Mengenal Lebih Jauh tentang Riya dalam Islam

Riya. Sering sekali kita mendengar kata ini. Baik diucapkan secara lisan maupun dalam tulisan. Agama Islam mengenalnya sebagai salah satu sifat yang merusak amal ibadah. Oleh karenanya, kita sepatutnya menghindarkan diri dari sifat tersebut.

Apakah pengertian riya? Bagaimana ciri-cirinya? Bagaimana cara menjauhkan diri darinya? Hal itu akan segera kamu ketahui. Pada kesempatan kali ini, Hasana.id akan mencoba mengulasnya lebih jauh. Melansir dari berbagai sumber tepercaya, silakan menyimak pembahasan berikut.

Ayat di dalam Al-Qur’an tentang Riya

Al-Qur’an merupakan salah satu sumber utama dalam memahami ajaran Islam. Alangkah baiknya jika memulai pembahasan kali ini dengan mengutip keterangan dari Al-Qur’an. Sedikitnya terdapat lima ayat yang menguraikan tentang dalil riya, berikut di antaranya.

Al-Baqarah ayat 264

Ayat berikut mengungkapkan bahwa seseorang harusnya bersedekah dengan ikhlas, tanpa pamrih apa pun. Jika dia sampai mengungkit-ungkit pemberiannya, apalagi mencela penerimanya, maka Allah akan menghapus pahala sedekahnya.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تُبْطِلُوا۟ صَدَقَٰتِكُم بِٱلْمَنِّ وَٱلْأَذَىٰ كَٱلَّذِى يُنفِقُ مَالَهُۥ رِئَآءَ ٱلنَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۖ فَمَثَلُهُۥ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُۥ وَابِلٌ فَتَرَكَهُۥ صَلْدًا ۖ لَّا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَىْءٍ مِّمَّا كَسَبُوا۟ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْكَٰفِرِينَ

Yā ayyuhallażīna āmanụ lā tubṭilụ ṣadaqātikum bil-manni wal-ażā kallażī yunfiqu mālahụ ri`ā`an-nāsi wa lā yu`minu billāhi wal-yaumil-ākhir, fa maṡaluhụ kamaṡali ṣafwānin ‘alaihi turābun fa aṣābahụ wābilun fa tarakahụ ṣaldā, lā yaqdirụna ‘alā syai`im mimmā kasabụ, wallāhu lā yahdil-qaumal-kāfirīn

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”

Allah memberi perumpamaan batu licin tertutup tanah yang bersih karena terkena hujan lebat.

Maknanya, perbuatan yang dilandasi riya tidak akan menghasilkan apa-apa. Bukan hanya pahala, Allah tidak akan memberi petunjuk bagi siapa saja yang mengotori kemurnian niatnya dalam beribadah.

Surat An-Nisa ayat 38

Dalil riya berikut ini menerangkan bahwa bisa menandakan keimanan yang rendah, khususnya kepada Allah dan hari kemudian. Sikap pamer semacam ini kemungkinan muncul karena seseorang tidak percaya adanya pembalasan akibat segala perbuatannya.

وَٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَٰلَهُمْ رِئَآءَ ٱلنَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَلَا بِٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۗ وَمَن يَكُنِ ٱلشَّيْطَٰنُ لَهُۥ قَرِينًا فَسَآءَ قَرِينًا

Wallażīna yunfiqụna amwālahum ri`ā`an-nāsi wa lā yu`minụna billāhi wa lā bil-yaumil-ākhir, wa may yakunisy-syaiṭānu lahụ qarīnan fa sā`a qarīnā

Artinya:

“Dan (juga) orang-orang yang menafkahkan harta-harta mereka karena riya kepada manusia, dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian. Barangsiapa yang mengambil syaitan itu menjadi temannya, maka syaitan itu adalah teman yang seburuk-buruknya.”

Ayat di atas menerangkan bahwa sikap itu adalah bukti dari godaan setan. Jika seseorang menurutinya, berarti dia telah berteman dengan setan. Padahal seperti kita tahu, setan telah bersumpah untuk selalu merayu dan menjerumuskan manusia pada siksa neraka.

