Bahaya Ghibah

Nikmat lisan dengan segala fungsinya tidak ternilai harganya. Sudah sepantasnya nikmat itu dipakai pada sesuatu yang diperintahkan Allah Swt sebagai bentuk syukur kita kepada-Nya.

Selain mampu mengeluarkan kata bijak dan zikir, lidah juga mampu membuat orang lain lain terdhalimi dan tersakiti. Selain menjadi permata dan mutiara yang mahal lidah bisa menjadi kotoran yang sangat hina dan menjijikkan.

Lidah yang tak bertulang memuat dirinya mudah bersilat. Apapun mudah diucapkan tanpa perlu tenaga ekstra. Mudahnya bertutur kadang membawa lidah melakukan hal yang dilarang dalam agama, yaitu berghibah.

Artikel kali ini saya akan membahas tentang ghibah. Hal ini penting untuk mengetahui beberapa hal seputar ghibah agar bisa dihindari, semoga bermanfaat, ya.

Apa Itu Ghibah?

Rasulullah Saw bersabda dalam satu hadis yang mengabarkan tentang arti ghibah:

عن أبي هريرة رضي الله عنه، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ” أتدرون ما الغيبة؟ قالوا: الله ورسوله أعلم. قال: “ذكر أخاك بما يكره”. قيل: أفرأيت إن كان في أخي ما أقول؟ قال: ” إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته وإن لم تكن فيه ما تقول فقد بهته”. (رواه مسلم).

Artinya: “Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Kalian tau apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab:”Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Rasulullah bersabda: “(Ghibah) adalah menyebut saudaramu dengan sesuatu yang dibencinya”. Seseorang di antara mereka bertanya: “Sekalipun aku berkata sesuatu yang memang ada pada saudaraku?” Rasulullah bersabda: “Jika pada dirinya sesuai dengan yang kau katakan maka sungguh kamu telah mengghibahnya, jika tidak ada maka kamu telah berdusta tentang dirinya”.

Dari hadis tersebut diketahui dengan jelas bahwa ghibah artinya menyebut tentang orang lain dengan sesuatu yang dibencinya padahal dia tidak sedang berada di tempat.

Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fath al-Bari mengutip perkataan Imam An-Nawawi dalam kitab al-Azkar yang menyatakan bahwa ghibah adalah menceritakan tentang seseorang dengan sesuatu yang dibencinya. Baik tentang fisiknya, agamanya, dunianya, jiwanya, akhlaknya, hartanya, ayahnya, anaknya, pasangannya (istri atau suaminya), pembantunya, pakaiannya, raut mukanya berseri atau masam dan lain-lain tentang dirinya, baik secara lafal, tanda atau isyarah.[1]

Bahaya Ghibah

Di antara bahaya ghibah adalah sebagai berikut:

  1. Mengundang Kemarahan dan Putusnya Tali Silaturrahmi

Ghibah akan mendatangkan kemarahan dari objek yang dighibahi. Tentu dia akan marah tatkala sampai pada dirinya bahwa kita telah berkata buruk terhadapnya. Lebih bahaya lagi kemarahan itu rentan menyebabkan putusnya tali silaturrahmi di antara dua pihak.

Tentu hal ini tidak diharapkan terjadi. Tetapi juga tidak bisa dihindari akibat suka bersilat lidah akhirnya penyesalan yang didapat.

  1. Menghancurkan Reputasi

Ketika objek yang dighibahi adalah seorang tokoh atau publik figure yang sudah dikagumi oleh banyak orang, maka dengan menyebarkan fitnah terhadap dirinya akan menghancurka reputasinya di mata orang lain.

  1. Membunuh Kepercayaan

Sering berghibah membuat kita tidak percaya kepada orang lain. Ketika ada sebuah perkumpulan orang kita merasa tidak aman dan akan menduga-duga hal buruk akan terjadi. Kita was-was terhadap isi pembicaraan mereka jangan-jangan sedang membahas pribadi kita, jangan-jangan sedang membuka aib kita dan berbagai spekulasi lainnya yang tidak berdasar. Kenapa hal itu muncul, karena kita saat berkumpul sering membicarakan orang lain dan membuka aib mereka.

  1. Dialihkan Pahala Kepada Orang yang Dighibahi

Bahaya ini adalah yang paling besar dari ghibah. Kelak pada pengadilan hari akhirat, orang yang berghibah akan dialihkan pahala kebaikannya berupa shalat, puasa, haji dan ibadah-ibadah lain kepada orang yang dighibahi. Jika setelah diadili ternyata dirinya tidak punya pahala, maka akan dipikul dosa orang yang dighibahi kepada dirinya.

  1. Masuk dalam Dosa Besar

Ulama menyebutkan bahwa ghibah masuk dalam kategori dosa besar, sama halnya seperti meninggalkan sholat, membunuh dan lain-lain. Maka hendaknya kita menghindari ghibah karena bahaya yang sangat besar ini.

Larangan Ghibah dalam Islam

Ghibah adalah perbuatan yang dilarang dalam Islam. Larangan tersebut disampaikan dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi.

Al-Qur’an

Islam melarang ghibah melalui Al-Qur’an dan hadis. Terdapat beberapa ayat yang mengandung larangan terhadap ghibah, di antaranya adalah sebagai berikut:

  1. QS. Al-Hujurat: 12

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

Ya ayyuhallazina amanuj tanibu katsiram minaddzanni inna ba’dhanni itsmun, wala tajassasu wala yaghtab ba’dhakum ba’dhan. Ayuhibbu ahadukum ayyakkula lahma akhihi maytan fa karihtumu, wattaqullah, innallaha tawwaburrahim.

Artinya: “Hai orang-orang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka (rasa curiga), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari keburukan orang lain dan janganlah menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Hujurat: 12).

Syekh Wahbah al-Zuhayli dalam tafsirnya bernama al-Wajiz menyebutkan bahwa prasangka yang dimaksudkan dalam ayat seperti halnya berprasangka bai terhadap ahli kebaikan (ahlul khair). Larangan berprasangka buruk karena dapat menyebabkan dosa dan siksaan di akhirat. Tetapi beliau menambahkan bahwa tidak masalah berprsangka buruk terhadap ahli maksiatdan fasiq. Boleh bagi kita untuk berprsangka jahat kepada ahli maksiat itu selama ada tanda-tanda yang mendukung prasangka itu. Selain itu ayat ini melarang membuka aib orang lain karena itu adalah ghibah.

Kemudian pada menafsirkan bagian ayat “adakah seorang di antara kamu suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?”, Syekh Wahbah al-Zuhayli menyatakan bahwa ghibah itu sama artinya kita memakan daging manusia lain pada hukumnya yaitu haram dan juga menjijikkan pada tabiat manusia.[2]

  1. QS. Al-Isra: 36

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

Wala taqfu ma laisa laka bihi ‘ilmun innas sam’a wal bashara wal fuada kullu ulaika kana ‘anhu mas ula

Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak punya pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan ditanya (diminta pertanggung jawaban)”. (QS. Al-Isra: 36

  1. QS. Qaf: 18

مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

Ma yalfizu min kaulin illa ladaihi raqibun atid

Artinya: “Tidak ada satu ucapan yang diucapkannya kecuali di sisinya ada pengawas yang selalu hadir”.

Hadis

Selain Al-Qur’an, terdapat pula beberapa hadis yang melarang ghibah, di antaranya adalah:

عن أبي هريرة رضي الله عنه، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من كان يؤمن بالله و اليوم الآخر فليقل خيرً أو ليصمت (متفق عليه)

Artinya: “Diriwayatkan daripada Abu Hurairah ra, daripada Rasulullah Saw beliau bersabda: “Siapa saja beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah berkata yang baik atau berdiam saja. (Muttafaqun alaih).

Ketika mengutip hatis ini dalam kitabnya Riyadh al-Shalihin, Imam al-Ghazali menambahkan bahwa hadis ini sangat jelas menunjukkan bahwa sepantasnya bagi seorang muslim tidak berbicara kecuali pembicaraan yang baik, yaitu perkataan yang mengandung faidah dan kemashlahatan. Jika dirinya ragu pada berfaedah atau tidak pembicaraan itu maka hendaknya memilih untuk diam saja.[3]

وعن أبي موسى رضي الله عنه قال: قلت: يا رسول الله أي المسلمين أفضل؟ قال من سلم المسلمون من لسانه ويده (متفق عليه)

Artinya: “Daripada Abu Musa ra beliau berkata: “Aku bertanya: Wahai Rasulullah, siapa di kalangan muslimin yang paling baik? Rasulullah menjawab: “(Itulah) orang yang selamat kaum muslimin dari lisannya dan tangannya”. (Muttafaqun alaih)

عن عقبة بن عامر رضي الله عنه قال: قلت: يا رسول الله ما النجاة؟ قال: “أمسك عليك لسانك، واليسعك بيتك، وابك على خطيئتك” (رواه الترمذي).

Artinya: “Diriwayatkan daripada Uqbah bin ‘Amir ra berkata: “Aku berkata: Wahai Rasulullah apa itu sukses?” Rasulullah Saw bersabda: “Tahanlah lidahmu, perluaslah rumahmu dan menagislah atas kesalahanmu”.

Selain tiga hadis ini masih banyak hadis-hadis lain yang melarang ghibah, Imam al-Ghazali menyebut seluruhnya 16 hadis yang melarang ghibah

Ghibah Di Media Sosial

Hari ini, seiiring majunya teknologi, penggunaan ponsel yang semakin canggir menjadi trend dan semakin merebak di kalangan masyarakat. Semua orang bebas berbicara dan memberi pendapat. Dimana kehadiran akun-akun media sosial memberi celah bagi manusia untuk berinteraksi. Bagi setiap orang cukup menggutak-atik gawai sambil bersantai dengan jari-jemarinya yang dapat diakses oleh jutaan bahkan miliyaran manusia lainnya.

Produk-produk medsos yang masih diminati pada hari ini seperti Facebook, Twitter, Instagram, Line dan youtube. Setiap orang bisa berkomentar pada kolom komentar yang tersedia pada fitur medsos dan juga bisa memberi caption pada postingan pribadinya.

Nah, kebebasan inilah membuat orang kadang di luar kontrol. Tidak perlu melihat orang lain, kita sendiri tanpa sadar kadang iseng-iseng berkomentar dengan komentar yang menyakiti hati orang lain.

Kemajuan teknologi, tidak hanya lidah yang perlu dijaga tapi juga setiap kata yang akan diakses oleh khalayak ramai. Pada hari ini, orang-orang lebih banyak berinteraksi di media sosial dengan mengirim tulisan yang kemudian diunggah pada postingan pribada atau memberi komentar pada postingan orang lain.

Dalam sebuah kaedah fikih disebutkan bahwa posisi tulisan itu sama dengan lisan. Dalam kitab Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah sebuah kaedah fikih berbunyi:

الكتاب أحد اللسانين[4]

Al-kitabu ahadu lisanaini

“Artinya: “Tulisan merupakan salah satu dua lidah”

Kaedah yang semakna artinya berbunyi:

الكتاب كالخطاب[5]

Al-kitabu kal khitabi

Artinya: “Tulisan itu sama seperti lisan”.

Kita bisa melihat, postingan yang menggiring sebuah isu menyudutkan atau mengkritik orang lain selalu ramai di media sosial. Kita padahal tau bahwa jika yang bersangkutan tau dan membaca komentar kita dia akan tidak senang. Inilah ghibah di media sosial.

Bahkan nauzubillah kita sengaja memancing emosi dengan memilih kata-kata menyakitkan dengan harapan yang bersangkutan membacanya. Tidak jarang orang-orang menyerang langsung pada akun pribadi objek yang sedang diperbincangkan biar lebih mengena katanya. Di mana agama dan akhlak kita saat berbuat demikian?

Bahkan sayangnya kita mengetahui dan sadar bahwa ghibah hukumnya haram, tetapi menjauhinya belum dapat kita laksanakan secara maksimal. Apalagi dengan kemajuan teknolohgi, ghibah telah semakin lumrah di tengah netizen.

Memakai gawai atau ponsel pintar memang sangat baik jika digunakan pada tujuan yang bermanfaat. Kehadiran media sosial sangat bagus jika bisa dipakai dengan baik. Tapi jika dijadikan sebagai wadah dan sarana berghibah dan menebar aib, tentu menjadi hal yang negatif.

