Fardhu Ain

Pembukaan

Hadis tentang kewajiban menuntut ilmu sudah sering kita dengar, bahkan sudah bisa dihafal dengan sendirinya. Hadis tersebut bukan hanya sekedar teks, akan tetapi ada perintah untuk benar-benar mencari ilmu di dalamnya.

Menuntut ilmu tak sekedar wajib, akan tetapi barangsiapa yang tidak menuntut ilmu sama sekali, sedangkan dia berada dalam lingkungan ilmu, maka dosa besar baginya.

Termasuk juga orang-orang yang telah berilmu, kemudian berbalik hatinya, mencampakkan dirinya dalam kemaksiatan, membuang ilmu yang telah dimilikinya, juga dosa besar yang didapatkannya sebelum dia kembali taubat.

Ilmu yang dimaksudkan di sini adalah ilmu fardu ain, yang kewajibannya tidak dapat ditawar menawar lagi.

Dalam kesempatan ini kita akan membahas lebih dalam tentang ilmu fardu ain.

Apa Itu Ilmu Fardhu Ain

Sebelum itu, kita perlu memahami kembali definisi ilmu sebelum masuk ke dalam ilmu fardhu ain.

Ilmu merupakan kata benda abstrak dalam bahasa Arab yang bermakna mengetahui. Orang yang memiliki ilmu diistilahkan Alim. Adapun ulama dan allamah merupakan panggilan kehormatan bagi orang yang sangat pandai.

Imam Haramain Al Juwaini dalam kitab Waraqat Al- Ushul mendefenisikan ilmu adalah “mengetahui sesuatu sesuai dengan kenyataan”.

Atau secara utuhnya ilmu dapat diartikan suatu usaha mempelajari alam semesta secara objektif , melihat dengan pikiran yang menghasilkan kebenaran sesuai kenyataan.

Kata “ilmu’ sendiri masih berada dalam cakupan yang sangat umum, sehingga ilmu bisa diartikan lagi dalam cabang-cabang tertentu seperti ilmu fiqih, ilmu tauhid, ilmu tasawuf dan lainnya.

Dalam islam ada 2 garis besar ilmu yang wajib digali, ilmu fardu ain dan fardu kifayah yang pengamalannya setiap hari terjadi dalam berbagai kondisi. Tetapi kita terkecoh dengan istilah ilmu dunia dan ilmu akhirat yang diperkenalkan oleh orientalis Belanda, Snouck Houghrounje.

Ilmu fardhu ain adalah ilmu yang kewajibannya ditujukan kepada setiap individu, dan tidak terlepas perintahnya sebelum tiap-tiap umat islam melakukannya.

Ada tiga pokok besar ilmu yang mencakupi dalam wajib ain yaitu ilmu tauhid, ilmu fiqih dan ilmu tasawuf.

Ketiga ilmu di atas sudah terkunci dalam agama tentang pembahasannya, karena agama sudah sesuai dengan pemahaman akal manusia. Bila ada kesalahan dalam memahami agama, bukan agama yang salah, akan tetapi manusianya.

Kesalahan dalam memahami agama terjadi karena kita sejak kecil tidak mempelajari ilmu-ilmu fardhu ain, sehingga ketika dewasa lebih banyak mempelajari ilmu yang sifatnya duniawi. Sedangkan ilmu duniawi ini hukumnya fardu kifayah bahkan ada yang tingkatannya haram.

Kita sering mendengar kalimat Tuntutlah ilmu dari ayunan hingga liang lahat. Jika dipehatikan secara seksama, ada perintah mempelajari ilmu tauhid didalamnya. Dimana wajib bagi seorang ayah mengajarkan tauhid kepada anaknya sejak kecil, memperdengarkan kalimat tauhid dalam ayunan. Hal ini telah disebutkan oleh Imam Ibrahim Bajury dalam kitabnya.

Ketika anak sudah mulai aktif berbicara ajarkan pokok-pokok dalam ilmu tauhid seperti sifat wajib pada Allah atau sifat wajib 20. Bahkan ketika kita sudah meninggal hal-hal pokok tauhid masih diajarkan dalam bentuk talkin.

Lalu sejauh mana cakupan ilmu fardu ain yang wajib dicari oleh setiap individu sejak ia lahir hingga kematian menjemputnya?

Ruang Lingkup Ilmu Fardhu Ain

Ketika seseorang mencapai usia baligh atau sudah menyatakan dirinya memeluk agama islam, kewajiban utama yang harus dipelajarinya adalah memahami makna dua kalimat syahadat yang telah diucapkannya.

Dalam hal ini tidak diwajibkan menggali lebih dalam makna kalimat syahadat dengan pendekatan dalil-dalil, cukup dengan meyakini dan tidak memiliki keraguan atas dua kalimat syahadat yang telah diucapkan. Meskipun meyakininya dengan jalan taqlid semata.

Beginilah yang telah diajarakan Rasulullah ketika awal-awal membawa islam ke daerah pedalaman Arab.

Dalam tahapan selanjutnya, barulah disibukkan dengan kewajiban-kewajiban atas dirinya untuk mengenal Allah lebih dalam dan tugas pokok seorang hamba untuk beribadah kepada Allah.

Seperti ibadah sholat, seseorang harus belajar ilmu tentang sholat dan ilmu yang berkaitan dengannya semisal bersuci dari najis dan hadas, kemudian syarat dan rukun sholat.

Begitu juga dalam hal berpuasa dan membayar zakat, diwajibkan mempelajari ilmu tentangnya bila kewajiban itu telah tiba. Karena dua kewajiban ini memiliki waktu dan syarat tertentu.

Bila telah meyakini Allah dengan sebenar yakin, kemudian melakukan sholat lima waktu, berpuasa, menunaikan zakat, barulah seorang muslim melaksanakan haji.

Adapun kewajiban haji tidaklah segera, begitu pula mempelajari ilmu tentangnya tidak juga harus segera kecuali seseorang tersebut telah dikategorikan mampu untuk berhaji.

Hal-hal di atas adalah hal pokok bagi seorang muslim, yang didalamnya terdapat ruang lingkup khusus tentang ilmu fardu ain dalam bidang tauhid dan fiqah.

Cakupan ruang lingkup ilmu fardu ain juga tidak sebatas bagaimana melaksanakan ibadah, juga termasuk di dalamnya bagaimana seorang muslim menjaga dirinya dari berbuat dosa. Memahami batasan-batasan yang menjerumuskan seseorang dalam lubang dosa juga fardu ain.

Bila terdapat keraguan dalam hati setiap muslim tentang hal-hal wajib yang mengikat dirinya sepanjang waktu atau lupa tentang batasan kemaksiatan yang harus ditinggalakannya, maka wajib untuk mendalami dan memikirkan bagaimana untuk menghilangkan keraguan tersebut.

Adapun ilmu untuk menjaga diri dari segala larangan Allah dan ilmu yang mendekatkan diri kepada Allah adalah fardu ain.

Sehingga ilmu fardu ain ini sifatnya mengikat setiap individu dan tidak diberikan celah untuk meninggalkannya atau mewakilkannya kepada orang lain.

Kemudian, tingkatan ilmu yang terbaik adalah ilmu yang dekat dengan ilmu akhirat dan berlaku setelah kematian.

Dalam tingkatan ilmu yang wajib dicari ini juga masih ada perdebatan alot sebagaimana disebukan oleh Imam Munawi yang semuanya memiliki dalil masing-masing.

Sebagaimana ulama tauhid berpendapat bahwa ilmu yang paling wajib dituntut adalah ilmu tauhid, karena kedudukannya lebih tinggi dari ilmu lain. Begitu juga ulama fiqih mengatakan ilmu fiqihlah yang utama karena di dalamnya manusia dapat membedakan halal dan haram, serta tatacara beribadah kepada Allah.

Tentu ulama tafsir akan mengatakan ilmu tafsir yang paling utama, karena sanggupnya manusia melaksanakan hukum yang telah dibebankan harus dilihat dari ilmu tafsir.

Dalam hal ini Imam Ghazali berpendapat bahwa wajibnya mengkaji ilmu ditinjau dari segi kedudukannya. Karena ilmu bisa dikategorikan menjadi dua. Ilmu syariat dan ghairu syariat.

Jika dirunutkan berdasarkan paparan alim ulama, pertama- tama kita wajib mengenal tuhan, yaitu dengan mempelajari ilmu tauhid. Setelah mengenal Tuhan, ada perintah beribadah kepadaNya. Di sinilah perlu memahami ilmu fiqih yang membahas tentang ibadah. Terakhir bagaimana ibadah itu sampai kepada Allah, apakah ibadah itu kekal atau sudah hilang. Dan inilah pentingnya mempelajari ilmu tasawuf untuk membentengi amalan.

Ilmu fardhu ain dalam ranah aqidah

Berbicara tentang aqidah tidak akan lepas dari ilmu kalam atau teologi. Karena ilmu inilah yang menjadi benteng bagi umat islam dari kekufuran dan pamahaman yang merusak akidah seperti pemahaman wahabi, liberal, atheis dan ajaran menyimpang lainnya.

Ilmu aqidah disebut juga Ushuluddin. Materi yang tersajikan di dalamnya seputar pokok-pokok agama yang berkaitan dengan ketuhanan (uluhiyyat) dan kenabian (nubuwwat). Juga dibahas di dalamnya tentang hal-hal ghaib seperti hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.

Ilmu akidah dinamakan dengna ilmu kalam karena banyak membahas tentang sifat Tuhan. Ulama yang mendalami ilmu kalam disebut Mutakallimin.

Ada pula yang menamakan ilmu ini dengan ilmu tauhid. Karena membahas tentang keesaan Allah secara mendalam.

Tidak hanya itu, ilmu aqidah ini juga dinamakan dengan ilmu ‘aqaid, dimana objek yang dipelajari adalah hal-hal yang menyangkut keyakinan dan kepercayaan.

Bahkan Imam Abu Hanifah menamakan ilmu aqidah ini dengan nama Al Fiqh Al Akbar yaitu fiqih besar. Sedankan untuk ilmu yang membahas seputar amaliah seperti shalat, zakat, puasa, haji dan lainnya dinamakan Al Fiqh Al Ashghar.

Umumnya di Indonesia, ilmu ini dinamakan juga dengan ilmu sifat dua puluh. Karena yang dibicarakan tentang sifat wajib pada Allah, atau dinamakan juga iktiqad lima puluh karena mencakupi sifat wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah dan rasul.

Sebelum membahas tentang iktiqat lima puluh lebih lanjut, kita perlu mengetahui siapa ulama yang menjadi rujukan dalam masalah aqidah.

Dalam mazhab teologi kita merujuk kepada Imam Asy’ari. Dimana pemikiran Imam Asy’ari menjadi rujukan dalam hal aqidah oleh umat islam sejak dahulu dan telah menyebar luas ke seluruh negeri.

Sebagian besar ulama dari berbagai fan ilmu: ilmu tafsir, hadis, hukum, sejarah, bahasa dan lainnya adalah pengikut mazhab Asy’ari.

Bahkan ulama dari aliran lain seperti syi’ah, khawarij, mu’tazilah mengatakan mazhab Asy’ari mewakili golongan ahlussunnah wal jama’ah yang sebenarnya.

Adapun dasar-dasar pokok akidah berlandaskan dalil-dalil qath’I yang bersumber dari Alquran dan hadis serta ijma’ ulama dan argumentasi akal yang sehat.

  1. Alquran merupakan kitab terakhir yang diturunkan ke bumi, menjadi pokok dari semua argumentasi dan menjadi dalil untuk membuktikkan kebenaran risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad.

Dalam QS An-nisa ayat 59 disebutkan bahwa Alquran menjadai rujukan atas setiap permasalahan yang diperselisihkan.

  1. Hadis menjadai dasar kedua dalam penetapan akidah, akan tetapi tidak semua hadis dapat dijadikan dalil dalam ilmu ini. Hanya hadis-hadis yang telah disepakati perawinya oleh ulama yang dapat djadika rujukan.

Hadis yang dapat dijadikan dasar ilmu akidah adalah hadis yang tingkatannya mutawatir. Karena tingkatan hadis ini tidak memberikan peluang terjadinya kebohongan,

  1. Ijmak ulama juga dijadikan sebgai dasar ilmu akidah, yaitu ijmak ulama yang mengikuti ajaran ahlu haq. Seperti penetapan sifat-sifat Allah yang qadim (tidak ada permulaan) adalah ijmak ulama yang qath’i
  2. Terakhir, akal. Dijadikan sebagai dasar akidah karena manusia didorong oleh Alquran untuk merenungkan ciptaan alam semesta ini.
    menurut ulama tauhid, akal difungsikan sebagai sarana yang dapat membuktikan agama selama penalaran tersebut tidak keluar dari ajaran yang dibawa agama.

penting bagi kita untuk mempelajari apa yang diperkuat oleh dalil-dalil di atas, salah satunya sifat dua puluh atau sifat lima puluh. Para ulama membahas ini berangkat dari kajian yang mendalam dengan beberapa alasan yang ilmiah berikut ini.

Pertama. Setiap mukmin harus meyakini bahwa Allah memiliki sifat kesempurnaan dan jauh dari sifat-sifat kekurangan serta meyakini Allah dapat melalukan segala sesuatu yang sifatnya mungkin menciptakan atau mentiadakan seperti mamatikan dan menghidupkan.

Kedua. Para ulama Ahlussunnah sebenarnya tidak membatasi sifat Allah kepada dua puluh atau lima puluh, bahkan setiap sifat yang layak bagi keagungan Allah sudah barang tentu Allah memilikinya.

