Belajar Asbabun Nuzul agar Makin Memahami Ayat Al-Qur’an

Asbabun nuzul merupakan salah satu aspek penting untuk memahami makna dari ayat-ayat Al-Qur’an. Mengapa?

Firman Allah sering kali turun sebagai respons atas sebuah peristiwa yang terjadi pada zaman Nabi Muhammad saw. Konteks isinya bisa jadi juga berkaitan dengan peristiwa tersebut.

Namun, apakah sebenarnya asbabun nuzul itu? Adakah kriteria-kriteria khusus mengenai jenisnya?

Bagaimana pula cara mempelajari dan mencari tahu hal-hal yang berkaitan dengannya? Berikut ini Hasana.id akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Arti Asbabun Nuzul

Guna memahami pengertian asbabun nuzul secara lebih mendalam, terlebih dahulu kamu perlu mengetahui arti katanya.

Arti asbabun nuzul secara etimologis terbagi menjadi dua makna karena istilah tersebut tersusun dari dua kata.

Kata yang pertama adalah asbabun atau asbab yang merupakan bentuk jamak dari kata sabab, yang dalam bahasa Indonesia berarti “sebab”.

Kata “sebab” sendiri adalah sesuatu hal yang menjadi lantaran, karena, atau asal mula sesuatu yang lain.

Berikutnya, kata yang kedua adalah nuzul. Terjemahan nuzul dalam bahasa Indonesia berarti “turun”.

Pengertian “turun” secara harfiah adalah gerakan dari atas menuju bawah atau bergerak ke tempat yang lebih rendah dari posisi sebelumnya.

Jadi, arti asbabun nuzul secara sederhana adalah “sesuatu yang menjadi penyebab turunnya sesuatu”.

Jika dikaitkan dengan konteks Al-Qur’an, yang diturunkan adalah firman Allah berupa ayat Al-Qur’an.

Dengan demikian maka asbabun nuzul artinya adalah “hal-hal yang menjadi sebab turunnya ayat”.

Arti Asbabun Nuzul Menurut Ulama

Tentu saja, rumusan pengertian di atas masih terlalu sederhana.

Oleh karena itu, kurang lengkap rasanya jika tidak mengutip pemahaman orang-orang yang lebih ahli, termasuk ulama dan para pakar terminologi Al-Qur’an.

Berikut pandangan ulama-ulama terkait arti asbabun nuzul.

  • Dr. Dawud al-Aththar menerangkan bahwa asbab al-nuzul adalah sesuatu yang menjadi latar belakang turunnya satu atau beberapa ayat yang menjadi jawaban atas sebuah pertanyaan atau yang menjelaskan hukum yang ada di dalam kejadian/peristiwa tersebut.
  • Az-Zarqani dalam Manahil al-Irfan merumuskan pengertian asbab an-nuzul sebagai hal khusus atau sesuatu yang terjadi, serta hubungannya dengan turunnya ayat Al-Qur’an yang memiliki fungsi untuk menjelaskan hukum ketika peristiwa itu berlangsung.
  • Manna Khalil al-Qattan menuturkan bahwa asbab an-nuzul merupakan peristiwa-peristiwa yang menjadi sebab turunnya ayat Al-Qur’an, yang berkaitan dengan waktu peristiwa tersebut terjadi, baik berupa sebuah kejadian atau bisa juga pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah saw.

Setidaknya, berdasarkan tiga rumusan di atas, kamu sudah memiliki gambaran sendiri tentang arti asbabun nuzul.

Kesemuanya mempunyai penekanan yang sama, yakni kejadian yang melatarbelakangi turunnya ayat Al-Qur’an sebagai jawaban, penejelasan, atau solusi atas masalah dalam peristiwa itu.

Ilmu Asbabun Nuzul

Asbabun nuzul merupakan salah satu bidang kajian ilmu dalam memahami makna Al-Qur’an berdasarkan konteks-konteks tertentu.

Dalam hal ini, konteks tersebut berkaitan dengan latar belakang turunnya ayat. Latar belakang itu bisa berupa peristiwa yang memerlukan penjelasan, pertanyaan, atau permasalahan.

Selanjutnya, Allah menyampaikan penjelasan, hukum, jawaban, atau solusi atas segala kebutuhan tadi berupa firman-Nya yang diturunkan lewat perantara Rasulullah saw.

Namun, perlu diingat bahwa tidak semua ayat dalam Al-Qur’an memiliki asbab an-nuzul.

Seluruh ayat Al-Qur’an dapat dibedakan menjadi dua kategori, demikian menurut Al-Suyuthi dalam kitabnya al-Itqaan fi ‘Ulum al-Qur’an.

