Allahumma haza ‘anni

Artinya: Dengan menyebut nama Allah, dan Allah Maha Besar. Ya Allah ini (qurban) ku”

-Do’a bagi yang hanya menyaksikan penyembelihan:

إِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Inna shalati wanusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil ‘alamin

Artinya: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Tuhan semesta alam”.

Dianjurkan pula banyak bershalawat dalam prosesi penyembelihan qurban dan membaca takbir:

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Allahu akbar (3x), walillahil hamd

Disunnahkan pula baik bagi yang menymbelih qurban sendiri atau hanya menyaksikan untuk membaca do’a berikut

أَللَّهُمَّ مِنْكَ وَإِلَيْكَ، تَقَبَّلْ مِنِّيْ[15]

Allahumm minka wa ilaika, taqabbal minni

Artinya: “Ya Allah, (qurban) ini dari nikmat-MU dan dengan ini aku beribadah kepada-Mu, maka terimalah daripadaku”.

Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Oleh Yang Ber-Qurban

Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh orang yang berqurban adalah sebagai berikut:

  • Tidak boleh melakukan patungan lebih dari 7 orang

Sebagaimana telah diketengahkan sebelumnya, melakukan patungan lebih dari 7 orang pada hewan qurban unta dan sapi tidak sah sebagai qurban dan akan masuk dalam sedekah biasa. Maka jika pada unta dan pada sapi tidak dibenarkan patungan lebih 7 orang maka apalai pada kambing dan domba.

  • Disunnahkan menyembelihnya sendiri

Kebiasaan praktek masyarakat awam adalah mewakilkan daging qurbannya untuk disembelih oleh tokoh agama di daerahnya, padahal hal ini bukan suatu keutamaan.

Sebaiknya hewan qurban disembelih oleh orang yang melakukan qurban atau salah satu dari mereka jika qurbannya kongsi/patungan. Tetapi hal ini dilakukan oleh orang yang benar-benar paham soal menyembelih yang sesuai syariat, tidak boleh dilakukan oleh semabarangan orang, ya.

Adapun jika tidak tau cara menyembelih dengan baik maka disunnahkan untuk hadir dan menyaksikan prosesi penyembelihan qurban. Sebagaimana pada riwayat daripada Aisyah di atas.

  • Disunnahkan menyedekahkan daging kepada kerabat dan fakir

Disunnahkan untuk membagi daging qurban kepada yang membutuhkan dari kerabat dan orang-orang fakir. Sepantasnya tidak memberi qurban karena ada kepentingan tertentu atau maksud lain selain keikhlasan karena Allah SWT.

Para ulama berkata: “Yang lebih utama adalah makan untuk diri sendiri sebanyak 1/3, disedekahkan 1/3 dan disimpan 1/3”

Hikmah/Tujuan Qurban

Setiap perintah Allah mengandung hikmah yang besar di baliknya, tidak terkecuali melalui qurban. Ada dua hikmah yang dikandung dalam qurban sebagaimana diketengahkan oleh Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqhh al-Sunnah adalah sebagai berikut:

  1. Qurban disyariatkan oleh Allah SWT untuk merefleksi kembali kisah Khalilullah, Nabi Ibrahim as yang diperintahkan untuk menyembelih anaknya Ismail pada hari raya Idul Adha. Dimana melalui qurban ini kita melihat ketaatan, kesabaran dan ketaqwaan beliau kepada Allah SWT.
  2. Sebagai jalan tawassu’ah (kedermawanan) kepada manusia melalui qurban, sebagaimana sabda Nabi SAW:

إِنَّمَا هِيَ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ

Artinya: “Hanya sanya hari (raya) itu adalah hari makan dan minum dan mengingat Allah Yang Maha Agung dan Maha Tinggi”.[16]

Hukum Qurban Untuk Orang Yang Sudah Meninggal

Kerap pertanyaan ini ditanyakan di antara kita. Karena mereka ingin orang tua atau siapa saja yang mereka kasihi mendapat keutamaan qurban tetapi semasa hidupnya tidak pernah berqurban.

