Kisah Bilal bin Rabah, Muadzin Pertama yang Selalu Merindukan Rasulullah

Kisah Bilal bin Rabah akan mengingatkan kita pada sejarah awal munculnya adzan sebagai seruan bagi umat Islam untuk beribadah.

Ya, Bilal bin Rabah dikenal sebagai muadzin (orang yang mengumandangkan adzan) pertama dalam Islam dengan suara yang lantang dan merdu.

Ia juga dikenal dengan kisahnya sebagai budak yang harus berjuang mempertahankan keyakinannya terhadap Allah Swt., meski harus menghadapi siksaan dari majikannya

Penasaran dengan kisah Bilal bin Rabah selengkapnya? Yuk, simak ulasan Hasana.id berikut ini!

Kisah Bilal bin Rabah dan Perjuangan Mempertahankan Aqidah

Bilal bin Rabah merupakan salah satu budak dari Habasyah atau saat ini dikenal sebagai Ethiopia. Ia berkulit hitam dan menjadi muslim ketika masih berstatus sebagai budak.

Putra Rabah ini termasuk golongan Assabiqunal Awwalun atau orang-orang yang pertama kali masuk Islam, khususnya dari golongan budak.

Majikan Bilal bin Rabah adalah Ummayah bin Khalaf, seseorang yang sangat menentang pilihan Bilal untuk masuk Islam.

Dikisahkan bahwa Bilal harus mendapat siksaan luar biasa dari Ummayah bin Khalaf setelah ia diketahui menemui Rasulullah saw. dan menyatakan diri masuk agama Islam.

Setiap hari, ia diancam serta disiksa oleh majikannya yang memaksa agar Bilal kembali kepada kepercayaan lamanya dan meninggalkan Islam.

Tindakan kasar yang dilakukan majikannya pun beraneka ragam, mulai dari menjatuhinya dengan batu hingga menjemur Bilal di padang pasir tanpa sehelai kain pun.

Akan tetapi, ancaman serta siksaan yang terus-menerus ditimpakan tersebut tidak berarti apa-apa bagi Bilal. Iman Bilal tetap kuat dan tidak pernah luntur untuk percaya kepada Allah Swt.

Ia tetap melantunkan “Ahadun Ahad, Ahadun Ahad…” dan tidak pernah mau kembali pada kekafirannya seperti yang diinginkan majikannya tersebut.

Siapa yang Membebaskan Bilal bin Rabah dari Siksaan Majikannya?

Abu Bakar adalah orang yang memerdekakan Bilal bin Rabah setelah mengetahui kejadian-kejadian malang yang menimpa budak dari Habasyah tersebut.

Semenjak itulah, Bilal menjadi senantiasa berada dekat dengan Nabi Muhammad saw. Bersama dengan sahabat lainnya, ia pun ikut berhijrah bersama Rasulullah ke Madinah.

Ketika bermukim di Madinah, Bilal memiliki tempat tinggal yang tidak begitu jauh dari kediaman Nabi Muhammad saw.

Dalam hal ini, ia bersama para sahabat Rasul lainnya menjadi bagian dari ahlu shuffah yang tinggal di emperan Masjid Nabawi.

Pada saat itu, rumah Nabi Muhammad saw. adalah sebuah bilik yang menyambung dengan salah satu masjid yang diagungkan oleh umat Islam tersebut.

Bagaimana Kisah Bilal bin Rabah Setelah Dimerdekakan Abu Bakar?

Berbeda dengan ketika masih diperbudak oleh Ummayah bin Khalaf, kisah Bilal bin Rabah sangat menenangkan pada saat sudah dimerdekakan.

Ia dapat mengerjakan ibadah sebagai umat Islam tanpa siksaan.

Bahkan, ia juga dipilih oleh Rasulullah saw. untuk mengemban tugas yang mulia sebagai seorang muslim tanpa memandang warna kulit dan latar belakangnya sebagai seorang budak.

Hal ini selaras dengan firman Allah Swt. dalam surah Al-Hujarat ayat 13 yang mengingatkan kita bahwa setiap manusia adalah sama di mata Allah Swt. sebagai berikut:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Yā ayyuhan-nāsu innā khalaqnākum min żakariw wa unṡā wa ja’alnākum syu’ụbaw wa qabā`ila lita’ārafụ, inna akramakum ‘indallāhi atqākum, innallāha ‘alīmun khabīr.

Artinya:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Kutipan Al-Qur’an di atas menegaskan bahwa perbedaan warna kulit, suku, ras, dan sebagainya tidaklah menjadi masalah bagi Allah swt.

Derajat semua orang adalah sama di hadapan-Nya dan yang menjadikan mereka berbeda hanyalah tingkat ketakwaannya saja.

Hal tersebutlah yang juga dialami oleh Bilal saat berada di samping Rasulullah saw. dan menjadi bagian dari umat Islam setelah dimerdekakan oleh Abu Bakar.

Kisah Bilal bin Rabah dan Munculnya Adzan Pertama

Selama Rasullulah saw. menyiarkan agama Islam di berbagai penjuru, Bilal dikenal sebagai muadzin beliau.

Bahkan, ia tercatat dalam sejarah Islam sebagai orang yang dipercaya untuk mengumandangkan adzan.

Sebelum Bilal menjadi muadzin pertama dalam Islam, seruan untuk mengajak shalat tersebut memang belum ada. Padahal, Islam saat itu sudah mulai menyebar di banyak tempat.

Nabi Muhammad saw. kemudian hijrah ke Madinah dan orang-orang yang bertakwa kepada Allah bertambah banyak.

Beliau pun mencari cara untuk memberitahukan waktu shalat kepada umat Islam.

Inilah awal mula kisah Bilal bin Rabah menjadi muadzin pertama dan munculnya adzan sebagai seruan bagi umat Islam akan waktu shalat wajib.

Pada masa-masa awal di Madinah, umat Muslim biasanya berkumpul dan menunggu di masjid sampai waktu shalat tiba.

Akan tetapi, ketika waktu shalat tiba, mereka akan langsung shalat saja karena tidak ada yang memberi tahu perihal tersebut.

Dengan kata lain, seolah semua umat Islam hanya saling tahu dan tidak ada penanda kapan shalat dimulai.

Waktu berjalan dan Islam makin berkembang pesat. Tak sedikit sahabat yang tempat tinggalnya berjarak cukup jauh dari masjid.

Selain itu, sebagian sahabat juga mempunyai kesibukan lain dan tugas-tugas mereka mulai bertambah sehingga sulit untuk menunggu waktu shalat di masjid.

Karena hal tersebut, para sahabat pun mengusulkan agar Nabi Muhammad saw. membuat tanda datangnya waktu shalat.

Dengan begitu, mereka yang sedang dalam kesibukan atau berada jauh dari masjid pun bisa tetap menjalankan ibadah shalat tepat waktu.

Pada saat itu, para sahabat mempunyai usulan beragam mengenai cara untuk memberi tahu umat Islam tentang waktu shalat.

Ada yang menyarankan untuk menyalakan api di tempat yang tinggi sehingga api tersebut dapat dilihat oleh kaum muslim yang berada jauh dari masjid.

Sebagian yang lain merekomendasikan untuk memakai lonceng seperti orang-orang Nasrani.

Selain itu, ada juga yang mengusulkan menggunakan terompet layaknya orang Yahudi. Akan tetapi, usul-usul tersebut tidak diterima.

Digunakannya Lafadz Adzan sebagai Panggilan Shalat

Diceritakan dalam Sirah Nabawi (Ibnu Hisyam, 2018), seorang sahabat Nabi, Abdullah bin Zaid, datang kepada Rasulullah saw. pada saat buntu tersebut.

Abdullah kemudian menceritakan kepada Nabi Muhammad saw. bahwa ia bermimpi melihat seseorang berjubah hijau mendatangi dirinya dengan membawa sebuah lonceng.

Di dalam mimpinya, Abdullah berniat untuk membeli lonceng tersebut supaya dapat memanggil orang-orang untuk shalat di masjid.

Namun, orang berjubah hijau tersebut justru mengusulkan agar Abdullah bin Zaid mengucapkan serangkaian kalimat adzan sebagai berikut.

