Tawakal, Sebuah Bentuk Penghambaan

Tawakal adalah bab penting dari buku berjudul “ajaran Islam”.

Melakukannya juga merupakan instruksi langsung dari Sang Pencipta dan telah diulang-ulang sebanyak 30 kali pada 19 surah dalam Al-Qur’an.

Sebagaimana ibadah shalat yang menjadi pembeda antara orang-orang yang beriman dengan yang tidak, begitu pula dengan tawakal.

Namun, shalat dapat terindra oleh mata, sedangkan bertawakal tidak, seperti pernyataan Imam Hambali r.a. bahwa tawakal adalah perbuatan yang dilakukan oleh hati.

Meski tak dapat dilihat, bertawakal bukan berarti berdiam diri menunggu nasib tanpa melakukan usaha apa pun. Jika demikian, hal tersebut tak ada bedanya dengan menyerah.

Mainkan peranmu dan pasrahkan semuanya kepada Sang Maha Pemberi. Rasulullah saw. menjelaskannya secara tersirat dalam hadits yang dirawi oleh Ibnu Hibban r.a. berikut.

اِعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ

Ihqilhaa wa tawakkal.

Artinya:

Ikatlah untamu dan bertawakkallah.”

Hadits ini disabdakan oleh Rasulullah saw. setelah menegur seseorang yang tak mengikatkan unta tunggangannya sebelum meninggalkannya memasuki masjid.

Hewan tersebut kemudian mengganggu orang-orang lain yang juga sedang berada di sekitar tempat itu.

Setelah ditanya mengapa ia tidak mengikat untanya, orang tersebut menjawab bahwa ia bertawakal kepada Allah Swt.

Dalam kasus ini, Rasulullah saw. menjelaskan bahwa tawakal adalah sikap yang harusnya datang setelah usaha dilakukan.

Jadi, bukannya melewatkan usaha, lalu berdiam diri dan menganggap hal itu sebagai sikap tawakal.

Lantas, apakah bertawakal selalu dilakukan belakangan? Apa sebenarnya arti tawakal jika dimaknai secara harfiah?

Apa kamu penasaran? Hasana.id akan membantumu memahaminya. Jadi, tetaplah ingin tahu dan jangan lewatkan apa pun, ya!

Pengertian Tawakal dan Contohnya

Secara etimologis, tawakal artinya adalah memasrahkan diri pada ketetapan Allah Swt. dan memercayakan apa yang terjadi kepada-Nya.

Bertawakal merupakan sebuah sikap yang sulit dilakukan oleh seorang muslim jika ia tak percaya pada kekuatan besar yang bekerja di balik kehidupan ini.

Dalam meyakini takdir akan rezeki, tawakal termasuk memahami bahwa tiap manusia memiliki hitungan rezekinya masing-masing.

Tak akan wafat dirinya jika rezeki tersebut belum ia terima seluruhnya.

Seiring dengan pemahaman tersebut, tawakal juga berarti berupaya dengan seluruh kemampuan untuk mencari rupiah demi rupiah dari rezeki yang halal dan baik yang sudah ditetapkan.

Garis bawahi kata halal dan baik karena seseorang tak bisa dikatakan bertawakal jika ia berupaya mendapatkan “rezeki” dengan cara menyelisihi syariat.

Ketika sudah mengerahkan segenap upaya yang halal dan baik inilah, kemudian seorang muslim wajib menyerahkan hasilnya pada Allah Swt. semata.

Baik sesuai harapan maupun tidak, porsi yang diterima sudah tepat dengan ketetapan-Nya. Pasrahkan saja berapa pun yang didapat karena Ia Maha Mengetahui kebutuhan hamba-Nya.

Nah, bersikap dalam mencari rezeki seperti disebutkan di atas adalah sekelumit contoh tawakal yang wajib dilakukan seorang hamba.

Tentunya, kamu wajib mengaplikasikan sikap tawakal ini dalam segala aspek kehidupan.

Apakah Tawakal Selalu Dilakukan Setelah Usaha?

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Hibban r.a. di atas, bertawakal dilakukan setelah “mengikat unta”.

Contoh menyikapi rezeki seperti yang dikemukakan di atas pun mengarah pada sikap tawakal yang datang belakangan. Dengan kata lain, berupaya dahulu, tawakal kemudian.