Nah, terkait permasalahan ini, ada dua pendapat di dalam mazhab Syafi’i. Pendapat yang pertama diketengahkan oleh Imam Nawawi, beliau menyatakan tidak ada kesunnahan qurban untuk orang yang telah meninggal kecuali dia mewasiatkannya semasa hidup.[17]

Pendapat kedua diketengahkan oleh Abu Hasan alAbbadi. Beliau menyatakan boleh berqurban kepada orang yang telah meninggal secara mutlak (baik diwasiatkan atau tidak). Karena menurutnya dengan berqurban kepada mayit, berarti kita bersedekah kepadanya dan bersedekah kepada orang yang meninggal akan bermanfaat kepadanya dan pahalanya akan sampai.[18]

Pendapat yang dianggap kuat adalah yang pertama karena menjadi pendapat yang dipegang oleh masyhur kalangan pengikut mazhab Syafi’i. Namun jika ingin melakukan qurban kepada orang yang sudah meninggal, berarti dirinya mengikuti pendapat yang kedua, ini juga dibolehkan.

Penutup

Hukum berqurban adalah sunnah muakkad kecuali sudah dinazarkan maka akan dihukumi wajib.

Ada beberapa syarat dan tata cara qurban yang perlu diperhatikan oleh orang yang berqurban agar qurbannya sah.

Perlu adanya peningkatan dalam ibadah kita salah satunya dengan berqurban. Karena qurban juga menjadi kendaraan nanti di akhirat sebagaimana sabda Nabi: Addhimu dhahayakum fainnaha ‘alash shirath matayakum (perbesarlah hewan qurban kalian, karena ia akan menjadi kendaraan melewati shirat).

Sudah saatnya kita membuat rencana jangka panjang untuk akhirat. Anehnya, kita berlomba-lomba mencari dan berhebat-hebat pada kendaraan dunia, tetapi belum ada rencana memiliki kendaraan akhirat. Satu hal yang perlu direnungkan bersama. Wallahu a’lam bisshawab.

  1. Abu Baqar bin Muhammad al-Khusaini, Kifayah al-Akhyar fi Hal Ghayah al-Ikhtishar, (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabiyah), h. 172.
  2. Wahbah al-Zuhayli, Tafsir al-Wajiz, (Beirut: Dar al-Fikri, 1996), h. 604.
  3. Abu Daud Sulaiman bin ‘As’as, Sunan Abu Dawud II, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1996), h. 298.
  4. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Jld. II, (Beirut: Dar al-Fikri, t.t), h. 1044.
  5. Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1984), h. 1045.
  6. Imam Malik bin Anas, al-Muwatha’, (Beirut: Dar al-Fikri, t.t), h. 304.
  7. Al-Syamsuddin al-Syarkasyi, al-Mubsuth, Jld. XI, (Beirut: Dar al-Amaliyah, 1993), h. 8.
  8. Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Umm, Jld. I, (Beirut: Dar al-Fikri, t.t), h. 243.
  9. Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin wa Umdah al Mutin, (Beirut: Maktab al-Islami, t.t), 192
  10. Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Mesir: Dar al-hadis, 2004), h. 1004.
  11. Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawi, al-Siraj al-Wahhaj, (Beirut: Dar al-Fikri, 1991), h. 562.
  12. Al-Khatib al-Syarbini, al-Iqna’, Jld. I, (Semarang: Toha Putra, t.t), h. 278 dan Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin wa Umdah al-Muftin, Jld. II, (Beirut: Dar Kutub al-Islamiyah, t.t), h. 462.
  13. Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin wa Umdah al Mutin, (Beirut: Maktab al-Islami, t.t), 204-207
  14. Wahbah al-Zuhayli, Tafsir al-Wajiz, (Beirut: Dar al-Fikri, 1996), h. 451.
  15. Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin wa Umdah al Mutin, (Beirut: Maktab al-Islami, t.t), h. 207.
  16. Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Mesir: Dar al-Hadis, 2004), h. 1003.
  17. Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin, (Beirut: Dar al-Fikri, 2005), h. 321.
  18. Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Jld. XIII, (Beirut: Dar al-Fikri, t.t), 406.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *