Fiqh Najis

Najis merupakan persoalan yang benar-benar harus dipahami dalam hal ibadah. Karena sah dan tidak sahnya ibadah ditentukan oleh kesucian, selain dari kesucian hadas, juga kesucian dari segala macam najis.

Seberapa pun giat dan khusyu’ suatu ibadah dikerjakan, tetapi jika tubuh, tempat atau pakaian pelaku ibadah itu bernajis, maka ibadahnya tidak sah yang berarti tidak diterima dan tidak diberi ganjaran atas ibadah itu.

Mengetahui najis dan macam-macamnya merupakan wajib ain atau kewajiban yang dipundakkan kepada setiap muslim. Maka sangat penting pemahaman tentang najis agar ibadah tidak menjadi sia-sia.

Selain itu, menyucikan najis yang sudah mengenai pakaian, tubuh dan benda-benda yang digunakan sehari-hari bagi kita ummat Islam adalah suatu kewajiban. Di samping juga, haram hukumnya bagi kita sengaja membaur diri (mukhamarah) dengan berbagai macam najis.

Karena itu pada kali ini, hasana.id akan menghadirkan kepada sahabat semua pemahaman yang mendalam tentang najis, mulai dari pengertian najis, pembagiannya, cara menghilangkannya dan lain-lain seputar hal penting tentang najis dan menarik untuk disimak.

Hal ini dimaksudkan agar kita semua akan memahami perkara najis yang menjadi permasalahn penting dalam hal ibadah. Baca sampai tuntas, ya sahabat hasana.id

Apa Itu Najis

Najis berasal dari bahasa Arab, Najasah yang berarti:

الشَّيْءُ الْمُسْتَقْذَر

“Sesuatu yang kotor”.

Adapun menurut istilah syari’at, arti najis sebagaimana didefinisikan oleh Syekh Sayid Sabiq adalah sebagai berikut:

القَذَارَةُ الَّتِيْ يَجِبُ عَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يَتَنَزَّهَ عَنْهَا، وَيَغْسِلَ مَا أَصَابَهُ مِنْهَا[1]

(Najis) adalah kotoran yang diwajibkan bagi seorang muslim untuk untuk mensucikannya dan mensucikan apa yang dikenainya.

Dalam syarh Fath al-Mu’in, ii menyebutkan pengertian najis pada istilah syari’at adalah:

مُسْتَقْذَرٌ يَمْنَعُ صِحَّةَ الصَّلَاةِ حَيْثُ لَا مُرَخِّصَ[2]

Artinya: “Sesuatu yang kotor (pada syari’at) yang dapat menghalangi sahnya shalat jika tidak ada kemudharatan”.

Dari pemahaman redaksi di atas tersebut, najis telah ditetapkan oleh syari’at mana saja yang dianggap najis dan yang tidak dianggap sebagai najis.

Karena itu bukan serta merta sesuatu yang kotor sudah dianggap najis, karena itu pengertian secara bahasa, bukan yang dimaksudkan oleh syari’at.

Bisa saja benda yang kotor tidak dianggap najis dan bisa jadi benda yang bernajis tetapi tidak kotor pada dhahirnya, malah lebih bersih dari benda suci.

Seperti misalnya pakaian yang berlumur tanah. Pakaian itu kotor tetapi tidak dihukumi najis karena tanah tidak masuk dalam kategori benda bernajis.

Macam-Macam Najis Dan Contohnya

Dalam ilmu fikih, dikenal tiga najis, yaitu najis mukhaffafah, najis muthawasithah dan najis mughalladhah.

Najis Mukhaffafah

Mukhaffafah dimabil dari kata khafif yang berarti ringan, artinya ringan dalam pandangan syari’at. Karena ringan, cara membersihkannya pun sangat ringan, tidak perlu membasuh atau menyiram air sampai mengalir tetapi dapat dibersihan dengan hanya memercikkan beberapa percikan air saja.

