Fiqh Istinja

Pada tulisan kali ini, saya ingin mengajak Anda untuk membahas tentang salah satu dari persoalan agama yang cukup penting untuk kita ketahui, karena persoalan ini walaupun terlihat hal yang sangat sepela tapi bisa jadi ini akan membuat kita masuk dalam neraka bila mana kita tak benar dalam melakukannya, apa itu ? masalah istinja.

Salah satu yang sangat perlu diperhatikan oleh orang yang muslim yang sejati ialah bagaimana sebenarnya ketentuan atau tata cara yang benar di dalam beristinja, karena banyak sekali kita melihat orang yang tidak tahu tata cara yang benar didalam beristinjak dan adab-adab di dalam beristinja.

Apa itu istinja

Istinjak ini mempunyai beberapa pengertian maknanya, ada makna menurut bahasa dan ada juga menurut istilah,

Adapun istinja’ menurut bahasa sebagaimana yang tertulis didalam kitab mausu’ah alfiqhiyyah alquwaitiyah ialah

الخلاص من الشيئ

“selesai dari sesuatu “ dan ada juga yang mendefinisikan nya dengan definisi yang dibawah ini seperti yang diungkapakan oleh ibnu qutaibah

ما ارتفع من الارض

Dan ada juga yang mendefinisikanya dengan kalimat dibawah ini, yaitu :

نجوت الشيئ

“Saya melepaskan sesuatu” karena seolah olah orang yang buang hajat melepaskan sesuatu yang sudah menyakitinya

Adapun definisi istinja’ secara istilah dan ini yang menjadi pembahasan kita ialah sebagaimana yang telah imam qalyubi tulis didalam hasyiah syarah minhaj ialah

ازالة الخارج من الفرج عن الفرج بماء او حجر

“menghilangkan sesuatu yang keluar dari faraj ( lobang penis atau lobang pantat) dengan air atau batu”

Imam Al-Bajuri mendefinisikan nya sebagai berikut:

“Menghilangkan kotoran najis yang keluar dari faraj dengan air atau batu”, definisi ini hampir sama dengan definisi diatas namun ada sifat yang ditambahkan yaitu yang keluar itu harus berupa najis, maka bila yang keluar bukan najis seperti angin, ulat, batu maka tidak diwajibkan untuk istinja’

Dari beberapa definisi diatas kamu dapat memahami bahwa istinja itu membersihkan kotoron najis yang keluar dari faraj, baik sesuatu yang keluar tersebut berupa air kencing, mazi, wadi , darah.

Dalam tata bahasa arab kata kata faraj bermakna lobang, namun yang dimaksudkan dengan faraj disini ialah lobang penis atau lobang pantat, tidak termasuk seperti lobang hidung atau lobang mata, maka sesuatu yang keluar dari lobang ini tidak dinamakan najis sehingga pembersihan tersebut tidak dinamakan dengan istinja.

Panduan Islam terkait istinja

Istinja merupakan suatu perkara yang diperintahkan oleh Allah swt terhadap manusia, dan sangat laras dengan fitrah kehidupan manusia yang selalu ingin kebersihan dan nyaman.

Nah sahabat hasana.id, sekarang coba bayangkan saja jika kamu tidak membersihkan penis atau pantat sesudah keluar kotoran (BAB / BAK), wah, itu akan membuat kita merasa tidak nyaman, dan juga akan membuat orang sekitar kita jijik dan menjauhi diri kita ini, maka sangat pantas dan wajar islam menyuruh umat nya untuk melakukan istinjak.

Adapun hukum istinja menurut agama islam ialah wajib, hal ini didasarkan dari hadis yang dibawah ini, yaitu :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – اِسْتَنْزِهُوا مِنْ اَلْبَوْلِ, فَإِنَّ عَامَّةَ عَذَابِ اَلْقَبْرِ مِنْهُ – رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيّ

‘an abi hurairata radhiayallahu ‘anhu qaala. Qaala rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam istanzihuu munal bauli fa inna ‘ammata ‘azaabil qabri minhu. Rawaahu ad-Daraquthni

Artinya : “Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Bersihkanlah diri dari kencing. Karena kebanyakan siksa kubur berasal dari bekas kencing tersebut.” (HR. Daruquthni).