Kategori pertama adalah ayat-ayat sebagai wahyu yang diturunkan karena ada penyebabnya. Sementara itu, yang kedua adalah ayat yang turun tanpa peristiwa apa pun yang mendahuluinya.

Contoh dari kategori kedua adalah ayat-ayat yang menceritakan kisah-kisah nabi dan umat terdahulu atau peristiwa yang terjadi pada masa lalu dan masa depan.

Demikian pula dengan ayat-ayat tentang surga dan neraka berikut nikmat dan azabnya, serta pembahasan mengenai Hari Akhir.

Ayat Tanpa Asbabun Nuzul

Pada dasarnya, lebih banyak ayat Al-Qur’an yang turun tanpa asbabun nuzul.

Ini berarti ayat tersebut memiliki isi yang bersifat lebih universal, menjadi petunjuk bagi umat manusia sepanjang zaman untuk selalu berpegang pada kebenaran Allah Ta’ala.

Lagi pula, masih ada kemungkinan lain yang menjadikan sebuah ayat Al-Qur’an tidak memiliki asbab an-nuzul. Kemungkinan tersebut ada tiga, yaitu:

  • Pewahyuan hanya kepada Nabi Muhammad saw.

Bisa jadi, pada suatu waktu, beliau mendapatkan wahyu saat sedang sendiri tanpa adanya saksi, termasuk para sahabat sekalipun.

Jika demikian, berarti latar belakang turunnya ayat tersebut mustahil bisa dilacak, kecuali Nabi sendiri yang menceritakannya.

  • Pewahyuan terjadi dengan disaksikan sendiri oleh para sahabat, tetapi tidak semuanya berhasil didokumentasikan.

Ini bisa disebabkan karena situasi yang kurang mendukung sehingga menimbulkan keterlambatan atau kealpaan ingatan yang manusiawi.

  • Kemungkinan terakhir, Allah Ta’ala sengaja menurunkan firman-Nya melalui Rasulullah. untuk mengetengahkan pembahasan yang sama sekali tidak memerlukan asbab an-nuzul.

Namun, pada akhirnya, ayat-ayat ini dapat dikaitkan dengan peristiwa, pertanyaan, atau konteks tertentu guna memudahkan penafsiran.

Dengan demikian, hanya ada satu cara untuk mengetahui latar belakang turunnya ayat-ayat Al-Qur’an, yaitu melalui riwayat sahih dari Nabi sendiri dan para sahabat yang menjadi saksi.

Saksi di sini bisa berarti mengetahui atau terlibat dalam peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat.

Bisa juga dalam kesempatan lain, sahabat mendengar pertanyaan, atau dirinya sendiri yang melontarkan pertanyaan atau permasalahan, dan kemudian jawabannya berupa wahyu.

Wahyu tersebut kemudian disampaikan sendiri kepada para sahabat oleh Rasulullah saw.

Karena itulah, penentuan asbab an-nuzul tidak bisa dilakukan secara sembarangan.

Lagi pula, sanad juga berpengaruh besar terhadap sahih tidaknya sebuah riwayat hadits dengan berbagai kriteria yang menjadi unsur penetapannya.

Manfaat Mengetahui Asbabun Nuzul

Al-Qur’an pada dasarnya bukan hanya kitab suci bagi pemeluk agama Islam semata, tetapi juga ditujukan bagi seluruh umat manusia.

Di dalamnya terkandung banyak nasihat, riwayat, teladan, pesan, dan pedoman menjalani kehidupan.

Namun, diperlukan pengetahuan khusus agar setiap orang bisa memahami kandungan ayat-ayat suci Al-Qur’an.

Jika pengetahuan bahasa dan ilmu tafsir penting untuk memahami teks Al-Qur’an, pengetahuan tentang asbab an-nuzul merupakan kunci untuk menarik maknanya secara lebih mendalam.

Lalu, apa saja manfaat mengetahui asbabun nuzul dari suatu ayat bagi para penafsir maupun kita sebagai orang awam? Berikut beberapa di antaranya.

  • Sebagaimana telah dijelaskan, memahami makna ayat Al-Qur’an tertentu akan lebih mudah dengan mengetahui asbab an-nuzul-nya.

Penafsir dapat menemukan interpretasi paling tepat dari ayat-ayat yang sedang dikaji maknanya.

  • Mengetahui latar belakang turunnya ayat Al-Qur’an memudahkan penafsir memahami konteksnya sehingga lebih akurat dalam menarik kesimpulan mengenai maknanya.

Hal ini menjadi makin penting jika ayat tersebut mengungkapkan hukum-hukum dari sebuah perkara tertentu.