Namun, hal ini tidak lantas menjadi aturan pakem yang berlaku rata untuk segala urusan karena terdapat sebuah dalil tawakal yang justru menyatakan sebaliknya.

Kamu bisa menyimak Al-Qur’an surah Ali ‘Imran ayat 159 berikut ini.

فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

Faidzaa ‘azamta fatawakkal ‘alallaahi innallaaha yuhibbul-mutawakkiliin.

Artinya:

“Kemudian, apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”

Membulatkan tekad adalah kata lain dari berniat yang tentu saja dilakukan sebelum melakukan upaya apa pun.

Dalam ayat ini, Allah Swt. memberi perintah kepada para hamba-Nya untuk bertawakal bahkan sebelum mereka melakukan apa-apa.

Menariknya, manusia melewati tiga proses dalam mencapai suatu hal, yaitu proses niat, pelaksanaan, serta hasil.

Sesuai ayat dalam surah Ali ‘Imran di atas dan sabda Rasulullah saw. sebelumnya, tawakal wajib dilakukan setelah proses niat.

Jika demikian halnya, tentu tidak aneh juga apabila dikatakan bahwa tawakal wajib pula dilakukan setelah hasil didapat.

Dengan kata lain, sikap tawakal wajib hadir pada akhir masing-masing proses. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan “memasrahkan segalanya kepada Allah”.

Sederhananya, pasrahkan niatmu, upayamu, serta hasilmu kepada-Nya.

Manfaat Tawakal

Segala sesuatu yang diperintahkan oleh-Nya pasti mengandung kebaikan bagi pelakunya.

Baik perintah yang mudah dilakukan maupun yang sulit, kebermanfaatannya akan kembali kepada siapa pun yang menaatinya. Begitu pun dengan bertawakal pada Allah Swt.

Manfaat apa saja yang akan kamu dapatkan dari memasrahkan segala sesuatu kepada-Nya?

Mendapatkan Perlindungan dan Anugerah

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَإِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Wa may yatawakkal ‘alallaahi fa-innallaaha ‘aziizun hakiim.

Artinya:

“Barang siapa yang bertawakal kepada Allah maka sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Surah al-Anfal: 49)

Di dalam Al-Qur’an, banyak terdapat kalimat terbuka dengan klausa jika-maka, tetapi tidak menunjukkan keterkaitan antara fragmen pembuka dengan penutupnya.

Dengan kalimat-kalimat terbuka tersebut, yang membaca seakan diminta untuk berpikir akan makna yang tersisip di dalamnya. Contohnya adalah ayat 49 surah Al-Anfal ini.

Kalam Allah Swt. di atas bukan ingin menunjukkan bahwa keperkasaan dan kebijaksanaan-Nya disebabkan adanya hamba yang tawakal.

Tanpa bertawakalnya hamba pun, Allah sudah Mahaperkasa dan Mahabijaksana.

Ayat di atas justru berarti bahwa Allah Swt. akan menunjukkan bukti keperkasaan dan kebijaksanaan-Nya kepada hamba yang bertawakal.

Bentuknya adalah dengan memberikan perlindungan, menjanjikan pertolongan, serta menganugerahkan nikmat.

Mendapatkan Kebaikan Dunia serta Akhirat

وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي اللهِ مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَلأَجْرُ الآخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

(41) Walladziina haajaruu fillaahi mim ba’di maa zhulimuu lanubawwi-annahum fid-dun-yaa hasanah, wala-ajrul aakhirati akbar. Lau kaanuu ya’lamuun. (42) Al-ladziina shabaruu wa ‘alaa rabbihim yatawakkaluun.

Artinya:

“(41) Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui,

(42) (yaitu) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Allah saja mereka bertawakal.” (Surah An-Nahl: 41–42)

Ayat di atas berisi penghiburan bagi orang-orang yang berhijrah karena Allah Swt. dengan didahului tindak aniaya yang mereka terima.

Jika peristiwa tersebut disikapi dengan sabar dan tawakal kepada-Nya, pahala yang besar berupa “tempat yang bagus” di dunia akan didapat.