Sebab-Sebab Terjadinya Ghibah

Ibnu Qudamah dalam kitabnya bernama Mukhtashar Minhaj al-Qashidin menyebutkan ada beberapa sebab sehingga seseorang masuk dalam ghibah, yaitu:

  1. Melampiaskan kemarahan. Hal ini terjadi ketika ada pihak kedua yang telah mengundang kemarahannya, kemudian untuk melampiaskan amarahnya itu dia menggunjing orang itu.
  2. Tidak enakan dengan teman-temannya. Kadang ghibah terjadi karena tidak enakan. Ketika ada satu kumpulan sedang menggibah orang lain dan dirinya berada di dalam kumpulan itu, dia merasa tidak enak untuk menyanggah atau memotong perkataan mereka. Dia takut mereka akan menolak dan menghindarinya. Maka berlakulah dirinya ikut-ikutan demi menjaga hubungan baiknya dengan mereka.
  3. Ingin popularitas dan kebanggaan. Contohnya di menyebut kejelekan orang lain seperti “fulan itu bodoh” dengan tujuan agar tampak kelebihan dirinya dan menampakkan dirinya lebih pintar dari orang yang disebut.
  4. Bercanda. Tipe ini bagi mereka yang suka bercanda dan mencari kesenangan dengan menjelek-jelekkan orang lain. Dia membuat orang lain tertawa dengan berghibah, bahkan tidak sedikit orang mencari keuntungan duniawi melalui cara ini.[6]

Ghibah yang Dibolehkan

Sahabat hasana.id, kita sudah mengetahui sebelumnya bahwa ghibah adalah dosa besar. Tetapi meskipun secara umum ghibah termasuk dosa besar, tapi ada juga ghibah yang dibolehkan.

Imam Nawawi dalam kitab Riyadhusshalihin menjelaskan ada enam ghibah yang dibolehkan, yaitu ketika ada maksud yang legal secara syaria’t yang tidak bisa disampaikan dengan tidak berghibah, mari simak rinciannya sebagai berikut:

  • Terdhalimi (Tadhallum)

Seseorang yang telah dizalimi boleh menggibah orang yang menzaliminya dengan menyebut segala perbuatan zalim yang telah diperlakukan kepada dirinya di hadapan raja/pemimpin atau di hadapan hakim atau siapa saja yang dapat melindungi atau menolongnya dari kezaliman itu.

Misalnya dengan berkata “si fulan telah berbuat zalim kepadaku dengan melakukan ini dan itu”. Maka itu dibenarkan dalam syari’at.

  • Mencari bantuan untuk mengubah kemungkaran dan menuntun pelaku maksiat agar segera sadar dan mau menjadi baik

Dalam keadaan dan maksud ini boleh bagi kita untuk berghibah yaitu menyebut keburukan pada diri orang lain. Misalnya kita menyebut “si fulan telah melakukan perbuatan jahat ini dan itu, toloh segera dicegah”. Tujuannya adalah untuk kejahatan dan kemungkaran itu hilang. Jika tujuannya bukan untuk hal ini tapi hanya menyebut fulan telah melakukan kemungkaran maka hukumnya haram.

  • Meminta Fatwa

Boleh berghibah dengan tujuan untuk meminta fatwa dari hakim atas kejahatan yang dilakukan oleh orang lain terhadap dirinya. Misalnya dia berkata: “Si fulan telah berbuat jahat begini dan begitu kepadaku, tolong beri dia sanksi”. Atau dia berkata: “Si fulan telah bebuat jahat seperti ini dan itu terhadapku, aku ingin memperoleh keadilan atas diriku”, dan semisalnya.

  • Memberi peringatan kepada kaum muslimin atas kejelekan seseorang. Seperti misalnya memberi kritikan pada perawi hadis dan bersaksi terhadap kecacatannya. Hal ini terbagi kepada beberapa bentuk.

Di antaranya adalah dibolehkan melakukan ghibah dengan menyebut kekurangan bahkan kecacatan seorang perawi hadis agar dapat ditetapkan status hadis yang diriwayatkannya adalah dhaif. Hukum kebolehan ini sudah menjadi ijma’ (kesepakatan) di antara para ulama, dan bahkan wajib jika sudah urgen atau kebutuhan yang sangat genting.

Atau seperti contoh ada orang yang meminta informasi kepada kita terhadap seseorang yang rencananya akan dibuat kerjasama bisnis. Maka boleh bagi kita menyebut kejelekan orang yang bersangkutan tersebut apabila ada kejelekannya. Begitu pula dengan orang yang bertanya terhadap perempuan yang ingin dipinangnya. Maka boleh bagi kita yang dimintai informasi untuk berkata jujur terhadap kejelekannya. Hal ini termasuk ghibah yang dibolehkan karena bertujuan mendapat kemashlahatan kepada yang bertanya.