Jika kamu menelusuri dari beberapa literatur kirab karangan ulama, kamu akan mendapatkan banyak sekali ulama yang didalam kitab karangan mereka dengan sangat jelas menerangkan hukum kewajiban istinja, seperti abu syuja’ dalam kitab matan taqrib dengan nash nya sebagai berikut

الاستنجاء واجب من البول و الغائط

“hukum istinja’ itu wajib baik karena buang air kecil atau buang air besar”

Dari nash kitab diatas dapat kita ketahui bahwa hukum istinja itu wajib dan ini pendapat mayoritas ulama didalam mazhab imam syafi’

Namun ulama juga mengatakan bahwa ada juga hukum istinja’ itu sunat seperti yang terjadi pada konteks ketika yang keluar buka najis tapi seperti ulat maka hukum istinja pada saat itu sunat, dan bahka bisa juga haram bila barang yang ia jadikan sebagai alat istinja’ merupakan hasil curian atau rampasan, walaupun jikalau ia beristinja’ tetap di hukumi sah

Alat untuk istinja

Sebagaimana dari definisi istinja’ diatas kamu dapat mengetahui nya bahwa alat untuk istinja’ itu ada dua macam : air dan batu.

Adapun istinja’ dengan air ini juga sudah berlaku kepada ummat sebelum umat nabi Muhammad saw, berbeda dengan istinja’ dengan batu (hajar) yang hanya Allah swt khususkan bagi ummat nabi Muhammad saw.

Tata cara istinja

Apabila kita sudah melakukan qadha hajat, maka kita mesti melakukan istinja’ dengan cara yang benar, karena alat istinja’ ada dua, maka akan kami jelaskan tata cara istinja’ nya dengan berdasarkan alat istinja’

istinja dengan air

Dalil tentang tata cara dengan air dapat ditemukan dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Nabi, Anas bin Malik RA. yaitu :

Hadit dari Anas bin Malik -radiyallohu ‘anhu:

عنْ أنَس بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ الله عَنْهُ، أنَّهُ قَالَ: “كَانَ رَسول الله يَدْخُلُ الخلاء فَأحْمِلُ أنَا وَغُلام نَحوِى إدَاوَةً مِنْ ماء وَعَنَزَةَ فَيَسْتَنْجِي بِاْلمَاء”. العنزة: الحربة الصغيرة.

‘an anas bin maalik radhiyallahu ‘anhu, annahu qaala : kaana rasuulallahi yadkhulul khalaa-a fa ahmilu anaa wa ghulaama nahwii idaawatan min maain wa ‘anazata fa yastanjii bil maa-i’. Al-‘izzatu : al-hurriyyatus shagiraatu

Dia berkata, “Rasulullah SAW masuk ke tempat buang hajat, lalu aku dan seorang pemuda yang seumuran dengan ku membawakan satu bejana dari air dan satu tombak kecil, lalu beliau beristinja (bersuci) dengan air itu,” (HR Bukhari-Muslim).

Adapun cara istinja’ dengan air ialah dengan mengalirkan air pada tempat keluar kotoran najis dengan sekiranya hilang kotoran tersebut di tempat keluarnya. Adapun cara untuk membuktikan kebersihan nya ialah dengan menjadi kasarnya tempat tersebut sesudah agak berasa lembut karena adanya kotoran.

Bau yang masih tertinggal di tangan kita setelah beristinja dimaafkan bila kita telah mencucinya.

istinja dengan batu

Dalil istinja’ dengan batu antara lain ialah :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ بِمَنْزِلَةِ الْوَالِدِ أُعَلِّمُكُمْ فَإِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ الْغَائِطَ فَلَا يَسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ وَلَا يَسْتَدْبِرْهَا وَلَا يَسْتَطِبْ بِيَمِينِهِ وَكَانَ يَأْمُرُ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ وَيَنْهَى عَنْ الرَّوْثِ وَالرِّمَّة

“Dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya aku bagi kalian hanyalah seperti kedudukan orang tua, aku ajarkan kepada kalian; apabila salah seorang dari kalian hendak buang air, janganlah dia menghadap kiblat, jangan pula membelakanginya, dan jangan beristinja dengan tangan kanannya.” Dan beliau juga menyuruh untuk beristinja dengan tiga batu, serta melarang beristinja dengan kotoran binatang dan tulang basah”

Selain itu juga hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Majah serta Abu Awanah dan Asy-syafi’i dari Abu Hurairah dengan artinya sebagai berikut.