Allah Swt. tak pernah menggunakan diksi yang berlebihan dalam menyifati segala sesuatu. Namun, tak ada yang mengecilkan makna di balik pemilihan kata tersebut.

Jika kata sifat “bagus” datang dari Sang Pencipta untuk menggambarkan sebuah tempat, kamu pasti justru berpikir tempat tersebut tidak sekadar bagus, tetapi luar biasa, bukan?

Jadi, yang akan didapat oleh orang-orang yang bersabar dan bertawakal bisa dimaknai sebagai penghidupan yang luar biasa di dunia.

Kamu bisa memaknainya dengan tempat tinggal yang amat nyaman, yang dapat dinikmati dengan ketenteraman dan ketenangan.

Tidak berhenti sampai di situ, Allah Swt. bahkan menambahkan dengan “sesungguhnya pahala di akhirat lebih besar.”

Artinya, tak berlebihan jika kamu menganggap bahwa kenikmatan hidup di dunia yang telah disebutkan di atas tak ada apa-apanya dibandingkan dengan pahala yang akan didapat di akhirat

Kesemuanya itu merupakan balasan atas sikap sabar dan tawakal kepada Allah Swt.

Merasakan Hidup yang Cukup

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

Wa may yatawakkal ‘alallaahi fa huwa hasbuh.

Artinya:

“Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya.” (Surah Ath-Thalaq: 3)

Allah Swt. akan mencukupkan kebutuhan orang-orang yang bertawakal dengan cara-cara yang diketahui oleh-Nya saja, baik keperluan bagi diri maupun jiwanya.

Bisa jadi, Sang Maha Pemberi akan menambah karunia-Nya sehingga mereka tidak kekurangan, atau dapat juga berarti dihadirkan-Nya perasaan cukup dalam hati para hamba.

Tak peduli berapa pun yang mereka terima dari-Nya, semua baik adanya.

Tanpa memandang banyaknya harta yang dimiliki seorang muslim, tawakal akan menjadikannya hidup dengan perasaan tenang.

Ciri-Ciri Orang yang Bertawakal

Setelah mengetahui manfaat luar biasa dari sikap tawakal, sekarang waktunya bagimu untuk memasukkan diri ke dalam golongan orang-orang yang bertawakal.

Caranya adalah dengan senantiasa melekatkan ciri-ciri mereka pada dirimu.

Kitab Risalatul Mu’awanah wal Mudhaharah wal Muwazarah karangan Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad menuliskan tiga ciri-ciri orang yang bertawakal berikut ini.

Berharap dan Takut Hanya kepada Allah Swt.

Orang-orang yang bertawakal hanya menggantungkan harapan kepada Allah Swt. dan tak ada yang ditakutinya selain murka-Nya.

Oleh karena itu, mereka hampir-hampir tak pernah kecewa atas apa yang diperbuat sesama hamba.

Mereka berani pula menyelisihi siapa saja yang bertentangan dengan ajaran agama karena rasa takutnya hanya ditujukan kepada Sang Pencipta.

Sejatinya, setiap kali seorang hamba menegakkan shalat, ia tengah berupaya menjadi seseorang yang bertawakal.

Diakuinya bahwa hanya Allah Swt. saja yang ia sembah dan tempatnya meminta pertolongan.

Mengapa bisa demikian? Hal ini karena dibacanya ayat kelima surah Al-Fatihah.

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ

Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin.

Artinya:

“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.”

Dengan kata lain, di balik ayat yang kamu baca minimal 17 kali dalam sehari ini, ada Allah Swt. yang berkehendak menjadikanmu selangkah lebih dekat pada sikap tawakal.

Karena itu, benarlah mereka yang berkata bahwa shalat ternikmat adalah yang ditegakkan karena rasa butuh, bukan tersebab beban kewajiban, meski taat mengerjakannya adalah keharusan.

Tidak Pernah Mempermasalahkan Rezeki

Bersinambung dengan subbab manfaat di atas, ciri kedua orang yang bertawakal adalah tak pernah gelisah terkait rezeki bagi dirinya dan bagi siapa saja yang berada dalam tanggungannya.

Hal ini karena ia yakin bahwa Allah Swt. telah menjamin semuanya.

Dapat pula dikatakan sebaliknya: karena ia bersikap tawakal maka Allah Swt. hadirkan perasaan cukup kepadanya sehingga tak pernah sekali pun ia menggelisahkan rezeki.

Jika bekerja atau mengupayakan suatu hal, hasil yang didapat selalu terasa memadai. Apabila tertutup untuknya satu pintu rezeki, ia yakin akan terbuka jalan-jalan lain.

Begitu pun jika ia diamanahi kelebihan harta, tak pernah khawatir dirinya akan bangkrut sehingga tak ada sikap berlebih-lebihan dalam menjaga miliknya.

Bahkan, ia justru bersikap dermawan karena sadar bahwa dalam kepemilikannya terdapat hak orang lain.

Meyakini Takdir Allah Swt.

قُل لَّن يُصِيبَنَآ إِلَّا مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَىٰنَا وَعَلَى ٱللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ ٱلْمُؤْمِنُونَ

Qul lay yushiibanaa illaa maa kataballaahu lanaa, huwa maulaanaa wa ‘alallaahi falyatawakkalil-mu’minuụn.

Artinya:

“Katakanlah, ‘Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal’.” (Surah At-Taubah: 51)

Segalanya terjadi karena sebuah alasan, yaitu ketetapan Allah Swt. Orang-orang yang bertawakal meyakini hal tersebut tanpa banyak bertanya mengapa ini dan itu menimpanya.

Pembawaan mereka tenang dalam menjalani apa pun tersebab ridha pada qadar-Nya.

Peristiwa baik yang menimpanya pun disikapinya dengan tenang dan tak berlebihan.

Tak akan ia menganggap bahwa hal itu terjadi semata karena kemampuannya dan tak ada campur tangan Allah Swt.

Mari Belajar dari Ibunda Nabi Musa a.s.

وَأَوْحَيْنَآ إِلَىٰٓ أُمِّ مُوسَىٰٓ أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِى ٱلْيَمِّ وَلَا تَخَافِى وَلَا تَحْزَنِىٓ إِنَّا رَآدُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ ٱلْمُرْسَلِينَ

فَٱلْتَقَطَهُۥٓ ءَالُ فِرْعَوْنَ لِيَكُونَ لَهُمْ عَدُوًّا وَحَزَنًا إِنَّ فِرْعَوْنَ وَهَٰمَٰنَ وَجُنُودَهُمَا كَانُوا۟ خَٰطِـِٔينَ

وَقَالَتِ ٱمْرَأَتُ فِرْعَوْنَ قُرَّتُ عَيْنٍ لِّى وَلَكَ لَا تَقْتُلُوهُ عَسَىٰٓ أَن يَنفَعَنَآ أَوْ نَتَّخِذَهُۥ وَلَدًا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ

وَأَصْبَحَ فُؤَادُ أُمِّ مُوسَىٰ فَٰرِغًا إِن كَادَتْ لَتُبْدِى بِهِۦ لَوْلَآ أَن رَّبَطْنَا عَلَىٰ قَلْبِهَا لِتَكُونَ مِنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ

وَقَالَتْ لِأُخْتِهِۦ قُصِّيهِ فَبَصُرَتْ بِهِۦ عَن جُنُبٍ وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ

وَحَرَّمْنَا عَلَيْهِ ٱلْمَرَاضِعَ مِن قَبْلُ فَقَالَتْ هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَىٰٓ أَهْلِ بَيْتٍ يَكْفُلُونَهُۥ لَكُمْ وَهُمْ لَهُۥ نَٰصِحُونَ

فَرَدَدْنَٰهُ إِلَىٰٓ أُمِّهِۦ كَىْ تَقَرَّ عَيْنُهَا وَلَا تَحْزَنَ وَلِتَعْلَمَ أَنَّ وَعْدَ ٱللَّهِ حَقٌّ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

(7) Wa auḥainaa ilaa ummi muusaa an ardhi’iih, fa idzaa khifti ‘alaihi fa alqiihi fil-yammi wa laa takhaafii wa laa taḥzanii, innaa raadduuhu ilaiki wa jaa’iluuhu minal-mursaliin.

(8) Faltaqathahuu aalu fir’auna liyakuuna lahum ‘aduwwaw wa ḥazanaa, inna fir’auna wa haamaana wa junuudahumaa kaanuu khaathi`iin.

(9) Wa qaalatimra`atu fir’auna qurratu ‘ainil lii wa lak, laa taqtuluuhu ‘asaa ay yanfa’anaa au nattakhidzahuu waladaw wa hum laa yasy’uruun.

(10) Wa ashbaḥa fu`aadu ummi muusaa faarighaa, ing kaadat latubdii bihii lau laa ar rabathnaa ‘alaa qalbihaa litakuuna minal-mu`miniin.

(11) Wa qaalat li`ukhtihii qushshiih, fa bashurat bihii ‘an junubiw wa hum laa yasy’uruun.

(12) Wa ḥarramnaa ‘alaihil-maraadhi’a ming qablu fa qaalat hal adullukum ‘alaa ahli baitiy yakfuluunahuu lakum wa hum lahuu naashiḥuun.

(13) Fa radadnaahu ilaa ummihii kai taqarra ‘ainuhaa wa laa taḥzana wa lita’lama anna wa’dallaahi ḥaqquw wa laakinna aktsarahum laa ya’lamuun.

Artinya:

(7) “Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa, ‘Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul’.”

(8) “Maka dipungutlah ia oleh keluarga Firaun yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya, Firaun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah.”

(9) “Dan berkatalah istri Firaun, ‘(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfaat kepada kita atau kita ambil ia menjadi anak’, sedang mereka tiada menyadari.

(10) “Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa. Sesungguhnya, hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa seandainya tidak Kami teguhkan hatinya supaya ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji Allah).”

(11) “Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan, ‘Ikutilah dia’. Maka, kelihatanlah olehnya Musa dari jauh, sedang mereka tidak mengetahuinya.”

(12) “dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui(nya) sebelum itu, maka berkatalah saudara Musa, ‘Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu ahlul bait yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?’.”

(13) “Maka kami kembalikan Musa kepada ibunya supaya senang hatinya dan tidak berduka cita dan supaya ia mengetahui bahwa janji Allah itu adalah benar, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.”

Bertawakal Versi Ibunda Musa a.s.

Dari kisah tentang peristiwa yang dialami ibunda Nabi Musa a.s. merupakan contoh bagaimana aplikasi tawakal dalam segala urusan itu seharusnya.

Ayat-ayat yang menceritakan penggalan awal-awal kehidupan sang nabi tertuang dalam surah Al-Qashash sepanjang ayat 7 hingga 13 seperti yang tertera di atas.

Al-Hafidz Abi al-Fida’ Isma’il bin Umar bin Katsir (Ibnu Katsir) menuliskan tafsirnya dalam kitab Qoshos al-Anbiya’.

Nabi Musa a.s. bayi dan bayi-bayi laki-laki lain di Mesir kala itu terpaksa tak mendapatkan apa yang selayaknya mereka peroleh, yaitu kasih sayang ibu.

Hal ini karena pada masa itu, Firaun menurunkan titah untuk membunuh semua bayi lelaki yang baru lahir.

Ia ketakutan akan api yang menyala-nyala dalam mimpinya, yang bergerak dari arah Baitul Maqdis (Palestina) dan pada akhirnya membakar seluruh Mesir.

Mimpi itu oleh bawahan Firaun ditafsir sebagai kehancuran sang raja di tangan seorang anak laki-laki.

Firaun percaya begitu saja dan langsung memerintahkan hal kejam itu. Dilepasnya para tentara untuk menyisir seantero Mesir dan membunuh seluruh bayi lelaki yang baru lahir.

Ia beranggapan bahwa dengan begitu, kejatuhannya di masa depan tak akan terjadi.

Mengapa ia bisa begitu konyol? Bukankah ia adalah seseorang yang menganggap dirinya semulia Tuhan yang dapat “menghidupkan serta mematikan”?

Mengapa ia bisa percaya pada mimpi belaka yang meramalkan kehancurannya?

Ibnu Katsir melanjutkan yang terjadi setelah titah kejam itu turun.

Ibunda Nabi Musa a.s. yang baru saja melahirkan bayi laki-laki seketika khawatir dan ketakutan. Bayinya tak akan luput dari pencarian Firaun dan kroninya.

Ketika rasa khawatir dan takut begitu menyelimuti dirinya, datang wahyu dari Allah Swt. untuk melarungkan bayinya dalam peti pada waktu malam ke Sungai Nil.

Ia tak tahu apakah ini pilihan yang lebih baik. Namun, Allah Yang Mahakuasa menguatkan hatinya dan berjanji akan mengembalikan sang buah hati dalam peluknya.

Allah Menepati Janji-Nya

Setelah sang ibunda melarungkan bayinya ke sungai, ia meminta anak perempuannya, Maryam, untuk mengikuti peti tersebut.

Kakak kandung Nabi Musa a.s. itu pun menuruti permintaan ibunya untuk terus mengawasi arah pergerakan peti hingga sampai ke tangan orang-orang di istana Firaun keesokan harinya.

Mereka menghadapkan penemuan tersebut ke depan Firaun. Begitu peti itu ia buka, tampak di hadapannya seorang bayi laki-laki mungil.

Atas kehendak Allah Swt., dijadikan rupa sang nabi bayi begitu menyejukkan mata siapa saja yang melihat beliau.

Mengingat titah kejam sang raja yang masih berlaku pada saat itu, orang-orang pegawai istana pun hendak membunuh Nabi Musa a.s. yang tak memiliki daya apa pun sebagai bayi kecil.

Akan tetapi, istri Firaun, Asiyah binti Muzahim, justru cepat-cepat menawarkan sebuah gagasan untuk mengambil bayi tersebut menjadi anak sebagai tindak pencegahan pembunuhan.

Tersihir akan kerupawanan Nabi Musa a.s. bayi, Firaun pun menyetujui usulan istrinya.

Setelah diangkatnya Nabi Musa a.s. sebagai anak pasangan pimpinan Mesir tersebut, ada suatu keanehan yang terjadi.

Beliau menolak menyusu pada wanita-wanita yang biasa bekerja sebagai ibu susu di istana.

Maryam sang kakak, yang diminta ibundanya untuk mengikuti dan mencari-cari kabar akan adik lelakinya, mendengar permasalahan tersebut.

Tanpa berpikir lama, ia pun memasuki istana dan menawarkan jasa seseorang yang bisa dipakai untuk menyusui sang bayi.

Setelah disetujui, Maryam kemudian membawa ibundanya sebagai orang yang ia maksud tadi.

Berlakulah ketetapan Allah Swt. yang mempertemukan sepasang ibu dan bayi itu serta tepatlah janji-Nya.

Penutup

Percaya penuh pada apa yang sudah ditetapkan oleh Allah Swt. adalah hal nomor satu yang dapat diambil dari kisah ibunda Nabi Musa a.s.

Kesulitan yang menimpa dirinya sungguh berada di luar wilayah daya dan upayanya, maka ia kembalikan seluruhnya pada Yang Maha Berdaya.

Itulah maksud tawakal dan begitu seharusnya seluruh hamba bersikap.

Namun, karena Rasulullah saw. sudah tak lagi menapaki bumi yang sama dengan umat Islam kini, wahyu pun berhenti turun.

Tiada lagi yang dapat menerima petunjuk dari Allah Swt. secara langsung sebagaimana yang berlaku pada ibunda Nabi Musa a.s. ketika kesulitan mengimpit dari segala arah.

Meski demikian, Rasulullah saw. menutup kisah para nabi bukannya tanpa meninggalkan apa-apa.

Ada Al-Qur’an dan sunah beliau yang dapat dijadikan pegangan serta menjadi jawaban bagi semua persoalan.

Semoga artikel ini membantumu memahami makna tawakal serta belajar menerapkannya dalam seluruh aspek kehidupan.

Baik saat kesulitan datang mengimpit maupun saat kegembiraan melambungkan jiwa yang seharusnya tetap merendah, sikap tawakal harus tetap melekat.

Sumber:

https://islam.nu.or.id/post/read/81639/tawakal-dan-tiga-hikmahnya

https://islam.nu.or.id/post/read/83779/tiga-tanda-orang-bertawakal-menurut-sayyid-abdullah-al-haddad

https://nuonlinemojokerto.or.id/2020/10/19/belajar-tawakal-dari-ibu-nabi-musa-as/