Surat An-Nisa ayat 142

Ada hubungan antara ria dengan munafik. Keduanya sama-sama memperlihatkan kebaikan dan menyembunyikan keburukan. Malas salat, tetapi tetap mengerjakannya karena ingin orang lain memandangnya saleh. Jadi, bisa dikatakan pula bahwa Allah bukanlah tujuan ibadahnya.

إِنَّ ٱلْمُنَٰفِقِينَ يُخَٰدِعُونَ ٱللَّهَ وَهُوَ خَٰدِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوٓا۟ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ قَامُوا۟ كُسَالَىٰ يُرَآءُونَ ٱلنَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا

Innal-munāfiqīna yukhādi’ụnallāha wa huwa khādi’ụhum, wa iżā qāmū ilaṣ-ṣalāti qāmụ kusālā yurā`ụnan-nāsa wa lā yażkurụnallāha illā qalīlā

Artinya:

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.”

Allah menilai perbuatan tersebut sebagai penipuan, sementara si pelaku tidak menyadari bahwa Allah Maha Tahu, sehingga otomatis telah mengetahui tipuan tersebut. Janji Allah, Dia akan membalas tipu daya tersebut di hari kemudian.

Surat Al-Anfal ayat 47

Menurut Ibnu Abbas, Surat Al-Anfal berkenaan dengan Perang Badar pada tahun kedua hijriyah. Perang Badar melibatkan kaum musyrik Mekkah melawan muslim Madinah di bawah Rasulullah. Berakhir dengan kemenangan di tangan pasukan muslim.

وَلَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّذِينَ خَرَجُوا۟ مِن دِيَٰرِهِم بَطَرًا وَرِئَآءَ ٱلنَّاسِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ ۚ وَٱللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ

Wa lā takụnụ kallażīna kharajụ min diyārihim baṭaraw wa ri`ā`an-nāsi wa yaṣuddụna ‘an sabīlillāh, wallāhu bimā ya’malụna muḥīṭ

Artinya:

“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya’ kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan.”

Ayat di atas menerangkan bagaimana kaum musyrik keluar dari kota mereka menuju medan perang. Allah Maha Mengetahui dengan ilmu-Nya bahwa mereka berjalan untuk memerangi Rasulullah sambil menyombongkan diri dan memamerkan kekuatannya.

Surat Al-Maun ayat 6

Surat Al-Maun menerangkan tentang golongan-golongan manusia yang termasuk mendustakan agama. Di antara lima golongan yang tercantum, salah satunya adalah mereka yang berbuat ria. Mereka ini salat tetapi lalai dalam salatnya, menjalankan salat tapi berniat pamer.

ٱلَّذِينَ هُمْ يُرَآءُونَ

Allażīna hum yurā`ụn

Artinya:

“Orang-orang yang berbuat riya.”

Sikap yang sama juga dapat ditampakkan ketika orang tersebut memberikan sesuatu. Dia pada dasarnya pelit, sehingga sulit untuk meminjamkan atau memberikan sesuatu kepada orang lain, apalagi sesuatu yang menurutnya berharga.

Sudah jelas beberapa dalil riya yang tergambarkan dalam Al-Qur’an tentang bagaimana Allah Swt. memosisikan perilaku macam ini. Berikutnya, akan lebih baik pula jika kita melengkapi pemahaman ini dengan ilmu. Ada beberapa uraian menarik tentang pengertian ria dan pendapat para ulama.

Pengertian Riya

Tapi, sebelum itu mari kita selipkan pembahasan tentang pengertian riya secara bahasa. Riya berasal dari kata ru’yah dalam bahasa Arab, artinya adalah melihat. Bahasa Indonesia menuliskan istilah riya dengan ria, yang berarti sombong, congkak, atau bangga karena telah berbuat baik.