“Hendaklah salah seorang di antara kalian beristinja dengan menggunakan tiga batu.”

Syekh Salim bin Sumair Al-Hadrami dalam kitab Safinatun Najaa menyebutkan delapan syarat yang harus dipenuhi ketika beristinja hanya menggunakan batu, yaitu sebagai berikut :

  1. Dengan menggunakan tiga buah batu
  2. Batu yang dipilih dapat membersihkan tempat keluarnya najis
  3. Najisnya belum sampai kering
  4. Najisnya belum berpindah tempat
  5. Najisnya tidak terkena benda najis yang lainnya
  6. Najisnya tidak melampaui shafhah (daging tebal dari kedua belah pantat yang menyatu rapat ketika berdiri) dan hasyafah (kepala penis yang dikhitan)
  7. Najisnya tidak terkena air
  8. Batu yang digunakan suci

Sahabat hasana.id, adapun cara istinja’ dengan batu yang baik adalah dimulai dengan pendahuluan pantat sebelah kanan dengan memutarkan nya secara perlahan lahan hingga sampai pada termpat yang awal dan diteruskan dengan diputarnya dari pantat sebelah kanan hingga kembali ke tempat awal dan yang terakhir dia lalukan batu diatas kedua pantat secara bersamaan, dan bila dengan tiga batu belum bisa menghilangkan najis, maka wajib dia menambahkan batu nya hingga najis tersebut hilang.

Imam Asy Syafi’i mengatakan: “Tidak boleh kurang dari tiga batu meskipun dengan menggunakan selain batu. Apabila tidak sampai tiga batu, maka harus menambahkan ya sampai berjumlah tiga.”Sedangkan apabila lebih dari tiga, maka disunahkan untuk menutupinya dengan angka ganjil,” katanya.

istinja dengan keduanya

Istinja’ yang paling baik ialah dengan melakukan istinja’ dengan menghimpunkan kedua alat tersebut, dengan beristinja’ pertama kali dengan batu dan diikuti dengan istinja memakai air.

Selain cara di atas juga boleh juga hanya melakukan dengan salah satu daridua alat istinja, dan melakukan istinja dengan air tanpa dengan batu lebih baik dari pada dengan batu tanpa air.

Hal yang perlu diperhatikan terkait istinja

Hal yang diperhatikan kamu pada waktu istinja hampir sama dengan yang perlu diperhatikan ketika qadha hajat, seperti dilarang menghadap kiblat dan membelakanginya bila bukan pada bangunan, dilarang menghadap ke hembusan angin karena memercikkan air ke arahnya, menutup kepala, dilarang berzikir, bersuci secara berlebihan, dan dilarang juga istinja’ dengan tangan kanan

Istinja bagi orang sakit

Cara beristinja bagi orang sakit sama seperti orang yang sehat, bisa dengan batu dan bisa dengan air, dan bila Anda merasa kurang baik dalam menggunakan air maka silahkan memakai batu atau semacamnya, seperti tisu yang mudah di dapat di semua toko dan tidak terlalu menyakiti faraj ketika beristinja’, boleh juga bila sedang tidak mampu melakukan sendiri untuk meminta bantuan orang yang lain yang mempunyai mahram dengan anda

Istinja bagi disabilitas

Dalam kitab fiqih diterangkan bahwa dia dapat beristinja’ dengan cara meminta bantuan pasangan halalnya (suami atau istri). Namun jika tidak ada orang tersebut, maka dengan cara apa pun yang memungkinkan. Kalaupun tidak sempurna sebab tidak ada pasangannya, maka ia boleh tetap melanjutkan shalat sesuai pendapat dalam mazhab Hanafi dan Maliki.

Dalam mazhab Hanafi, bila seseorang tidak mampu untuk menghilangkan najis di tubuhnya dan shalat dengan cara itu, maka shalatnya sah dan tak perlu mengulang lagi meskipun terdapat orang lain yang dapat membantunya.

Adapun dalam mazhab Maliki, menghilangkan najis merupakan kesunnahan dan bukan kewajiban sehingga tidak masalah meskipun shalat membawa najis, namun disarankan untuk mengulang shalatnya kembali apabila sudah memungkinkan untuk bersuci secara sempurna.