  • Penafsiran tentang hukum yang lebih akurat akan menghilangkan keraguan, prasangka-prasangka buruk, bahkan tuduhan-tuduhan yang keliru terhadap golongan tertentu.

Sebab-sebab turunnya ayat menggambarkan secara jelas tentang siapa yang menjadi subjek hukum utama di dalamnya sehingga ketentuannya dapat makin dipastikan.

  • Memberikan wawasan tentang hukum umum dan hukum khusus.

Al-Qur’an menjadi pijakan dalam menentukan hukum secara umum, latar belakang, dan dalil-dalil dalam hadits Nabi membantu menguraikan kepastiannya dalam menghadapi kondisi tertentu.

  • Asbab an-nuzul juga memudahkan seseorang dalam menghafal ayat Al-Qur’an.

Sekiranya dia lupa lafal ayat yang akan diucapkan, dirinya bisa mengingat lagi kisah-kisah yang melatarbelakanginya sehingga kemudian dapat mengingatnya kembali.

Mengingat betapa bermanfaatnya pengetahuan tentang asbabun nuzul maka lebih baik jika kita meluangkan waktu untuk mempelajarinya.

Dalam pembahasan selanjutnya, Hasana.id akan mencoba menguraikan tentang cara-cara dan metode mengetahui asbab an-nuzul.

Cara Mengetahui Asbabun Nuzul

Sebelumnya sudah disinggung bahwa satu-satunya cara mengetahui asbabun nuzul adalah dengan bersandar pada riwayat yang bersumber dari Rasulullah saw. atau para sahabat.

Al-Wahidiy dalam kitab Asbab al-Nuzul juga mengatakan hal serupa demikian.

Beliau menilai tidak ada seorang pun yang boleh berpendapat soal asbab an-nuzul Al-Qur’an, kecuali jika pendapatnya itu berdasarkan riwayat.

Bisa juga jika ia mendengar langsung dari saksi turunnya ayat, mengetahui penyebabnya, membahas pengertiannya, serta betul-betul mencarinya dengan sungguh-sungguh.

Demikian pula pendapat Ali as-Shabuni yang dikutip dari al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an.

Beliau berpandangan bahwa pengetahuan ini tidak bisa diperoleh melalui penalaran, tetapi harus berdasarkan riwayat sahih yang bersandar kepada Rasulullah saw.

Oleh karenanya, pemahaman tentang asbab an-nuzul tidak bisa lepas dari ilmu hadits. Kategori hadits yang digunakan pun harus sahih.

Meski demikian, hadits yang diriwayatkan secara berantai mulai dari sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in, sampai ke perawinya, masih diperbolehkan asalkan tidak ada kerancuan dan kecacatan.

Redaksi dalam Asbabun Nuzul

Dalam praktiknya, para perawi hadits pada umumnya menerangkan asbab an nuzul dengan menggunakan redaksi atau bentuk frasa kalimat tertentu.

Redaksi disebut dengan istilah shighat yang jenisnya terdiri dari dua, yaitu sharihah dan muhtamalah.

Redaksi Sharihah

Redaksi jenis pertama ini bersifat tegas, biasanya digunakan jika perawi hadits sudah jelas dalam memahami asbabun nuzul dari satu ayat atau lebih.

Berikut contoh-contoh redaksi yang menggambarkan sebab-sebab yang jelas.

  • Menggunakan kalimat, “… sebab turunnya ayat ini adalah begini ….”
  • Memakai istilah yang mengandung unsur fa’ sababiyah, seperti “maka” dalam bahasa Indonesia. Contoh kalimatnya adalah “Rasulullah saw. ketika ditanya sahabat tentang masalah ini maka turunlah ayat ini ….”
  • Ada beberapa riwayat hadits yang sejak awal telah mengungkapkan tentang sahabat yang menanyakan sesuatu kepada Rasulullah saw.

Rasul pun langsung menjawabnya dengan ayat yang baru saja diturunkan sesaat setelah sahabat melontarkan pertanyaan tersebut.

Dalam kondisi demikian, bisa langsung dimengerti bahwa wahyu itu turun untuk menjawab pertanyaan sebelumnya, meski tidak ada istilah-istilah penjelas, seperti fa’ sababiyah.

Redaksi Muhtamalah

Redaksi jenis kedua adalah sebaliknya, yaitu tidak secara tegas menyebutkan asbabun nuzul.

Sifatnya masih berupa kemungkinan sehingga latar belakang turunnya ayat yang dicantumkan masih belum bisa dipastikan benar tidaknya.