Najis ringan ini adalah air kencing bayi laki-laki yang belum makan apa-apa selain air susu ibu (ASI) dan belum mencapai usia dua tahun.

Hal ini sebagaimana sabda Nabi Saw:

يغسل من بول الجارية ويرش من بول الغلام

Artinya: “Kencing bayi laki-laki disucikan dengan memercikkan air padanya, dan kencing bayi perempuan dengan dicuci”. (HR. Abu Daud dan Nasa’i).

Sejauh kajian yang penulis lakukan belum ada contoh yang lain untuk kategori hadis ini.

Najis Mutawassithah

Mutawassithah diambil dari kata tawassuth yang berarti pertengahan menurut pandangan syari’at. Cara membersihkannya pun pertengahan, karena membersihkannya tidak mudah dan tidak pula terlalu rumit.

Beberapa contoh najis mutawassithah dalam kitab Qurrah al-‘Ain Syarh Fath al-Mu’in karya Zainuddin al-Malibari adalah sebagai berikut:

Kotoran dan Kencing Manusia/Binatang

Kotoran dan kencing itu najis, walaupun berasal dari hewan yang boleh dimakan. Kotoran ikan dan belalang juga tergolong najis. Tetapi dimaafkan kotoran pada perut ikan kecil. Ukuran besar atau kecilnya ikan diperkirakan pada kebiasan urf (khalayak ramai).

Sama seperti air kencing adalah batu yang keluar dari saluran penis. Ketentuannya bila diyakini batu tersebut adalah kencing yang sudah membeku. Tetapi jika diyakini bukan berasal dari kencing (bisa dibedakan dari warnanya) maka batu itu mutannajis (benda suci yang terkena najis), maka bisa disucikan dengan cara yang sama seperti cara menyucikan najis mutawassithah.

Hal ini sebagaimana satu hadis yang diriwayatkan daripada Ibnu Mas’ud ra: “suatu hari Nabi SAW menunaikan hajat besar. Lantas beliau menyuruhku mengambil tiga batu, aku hanya menemukan dua batu. Aku menyentuh benda yang ketiga ternyata itu bukan batu tetapi kotoran binatang, aku pun membawa (ketiga)nya kepada Nabi SAW. Lalu beliau mengambil dua batu dan membuang kotoran, beliau bersabda: “Ini najis”. (HR. Bukhari, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah)

Mazi

Mazi adalah air yang keluar ketika ada hasratan syahwat tanpa adanya rasa nikmat. Kadang keluar tanpa dirasakan oleh orang yang bersangkutan tetapi dapat diketahui dengan tanda adanya cairan pada kain dalamannya.

Ibnu Shalah berkata bahwa mazi bisa berubah warna tergantung musim. Akan berwarna putih kental pada musim dingin dan akan berwarna kekuning-kuningan encer pada musim panas.

Penggolongan mazi sebagai najis berlandaskan pada sabda Nabi kepada Saidina Ali ra. Dimana Saidina Ali bercerita:

“Saya adalah orang yang bermazi, saya malu menanyakannya kepada Nabi SAW karena putrinya sangat dekat denganku. Maka saya meminta Mughirah (untuk menanyakannya), lantas beliau bersabda: “hendaklah membasuh zakarnya dan berwudhu”. (Muttafaqun alaih).

Wadi

Air putih, keruh dan kental yang biasanya keluar setelah kencing atau ketika membawa benda berat.

Darah

Masuk dalam kategori najis adalah darah selain hati dan limpa, meskipun keduanya digolongkan dalam kategori darah tapi dihukumi suci.

Nanah (Qaih)

Dihukumi sebagai najis karena merupakan darah yang sudah berubah

  • Nanah yang bercampur dengan darah (shadid)
  • Air luka
  • Muntah yang bersumber dari lambung
  • Bangkai selain manusia, ikan dan belalang

Bangkai dihukumi najis walaupun binatang yang tidak mengalir darahnya, seperti lalat, semut dan lain-lain. Tetapi binatang jenis ini dimaafkan jika terjatuh dalam air (airnya tidak bernajis) dan tidak dimaafkan pada pakaian sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.

Bangkai manusia tidak dihukumi najis berdasarkan ayat: “Dan sungguh telah kami muliakan anak Adam”. (QS. Al-Isra: 70). Indikasi dari memuliakan manusia bahwa tidak menganggap jasadnya bernajis walau sudah meninggal.

Adapun ikan dan belalang tidak dihukumi najis berdasarkan hadis:

أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ: الْسَمَكُ وَالْجَرَادُ، وَالْكَبِدُ وَالْطِحَالُ

Artinya: “Dihalalkan bagi kita dua bagkai dan dua darah, ikan dan belalang, hati dan limpa”.

Cairan yang memabukkan seperti arak, khamar dan lainnya. Benda yang memabukkan tapi tidak dalam bentuk cairan tidak bernajis seperti sabu-sabu, ganja dan lain-lain.[3]

Najis Mughalladzah

Mughalladzah diambil dari kata ghildzah yang berarti berat, dinamakan demikian karena najis ini berat menurut kacamata syari’at.

Najis mughalladzah berasal dari anjing, babi atau keturunan dari keduanya (perkawinan antara anjing dan babi) atau salah satu keduanya (perkawinan babi atau anjing dengan binatang suci lainnya).

Najis mughalladzah dihasilkan jika tersentuh basahan daripada anjing, babi atau keturunannya, baik itu berupa air liur, kencing, keringat dan lain-lain. Tidak jika disentuh dalam keadaan kering dan orang yang menyentuhnya pun kering (tidak basah).

Cara Menghilangkan Najis

Gimana, jadi sudah tau kan macam-macam najis? Sekarang bagaimana cara menghilangkan najis? Nah berikut cara-cara menghilangkan najis sesuai dengan jenis najisnya.

Dalam ilmu fikih, para fuqaha membagi dua jenis najis yaitu ainiyah (terlihat zat seperti kotoran binatang/manusia, kencing dan lain-lain) dan hukmiyah (tidak terlahat lagi zatnya dengan dilap atau sudah hilang tetapi diketahui area yang terkena najis).

Najis ainiyah dan hukmiyah ada pada ketiga jenis najis di atas yaitu mukhaffafah, mutawassithah dan mughalladzah.

Cara Menghilangkan Najis Mukhaffafah

Menghilangkan najis mukhaffafah cukup dengan memakai beberapa percikan air saja. Seperti yang telah diketahui bahwa najis mukhaffafah adalah kencing bayi laki-laki yang belum makan apa-apa selain air susu ibu.

Cara menghilangkannya adalah lap najis hingga kering, najis ainiyah sudah tidak ada lagi, tetapi masih tersisa najis hukmiyah. Setelah dilap percikkan air sehingga meratai area kencing (tidak memada jika tidak meratai). Kemudian keringkan tempat yang dikenai najis.

Jika najis tersebut pada pakaian, maka pecikkan air meratai bagian yang kena najis lalu memeras kain tersebut, maka kain sudah dihukumi suci.

Cara Menghilangkan Najis Mutawastithah

Cara menyucikan najis mutawassithah adalah dengan menghilangkan tiga sifat najis berupa rasa, bau dan warnanya dengan menggunakan air.

Caranya pertama sekali najis dihilangkan dengan memakai kain perca atau semisalnya. Ketika ain najis sudah hilang, pakai air pada tempat najis kemudian lap kembali dengan kain perca.

Contoh kasus misalnya satu bagian lantai dalam rumah dikenai najis berupa taik ayam. Cara menyucikannya pertama sekali adalah menghilangkan wujud najis yaitu taik ayam.

Ketika wujud najis sudah tidak ada, siram area yang dikenai najis tadi. Kemudian langkah terakhir adalah mengelap air yang sudah disiram tersebut hingga kering.

Cara ini adalah cara yang umum membersihkan najis mutawassithah, jika membersihkan kencing, berak, wadi dan semacamnya maka cukup membasuh zakar dengan air dengan mengalirkannya.

Cara Menghilangkan Najis Mughalladzah

Mayoritas ulama berpendapat jika suatu benda terkena najis dari anjing atau babi seperti kotorannya, air liur, dan lain-lain yang dari basahannya maka najis itu dihilangkan dengan tujuh kali cuci, salah satunya memakai air yang bercampur debu atau tanah.

Hal ini sebagaimana hadis:

إِذًا وَلَغَ الْكَلْبُ فِيْ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيُرِقْهُ ثُمَّ لْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ

Artinya: “Apabila seeokor anjing menjilat ke dalam bejana kalian, maka bersihkanlah dengan tanah, kemudian basuhlah tujuh kali”. (HR. Muslim).

Cara menyucikannya, tentukan pertama sekali bagian mana yang mengenai najis mughalladzah. Lalu siram dengan air bagian yang dikenai najis tersebut dan salah satu siramannya dengan air yang dicampur tanah (tidak perlu banyak hanya kadar yang dapat mengeruhkan air menjadi warna tanah).

Perlu diketahui bahwa air yang dipakai dalam menyucikan najis itu wajib dengan air muthlaq atau air suci dan menyucikan. Air muthlaq ada tujuh yaitu:

  1. Air hujan
  2. Air laut
  3. Air sungai
  4. Air sumur
  5. Air mata air
  6. Air salju
  7. Air embun[4]

Tetapi khusus dalam hal istinjak (membersihkan kencing dan berak), air tidak menjadi syarat tetapi boleh menggunakan benda kasar seperti batu, tisu dan lain sebagainya.

Najis Yang Dimaafkan (Ma’fu) dan Tidak Dimaafkan

Berbicara najis yang ma’fu (ditolerir/dimaafkan) maka terdapat perbedaan pada masalah air dan pakaian. Ada najis yang dimaafkan pada pakaian tetapi tidak dimaafkan pada air, begitu pula sebaliknya, tetapi ada pula jenis najis yang tidak dimaafkan pada pakaian dan pada air.

Dari segi dimaafkan dan tidak diamafkannya, najis itu tebagi menjadi empat:

  1. Tidak dimaafkan pada air dan pakaian, seperti kotoran (berak) dan kencing, darah bangkai dan lain-lain.
  2. Dimaafkan pada air dan pakaian, seperti najis yang tidak terlihat oleh mata. Seperti percikan kencing yang sangat halus.
  3. Dimaafkan pada pakaian tetapi tidak pada air, seperti sedikitnya darah.
  4. Dimaafkan pada air tetapi tidak pada pakaian, seperti bangkai binatang yang darahnya tidak mengalir. Contohnya semut dan binatang kecil lainnya.[5]

Contoh yang khusus pada najis yang dimaafkan Imam al-Suyuthi dalam kitabnya al-Asybah wa al-nadhair karena umum al-balwa (perkara tidak dapat dihindari), najis yang tidak dapat dilihat oleh mata, darah bisul, darah jerawat, kotoran burung di dalam mesjid yang sangat banyak sehingga sukar dihindari.[6]

Perbedaan Antara Hadas Dan Najis

Hadas dan najis sama-sama menjadi penegah bagi keabsahan shalat. Tetapi kedua berbeda. Sebelumnya telah dijelaskan beberapa contoh najis dan cara menghilangkannya, adapun hadas dengan najis itu memiliki perbedaan yang cukup signifikan.

Berikut beberapa perbedaan antara hadas dan najis:

1. Hadas dapat membatalkan wudhu sedangkan najis tidak membatalkan wudhu

Apabila seseorang berhadas seperti kencing, berak atau kentut maka wudhunya batal. Kecuali keluar mani, walaupun keluar mani adalah sebab hadas besar tetapi wudhunya tidak batal hanya saja seseorang tidak dapat melakukan shalat karena berhadas besar yang mewajibkan mandi junub.[7]

Tetapi apabila terkena najis seperti terkena kencing , kotoran dan lain-lain seperti yang telah disebutkan di atas maka tidak membatalkan wudhu, dirinya hanya perlu menghilangkan najis tersebut.

2. Untuk menghilangkan hadas diwajibkan niat dalam hatinya, sedangkan untuk menghilangkan najis tidak diwajibkan niat.

3. Untuk menghilangkan hadas mesti dengan air, sedangkan untuk menghilangkan najis tidak, tetapi boleh menggunakan benda kasar seperti batu, tisu dan lain-lain.

Apakah Air Mani Najis?

Mengetahu status hukum mani apakah bernajis atau tidak sangat penting mengingat mani sesuatu yang cukup rentan bagi seseorang yang sudah balig apalagi sudah berkeluarga.

Mimpi berjunub atau melakukan hubungan badan menjadi sebab yang umum keluarnya, kadang keberadaan mani baru diketahui setelah mengerjakan suatu ibadah. Jadi bagaimanakah status mani, bernajis atau tidak?

Tentang hal ini, Syekh Zainuddin al-Malibari, Qurrah al-Ain Syarh Fath Mu’in memberikan keterangan sebagai berikut:

أَمَّا الْمَنِيُّ فَطَاهِرق خِلَافًا لِمَالِكٍ[8]

Artinya: “Adapun mani, maka itu suci kecuali pada pendapat Imam Malik”.

Dari redaksi ini diketahui bahwa status mani adalah suci tetapi ada perbedaan pendapat ulama tentang kesuciannya. Imam Malik menganggap mani sebagai najis sama seperti kencing.

Walaupun pada redaksi ini hanya disebutkan Imam Malik, tetapi perlu diketahui bahwa Imam Hanifah juga mengganggap mani sebagai najis. Hal ini sebagaimana diterangkan oleh hasyiah, Abu Bakar Syata yang menerangkan matan kitab di atas.

Abu Bakar Syata mengutip ibarat kitab al-Bujairimi yang menyebutkan bahwa Imam Abu Hanfah dan Imam Malik menghukumi mani sebagai najis, adapun Imam Syafi’i dan Imam Hanbali menggapnya suci. Imam Syafi’i berpendapat bukan hanya mani manusia yang dihukumi suci tetapi juga mani hewan yang suci (bukan anjing, babi atau keturunan keduanya).

Kesucian mani berlandaskan hadis Al-Aswad bin Yazin daripada Aisyah ra beliau berkata:

“Aku mengerik mani daripada pakaian Rasulullah SAW, kemudian ia shalat dengan pakaian tersebut”. (HR. Jama’ah kecuali Bukhari).

Apakah Air Kencing Bayi Perempuan Termasuk Najis?

Telah diketahui sebelumnya hukum air kencing bayi laki-laki yang belum mencapai usia dua tahun yang tidak makan kecuali air susu ibu. Lantas apakah air kencing bayi perempuan memiliki hukum yang sama.

Hukum kedua jenis air kencing ini adalah berbeda. Air kencing perempuan dihukumi najis mutawassithah sama seperti air kencing orang dewasa.

Hal ini dikarenakan air kencing bayi perempuan berbeda sifatnya dengan air kencing laki-laki sebagaimana diketengahkan oleh Syekh Ibrahim Bajuri dalam kitabnya bernama Hasyiah al-Bajuri yang artinya:

“Perbedaan di antara keduanya (air kencing bayi perempuan dan laki-laki) adalah bahwa kencing bayi laki-laki lebih lembut (araqq) daripada kencing bayi perempuan. Pada umumnya, menggendong bayi laki-laki lebh disukai daripada menggendong bayi perempuan. Karena itu, air kencing bayi laki-laki diringankan hukumnya, tidak bagi bayi permpuan. Asal terciptanya laki-laki dari air dan tanah, sedangkan asal terciptanya permpuan dari daging dan darah. Sesungguhnya Hawa tercipta dari tulang rusuk Nabi Adam yang pendek. Selain itu, balignya laki-laki dengan cairan yang suci yaitu mani, sedangkan balignya perempuan denan cairan yang najis yaitu haid.[9]

Jangan Was-Was Terhadap Najis!