(٢x) اَللهُ اَكْبَرُ،اَللهُ اَكْبَرُ
(٢x) أَشْهَدُ اَنْ لاَ إِلٰهَ إِلَّااللهُ
(٢x) اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
(٢x) حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ
(٢x) حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ
(١x) اَللهُ اَكْبَرُ ،اَللهُ اَكْبَرُ
(١x) لَا إِلَهَ إِلَّااللهُ

Allaahu Akbar, Allaahu Akbar (2x)
Asyhadu allaa illaaha illallaah. (2x)
Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah. (2x)
Hayya ‘alashshalaah (2x)
Hayya ‘alalfalaah. (2x)
Allaahu Akbar, Allaahu Akbar (1x)
Laa ilaaha illallaah (1x)

Artinya :
Allah Mahabesar, Allah Mahabesar
Aku menyaksikan bahwa tiada Tuhan selain Allah
Aku menyaksikan bahwa Nabi Muhammad itu adalah utusan Allah
Marilah Shalat
Marilah menuju kepada kejayaan
Allah Mahabesar, Allah Mahabesar
Tiada Tuhan selain Allah

Mendengar cerita tersebut, Rasulullah saw. pun meminta Abdullah bin Zaid untuk mengajarkan cara melafalkan kalimat-kalimat tersebut kepada Bilal bin Rabah.

Kisah Bilal bin Rabah sebagai pengumandang adzan pertama pun dimulai. Ia yang dipilih oleh Rasulullah pun mengumandangkan adzan tersebut.

Pada saat itu, Umar bin Khattab yang sedang berada di kediamannya pun mendengar seruan tersebut dan segera datang kepada Rasulullah saw.

Umar kemudian menceritakan bahwa ia juga memimpikan hal yang sama dengan Abdullah bin Zaid, yaitu suara adzan yang dijadikan penanda bahwa waktu shalat telah datang.

Dalam suatu riwayat lain tentang kisah Bilal bin Rabah, diceritakan bahwa Nabi Muhammad saw. juga sudah mendapatkan wahyu mengenai adzan.

Oleh sebab itu, beliau langsung membenarkan pernyataan Abdullah bin Zaid yang menceritakan bahwa adzanlah yang digunakan untuk menandakan masuknya waktu shalat.

Alasan Bilal bin Rabah Dipilih Sebagai Muadzin Pertama

Menurut riwayat yang lebih shahih, pertama kali adzan disyariatkan adalah pada tahun pertama Hijriah, tepatnya di Kota Madinah.

Sejak saat itulah, adzan resmi menjadi tanda masuknya waktu-waktu shalat.

Setelah memahami kisah Bilal bin Rabah sebagai pengumandang adzan pertama, kamu mungkin bertanya-tanya apa alasan Rasulullah saw. memilihnya untuk mengemban tugas mulia tersebut.

Mengutip buku karangan Yakhsyallah Mansur yang berjudul Ash-Shuffah, ada empat alasan Rasulullah mengangkat Bilal sebagai penyeru datangnya waktu shalat bagi umat Islam itu.

Mampu Menghayati Kallimat Adzan dengan Baik

Kemampuan menghayati kalimat-kalimat adzan dengan sangat baik tidak terlepas dari kisah Bilal bin Rabah ketika masih menjadi budak.

Ia disiksa oleh majikannya karena memilih menjadi muslim.

Bisa dibilang bahwa pengangkatannya sebagai muadzin pertama merupakan bagian dari penghargaan untuknya karena bergeming meski disiksa oleh majikannya ketika ia masuk Islam.

Sikap teguh itu pula yang menjadikan kisah Bilal bin Rabah sangat dikenang.

Bahkan, ketika itu, ia mengucapkan “ahad, ahad, ahad” yang mempunyai unsur persamaan dengan kalimat-kalimat pada adzan, yakni tauhid atau pernyataan akan keesaan Allah Swt.

Memiliki Suara Merdu dan Lantang

Bilal bin Rabah diketahui mempunyai suara yang merdu dan lantang. Bisa dikatakan, inilah alasan utama yang membuat ia dipilih sebagai muadzin pertama bagi umat Islam.

Dalam banyak kisah Bilal bin Rabah, diceritakan bahwa siapa pun akan bergetar hatinya jika mendengar ia mengumandangkan adzan atau melantunkan bacaan Al-Qur’an.