Ketiga. Para ulama membagi sifat Allah menjadi sifat Khabariyah, yaitu sifat Alah yang disebutkan dalam Alquran dan hadis.

Seperti sifat dalam asmaul husna yang menjadi dua bagian: sifat dzat dan sifat af’al. sifat dzat ini syarat mutlak ketuhanan Allah sebagaimana yang ada dalam sifat dua puluh. Sedangkan sifart af’al adalah sifat-sifat yang sebenarnya perbuata Allah seperti asmaul husna.

Keempat. Dari sekian banyak sifat dzat Allah. Sifat dua puluh adalah yang kuat untuk mengantarkan keyakinan yang kuat kepada dzat Allah. Dimana sifat dua puluh ini sudah tercover dalam dalil Alquran da hadis.

Kelima. Sifat dua puluh dianggap memadai dalam membentengi akidah dari kekeliruan tentang Allah. Hal ini karena banyaknya aliran menyimpang seperti paham muktazilah, syi’ah, khawarij, mujassimah, musyabbihah yang mensifati Allah dengan sifat makhluk. Dimana kita yakini bersama Allah tidak serupa dengan makhluk. Maha Suci Allah.

Ilmu fardhu ain dalam ranah fiqh

Dalam pelakasanaan ibadah sehari-hari kita tidak lepas dari hukum wajib, haram, makruh, sunat dan mubah. Hal ini terjadi karena hukum dalam ibadah itu fleksibel. Sehingga kita menemukan banyak perbedaan pendapat dalam satu ibadah tentang hukum yang berlaku atasnya.

Juga dalam memahami hukum fiqah yang bersumber dari alquran dan hadis, dewasa ini kita terjebak dengan kesalahan mengambil hukum karena kurangnya ilmu pengetahuan. Maka para ulama dahulu seperti Imam malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I dan Imam Hambali membuat suatu mazhab dalam memahami Fiqah.

Dasar-dasar hukum yang mereka jadikan bersumber dari Alquran dan hadist, ditambah lagi dengan beberapa metode ijtihad yang mereka rumuskan.

Di indonesia umumnya menganut Mazhab Syafi’I dalam hal ibadah. Kehadiran bermazhab dalam agama sangat membantu kita, dimana pada masa Nabi jika hadis tentang ibadah shalat diturunkan misalnya, maka sahabat akan bertanya langsung kepada Nabi. Berbeda kondisi sekarang ini jika tidak adanya batasan-batasan yang ditetapkan oleh Imam Syafi’I dan murid beliau, tentu ibadah kita akan berantakan.

Secara garis besar dasar-dasar ilmu fardu ain dalam ranah fiqah itu ada 4. Rubuk ibadah, rubuk muamalah, rubuk munakah dan rubuk jinayah.

Pada pembahasan awal fiqah, kita diajarkan tatacara ibadah yang pertama sekali dihisab yaitu shalat. Dari bagaimana shalat itu dikerjakan mulai dari thaharahnya, hingga ibadah pelengkap setelah shalat. Begitu juga dengan puasa, zakat dan ibadah amaliyah lainnya.

Selesai masalah ibadah, masalah kita dengan Tuhan, kita juga diajarkan muamalah, bagaimana berinteraksi dengan manusia dalam aktivitas dagang, hutang-piutang dan sebagainya.

Manusia dilengkapi dengan nafsu tidak terlepas dari rasa ketertarikan dengan lawan jenis, maka disyariatkan pula untuk menikah, melakukan sunah nabi, mewarisi keturunan. Hal ini juga diatur dalam fiqah. Karena menikah adalah ibadah yang dapat meningkat kualitas ibadah yang lain.

Terkadang manusia sering lepas kontrol. Nafsu yang terlalu tinggi melemahkan hati dan akal. Maka sering kita temukan adanya kasus asusila, pemerkosaan, pembunuhan dan penganiayaan. Islam sangat menjaga nyawa dan harta setiap muslim. Adanya pembalasan atas setiap kejahatan. Maka batasan dan balasan atas setiap kejahatan dan solusi terbaik dibahas dalam rubuk jinayah.

Keempat rubuk di atas telah dibahas secera sistematis dalam kitab-kitab fiqah Imam Syafi’I dan murid-murid beliau. Bahkan ulama terdahulu memaparkan permasalahan fiqah dari kitab yang paling mendasar yang mudah dipahami dan sering terjadi dalam kehidupan.