Begitupula jika melihat orang yang baru belajar fikih (mutafaqqih) yang terpengaruhi dengan ahli bid’ah atau orang fasik untuk menuntut ilmu kepadanya. Maka wajib hukumnya menasehati mutafaqqih tersebut tentang keadaan pelaku bid’ah dan fasiq tadi. Hal ini karena ditakutkan akan teracuni pemikirannya.

Contoh yang lain seperti orang yang diamanatkan satu kekuasaan tetapi tidak sanggup dilaksanakan sebagaimana mestinya. Adakala tidak layak, fasik, bodoh dan lain sebagainya. Maka wajib melapor kepada pimpinan yang lebih tinggi atau yang punya kekuasaan di atasnya tentang keadaan orang tersebut agar segera diperbaiki atau bahkan dicabut dari posisi yang telah diberikan dan diganti dengan pimpinan yang lebih layak.

  1. Berghibah terhadap diri orang yang berbuat maksiat dan bid’ah secara terang-terangan. Seperti orang yang terang-terangan berjudi, berzina, meminum khamar dan lain-lain. Maka dibenarkan untuk menyebutkan keburukan yang dilakukannya (tidak boleh menambah-nambahkan) dengan tujuan agar dirinya tau atas kesalahan atas perbuatan dan keaiban dirinya sehingga mau bertaubat.
  2. Mengenalkan identitas

Apabila ada seseorang yang sudah dikenal dengan sifat atau keadaan tertentu. Misalnya dengan kekurangan fisik dan lain-lain. Maka boleh menyebut dirinya dengan kekurangan itu untuk memberitahu identitasnya. Misalnya ada orang yang bertanya: “Saya ingin mencari obat atas penyakitr saya, siapa kira-kira bisa saya temui?” Kita boleh menjawab: “Pada si Umar yang orangnya pincang itu”. Maka ini dibenarkan secara syari’at. Tetapi apabila bisa menyebut identitasnya dengan cara lain yang lebih baik maka tentu lebih utama.[7]

Penutup

Ghibah adalah amalan yang menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam. Dalam Al-Qur’an dan hadis, Allah dan Rasul-Nya telah nyata-nyata melarang ghibah. Satu pepatah yang sangat lumrah kita dengar adalah mulutmu adalah harimaumu.

Pepatah ini menunjukkan bahwa mulut yang dimaksudkan di sini adalah lidah merupakan sebab keselamatan. Betapa banyak orang tidak selamat karena lidahnya. Di dunia saja orang yang tidak sanggaup mengatur dan menjaga lidahnya rentan sekali terjebak dalam kesalahan, belum lagi di akhirat ketika di sidang seadil-adilnya atas segala perbuatan dan perkataan yang pernah dilakukan di dunia.

Sudah seharusnya kita menjaga lisan dari perkataan dilarang seperti ghibah. Karena ghibah akan memudharatkan pelakunya dan kepada orang yang di ghibah di dunia ini, walaupun di akhirat pihak yang dighibahi akan mendapat keuntungan dari perbuatan kita.

Tetapi berapa banyakkah amalan yang sudah kita perbuat sehingga merasa aman dari kerugian ghibah Bahkan dosa-dosa yang sudah tidak terhitung banyaknya harus ditambah lagi dengan dosa orang yang dighibahi karena tidak punya pahala yang akan ditagihnya.

Ya Alah lindungilah kami dari perbutan yang engkau larang, jagalah lidah kami dari ghibah, berilah kami hidayah untuk senantiasa berzikir kepada-Mu.

  1. Ibnu Hajar al-Asqalani Fath al-Bari, Jld. X, (Beirut: Dar al-Ilm, 2010), h. 391.
  2. Syekh Wahbah al-Zuhayli, Tafsir al-Wajiz, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), h. 518.
  3. Riyadh al-Shalihin, h. 421.
  4. Muhammad Shidqi bin Ahma, Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, (Beirut: Muaassisah al-Risalah, t.t), h. 272.
  5. Muhammad Shidqi bin Ahma, Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah…, h. 272.
  6. Ibnu Qudamah, Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, (Beirut: Dar al-Fikri, 1989), h. 211.
  7. Imam An-Nawawi, Riyadh al-Shalihin karya, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 2007), h. 425-427.