Rumusan pengertian lainnya, riya merupakan lawan kata dari ikhlas. Ikhlas berarti mengerjakan sesuatu tanpa ada pamrih sedikit pun. Perbuatan yang ikhlas dilakukan tanpa mengharap perhatian dari orang lain. Tujuan satu-satunya adalah demi mendapatkan rida Allah Swt.

Namun sebaliknya, riya artinya melakukan perbuatan agar orang lain memberikan penilaian positif kepada orang yang melakukannya, bukan atas perbuatan itu sendiri. Artinya, ada pamrih yang ditujukan saat seseorang berbuat sesuatu.

Pendapat Ulama tentang Riya

Jika sedang berada di keramaian, tentu secara otomatis perbuatan kita akan dilihat oleh orang lain. Tapi, dalam riya yang diharapkan selanjutnya adalah pujian, sanjungan, atau setidaknya pandangan dan penilaian orang lain bahwa si pelaku adalah orang yang baik.

Sikap tersebut dapat mengotori niat. Tentu saja hal ini kurang baik, karena akan mengurangi nilai dari segala sesuatu yang dilakukan. Lebih buruk, riya juga dapat menghalangi seseorang berbuat kebajikan.

Riya versi Imam Al-Ghazali

Menurut Imam Al-Ghazali, beliau merumuskan pengertian riya sebagai amal yang dilakukan untuk disaksikan orang lain agar mendapatkan kedudukan dan popularitas. Sikap semacam ini bisa berlaku dalam ritual peribadatan dan aktivitas hidup lainnya.

Imam Al-Ghazali dalam beberapa kitabnya mendefinisikan pengertian secara berbeda. Namun, dapat diambil kesimpulan bahwa sifat ini berarti memperlihatkan kebaikan, pangkat, kedudukan di hati manusia menggunakan amal dan perbuatan, baik ibadah maupun bukan ibadah.

Riya versi Syekh Abu Ja’far

Hampir senada dengan pendapat di atas, al-Muhasibi menukil pemikiran Syekh Abu Ja’far. Beliau menerangkan bahwa riya adalah suatu penyakit hati yang bisa menyerang setiap orang yang beramal dan beribadah.

Seperti juga telah disinggung sebelumnya, Syekh Abu Ja’far menilai penyakit yang satu ini dapat merusak, bahkan menghancurkan nilai ibadah. Segala perbuatan baik akan menjadi tidak berharga dan sia-sia, karena Allah tidak akan memberikan ganjaran.

Seseorang dengan sifat riya umumnya hanya akan terdorong melakukan kebaikan apabila perbuatannya itu disaksikan oleh pihak lain. Tapi, jika dirinya sedang dalam posisi sendirian, kemungkinan besar akan merasa berat untuk melakukannya.

Riya versi Syekh Abdul Qadir Jaelani

Syekh Abdul Qadir Jaelani juga merumuskan beberapa poin mengenai konsep yang sama di dalam diri seseorang, di antaranya:

  • Berpakaian bersih tetapi hatinya kotor.
  • Seringkali menjauhi hal-hal yang sebenarnya diperbolehkan, serta malas berusaha.
  • Suka mencari makan dengan cara berutang.
  • Gemar memakan sesuatu yang jelas haram.
  • Pandai menyembunyikan keburukannya.
  • Terlihat saleh, padahal tidak.

Menurut beliau, si riya memiliki hati yang rusak. Dia taat kepada Allah, tetapi hanya sekadar untuk memenuhi formalitas semata, bukan diniatkan dari hati nurani. Bahkan mungkin dia berpenampilan seperti muslim yang saleh, padahal hatinya kafir.

Jika seseorang sudah berlaku seperti itu, Syekh Abdul Qadir Jaelani menilai bahwa hati orang itu telah menjadi tempat tinggal setan. Dia sebenarnya bukan taat kepada Allah, melainkan tunduk pada hawa nafsunya sendiri.

Riya Menyerupai Syirik

Hadis Riwayat Imam Ahmad pernah menyampaikan sabda Nabi Muhammad saw. tentang perbuatan ini. Beliau mengatakan ketakutannya terhadap suatu sifat yang bisa menimpa seseorang, yaitu syirik kecil. Syirik kecil yang beliau maksud di sini adalah ria.

Ria disebut syirik kecil karena si pelaku menyekutukan Allah dengan kemauannya sendiri saat berbuat sesuatu. Jadi, tidak ada niat yang tulus ikhlas, atau mengharap rida Allah Swt. ketika dirinya melakukan perbuatan baik. Hanya demi memiliki pencitraan yang baik di mata manusia.

Kalau Rasulullah menyebutnya syirik kecil, Imam Al-Ghazali mengistilahkannya sebagai syirik tersembunyi. Disebut tersembunyi karena gejalanya muncul dalam hati, tidak tampak secara kasat mata. Ini adalah sebuah sifat ter cela yang berbahaya bagi siapa pun yang melakukannya.

Mirip seperti yang disampaikan oleh KH. Luqman Hakim, Pengasuh Pondok Pesantren Raudhatul Muhibbin, Bogor. Beliau menerangkan bahwa ria bukan sebagai salah satu bentuk syirik yang bersifat samar.

Syirik samar terjadi jika seseorang berbuat baik karena disorot publik. Lebih jauh, perbuatan itu dilakukan untuk mengharapkan status. Apabila berlaku dalam ibadah, aktivitas tersebut hanya bertujuan agar memperoleh keuntungan di dunia.

Masih menurut KH. Luqman Hakim, syirik samar bisa terjadi karena seseorang menggantungkan keputusan hidupnya kepada pada alam dan manusia lain. Mereka memandang bahwa alam dan manusia lain bisa memberi, mencegah, membahayakan, atau menguntungkan dirinya.

Bahaya Sifat Riya

Kamu tentu sudah mengetahui bagaimana hukumnya perbuatan syirik dalam Islam. Syirik termasuk dosa besar, orang yang melakukannya memiliki kemungkinan sangat kecil untuk mendapatkan ampunan dari Allah Swt.

Meski ria tergolong syirik yang kadarnya rendah, bukan berarti boleh dibiarkan saja. Kebiasaan buruk semacam ini wajib dihilangkan dari dalam hati siapa saja. Berikut bahaya yang bisa ditimbulkan olehnya:

  • Menghilangkan nilai amal atau ibadahnya menjadi sia-sia.
  • Menjerumuskan kepada syirik, meski tingkatnya rendah.
  • Tidak ada niat tulus ikhlas dalam perbuatan, sehingga menyusahkan karena harus memikirkan respon dari orang lain.
  • Menyengsarakan, karena mengakibatkan berbagai macam kesempitan dalam hidup.
  • Hubungan sesama manusia tidak terjalin sewajarnya.
  • Memunculkan berbagai jenis penyakit hati, mulai dari tinggi hati, sombong, hingga munafik.
  • Penyakit hati akan menjadi racun yang dapat merusak segala kemurnian.
  • Ada azab yang tersedia bagi mereka yang suka melakukannya.

Tujuh poin di atas sudah cukup menggambarkan betapa bahayanya perbuatan tidak ikhlas yang diiringi niat pamer. Maka dari itu, kita diperintahkan untuk menjauhinya supaya kita dapat hidup lebih tenang.

Ciri-Ciri Orang Riya

Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa riya adalah niat terselubung untuk memperlihatkan atau memamerkan perbuatan baik kepada orang lain, karena mengharapkan sesuatu yang sia-sia, seperti pujian, sanjungan, atau popularitas, bukan rida Allah Swt.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin, mengutip pendapat Sayyidina Ali bin Abi Thalib mengenai ciri-ciri orang ria. Ciri yang dimaksud, antara lain:

  • Pertama, dia malas ketika sendirian.
  • Kedua, rajin saat berada di antara banyak orang.
  • Ketiga, amalnya meningkat apabila dipuji, tetapi menurun ketika dicaci.

Mirip dengan pendapat tersebut, Al-Muhasibi juga merumuskan tiga tanda-tanda orang ria, di antaranya:

  • Giat jika sedang berada di tengah orang banyak.
  • Jika sendirian, malas mengerjakannya.
  • Ingin mendapatkan pujian dalam segala tindakan.

Namun, sedikit berbeda dengan dua rumusan di atas, buku terjemahan Menggapai Ridha Ilahi karya asli Sayyid Muhammad Nuh menerangkan ciri dan tanda orang riya secara lebih lengkap.

  • Pertama, dia rajin dan melipatgandakan perbuatan atau amal baik jika mendapat pujian. Tapi, sebaliknya dia akan malas, bahkan enggan berbuat baik apabila tidak ada pujian.
  • Kedua, rajin dan akan melipatgandakan perbuatan baik jika berada di tengah orang banyak, tetapi malas ketika sendirian atau jauh dari kerumunan.
  • Ketiga, dia tidak melanggar larangan Tuhan jika sedang ada di tengah kerumunan. Sebaliknya, dia tidak akan melakukannya ketika sedang sendirian.

Memang, pada dasarnya cukup sukar untuk mengetahui apakah seseorang berbuat baik dengan maksud pamer atau tidak. Tapi, kadang kala karakter tersebut dapat tampil dalam wujud fisik yang bisa dilihat oleh siapa saja.

Bentuk dan Contoh Riya

Memperlihatkan kebaikan bisa terwujud dalam berbagai bentuk, contoh riya seperti pada beberapa kasus berikut ini.

  • Dalam berbicara gemar memberikan nasihat-nasihat, meski tidak ada yang menanyakan tentang itu kepadanya.
  • Suka memberi sedekah, tetapi di kemudian hari diceritakan kepada orang lain dengan maksud pamer. Lebih buruk lagi, diiringi dengan merendah-rendahkan si penerima sedekah.
  • Ketika membaca Al-Qur’an mengeraskan suara secara berlebihan, ditambah dengan menunjukkan kemampuannya tilawatil-nya di depan orang lain agar terlihat saleh. Pada kesempatan yang lain, sikap syirik kecil ini juga bisa muncul dalam bentuk memamerkan hafalan-hafalan Al-Qur’an.
  • Ada pula orang yang sengaja membuat titik hitam pada dahinya, karena ingin dicap sebagai orang yang gemar sujud untuk salat.
  • Ketika salat, si ria bersujud dan rukuk dalam waktu lama, supaya terlihat khusyuk.

Berbeda dengan apa yang disampaikan pada Maqashidur Ri’ayah li Huquqillah, Izzuddin bin Abdus Salam memiliki pendapat sendiri mengenai bentuk-bentuk ria dalam beribadah. Beliau mengategorikan bentuk ria sebagaimana tiga kondisi berikut.

  • Sekilas terpikirkan niat untuk ria sebelum beribadah dan kemudian mengerjakannya dengan niat tersebut. Sebaiknya, ibadah ditunda terlebih dulu hingga rasa ini hilang dan berganti ikhlas.
  • Timbul rasa syirik, yaitu ingin beribadah karena berharap rida Allah sekaligus pujian dari orang lain. Anjuran bagi orang yang demikian juga sama seperti yang di atas.
  • Saat beribadah, tiba-tiba muncul rasa ingin memperlihatkan amalan yang dia lakukan kepada orang lain. Dianjurkan untuk segera mengembalikan fokus ke ibadahnya. Namun, jika rasa itu terus muncul, boleh dibiarkan saja. Insyaallah ibadahnya tetap diterima, berdasarkan niat awalnya yang murni.

Tiga kondisi yang diterangkan pada poin di atas bisa terjadi pada setiap orang dan terjadi kapanpun itu. Orang saleh pun bisa terserang gejala yang sama, karena seperti diketahui, setan tidak pernah pandang bulu dalam menggoda manusia.

Cara Menjauhi Sifat Riya

Sebagaimana Allah Swt. selalu menyediakan penawar atas segala racun dan obat untuk berbagai jenis penyakit, terdapat pula beberapa cara untuk menjauhi sifat riya. Mari kita lihat bagaimana langkah-langkah yang dianjurkan.

Mengetahui Penyebabnya

Penyebab riya harus ditemukan terlebih dulu sebelum kita bisa menghilangkannya. Pendapat Al-Sayyid Muhammad Nuh, penyebab ria adalah wawasan yang kurang mengenal Allah Ta’ala. Vulgarnya, bisa berarti bodoh atau memiliki pengetahuan yang kurang memadai.

Selain itu, ketamakan juga bisa menjadi sumber munculnya niat pamer dalam beramal. Dia menginginkan berbagai keuntungan dunia di atas akhirat, sehingga lupa bahwa perbuatan yang dilakukan sebenarnya sia-sia belaka.

Berarti, kita bisa melawan riya dengan menjauhkan diri dari kebodohan. Bagaimana caranya? Tentu saja dengan menuntut ilmu yang bermanfaat, dengan niat awal untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah.

Berusaha Melawan Gejala-gejalanya

Gejala ria bisa diartikan sebagai bisikan-bisikan setan. Cara paling ringkas untuk menghindarinya adalah dengan memastikan niat selalu tulus dan ikhlas demi Allah. Ingatlah pula bahwa tidak ada satu pun yang lebih baik dari rida Allah Ta’ala.

Namun, apabila cara tersebut dinilai terlalu abstrak, ada beberapa kiat lain. Di antaranya meningkatkan dzikir dalam hati, membiasakan diri berbuat baik secara sembunyi-sembunyi, bersyukur, serta tidak gemar membanggakan diri, apalagi memamerkan materi atau prestasi.

Memohon kepada Allah Swt.

Pada dasarnya hanya Allah yang dapat memberi hidayah kepada manusia. Maka dari itu, kita harus senantiasa memohon pertolongan-Nya agar berkenan pula menghilangkan sifat riya dalam hati, meski hanya sedikit demi sedikit.

Rasulullah pernah mengajarkan kepada para sahabat untuk memohon pertolongan Allah dengan cara berdoa. Bacaan doa tersebut diriwayatkan dalam Hadis Riwayat Imam Bukhari. Begini bunyinya.

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ أَعْلَمُ

Allahumma innii a’uudzu bika an usyrika bika wa anaa a’lamu, wa astaghfiruka limaa laa a’lamu

Artinya:

“Yaa Allah, Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari berbuat kesyirikan ketika aku mengetahuinya dan aku memohon ampunan-Mu ketika aku tidak mengetahuinya”. (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad).

Nah, itulah cara-cara yang bisa dilakukan agar diri kita terhindar dari sikap riya. Poin terakhir di atas sekaligus menjadi akhir dari pembahasan Hasana.id tentang sikap tercela yang bisa berubah menjadi syirik ini. Semoga, artikel ini bermanfaat untuk semua yang membacanya.

Referensi:

https://islam.nu.or.id/post/read/65811/riya-dan-penanggulangannya

Click to access 234031145.pdf

Click to access MOHAMMAD%20MUFID%20-%20FUF.pdf

https://sayahafiz.com/index/7/AKHLAQ%20DAN%20ADAB/2877/Riya.html

https://tafsirweb.com/1030-quran-surat-al-baqarah-ayat-264.html

https://tafsirweb.com/1570-quran-surat-an-nisa-ayat-38.html

https://tafsirweb.com/1674-quran-surat-an-nisa-ayat-142.html

https://tafsirweb.com/2913-quran-surat-al-anfal-ayat-47.html

https://www.nu.or.id/post/read/74732/sayyidina-ali-tentang-tiga-tanda-orang-riya

https://www.nu.or.id/post/read/99974/riya-adalah-syirik-samar-ini-tandanya

https://umma.id/article/share/id/1002/616890

https://dalamislam.com/akhlaq/larangan/riya-dalam-islam

Tiga Ciri Orang yang Terjangkit Sifat Riya

Doa Dijauhkan dari Kesyirikan (Sangat Penting Dihapal)

LSI:
riya adalah
pengertian riya
riya artinya
dalil riya
contoh riya