Adapun contoh redaksinya adalah sebagai berikut:

  • Menggunakan istilah “tentang”, yang bukan hanya bisa berarti sebab turunnya ayat, melainkan juga bisa menunjukkan makna yang terkandung dalam ayat tersebut.
  • Menggunakan kalimat yang tidak memastikan atau berupa perkiraan, contohnya, “saya kira ayat ini diturunkan tentang ….”
  • Bentuk lain dari kalimat perkiraan, misalnya, “saya tidak mengira ayat ini diturunkan kecuali tentang hal ini ….“

Kategori Ayat Al-Qur’an dengan Asbabun Nuzul

Pada kenyataannya, kajian tentang asbab an-nuzul tidak selamanya berjalan mulus tanpa perdebatan.

Pasalnya, ayat Al-Qur’an yang memiliki asbab an-nuzul terbagi menjadi dua kategori, yang salah satunya memungkinkan adanya perbedaan pendapat.

Dua kategori tersebut bisa kamu simak pada penjelasan di bawah ini.

Satu Ayat, Banyak Sebab

Kateogri pertama ini berarti ada lebih dari satu riwayat yang mengisahkan latar belakang turunnya satu ayat saja.

Mengenai hal ini, para ulama menyepakati sejumlah ketentuan dalam menetapkan kedudukan asbabun nuzul, yaitu:

  • Jika semua riwayat yang ada bersifat muhtamalah, kedudukan riwayat tersebut hanya sebagai penjelasan atas makna ayat atau hukum yang dikandungnya.
  • Jika ada riwayat yang sharihah dan ada yang muhtamalah, riwayat sharihah-lah yang lebih kuat asbab an-nuzul -nya.
  • Apabila semua riwayat yang ada bersifat sharihah, dipilih yang paling sahih di antaranya.
  • Jika semua riwayat sharihah itu sama sahihnya, dilakukan telaah lebih lanjut guna mencari petunjuk-petunjuk lain untuk menemukan salah satu yang paling kuat.
  • Jika masih sama-sama kuat, dilakukan tarjih atau kompromi, misalnya dengan menyatakan bahwa ayat itu turun dengan dua penyebab atau lebih dan jarak waktu keduanya berdekatan.
  • Namun, jika masih belum ditemukan petunjuk lain dan kompromi tidak memungkinkan, ayat tersebut dinyatakan turun lebih dari satu kali.

Banyak Ayat, Satu Sebab

Kebalikan dari kategori pertama, kategori kedua adalah hanya ada satu riwayat tentang sebab-sebab turunnya lebih dari satu ayat Al-Qur’an.

Contohnya seperti pada surah Ali Imran ayat 195, An-Nisa 32, dan Al-Ahzab 33 yang memiliki satu latar belakang, yaitu pertanyaan Ummu Salamah kepada Rasulullah.

Seperti diketahui, Ummu Salamah adalah salah satu istri Rasulullah saw.

Beberapa ahli hadits, termasuk Thabrani, Tirmidzi, dan Said ibn Manshur meriwayatkan tentang pertanyaan beliau. Riwayat tersebut pun dinyatakan sahih.

Pada suatu ketika, Ummu Salamah berkata kepada Rasulullah bahwa dirinya belum pernah mendengar Allah menyebutkan kaum perempuan sedikit pun mengenai hijrah.

Atas pertanyaan itu, kemudian Allah mewahyukan ayat ke-195 dari surah Ali Imran.

Masih terdapat beberapa riwayat lain yang berlainan redaksi dan momennya, tetapi konteks pertanyaannya masih sama, juga dilontarkan oleh orang yang sama, yaitu Ummu Salamah.

Pertanyaan tersebut dijawab oleh Rasulullah dengan turunnya An-Nisa 32 dan Al-Ahzab 33.

Contoh Asbabun Nuzul

Mari menyimak beberapa contoh asbabun nuzul berikut ini untuk memperoleh gambaran lebih jelas lagi.

Asbabun Nuzul Surah Al-Baqarah ayat 223

نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوا۟ حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ ۖ وَقَدِّمُوا۟ لِأَنفُسِكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّكُم مُّلَٰقُوهُ ۗ وَبَشِّرِ ٱلْمُؤْمِنِينَ

Nisā`ukum ḥarṡul lakum fa`tụ ḥarṡakum annā syi`tum wa qaddimụ li`anfusikum, wattaqullāha wa’lamū annakum mulāqụh, wa basysyiril-mu`minīn

Artinya:

“Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.”

Asbab an nuzul dari ayat di atas pernah diriwayatkan oleh dua perawi hadits, yaitu Nafi’ dan Jabir.

  • Menurut Riwayat Nafi’:

“Suatu hari, saya membaca ‘nisā`ukum ḥarṡul lakum …’ Lalu, Ibnu Umar berkata, ‘Tahukah engkau mengenai apa ayat ini diturunkan?’ Aku menjawab, ‘Tidak’. Ibnu Umar berkata, ‘Ayat ini diturunkan mengenai persoalan mendatangi istri dari belakang’.”

  • Riwayat Jabir

“Orang-orang Yahudi berkata, apabila seorang laki-laki mendatangi istrinya dari belakang, anaknya nanti akan bermata juling, maka turunlah ayat ‘nisā`ukum ḥarṡul lakum …’.”

Berdasarkan riwayat tersebut, diketahui bahwa Nafi’ menggunakan redaksi muhtamalah, sedangkan Jabir menggunakan sharihah.

Jika kondisinya demikian, riwayat dari Jabir lebih layak dijadikan pegangan.

Asbabun Nuzul Surah Ad-Dhuha

وَٱلضُّحَىٰ وَٱلَّيْلِ إِذَا سَجَىٰ مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَىٰ وَلَلْءَاخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ ٱلْأُولَىٰ وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَىٰٓ أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَـَٔاوَىٰ وَوَجَدَكَ ضَآلًّا فَهَدَىٰ وَوَجَدَكَ عَآئِلًا فَأَغْنَىٰ فَأَمَّا ٱلْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ وَأَمَّا ٱلسَّآئِلَ فَلَا تَنْهَرْ وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

Waḍ-ḍuḥā, wal-laili iżā sajā, mā wadda’aka rabbuka wa mā qalā. Wa lal-ākhiratu khairul laka minal-ụlā. Wa lasaufa yu’ṭīka rabbuka fa tarḍā. A lam yajidka yatīman fa āwā. Wa wajadaka ḍāllan fa hadā. Wa wajadaka ‘ā`ilan fa agnā. Fa ammal-yatīma fa lā taq-har. Wa ammas-sā`ila fa lā tan-har. Wa ammā bini’mati rabbika fa ḥaddiṡ

Artinya:

“Demi waktu matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi (gelap), Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu. Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan). Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas. Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu? Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya. Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan.”

Hampir sama dengan ayat sebelumnya, asbabun nuzul surah Ad-Dhuha juga memiliki dua riwayat.

Kali ini, versi pertama datang dari Imam Bukhari, Muslim, dan sejumlah ahli hadits lainnya dari Jundul al-Bajali.

Adapun versi kedua adalah dari Thabrani dan Ibnu Abi Syaibah dari ibunya Hafs ibn Maisarah.

Versi Pertama

“Nabi menderita sakit hingga dua atau tiga malam tidak bangun malam. Kemudian datanglah seorang perempuan kepadanya dan berkata, ‘Muhammad, kurasa setanmu sudah meninggalkanmu, selama dua tiga malam ini sudah tidak mendekatimu lagi’. Maka Allah menurunkan Waḍ-ḍuḥā, wal-laili iżā sajā ….”

Versi Kedua

“Rasulullah: Bahwa seekor anjing telah masuk ke dalam rumah Nabi, lalu masuk ke kolong tempat tidur dan mati. Karenanya, selama empat hari tidak turun wahyu kepadanya. Nabi berkata, ‘Khaulah, apa yang telah terjadi di rumah Rasulullah ini sehingga Jibril tidak datang kepadaku?” Dalam hati, aku berkata, ‘Alangkah baiknya andai aku membenahi rumah ini dan menyapunya’. Lalu, aku menyapu kolong tempat tidurnya, maka kukeluarkan seekor anak anjing. Lalu, datanglah Nabi, sedangkan janggutnya tergetar. Apabila turun wahyu kepadanya, ia tergetar. Maka Allah menurunkan Waḍ-ḍuḥā, wal-laili iżā sajā ….”

Dua riwayat di atas memiliki status yang berbeda. Versi pertama dinilai sahih, sedangkan versi kedua adalah hadits dhaif.

Karena itu, tentu saja yang pendapatnya lebih kuat adalah versi pertama yang telah diriwayatkan oleh beberapa ahli hadits, termasuk Bukhari dan Muslim.

Contoh-contoh asbabun nuzul di atas sekaligus mengakhir pembahasan Hasana.id kali ini.

Semoga pembahasan asbabun nuzul ini dapat membawa manfaat bagi kamu sekalian, terutama yang ingin mempelajari makna ayat-ayat suci Al-Qur’an secara lebih mendalam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hey!
Belajar islam lagi yuk..
Islam itu mudah dan menyenangkan kok..
Yes, saya mau!
Nggak usah, udah pinter!
close-link