Memiliki Keberanian dalam Menegakkan Islam

Dalam kisah Bilal bin Rabah, keberaniannya dalam menegakkan Islam dibuktikan dengan bagaimana ia tetap memegang keyakinannya terhadap Islam, meski disiksa sekeras apa pun.

Pada masa itu, mengumandangkan adzan memang memerlukan keberanian yang besar mengingat prinsip tauhid yang terkandung dalam adzan sangat bertentangan dengan masyarakat.

Seperti diketahui bahwa kondisi masyarakat pada masa itu masih penuh dengan kemusyrikan dan menolak kehadiran agama Islam.

Oleh karena itu, keberanian menjadi faktor yang penting untuk mengumandangkan adzan pada masa-masa awal Nabi Muhammad saw. mendakwahkan agama Islam.

Memiliki Disiplin Tinggi

Bilal bin Rabah mempunyai kedisiplinan yang sangat tinggi. Sifat ini sangat penting untuk dimiliki oleh seorang muadzin.

Sebab, adzan harus dikumandangkan lima kali setiap harinya dan juga sudah ada waktu yang ditetapkan untuk setiap waktu shalat fardhu.

Oleh karena itu, kedisiplinan sangat diperlukan bagi orang yang akan mengembang tugas menjadi muadzin.

Dalam hal ini, Bilal bin Rabah mempunyai sifat tersebut dan dipercaya akan mampu melaksanakan tugasnya dengan baik.

Dalam kisah Bilal bin Rabah, ia diriwayatkan terus mengumandangkan adzan di samping Nabi Muhammad saw. dan setelah wafatnya beliau, ia tidak bersedia lagi untuk menjadi muadzin.

Ringkasan Cerita Bilal bin Rabah Sepeninggal Rasulullah Saw.

Setelah Rasulullah saw. wafat, Bilal tidak lagi bersedia untuk mengumandangkan adzan karena air matanya tidak bisa berhenti bercucuran, terutama ketika melafalkan kalimat syahadat rasul.

Setiap kali sampai tiba pada lafal adzan “Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah”, air mata bercucuran dan ia pun tidak kuasa menyelesaikan kumandang adzan.

Bilal bin Rabah mengaku bahwa kenangannya ketika bersama Nabi Muhammad saw. langsung muncul pada saat mengumandangkan kalimat tersebut.

Khalifah Abu Bakar bahkan sudah pernah merayu Bilal untuk mengumandangkan adzan lagi. Akan tetapi, upaya tersebut tidak membuahkan hasil.

Ketika itu, Bilal juga menyatakan bahwa biar dirinya hanya menjadi muadzin bagi Nabi Muhammad saw. dan saat beliau telah tiada, artinya ia bukan muadzin siapa-siapa lagi.

Tak lama setelah itu, Bilal pun meminta izin kepada Abu Bakar untuk meninggalkan Madinah dan bergabung dengan pasukan Pembebasan Islam atau Fathul Islam.

Kenangannya yang mendalam terhadap Rasulullah saw. juga menjadi salah satu alasan ia meninggalkan Madinah.

Dalam kisah Bilal bin Rabah diceritakan bahwa ia selalu terbayang Baginda Rasul setiap kali melihat sesuatu yang pernah disentuh oleh beliau.

Oleh sebab itu, ia merasa hatinya sangat rapuh dan tidak bisa menahan tangis jika harus menetap di Madinah.

Ia pun akhirnya pergi dari Madinah menuju Negeri Syam dan menetap di Desa Bidariyan. Sama halnya ketika masih di Madinah, Bilal tetap tidak bersedia mengumandangkan adzan di sini.

Kisah Adzan Terakhir Bilal bin Rabah yang Sangat Dikenang

Singkat cerita, Sayyidina Abu Bakar r.a. wafat dan digantikan oleh Khalifah Umar bin Khatab.

Pada zaman inilah, Bilal akhirnya bersedia untuk mengumandangkan adzan sekali lagi setelah ia bermimpi meliht Nabi Muhammad saw.

Apa yang membuat Bilal bersedia melakukannya? Berikut kisahnya.

