Buya Hamka, Cendikiawan Muslim yang Cerdas

Buya Hamka adalah nama yang digunakan oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah sebagai nama pena. Kata pertama, Buya, dari nama pena tersebut merupakan gelar yang dikenakan pada beliau dan seluruh kiai yang berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat.

Sementara itu, kata keduanya, Hamka, merupakan akronim dari rangkaian nama aslinya. Darah seorang ulama dan pejuang dari ayahnya, Dr. Abdul Karim Amrullah, serta semangat aktivis pembaruan reformasi Islam dari ibunya, Shafiyyah, mengalir dalam tubuh beliau.

Buya Hamka lahir pada tanggal 17 Februari 1908, bertepatan dengan hari Senin. Beliau merupakan putra pertama dari pasangan pejuang tersebut.

Kisah hidup yang berwarna dengan religiusitas, tak lain karena kondisi keluarga Buya Hamka yang mendukungnya demikian. Hingga lembar-lembar terakhir perjalanan hidupnya pun beliau isi dengan mengabdikan diri di Masjid Al-Azhar Jakarta sebagai imam.

Jumat, 22 Ramadan 1401 hijriah, merupakan hari terakhirnya di dunia. Beliau wafat dalam usia 79 tahun dengan tak meninggalkan apapun kecuali tulisan-tulisan bermanfaat yang menyejarah.

Artikel dengan pendahuluan panjang ini akan mengajakmu kembali mengenang Buya Hamka, sang tokoh ulama kharismatik yang pernah dimiliki negeri ini. Kamu akan belajar bagaimana kecerdasan satu orang muslim dapat membawa manfaat bagi satu bangsa.

Semangat Belajar dan Ghirah Dakwah

Pengembaraan ke Tanah Jawa

Buya Hamka bertolak ke pulau Jawa dari Sumatra di tahun 1924 dengan tujuan Yogyakarta untuk mempelajari Syarikat Islam dan Muhammadiyah lebih dalam melalui kursus-kursus.

Di tengah pulau Jawa ini pula, beliau kemudian belajar tafsir Al-Qur’an dari Ki Bagus Hadikusumo, mendengar ceramah-ceramah yang disampaikan H.O.S Cokroaminoto mengenai Islam dan sosialisme, serta melakukan diskusi-diskusi bersama tokoh Jong Islametan Bond, Syamsul Rizal.

Dalam Islam Substantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih, Azyumardi Azra menuturkan perjalanan Buya Hamka selanjutnya untuk mengembara ilmu menuju Pekalongan. Di kota ini, beliau menetap sekitar enam bulan bersama dengan saudara iparnya, A.R. Sutan Mansur.

Dakwah Berwadah Muhammadiyah

Tiga tahun setelah ia menginjakkan kaki di Jawa, tepatnya pada tahun 1927, Buya Hamka pergi berhaji. Sekembalinya dari Makkah, beliau kembali menetap di Sumatra, persisnya di Medan, Sumatra Utara, kemudian turut aktif mengurus Muhammadiyah sejak 1929 di sana.

Beliau tak pernah absen menghadiri Kongres Muhammadiyah ke-18 di Solo, ke-19 di Bukittinggi, ke-20 di Yogyakarta, dan ke-21 di Makassar yang diselenggarakan tiap tahunnya dari 1929 hingga 1931.

Majelis Bernama MUI

Usianya saat itu 74 tahun saat ditunjuk menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia pertama. Badan sekelas nasional serupa MUI membutuhkan seorang pemimpin yang sangat menghargai pendapat sepanjang tak menyelisihi akidah dan mengayomi para ulama yang menjadi perwakilan masing-masing golongan.

Itu sebabnya Buya Hamka dipandang sesuai dengan posisi ketua MUI. Kisah mengedepankan ukhuwah dan saling menghormati terkait doa kunut yang terjadi antara beliau dan K.H. Idham Chalid adalah salah satu yang paling terkenal.

Beberapa dari Ratusan Karya

Dengan kecerdasan yang Buya Hamka miliki, tak heran jika kemudian lahir karya tulis berupa buku dengan jumlah ratusan judul dari tangannya. Meski ditulis puluhan tahun lalu, beberapa di antara tulisan beliau masih populer diperjualbelikan, dinikmati, dan dijadikan bahan kajian hingga kini.

Ilmu agama, budaya, filsafat, politik, sastra, sejarah, sosiolosi, tafsir Al-Qur’an, dan tasawuf, tak lepas mewarnai tulisan-tulisannya tersebut.

Berdasarkan tuturan Mohammad Damami dalam Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka, Buya Hamka menulis banyak cerita percintaan dalam rentang waktu 1938–1941, saat dirinya aktif bekerja di bagian redaksi dari majalah Pedoman Islam dan Pedoman Masyarakat di Medan.

Di sisi lain, dalam adat kebiasaan ulama tradisional, menulis roman merupakan kegiatan yang tak lazim sehingga menimbulkan kehebohan dari pihak yang menentang.

Buku Buya Hamka bergenre novel yang cukup legendaris adalah Di Bawah Lindungan Ka’bah, Dijemput Mamaknya, Merantau ke Deli, Si Sabariah, dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck.

Di tahun 1960-an, Buya Hamka dituduh melakukan plagiarisme terhadap roman Prancis Al-Phonse Karr dan menuangkannya dalam karya Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Tuduhan tersebut, ternyata, dibuat untuk menjatuhkan nama sang tokoh.

Alih-alih jatuh, nama Buya Hamka malah makin dikenal yang membuat karya-karya dan pemikirannya dirujuk banyak orang. Termasuk yang berpengaruh dan mendapat tempat di masyarakat adalah seperti yang terdapat dalam daftar berikut.

  1. Akhlakul Karimah, Ghirah dan Tantangan terhadap Islam
  2. Falsafah Hidup
  3. Keadilan Ilahi
  4. Kenang-Kenangan Hidup jilid 1–4
  5. Lembaga Hidup
  6. Pandangan Hidup Muslim
  7. Pelajaran Agama Islam
  8. Sejarah Umat Islam
  9. Tafsir al-Azhar
  10. Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya
  11. Tuan Direktur

Sejumlah kata bijak Buya Hamka pun tak jarang dikutip oleh penikmat hasil karyanya. Yang terkenal karena mengajak pembacanya berpikir tentang hakikat kehidupan adalah sebagai berikut.

Alangkah murahnya nilai hidup ini kalau hanya semata-mata terbatas pada kebendaan. Apalah harganya manusia ini kalau pikirannya hanya tertuju kepada nasi dan gulai, roti dan garam? Tak pernah matanya singgah kepada bunga yang sedang mekar atau bintang berkelip di halaman langit. Alangkah kersangnya hidup kalau kerja petang-pagi, siang-malam, hanya menghitung, membilang, membagi, membuat kali-kali. Memperinci ilmu pasti pada alam, tetapi tak meresapkan keindahan yang dalam alam.

Lahirnya Teori Baru dari Sang Cendikiawan Muslim

Ada pendapat populer yang menyatakan bahwa agama Islam mulai dikenal di Nusantara pada abad ke-13 M. Teori ini begitu kuat mengakar hingga masuk menjadi kurikulum dalam buku-buku pelajaran Sejarah, tetapi hanya sampai Buya Hamka menggagas sebuah teori lain tentang hal terkait.

Menurut pemikiran Buya Hamka, Islam telah hadir di Indonesia berabad-abad lebih awal dari pendapat di atas, tepatnya di abad ke-7 masehi saat Rasulullah saw. masih hidup. Mengapa demikian?

Teorinya ini berdasar pada sebuah kata dalam Al-Qur’an yang hanya diulang satu kali dalam enam ribu lebih ayat, yakni kaafuur yang difirmankan oleh Allah Swt dalam surah ad-Dahri (nama lainnya al-Insan) ayat 5.

