Riba: Pengertian dan Contoh-Contoh Transaksi dengan Indikasi Terkait

Setiap muslim harus berhati-hati dalam melakukan transaksi utang-piutang dan jual-beli, apalagi jika menyangkut emas, perak, dan bahan makanan. Jangan sampai terdapat riba di dalamnya.

Mengapa? Melakukan transaksi yang mengandung riba sifatnya sama dengan mengumumkan perang terhadap Allah Swt.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ * فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ

Yaa ayyuhallaziina aamanuttaqullaaha wa zaru maa baqiya minar-ribaa in kuntum mu’miniin. Fa il lam taf’alu fa’zanu biharbim minallaāhi wa rasulih, wa in tubtum fa lakum ru’usu amwalikum, lā tazlimuna wa lā tuzlamun.

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka, jika tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu.” (Surah Al-Baqarah: 278–279)

Karena dilarang, hukum riba sudah sangat jelas dan tidak perlu diperdebatkan lagi, yaitu haram.

Menjadi pelakunya berarti mendapat dosa dan harus siap memasuki pertempuran yang tidak bisa dimenangkan karena lawannya adalah Yang Mahakuasa dan Sang Pembawa Risalah.

Selain itu, dosa yang akan dipikul pun amat berat, sementara yang paling ringannya saja setara dengan dosa menzinahi ibu kandung sendiri. Naudzubillah.

Karena itu, hal paling cerdas yang bisa dilakukan seorang muslim adalah menghindari segala jenis riba yang bisa saja terdapat dalam sebuah transaksi perniagaan.

Nah, sebelum dapat menghindarinya, ada beberapa hal yang kamu harus ketahui terlebih dahulu, yaitu:

  • maksud riba yang sebenarnya;
  • macam-macam barang ribawi;
  • jenis-jenis praktik riba dalam jual-beli; serta
  • contoh-contoh transaksi yang terindikasi mengandung riba di dalamnya.

Tenang, tak perlu bertanya kepada yang lain jika kamu sudah menemukan artikel ini karena Hasana.id akan memberikan informasi lengkapnya untukmu!

Definisi Riba

Secara etimologis, riba artinya tambahan. Dilihat dari pengertian lain, maknanya adalah “membesar” dan “tumbuh”.

Sementara itu, dari sisi syariat, kata riba ini berarti “pengambilan tambahan dari modal atau harta pokok dengan cara yang tidak benar”.

Macam-Macam Barang Ribawi

Barang ribawi adalah barang yang berisiko menimbulkan akad riba jika pada saat diperjualbelikan terdapat kelebihan dalam salah satu transaksinya.

Yang termasuk di dalamnya adalah bahan makanan serta perak dan emas.

Bahan Makanan

Dalam kitab Fathul Wahab bi Syarhi Manhaji al-Thullab, Syaikh Abu Yahya Zakaria Al-Anshary menulis maksud dari makanan tersebut.

Menurutnya, bahan makanan yang dimaksud adalah bahan yang mayoritas tujuannya untuk dimakan, sekalipun tidak sering dikonsumsi. Buah-buahan menjadi contohnya.

Diriwayatkan dalam sebuah hadits, bahan makanan yang termasuk barang ribawi terbagi menjadi tiga, yakni gandum, kurma, dan garam. Berikut penjelasannya.

  1. Gandum, meliputi sya’ir (gandum putih) dan burr (gandum merah), serta bahan makanan lain yang nilainya setara penganan pokok, seperti jagung, kacang-kacangan, dan beras.
  2. Kurma dianggap mewakili sumber makanan sekunder yang meliputi tafakkuh (camilan), tahalla (manisan), dan taaddum (lauk-pauk).

Oleh karenanya, berlaku penyamaan hukum bagi bahan pangan sejenis, seperti buah tin, tebu, dan anggur.

  1. Garam berfungsi untuk li al-ishlaahi (membaguskan) sehingga jahe-jahean juga termasuk dalam kelompok ketiga ini.

Dari kategori bahan pangan di atas, dapat disimpulkan bahwa semua jenis makanan–bahan pokok, lauk-pauk, serta bumbu–adalah barang ribawi, bahkan jika ditambahkan kerupuk dan air.

Emas dan Perak

Emas dan perak turut dikategorikan dalam barang ribawi karena sifatnya sebagai alat pembayaran yang berlaku pada saat itu. Dengan fungsi yang demikian, kedua barang berharga ini menjadi parameter terhadap nilai barang-barang lain yang diperjualbelikan di pasaran.

Ini berarti seluruh bentuk alat pembayaran dikenakan sifat barang ribawi, termasuk uang tunai yang saat ini menggantikan posisi emas dan perak. Oleh karenanya, kamu juga harus mewaspadai transaksi mata uang dalam kurs.

Bila di kemudian hari, ada barang lain yang digunakan sebagai alat pembayaran yang berlaku menggantikan emas, perak, ataupun uang tunai, hal tersebut secara otomatis masuk dalam kategori barang ribawi pula.

Maka, kamu harus bersiap-siap untuk mempelajari hukum bertransaksi menggunakan mata uang virtual (mata uang elektronik) mulai dari sekarang, sebab pembayaran dengan sistem cashless ini sudah makin marak dan lazim dilakukan.

Jenis-Jenis Praktik Riba dalam Transaksi Jual-Beli

Praktik perniagaan barang ribawi dihukumi halal ketika syarat-syarat sah transaksinya terpenuhi, yaitu sama timbangannya, harus kontan, dan saling menyerahkan.

Jika satu syarat saja gagal ditegakkan, perniagaan yang dilakukan akan terkena pasal riba dan menjadi haram.

Berikut pasal riba yang dapat berlaku.

Riba al-Fadl (Riba Kelebihan)

Konsep riba ini adalah adanya tindakan melebihkan nilai salah satu dari dua barang ribawi yang sejenis dengan sengaja dalam transaksi tukar-menukar barang.

Contoh dari riba al-fadl ini adalah sebagai berikut.

Ibu A mempunyai beras dengan kualitas untuk konsumsi keluarga sebanyak 3 kg, sedangkan Ibu B menyimpan beras yang umum digunakan untuk campuran pakan ternak seberat 4 kg.

Suatu hari, Ibu A membutuhkan beras yang disimpan Ibu B dan begitu juga sebaliknya. Terjadilah transaksi tukar-menukar beras yang dilakukan kedua ibu tersebut.

Ibu A membawa 3 kg beras berkualitas konsumsi keluarga untuk ditukar dengan 4 kg beras level pakan ternak yang disimpan Ibu B.

Tukar-menukar yang demikian termasuk ke dalam transaksi riba karena ada kesengajaan dalam melebihkan takaran atau timbangan salah satu dari dua barang yang dipertukarkan.

Yang membuatnya dihukumi haram adalah tidak dipenuhinya satu syarat sah transaksi barang ribawi, yakni sama timbangannya.

Lantas, adakah cara menghindari riba dalam transaksi di atas? Ada, yaitu Ibu A harus membeli beras yang disimpan Ibu B dengan uang tunai.

Kemudian, dari uang yang didapat, Ibu B juga membeli beras yang dimiliki Ibu A.

Riba al-Yad (Riba Kontan)

Konsep riba al-yad melibatkan penundaan proses serah-terima barang ribawi yang disepakati dalam sebuah transaksi.

Barang ribawi merupakan komoditas yang mengalami fluktuasi harga setiap waktunya, seperti harga emas hari ini yang sangat mungkin berbeda dengan harga pada esok hari.

Karena itulah, penetapan harga barang ribawi yang diniagakan mutlak harus dilakukan pada saat transaksi terjadi. Contohnya adalah sebagai berikut.

Bapak A, seorang pedagang beras, melakukan transaksi barang ribawi dengan Bapak B, seorang pedagang ubi.

Bapak A ingin membeli dagangan milik Bapak B dengan memberlakukan standar 1 kg beras senilai dengan 3 kg ubi.

Standar ini diberlakukan berdasarkan harga kedua komoditas pada saat itu, yakni Rp12.000,00 per 1 kilogram beras dan Rp4.000,00 per 1 kilogram ubi.

Kemudian, Bapak A menyerahkan berasnya kepada Bapak B, tetapi Bapak B tidak segera memberikan ubinya kepada Bapak A di majelis dan waktu yang sama.

Adanya unsur penundaan inilah yang termasuk dalam riba al-yad dan dihukumi haram karena bisa saja nilai 1 kg beras tidak setara dengan 3 kg ubi di kemudian hari.

Lalu, adakah solusi agar transaksi tersebut tetap dapat berjalan, tetapi riba bisa dihindari? Jawabannya ada. Langkah-langkah yang harus ditempuh adalah sebagai berikut.

  1. Tetapkan harga semua komoditas yang akan diniagakan milik masing-masing pihak, misalnya mengikuti harga pasar pada saat akad berlangsung.
  2. Bapak A membeli ubi milik Bapak B dengan uang tunai dan juga sebaliknya, sesuai dengan harga yang sudah disepakati.
  3. Sampai tahap ini, jika salah satu pihak sudah menerima uang, tetapi tidak segera menyerahkan barangnya, ia dianggap sama dengan berutang uang.

Karena berutang uang, bukan berutang komoditas, maka hal tersebut diperbolehkan.

  1. Jika terdapat perbedaan harga komoditas niaga di kemudian hari, akad transaksi yang terbangun menjadi akad utang uang, bukan akad utang komoditas.

Mengapa akad utang uang diperbolehkan, sedangkan akad utang komoditas tidak? Hal ini berkenaan dengan fluktuasi harga barang ribawi dan ketidakrelaan salah satu pihak.

Misalnya, pada hari akad terjadi, Bapak A membayar uang sebesar Rp1.200.000,00 untuk mendapatkan 3 kuintal ubi dari Bapak B.

Namun, Bapak B menunda penyerahan barangnya hingga 1 bulan kemudian dan pada saat itu, harga ubi sudah naik menjadi Rp5.000,00 per kilogram.

Jika akad yang terbangun adalah akad utang komoditas, Bapak B berkewajiban mengembalikan utang dalam bentuk barang dagangannya, yaitu ubi. Tentu wajar jika Bapak A merasa rugi.

Seharusnya, Bapak A bisa menerima ubi sebanyak 3 kuintal jika Bapak B menyerahkannya langsung.

Akan tetapi, ia hanya mendapatkan 2,4 kuintal karena baru diterima pada saat harga 1 kg ubi sudah menjadi Rp5.000,00.

Nah, sebaliknya, jika akad yang terbangun adalah akad utang uang, Bapak B berkewajiban mengembalikan utang tersebut dalam bentuk uang sejumlah yang telah ia terima.

Dengan demikian, Bapak A tidak akan merasa rugi karena nilai uang yang telah dibayarkan tidak berkurang.

Oleh karenanya, jika terjadi penundaan penyerahan barang, dibutuhkan rasa saling ridha dari kedua belah pihak akan pengembalian utang dalam bentuk uang.

Contoh-Contoh Transaksi dengan Indikasi Riba

Bunga Kredit Mikro untuk Usaha Kecil dan Menengah

Ilustrasi

Di tengah situasi wabah, pemerintah meluncurkan bantuan kepada pelaku UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) berupa modal.

Bantuan ini diselenggarakan melalui kerja sama dengan bank-bank konvensional yang telah ditunjuk.

Untuk mendapatkan bantuan tersebut, pihak pengusaha diwajibkan untuk memenuhi sejumlah persyaratan dan ketentuan sebagai berikut.

  1. Usaha yang dikelola setidaknya sudah berjalan aktif selama enam bulan, dibuktikan dengan kepemilikan Surat Keterangan Usaha (SKU) dari pemerintah wilayah setempat.
  2. Tidak sedang menjadi debitur bagi perusahaan perbankan apa pun.
  3. Memiliki Surat Izin Usaha (SIU) dan dokumen pendukung lainnya, seperti KTP dan KK.
  4. Diberlakukan bunga sebesar 6% untuk tipe Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Pertanyaan

  1. Bagaimana akad fiqih memandang tiap poin ketentuan di atas?
  2. Apakah bunga 6% yang diberlakukan untuk tipe KUR termasuk contoh riba?

Pembahasan

Status SKU dan SIU dalam Akad Fikih

Harta yang dinilai sah menjadi jaminan utang meliputi tiga bentuk, yaitu ain (aset fisik), ma fi al-dzimmah (sesuatu yang terjamin wujudnya), dan fi’lin/nafsin (pekerjaan).

Dokumen SKU dan SIU yang diserahkan menjelaskan fi’lin di dalamnya dan menjadi bukti dari pihak yang mengajukan kredit bahwa ada sebuah usaha yang sedang berjalan.

Oleh sebab itu, akad rahn (gadai) yang terbangun karenanya dijamin dengan dhaman al-dain bi al-nafsi (kegiatan usaha).

Status Dokumen KK dan KTP dalam Akad Fikih

Berbeda dengan dua dokumen sebelumnya yang menerangkan fi’lin sehingga dapat dinilai sebagai jaminan utang, KK dan KTP bukanlah harta sehingga status yang berlaku tidak sama.

Meski demikian, penyerahan dokumen-dokumen ini tetap bermanfaat karena mengandung informasi tentang pihak yang mengajukan kredit.

Jika terjadi masalah yang menyangkut harta utang, penanggung jawab kasus tersebut adalah sang pemilik identitas dalam KK dan KTP tersebut.

Dalam akad fiqih, KK dan KTP berperan sebagai penanggung jawab atas aktivitas usaha.

Hubungan Bunga Kredit dengan Akad Rahn

Akad utang memiliki beberapa cabang dan salah satunya adalah akad rahn (gadai).

Jika demikian, besaran kredit yang diterima pengusaha selaku pihak yang mengajukan kredit merupakan buah dari akad utang pula.

Ketetapan bunga di muka sebesar 6% yang wajib dipatuhi oleh debitur adalah syarat ziyadah (tambahan) yang akan dinikmati oleh pemberi utang.

Dengan begitu, dapat dipastikan syarat tersebut tergolong dalam transaksi riba qardhi dan dihukumi haram.

Kasus Utang-Piutang dengan Syarat Dipinjami Balik

Ilustrasi

Seseorang bernama A memberikan pinjaman sejumlah uang kepada B dengan syarat B meminjamkan sepedanya kepada A.

Pertanyaan

Apakah hal semacam ini termasuk riba?

Pembahasan

Dua Pendapat Berbeda

Ulama bersepakat bahwa ini adalah syarat yang rusak. Namun, terdapat dua pendapat berbeda jika dipandang dari dasar (illat) hukumnya.

Satu pendapat menganggap bahwa syarat rusak ini dapat diabaikan (mulgha) sehingga tidak memiliki pengaruh apa pun terhadap akad dan dihukumi boleh.

Anggapan ini dinyatakan oleh ulama dari mazhab Hanafi, Syafii, dan Hanbali.

Sementara itu, pendapat lainnya berseberangan dan menghukumi syarat yang demikian dapat berpengaruh pada batalnya akad sehingga transaksi tersebut tidak boleh dilakukan.

Pendapat ini disampaikan oleh ulama dari mazhab Maliki. Rujukan kedua pendapat tersebut dapat dilihat pada kitab-kitab berikut.

  • Fathul Qadir oleh Ibnu Himam
  • Hasyiyah Ibnu ‘Abidin oleh Ibnu ‘Abidin
  • Raudhatu al-Thalibin li al-Nawawi oleh Yahya ibn Syaraf al-Nawawi
  • Tashishi al-Furu li al-Mardawi oleh Al-Mardawi
Mengambil Kemaslahatan dari Dua Pendapat

Dari ilustrasi dan pembahasan di atas, kamu dapat memahami bahwa akad utang yang dibolehkan memiliki syarat minimal.

Syarat yang dimaksud adalah pengembalian utang yang serupa dengan barang yang diterima dan dilakukan di majelis yang sama dengan pada saat terjadinya akad utang.

Jika tidak dapat dipenuhi, syaratnya disepakati rusak.

Lalu, bagaimana dengan utang tunai, tetapi dibayar dengan cara nontunai, seperti ditransfer, misalnya?

Bisa jadi, jalan transfer ditempuh karena kedua pihak yang terlibat tidak dapat bertemu di majelis yang sama.

Karena yang diterima (tunai) dan yang dikembalikan (nontunai) tidak serupa, disepakati bahwa syaratnya rusak. Namun, hukum apa yang berlaku?

Jika kamu merujuk pada pendapat yang kedua, syarat rusak tersebut memengaruhi akad dan membatalkannya sehingga dihukumi tidak boleh.

Sebaliknya, bila mengambil anggapan yang pertama, pembayaran utang tunai dengan nontunai boleh dilakukan karena tidak membatalkan akad.

Gaji Pegawai Bank Konvensional

Ilustrasi

Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian besar transaksi utang-piutang yang dilakukan dengan perusahaan perbankan konvensional tergolong dalam macam-macam riba.

Alasannya jelas, yaitu karena memberikan manfaat tambahan kepada pihak pemberi pinjaman.

Pertanyaan

Apakah gaji yang diterima oleh pegawai di bank tersebut termasuk riba pula?

Pembahasan

Dalam Islam, dikenal terminologi ujrah, yaitu sesuatu yang diberikan kepada seseorang atas kerja yang telah ia lakukan.

Dilihat dari cara pemberiannya, ujrah tergolong menjadi dua, yakni yang diberikan sebagai hasil kontrak kerja dan yang diberikan dalam bentuk sayembara (akad jualah).

Sementara itu, riba bersumber dari akad utang-piutang atau jual-beli.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa gaji yang diterima pegawai bank konvensional tidak tergolong dalam riba karena dihasilkan dari pekerjaan, bukan dari akad utang-piutang atau jual-beli.

Kesimpulan

Segala sesuatu yang menjadi manfaat lebih bagi pihak pemberi utang dan sudah ditetapkan saat akad terjadi merupakan riba.

Hukum riba adalah haram dan siapa saja yang terlibat dalam transaksi tersebut akan diperangi oleh Allah Swt. dan Rasul-Nya saw.

Semoga artikel ini membantu kamu memahami persoalan ini sehingga dapat menghindari dosa riba. Aamiin.

Sumber:

https://islam.nu.or.id/post/read/125978/bunga-kredit-mikro-untuk-umkm–apakah-riba?_ga=2.216028630.1717310616.1612144276-583326084.1612144276

https://islam.nu.or.id/post/read/108962/-aku-pinjami-kamu-uang-dengan-syarat-pinjami-aku-sepeda—riba-?_ga=2.179436772.1717310616.1612144276-583326084.1612144276

https://islam.nu.or.id/post/read/96783/apakah-gaji-pegawai-bank-bumn-termasuk-riba?_ga=2.149631094.1717310616.1612144276-583326084.1612144276

https://islam.nu.or.id/post/read/95074/mengenal-macam-macam-barang-ribawi-?_ga=2.178477156.1717310616.1612144276-583326084.1612144276

https://islam.nu.or.id/post/read/95109/tiga-jenis-praktik-riba-dalam-jual-beli

https://islam.nu.or.id/post/read/88797/siapakah-pelaku-riba-yang-diharamkan-itu