Mimpi Bertemu Rasulullah saw.

Pada suatu malam, dalam mimpinya, Bilal mendengar Rasulullah saw. mengajaknya berbicara dengan menanyakan mengapa ia tidak pernah datang mengunjungi Nabi lagi.

Kemudian, Bilal pun terbangun dari tidurnya dan bergegas menyiapkan barang-barangnya untuk melakukan perjalanan menuju Madinah.

Ia berniat untuk mengunjungi makam Rasulullah saw. di sana.

Setiba di makam Rasulullah saw., Bilal pun tak kuasa menahan tangis dan mencurahkan rasa rindunya kepada Nabi Muhammad saw.

Bertemu Cucu Rasulullah saw.

Dalam suasa yang sangat menyentuh tersebut, kemudian ada dua pemuda menghampiri Bilal. Mereka adalah Hasan dan Husein, cucu Nabi Muhammad saw.

Bilal pun memeluk mereka berdua dengan sepenuh hati sambil masih terisak dan menangis karena kerinduannya yang tak terbendung.

Kemudian, Hasan dan Husein pun menyatakan kepada Bilal bahwa mereka ingin mendengarkan adzannya sebagaimana saat ia menjadi muadzin pada masa Nabi Muhammad saw.

Pada saat bersamaan dengan kisah Bilal bin Rabah bertemu dengan cucu Baginda Rasul, Umar bin Khattab yang telah menjadi khalifah melihat pemandangan haru tersebut.

Ia pun ikut memohon kepada Bilal untuk sekali saja kembali mengumandangkan adzan di Madinah.

Setelah beberapa saat, Bilal luluh dan mengiyakan permintaan mereka untuk menjadi muadzin pada saat waktu shalat tiba.

Kumandang Adzan Terakhir

Bilal bin Rabah kemudian naik ke menara, tempat dahulu ia biasa mengumandangkan adzan pada masa Rasulullah saw. masih hidup.

Saat lafadz “Allahu Akbar” berkumandang sebagai tanda waktu shalat telah tiba, seluruh Madinah senyap dan semua kegiatan pun langsung terhenti.

Suara adzan khas Bilal sanggup menggetarkan seluruh kota dan membuat penduduk Kota Madinah tersentak kaget.

Suara yang bertahun-tahun telah hilang dan sangat dirindukan tersebut akhirnya terdengar kembali.

Ketika tiba waktunya untuk mengumandangkan “Asyhadu an laa illahailallah”, Bilal bin Rabah pun tak bisa melanjutkan adzannya.

Sementara itu, hampir semua penduduk Kota Madinah telah keluar menuju arah suara Bilal sambil terheran-heran menanyakan apakah Rasulullah saw. telah diutus kembali.

Di sisi lain, Bilal tetap tidak sanggup melanjutkan adzannya dengan lantunan “Muhammadar Rasullulah” di menara Masjid Nabawi dan berakhir dengan tangisan.

Para penduduk yang baru sampai di masjid akhirnya ikut menangis karena rindu kepada Baginda Rasul. Umar bin Khattab juga turut menangis di antara para penduduk Madinah.

Hari itu menjadi hari pertama setelah kepergian Nabi Muhammad saw. dan kali terakhir bagi Bilal bin Rabah mengumandangkan adzan.

Hikmah dari Kisah Bilal bin Rabah yang Bisa Kamu Teladani

Ada cukup banyak hikmah yang bisa kamu ambil dari kisah Bilal bin Rabah.

Salah satunya adalah kegigihannya dalam mempertahankan keyakinannya terhadap Islam yang sangat patut dicontoh.

Akhirnya, kisah Bilal bin Rabah di atas juga bisa menjadi pengingat bagi kita untuk selalu bershalawat sebagai bentuk kerinduan terhadap Nabi Muhammad saw.

Referensi:

https://islam.nu.or.id/post/read/49442/adzan-kerinduan-bilal

https://islam.nu.or.id/post/read/100278/empat-alasan-bilal-bin-rabah-dipilih-menjadi-muadzin-pertama

Sejarah Awal Munculnya Adzan

http://nahdlatululama.id/blog/2017/10/31/kisah-bilal-bin-rabah/