إِنَّ ٱلْأَبْرَارَ يَشْرَبُونَ مِن كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُورًا

Innal abraara yasyrabuuna min ka’sin kaana mizaajuhaa kaafuura.

Artinya: “Sesungguhnya, orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air Kafur.”

Satu catatan kaki yang terlampir untuk ayat tersebut menjelaskan bahwa kaafuur merujuk pada nama sebuah mata air yang sangat enak rasa airnya, sedap aromanya, putih warnanya, dan terdapat di surga.

Akan tetapi, bagi seseorang seperti Buya Hamka dengan kecerdasan di bidang antropologi, bahasa, sejarah, dan sosiologi, kaafuur disebut sebagai kata yang berasal dari bahasa Indonesia yang terdengar serupa: kapur.

Sebentar, apa yang terjadi bukan sebaliknya? Karena disebut dalam Al-Quran, nenek moyang penduduk Nusantara yang mempelajari kitab suci ini kemudian menyerap kata tersebut dan memasukkannya ke dalam bahasa Indonesia?

Toh, bahasa Indonesia menyerap banyak kata dari bahasa Arab, seperti jenazah, istirahat, sejarah, madrasah, nama-nama hari, dan ribuan lagi yang lainnya.

Menariknya, menurut sejarah, tidak demikian. Kapur sudah menjadi komoditas dagang yang begitu terkenal di mancanegara bahkan sebelum zaman Rasulullah saw. dan hanya diproduksi di satu tempat di seluruh dunia ini, yaitu di Barus, Sumatera, Indonesia.

Artinya, kata ‘kapur’ telah ada dalam bahasa Indonesia lebih dahulu sebelum menjadi kosakata yang akrab di telinga orang-orang Arab sampai digunakan Allah Swt. dalam firman-Nya.

Sehingga, kesimpulannya, saat Rasulullah saw. masih hidup menyampaikan risalah-Nya di abad ke-7 masehi, sudah ada pedagang Arab yang melakukan perjalanan dari dan ke Nusantara. Melalui perantara merekalah, kemudian, Islam dikenal di Indonesia.

Sifat Nasionalisme

Tak patut bertanya tentang sisi nasionalisme pada Buya Hamka. Keikutsertaannya dalam usaha anak bangsa mengusir penjajah dan mencapai kemerdekaan adalah buktinya.

Posisi beliau pada saat itu pun tak main-main, yaitu seorang ketua sekretariat FPN (Front Pertahanan Nasional), sebuah badan persatuan yang pilarnya adalah tokoh-tokoh terkemuka.

Setelah itu, muncul kecenderungan pada diri Buya Hamka untuk ikut terjun dalam politik praktis dengan memperkuat Partai Masyumi yang berorientasi islami. Jika tak mau ditelan politik, jangan takut padanya, begitu kata beliau suatu kali.

Buya Hamka Dipenjara

Beliau merupakan seseorang yang sangat terbuka akan perbedaan pendapat. Namun, jika menyinggung keyakinan dan akidahnya, Buya Hamka tak bisa memberikan toleransi.

Termasuk ke dalam sikap teguh memegang prinsip hidup adalah dikeluarkannya dua fatwa yang cukup banyak memancing kontroversi, 1) larangan ikut merayakan Natal bagi muslim dan 2) diharamkannya Bung Karno, yang saat itu menduduki kursi kepresidenan RI, untuk menikah.

Disertai dengan kritik pedas yang sering ia lontarkan untuk pemerintah yang berakrab-ria dengan PKI, fatwa nomor 2 di atas mengantarkannya menjadi penghuni bui.

Meski demikian, banyak orang memandang peristiwa dipenjaranya sang tokoh sebagai sebuah anugerah karena naskah Tafsir al-Azhar, yang penulisannya memakan waktu, justru berhasil dirampungkan di dalam penjara. Inilah deskripsi asli dari frasa blessing in disguise – berkah terselubung.