Agar lebih mudah melihat perkembangan ilmu fiqah, di pesantren-pesantren atau madrasah ilmu diajarkankan kitab matan seperti kitab Ghayah wa raqrib karangan Abi Syuja’. Kemudian diberikan penejelasan dalam kitab Fathul Qarib bahkan sampai dihasyiahkan menjadi kitab Bajury.

Selesai dari kitab di atas, tingkatan selanjutnya dipelajarilah kitab Qurratul Ain, Fathul Muin dan Hasyiah Ianatuth Thalibin. Dimanan pembahan dalam kitab ini lebih rinci tentang ibadah sehari-hari, bahkan contoh-contoh yang ada di dalamnya lebih mengena dengan kondisi kita sekarang ini.

Tidak sampai di situ ada kitab yang paling fenomenal dan sangat banyak dikarang syarahnya, yaitu kitan Matan Minhaj karangan Imam Nawawi. Di indonesia kitab ini sangar familiar dan menjadi rujukan dalam memutuskan dan mengambil pendapat-pendapat yang kuat dalam fiqih mazhab Syafi’i.

Meskipun demikian, sebagian ulama mengatakan untuk terlepas dan memadainya fardu Ain dalam fiqah, kita harus belajar sekurang-kurangnya kitab fathul Mu’in. setelah penulis mempelajari dan bertanya kepada para guru-guru, kitab ini lebih mengena pembahasannya dengan apa yang terjadi dalam permasalahan sehari- hari.

Sekilas, inilah ranah-ranah pembahasan dalam ilmu fiqah dan kitab-kitab yang bisa dijadikan rujukan. Adapun sumber hukum yang diambil dalam mazhab syafi’I tidak lepas dari Alquran dan hadis, ijma dan qiyas. Dasar inilah yang menjadikan mazhab Syafi’I lebih populer dan paling banyak penganutnya.

Ilmu fardhu ain dalam ranah tasawwuf

secara logat, tasawwuf itu memiliki banyak arti. Ada yang berati suci, yaitu istilah untuk orang-orang yang mensucikan dirinya di hadapan tuhan.

Bahkan pada masa Nabi orang-orang taswwuf disebut ahli shafa. Yaitu mereka yang berdiam diri di serambi masjid, fokus beribadah kepada Allah.

Ada pula yang memaknai dengan saf, yaitu orang-orang yang berdiri shalat di barisan terdepan.

Begitulah makna-makna tasawwuf secara logat. Taswwuf juga memilki makna secara istilah, yaitu disiplin ilmu yang membawa ruh dan jiwa kita dekat dengan Sang Khaliq.

Dalam ilmu Tasawwuf rujukan utama kita adalah Imam Junaid Al Baghdady dan Imam Ghazali.

Imam Junaid Al Baghdady menyebutkan Ilmu Tasawwuf itu sebagai upaya untuk berhubungan dengan Allah tanpa adanya wasilah apapun. Bahkan ada yang mengatakan hendaknya dalam bertasawwuf itu kita menyerahkan hidup dan mati hanya kepada Allah.

Meskipun demikian, untuk mencapai tingkatan sebagai hamba yang paling dekat dengan Allah. Ilmu tasawwuf itu dibagi menjadi beberapa tingkatan. Tingkatan dasar dan tingkatan tinggi dimana makam ini ditempati oleh orang-orang saleh yang taat ibadah dan telah melepaskan dirinya dari dunia dan hanya ibadah mendekatkan diri kepada Allah yang ada dijiwanya.

Bagi kita yang masih awam ini, dasar-dasar ilmu tasawwuf yang kita pelajari adalah bagaimana menjaga diri dari kesesatan, kemusyrikan, menjaga lisan dan hati dari segala penyakit hati.

Penyakit-penyakita hati seperti sombong, ujub, hasad, pelit dan riya adalah penyakit hati yang paling banyak diidap oleh hati manusia. Maka perlu bagi kita memahami batasan-batasan ini untuk dapat beribadah sepenuhnya kepada Allah.

Adapun pemabahasan dasar ilmu tasawuf kita dapat mempelajarinya dalam kitab matan seperti kiab Taisir Akhlaq, kitab Muraqil Ubudiyah dan kitab lainnya.

Bila penyakit hati masih ada dalam jiwa seseorang, maka akan sulit untuk dekat dengan tuhan.

Penutup

Dari pengertian dan dasar-dasar dari ketiga pokok ilmu fardu ain yang telah dibahas, wajib bagi kita setiap muslim yang telah mukallaf untuk belajar dan memahaminya. Karena tigo pokos dasar ilmu itulah yang membawa roh dan jiwa kita untuk menjadi muslim sejati di sisi Allah.