Dalam kitab Râd al-Mukhtâr, salah satu rujukan utama Mazhab Hanafi, disebutkan:

فِي التَّتَارْخَانِيَّة: الرَّجُلُ الْمَرِيضُ إذَا لَمْ تَكُنْ لَهُ امْرَأَةٌ وَلَا أَمَةٌ وَلَهُ ابْنٌ أَوْ أَخٌ وَهُوَ لَا يَقْدِرُ عَلَى الْوُضُوءِ قَالَ يُوَضِّئُهُ ابْنُهُ أَوْ أَخُوهُ غَيْرَ الِاسْتِنْجَاءِ؛ فَإِنَّهُ لَا يَمَسُّ فَرْجَهُ وَيَسْقُطُ عَنْهُ وَالْمَرْأَةُ الْمَرِيضَةُ إذَا لَمْ يَكُنْ لَهَا زَوْجٌ وَهِيَ لَا تَقْدِرُ عَلَى الْوُضُوءِ وَلَهَا بِنْتٌ أَوْ أُخْتٌ تُوَضِّئُهَا وَيَسْقُطُ عَنْهَا الِاسْتِنْجَاءُ. اهـ. وَلَا يَخْفَى أَنَّ هَذَا التَّفْصِيلَ يَجْرِي فِيمَنْ شَلَّتْ يَدَاهُ؛ لِأَنَّهُ فِي حُكْمِ الْمَرِيضِ

“Dalam kitab Tatarkhaniyah disebutkan: Seorang laki-laki yang sakit yang tidak punya istri atau budak perempuan tetapi mempunyai anak laki-laki atau saudara laki-laki sedangkan dia sendiri tidak mampu untuk wudhu, maka anak dan saudaranya itu boleh membantunya berwudhu tetapi tidak boleh membantunya istinja’ sebab mereka tidak boleh memegang kemaluannya. Istinja’ itu sendiri gugur kewajibannya dari lelaki tersebut. Seorang perempuan yang sakit yang tidak mempunyai suami sedang dia tidak mampu untuk berwudhu tetapi dia mempunyai anak perempuan atau saudara perempuan, maka mereka boleh membantunya berwudu dan ia gugur kewajibannya untuk istinja’. Dan sudah jelas bahwa perincian ini juga berlaku bagi orang yang terpotong kedua tangannya sebab dia sama hukumnya dengan orang sakit”

Dalam kitab Bughyat al-Musytarsyidîn yang beraliran Syafi’iyyah, seperti mazhab yang diikuti oleh mayoritas Muslimin Indonesia, disebutkan keterangan sebagaimana berikut:

فائدة : يَجِبُ عَلَى الْمَرِيْضِ أَنْ يُؤَدِّيَ الْصَلَوَاتِ الْخَمْسَ مَعَ كَمَالِ شُرُوْطِهَا وَأَرْكَانِهَا وَاجْتِنَابُ مُبْطِلَاتِهَا حَسْبَ قُدْرَتِهِ وَإِمْكَانِهِ … فَإِنْ كَثُرَ ضَرَرُهُ وَاشْتَدَّ مَرَضُهُ وَخَشِيَ تَرْكَ الصَلَاةِ رَأْساً فَلَا بَأْسَ بِتَقْلِيْدِ أَبِي حَنِيْفَةَ وَمَالِكٍ وَإِنْ فَقُدَتْ بَعْضَ الْشُرُوْطِ عِنْدَنَا.

Faidah: wajib diatas setiap prang yang sakit untuk melaksanakan salat lima waktu beserta harus menyempurnakan segala syarat dan rukun nya dan menjauhi segala yang membatalkan nya menurut kemampuan dan kemungkinan nya, maka jika banyak terdapat kemudharatan dan makin bertambah sakit nya dan ia khawatir kalo nanti nya dia harus meninggalkan shalat secara keseluruhannyam maka tidak mengapa untuk bertaqlid kepada mazhab abu hanifah dan imam malik sekalipun luput sebagian syarat disisi kami

Dan didalam kitab syarah almuhazab tertulis

( أما حكم المسألة ) فإذا كان على بدنه نجاسة غير معفو عنها وعجز عن إزالتها وجب أن يصلي بحاله لحرمة الوقت لحديث أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال { : وإذا أمرتكم بشيء فأتوا منه ما استطعتم } رواه البخاري ومسلم . وتلزمه الإعادة