Terberkahilah seorang Buya Hamka, yang jika Allah Swt. menganugerahinya dengan sesuatu, anugerah tersebut tidak hanya dapat dinikmati olehnya, tetapi juga oleh orang lain. Allah Swt. memberinya waktu di dalam penjara untuk beristirahat dari kesibukan dunia, sehingga Tafsir al-Azhar dapat selesai.

Karya luar biasa sarat ilmu itu yang kemudian menjelma serupa anugerah bagi umat muslim Indonesia hingga kini. Masyaallah.

Bila Aku Mati…

Saat Buya Hamka berada di penjara, terjadi satu peristiwa mengharukan yang mengisahkan kebesaran jiwanya. Hari itu, tanggal 16 Juni 1970 ketika sang tokoh mendapati seorang ajudan kepresidenan menemuinya di waktu berkunjung.

Seperti yang ditulis Nur Indah Yusari dalam Soekarno dan Hamka, Kisah Penguasa yang Mendzalimi, sang ajudan memberinya selembar kertas berisikan sebuah catatan di dalamnya:

Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam salat jenazahku.”

Kalimat pendek yang beliau baca itu berhasil membuatnya bahagia. Apa yang terjadi setelahnya? Saat penggalan klausa ‘bila’ di muka benar-benar berlaku, fragmen selanjutnya pun takzim mengikuti.

Orang yang memutuskan agar Buya Hamka dipenjara dan orang yang meminta jenazahnya disalatkan adalah orang yang sama. Namun, jiwa besar yang dimilikinya tak memberi kesempatan pada dendam untuk tumbuh. Ia bersedia menjadi imam salat jenazah Sang Presiden.

Gelar-Gelar Semasa Hidup

Tasawuf Modern menjadi salah satu karya di mana Buya Hamka menuliskan fragmen hidupnya, termasuk saat ia menerima gelar adat di usianya yang masih belasan tahun kala itu.

Datuk Indomo

Saat Buya Hamka berusia 16 tahun, gelar Datuk Indomo disematkan padanya karena kepiawaiannya berpidato adat. Pengangkatannya menjadi Datuk ini membuat orang-orang menghormatinya secara adat dan hampir tak pernah berbicara kasar sependengaran beliau.

Doctor Honoris Causa

Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah menceritakan dalam Ensiklopedi Islam Indonesia tentang bagaimana Buya Hamka mendapatkan dua kali gelar doktor kehormatan. Yang pertama diberikan oleh Universitas Islam kelas dunia, Al-Azhar, pada tahun 1959 karena beliau dianggap sebagai ulama besar di Indonesia.

Yang kedua diberikan oleh Universitas Kebangsaan Malaysia di tahun 1976 atas dasar kecerdasan dan Tafsir Al-Azhar karya beliau yang populer.

Pahlawan Nasional

Aktifnya peran serta Buya Hamka dalam perjuangan bangsa membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyematkan gelar Pahlawan Nasional pada beliau di tahun 2011, tepatnya tanggal 8 November 2011.

Penghargaan Lain

Universitas Moestopo mengukuhkan Buya Hamka sebagai guru besar. Akronim namanya pun bisa kamu temukan mengabdi sebagai nama institusi pendidikan milik Muhammadiyah, yaitu Universitas Hamka.

Asingnya Keseharian Sang Tokoh

Masyarakat mengenal seorang Buya Hamka sebagai pemegang banyak peran karena rentang bidang ilmu yang beliau kuasai sangat luas.

Sebutlah ia budayawan, intelektual, jurnalis, kiai, pendidik, penulis, politikus, sastrawan, sejarawan, sufi, atau ulama sekalipun, tak akan ada yang protes karena sebutan-sebutan tersebut memang pantas beliau sandang.

Namun, sisi Buya yang mana yang lebih diingat oleh putranya? Sebuah memoar beredar dalam bentuk buku berjudul Ayah… yang ditulis oleh seseorang bernama Irfan Hamka, anak lelaki Buya.

Tulisan yang diterbitkan di tahun 2013 itu ditujukan untuk mengenang Buya Hamka dengan menceritakan keseharian sang tokoh – dari sudut pandang putranya – yang masih asing dari konsumsi publik. Salah satu kisahnya adalah sebagai berikut.

Marah Dua Kali

Dalam hidupnya bersama sang ayah, dua kali Irfan menyaksikan Buya Hamka marah. Tentu saja, kemarahan ayahnya tersebut karena ada yang memicu, yaitu saat ada yang mengusik kepentingan umum dan ketika kepentingan pada Sang Pencipta diposisikan nomor dua setelah kepentingan manusia.

Kemarahannya ini ditujukan pada dua orang, yaitu Haji Sidiq, seorang jamaah tetap di Masjid Kebayoran Baru, dan Haji Datuk, petugas Kantor Wilayah Departemen Agama.

Gemar Merokok

Tentu janggal rasanya mengetahui sang dai politikus ini memiliki kegemaran mengisap tembakau. Namun, begitulah yang terjadi menurut penuturan putranya. Belum ada fatwa apa pun, baik yang dikeluarkan MUI maupun organisasinya sendiri, terkait hukum merokok kala itu.

Irfan pun tak ingat betul sejak kapan kebiasaan merokok sang ayah ini bermula. Yang jelas, saat berangkat menunaikan ibadah haji di tahun 1967, Buya Hamka sudah tak terlihat mengisap rokok lagi.

Penutup

Agaknya, anjuran untuk tidak mencampuradukkan politik dengan agama karena “politik itu kotor, agama itu suci” tidak berarti apa-apa di mata Buya Hamka. Dalam hidup beliau, kedua hal tersebut ada bersama dalam nafasnya.

Buya Hamka membuktikan bahwa sifat nasionalismenya tidak bisa mengikis sisi religius yang sudah membentuknya sejak lahir dengan menjadi politikus dan dai di waktu yang beririsan. Wadah sekelas Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia yang menjadi saksinya.

Dari Buya Hamka pula kita pahami bahwa menulis adalah sebuah urgensi, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Apa pasal? Beliau sudah tak lagi di sini menokohi Indonesia, tetapi manfaat dari tulisannya masih terasa bagi yang membaca.

Dan bukankah manfaat yang ditinggalkan seorang muslim dapat menjadi amal tanpa putus ketika ia sudah tiada?

إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلا مِنْ ثَلاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Idzaa maatabnu aadaman-qata’a ‘amaluhu illaa min tsalaatsin: shadaqatin jaariyatin, au ‘ilmin yuntafa’u bihi, au waladin shaalihin yad’uu lahu.

Artinya: “Ketika seseorang telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga (perkara): sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang berdoa baginya.” (hadis riwayat Abu Hurairah ra.)

Maka, teladani berbagai hal baik dari Buya Hamka dan menulislah. Setiap ada orang yang merasa terbantu dan mendapat manfaat dari tulisanmu, setiap itu pula pahala mengalir menuju dirimu. Begitulah beliau memberi contoh. Semoga artikel ini bermanfaat, ya!

Sumber:

https://alif.id/read/muarif/buya-hamka-dan-sepenggal-narasi-islam-nusantara-b219311p/

https://alif.id/read/ilkiyafadliyati/mengenal-kembali-buya-hamka-b216279p/

https://islam.nu.or.id/post/read/74894/amal-amal-yang-tak-pernah-putus-pahalanya

https://alif.id/read/hamidulloh-ibda/riwayat-buya-hamka-ulama-multitalenta-b210296p/

https://alif.id/read/arivaie-rahman/sisi-lain-buya-hamka-b224449p/