Bagi sebagian orang perkara najis sangat berat dalam hal ibadah. Kadang mereka dibuat bingung dan khawatir terhadap hal ini. Sehingga membuatnya merasa kesulitan karena was-was.

Nah, perlu dipahami bahwa perkara najis tidaklah berat. Najis hanya dipastikan jika diyakini bahwa itu benar-benar najis. Artinya tidak perlu was-was jika memang masih ragu-ragu akan suatu benda itu najis atau bukan.

Selain itu perlu disadari juga bahwa was-was itu dari syaitan. Mereka selalu menjadi pengganggu dalam ibadah kita. Ketika was-was datang maka tidak perlu dihiraukan dan segera tepis keraguan itu.

Misalnya kita melihat benda yang mirip dengan taik ayam atau mirip dengan bangkai binatang kecil yang masuk dalam kantong baju kita atau semisalnya. Jika masih ragu-ragu benda itu memang taik ayam atau bangkai maka tidak perlu dihiraukan. Segera tepis segala kekhawatiran yang datang menghinggapi diri kita. Segera lanjutkan shlat jika belum melakukannya atau jangan mengulangi shalat kembali jika belum melakukannya.

 

Karena was-was dari syaitan, disunnahkan ketika masuk ke dalam WC atau kamar mandi untuk selalu membaca do’a agar terhindar dari godaan mereka, sebagaimana dalam satu hadis daripada Anas beliau berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْخَلَاءُ قَالَ: أَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ

Artinya: “Sesungguhnya Nabi SAW apabila masuk ke dalam kamar kecil selalu membaca: “Allahumma inni ‘a’uzubika minal khubtsi wal khabaits (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari syaitan laki-laki dan syaitan perempuan”. (Muttafaqun alaih).

Dari hadis ini dipahami kesunnahan membaca do’a masuk kamar kecil karena Nabi SAW konsisten dalam mengerjakannya. Dengan membaca do’a tersebut akan menghindarkan gangguan syaitan yang salah satunya adalah was-was terhadap najis.

Penutup

Najis merupakan perkara yang dianggap kotor dalam kacamata syari’at yang dapat mecegah keabsahan shalat.

Dalam fikih, najis dibagi menjadi tiga yaitu najis mukhaffafah, mutawassithah dan mughalladzah.

Mengetahui najis dan segala macamnya merupakan sesuatu yang penting mengingat najis dapat menegah kebasahan shalat dan ibadah lain yang disyaratkan bersuci seperti melakukan thawaf pada haji dan umrah.

Diriwayatkan daripada Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Berusahalah kalian menjaga diri pada kebersihan kencing, karena sesungguhnya mayoritas azab kubur karenanya (tidak menjaga kebersihan dari kencing). (HR. Daraquthni).

Semoga kita memahami permasalahan najis dengan baik dan mampu mempraktekkan cara menghilangkan najis dengan benar. Semoga bermanfaat.

  1. Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Kairo: Dar al-Hadis, 2004), h. 18.
  2. Syekh Zainuddin al-Malibari, Qurrah al-Ain Syarh Fath Mu’in, Jld. I, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1995), h. 140.
  3. Syekh Zainuddin al-Malibari, Qurrah al-Ain Syarh Fath Mu’in, Jld. I…, h. 140-159.
  4. Qadhi Abi Syuja’, al-Ghayah wa al-Taqrib, (Semarang: Haramain, t.t), h. 3.
  5. Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi, Kasyifah al-Saja, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, h. 84.
  6. Imam Jalal al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1983), h. 78.
  7. Syekh Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri, Jld. I, (Beirut: Dar al-Hadis, 2016), h. 308.
  8. Syekh Zainuddin al-Malibari, Qurrah al-Ain Syarh Fath Mu’in, Jld. I…, h. 146-147.
  9. Syekh Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri, Jld. I…, h. 243.