“jika seseorang terdapat pada badanya najis yang tidak di maafkan dan ia lemah dari menghilangkannya , niscaya ia wajib shalat dengan kondisi semampunya karena menghormat waktu, karena beramal dengan hadits yang diriwayatkan oleh abu hurairah ra, nabi bersabda ; “ apabila saya memerintahkan kalian dengan sesuatu, maka lakukanlah dengan semampu kalian” diriwayatkan oleh bukhari dan muslim, dan mesti untuk orang tersebut untuk mengiadah ( mengulang) kembali shalat tersebut”

Dari beberapa redaksi diatas kita dapat mengetahui satu hukum yang sangat jelas bahwa bagi orang sakit yang tidak mampu menghilangkan najis dari tubuhnya wajib melaksanakan salat nya dan ia wajib mengqadha nya di kala ia sudah mampu untuk melaksanakan dengan memenuhi syarat nya, karena shalat yang ia lakukan pada waktu sakit hanya untuk menghormat waktu, dalam artian bila dalam masa sakit itu ia meninggal maka tidak akan di tuntut, ini merupakan pendapat mazhab syafi’i dan kita lebih baik tetap berpedoman dengan ini karena lebih ihtiath (pasti)

Hal seperti diatas bisa diberlakukan seperti orang sakit yang dipasang kateter ( selang), ia mesti melakukan shalat dan juga wajib mengqadhanya dikala ia sembuh dan juga bagi orang sakit yang lain nya yang sukar dalam beristinja’

Istinja dengan tisu (kering)

Seperti diterangkan di atas bahwa istinja’ dapat dilakukan dengan air dan batu, baik hakiki maupun syar’i. Secara harfiah Tisu bukan air, bukan pula hajar hakiki. Pertanyaannya apakah dapat untuk istinja’? Merujuk dari beberapa literature madzhab Syafi’i, seperti al-Majmu’ Syarh al-Muhaddzab, Syarqawi Syarh Tuhfatut Thullab, Bujairami Syarh Iqna’ dan lain-lain seperti yang ditulis didalam kitab hasyiah Al bajuri sebagai berikut terkait makna batu yang dimaksudkan disini

كل جامد قالع غير محترم

Setiap benda yang padat(bukan benda cair) yang dapat menghilangkan kotoran serta tidak dimuliakan oleh syara’

Maka yang dimaksudkan dengan batu ialah batu syar’i, tisu dapat digunakan untuk istinja’ dengan alasan bahwa tisu dianggap sebagai salah satu bentuk hajar syar’i. Yaitu benda benda padat (jamid), tidak najis, dan tidak muhtaram (dianggap mulia dan berharga), karena tidak terdapat tulisan di dalamnya. Jika terdapat tulisan dalam tisu (kertas) itu, maka tidak diperbolehkan menjadikannya sebagai alat istinja’ dengan alasan menghormati tulisan itu.

Berbeda hal nya dengan benda padat tapi bernajis seperti taik sapi yang sudah kering, atau tidak bernajis tapi tidak mampu menghilangkan kotoran seperti kelereng, atau mampu menghilangkan kotoran tapi dihormatkan menurut syara’ seperti kertas yang ada tulisan nama nama yang mulia, maka tidak diperbolehkan untuk beristinja’ dengan barang barang tersebut

Penutup

Sampailah kita pada halaman penutup tulisan ini, saya ingin kamu mengetahui bahwa setiap orang muslim harus mengetahui terhapat persoalan maslah istinja’, karena bila istinja’ nya tidak betul, maka shalat yang dikerjakan nya pun akan tidak sah, alangkah bahaya dan rugi nya orang yang tidak diterima salat nya karena tidak sah dalam hal beristinja’ dan juga setiap muslim selalu menjaga etika ketika mau beristinja’, mencari tempat yang tertutup dan bukan disamping jalan, karena akan membuat keadaan sekitar tidak nyaman lagi,

Ditambah lagi orang yang tidak benar dalam beristinja’ akan diazab didalam kubur, sebagaimana yang di ceritakan oleh ibnu abbas bahwa rasulullah pernah lalu di salah satu kuburan dikota madinah dan mendengar jeritan yang keluar dari kubur tersebut, maka rasul berkata kepada ibnu abbas bahwa dia diazab karena tidak benar betul dalam melakukan istinja. Sungguh rugi orang tersebut, nauzubillah min zalik, maka dari itu kami ingin tulisan ini dapat bermanfaat bagi kaum muslimin dalam melaksanakan perintah Allah swt,amin.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *