Pentingnya Muhasabah Sebagai Pengingat untuk Selalu Memperbaiki Diri

Sebagai makhluk yang berakal, manusia memiliki keistimewaan untuk melakukan muhasabah atau introspeksi diri. Terlebih lagi, hal tersebut juga mempunyai tempat yang baik dalam agama Islam.

Sama halnya dengan perbuatan lainnya, bermuhasabah tentu mendatangkan keuntungan bagi umat Islam.

Lalu, apa sebenarnya yang disebut muhasabah dalam Islam? Mengapa perbuatan ini sangat dianjurkan untuk dilakukan umat Muslim?

Pada kesempatan ini, Hasana.id akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut melalui ulasan berikut ini. Langsung saja, yuk, simak!

Apa Itu Muhasabah Diri dalam Islam?

Berbeda dengan malaikat, manusia diciptakan memiliki nafsu dan kecenderungan-kecenderungan pribadi yang membuat mereka dapat beraktivitas sedemikian rupa di bumi.

Akan tetapi, adanya sifat tersebut tak jarang membuat manusia melakukan mudarat atau hal yang merugikan.

Banyak perbuatan mudarat tersebut bukan hanya menimpa diri sendiri melainkan juga orang lain. Misalnya, mengambil uang iuran yang bukan menjadi haknya dan melakukan bisnis yang merugikan orang lain.

Ada juga perbuatan mudarat yang hanya merugikan dirinya sendiri, seperti meninggalkan ibadah kepada-Nya dan mengonsumsi obat-obatan terlarang.

Kemungkinan untuk terjadinya perbuatan-perbuatan mudarat di atas lah yang membuat manusia dianjurkan untuk bermuhasabah.

Arti Muhasabah menurut KBBI

Di dalam KBBI atau Kamus Besar Bahasa Indonesia, muhasabah artinya adalah introspeksi. Introspeksi atau mawas diri ini merupakan peninjauan atau koreksi terhadap sikap, perbuatan, kesalahan, kelemahan, dan lain-lain yang ada pada diri sendiri.

Menurut Imam Al-Ghazali

Seperti dikutip oleh Imam Al-Ghazali dalam Surah Al-Hasyr ayat 18, bermuhasabah mengandung keutamaan yang dianjurkan bagi seluruh umat Islam.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ

Yā ayyuhallażīna āmanuttaqullāha waltanẓur nafsum mā qaddamat ligad, wattaqullāh, innallāha khabīrum bimā ta’malụn

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Dalam Ihya Ulumudin Al-Ghazali mengatakan bahwa Sayyidina Umar r.a. Juga menganjurkan manusia untuk bermuhasabah diri sebelum datangnya hari hisab.

Umat Islam dianjurkan untuk menimbang perbuatan mereka sebelum Allah Swt. menimbangnya kelak.

Diriwayatkan oleh Al-Ghazali juga bahwa Rasulullah saw. pernah diminta wejangan oleh seseorang dan beliau pun mengatakan bahwa sebelum ia melakukan suatu hal, hendaknya untuk dipikirkan dampaknya terlebih dahulu.

Al-Ghazali melanjutkan bahwa jika sesuatu hal tersebut baik, maka lakukanlah. Tetapi jika hal tersebut buruk, maka tahanlah.

Sebuah hadis juga menyebutkan bahwa orang yang bijak dan berakal dianjurkan untuk mengalokasikan seperempat waktunya untuk melakukan muhasabah diri.

Mengapa Seorang Muslim Perlu Muhasabah Diri?

Sebagai manusia, bermuhasabah menjadi penting untuk mencermati diri sendiri. Bukan hanya untuk melihat kelebihan-kelebihan diri saja, tetapi juga kekurangan-kekurangannya.

Dengan begitu, diharapkan manusia dapat memperbaiki diri atau berusaha mengoreksi kemampuannya dalam mengelola karunia dari Allah Swt., yaitu akal dan nafsu.

Menurut Sayyidina Umar, melakukan evaluasi diri sedari dini akan menguntungkan umat Islam di kehidupan yang akan datang.

Mengapa? Alasanya adalah dengan mengevaluasi diri seseorang dapat mengenali kekurangannya dan memperbaikinya segera mungkin.

Jika dilakukan dengan baik, hal ini akan mengurangi kesalahan sehingga tanggung jawab di akhirat kelak menjadi lebih ringan.

Dalam sebuah hadis riwayat Tirmidzi, tertulis bahwa Nabi Muhammad saw. pernah bersabda:

عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ

‘an syadadibni ausi rradhiyallohu ‘anhu nannabiyyi sholallohu alaihi wa sallama qolal kayisu man daa na nafsahu wa’amila miib’dal mauti, wal’akhir man atba’a naqsahu hawaa haa watamanna ‘alalloh

Artinya:

Dari Syadad bin Aus ra, dari Nabi Muhammad saw. bahwa beliau bersabda, ‘Orang yang cerdas (sukses) adalah orang yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri, serta beramal untuk kehidupan sesudah kematiannya. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah Swt.’

Secara tersirat, hadis tersebut mengungkapkan bahwa seharusnya akal lah yang menundukkan nafsu, bukan sebaliknya.

Dengan kata lain, nafsu seharusnya hanya sebuah potensi kemampuan untuk memenuhi kebutuhan alamiah dan wajar bagi manusia, seperti kawin, makan, minum, dan tidur.

Saat nafsu tersebut melebihi akal sehat, yang terjadi adalah sifat tamak dan sewenang-wenang. Pada masa seperti ini lah muhasabah perlu dilakukan oleh umat Muslim.

Apa Saja Keutamaan Muhasabah Bagi Umat Islam?

Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa bermuhasabah memiliki keutamaan seperti tobat karena keduanya tidak dapat dipisahkan.

Sama halnya dengan muhasabah, tobat juga merupakan bagian dari peninjauan diri atau koreksi terhadap apa yang telah dilakukan dengan perasaan menyesal.

Keutamaan ini juga ditegaskan dalam Surah Al-A’raf ayat 201 dan kutipan Surah An-Nur ayat 31, seperti tertulis berikut ini:

إِنَّ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَوْا۟ إِذَا مَسَّهُمْ طَٰٓئِفٌ مِّنَ ٱلشَّيْطَٰنِ تَذَكَّرُوا۟ فَإِذَا هُم مُّبْصِرُونَ

Innallażīnattaqau iżā massahum ṭā`ifum minasy-syaiṭāni tażakkarụ fa iżā hum mubṣirụn

Artinya

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya. (QS. Al-A’raf ayat 201)

وَتُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا ٱلْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

wa tụbū ilallāhi jamī’an ayyuhal-mu`minụna la’allakum tufliḥụn

Artinya:

Bertobatlah kalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kalian beruntung,”

Mengutip Sayyidina Umar ra., Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda ia selalu meminta ampun dan bertobat kepada Allah Swt. sebanyak 100 kali setiap harinya.

Sementara itu, Umar selalu memukul kedua kakinya dengan mutiara setiap kali malam tiba sebagai bentuk muhasabah diri.

Dari uraian dan dalil serta hadist tentang muhasabah di atas, setidaknya ada beberapa manfaat penting yang bisa kamu jadikan perhatian.

Semangat Memperbaiki Diri

Pertama, bermuhasabah mendatangkan semangat membenahi diri atau ishlah. Hal ini terjadi karena Allah Swt. membukakan mata kita akan kelemahan dan kekurangan yang dapat diperbaiki.

Mawas diri juga mengasah kemampuan diri dalam merencanakan sesuatu sehingga kesalahan yang sama tidak akan terjadi lagi.

Sebagai hamba Allah Swt., manusia sudah seharusnya memposisikan kehidupan di akhirat lebih dari kehidupan duniawi.

Dengan muhasabah, artinya kamu telah menyadari bahwa di hidup setelah mati, anggota badan kita akan diminta pertanggungjawaban atas perbuatan yang sudah dilakukan.

Hal ini juga tertuang dalam Surah Yasin ayat 65 sebagai berikut:

الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيْهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

Al-yauma nakhtimu ‘alā afwāhihim wa tukallimunā aidīhim wa tasy-hadu arjuluhum bimā kānụ yaksibụn

Artinya:

Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.

Dijauhkan dari Sifat Sombong

Kedua, bermuhasabah juga dapat menjauhkan kita dari sifat ‘ujub atau sombong dan terlalu bangga diri.

Karena muhasabah memfokuskan pikiran kita pada kelemahan dan kekurangan diri, perbuatan ini dapat meminimalkan perilaku manusia yang cenderung suka membanggakan diri sendiri.

Jadi, bukannya memvonis salah orang lain, orang yang menyibukkan diri untuk mengoreksi diri sendiri tidak akan menghakimi orang lain begitu saja.

Perilaku ini sebenarnya selaras dengan apa yang terkandung dalam Al-Qur’an Surah An-Najm ayat 32 berikut ini:

فَلا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى

fa lā tuzakkū anfusakum, huwa a’lamu bimanittaqa

Artinya:

“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.”

Dari dalil di atas dapat kamu simpulkan bahwa manusia tidak seharusnya menilai dirinya suci dan memvonis orang lain salah karena dirinya lah yang paling benar. Sebab, Allah Swt. lah yang Maha Mengetahui mengenai makhluk-makhluknya.

Bagaimana Cara Muhasabah Diri Dalam Islam?

Jika Umar bin Khattab memukulkan mutiara ke kakinya setiap malam sebagai bentuk introspeksi diri, apa yang kamu bisa lakukan?

Sebenarnya kebiasaan yang ditunjukkan oleh Sahabat Umar adalah untuk mengevaluasi gerak dan langkah anggota tubuhnya, seperti apakah yang ia lakukan selama seharian merupakan hal-hal yang positif atau justru sebaliknya.

Syekh Jamil meriwayatkan cerita lain tentang bagaimana ulama terdahulu melakukan muhasabah dalam kitabnya Tazkirat al-Qulub fi Muraqabat ‘Alam al-Ghuyub.

Diriwayatkan dari Manshur bin Ibrahim ra. bahwa ada seorang pria yang berbicara kepada seorang wanita dan tak terasa tangannya ternyata sudah ada di atas paha wanita tersebut.

Karena ia menyesali perbuatannya tersebut, pria tersebut kemudian meletakkan tangannya di atas bara api sampai lemas dan tidak berdaya.

Membaca istighfar sebanyak 70 sampai 100 kali dalam sehari juga bisa menjadi bentuk kesadaran diri akan kesalahan-kesalahan yang diperbuat setelah bermuhasabah diri.

Selain bermuhasabah terkait perbuatan umum yang kita lakukan seharian, secara khusus kita juga dianjurkan untuk melakukan muhasabah bahkan setelah mengerjakan perintah Allah Swt. atau beramal.

Sudahkah Kamu Bermuhasabah Setelah Beramal?

Sebagaimana penjahit, pedagang, dan pelaut mengira untung-ruginya setiap sore hari setelah melakukan pekerjaannya, umat Islam yang percaya akan kehidupan akhirat juga perlu menilai kualitas amalnya setiap saat.

Apakah kualitas amal yang dilakukan telah sesuai dengan perintah Allah Swt.? Apakah yang kita lakukan sudah cukup untuk memudahkan jalan menuju rida-Nya?

Seperti dianjurkan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumiddin, hendaknya manusia yang suka meninggalkan catatan harian secara rutin juga melakukan pengiraan terhadap setiap gerak-gerik yang telah mereka lakukan.

Jika setelah dinilai perbuatannya dalam sehari ternyata ditemukan kebaikan, maka dianjurkan untuk bersyukur atas karunia Allah Swt. pada hari itu.

Akan tetapi, jika ditemukan bahwa ada hal yang kurang baik, maka segera lah untuk bertaubat agar tidak membebani timbangan kita di akhirat kelak.

Imam Al-Ghazali juga menyebutkan bahwa Allah Swt. serta malaikat-malaikat-Nya tak pernah lelah menghitung perbuatan manusia meskipun mereka sendiri selalu lupa apa yang pernah dikerjakan setiap harinya.

Oleh karena itu, dengan nasihat-nasihat mengenai muhasabah di atas, setidaknya bisa menjadi cerminan bahwa di dunia ini manusia hanya berusaha mencari rida-Nya dengan melakukan amalan-amalan yang baik.

Jika ternyata amalan yang pernah diperbuat ternyata kurang baik dan tidak sesuai dengan perintah Allah Swt., maka hendaknya segera diperbaiki.

Seperti Apa Contoh Muhasabah Diri di Sekitar Kita?

Selain dilakukan secara individu seperti telah dicontohnya beberapa di atas, di sekitar kita juga sering didapati pengaplikasian kegiatan ini secara bersama-sama.

Misalnya, saat menjelang tahun baru Islam atau pun tahun baru Masehi, digelar malam muhasabah di masjid-masjid.

Salah satunya adalah yang rutin diselenggarakan di Masjid Istiqlal, Jakarta setiap akhir tahun Masehi.

Latar belakang dari diadakannya acara ini tentu tidak jauh dari sudut pandang kajian dakwah Islam yang menganjurkan umat Muslim untuk bermuhasabah atau menghisab diri sebelum hisab di hari akhir.

Alasan lainnya adalah mengajak umat Muslim untuk menimbang-nimbang apa yang telah dilaksanakan selama setahun dan mencari solusi kedepannya agar lebih baik.

Kegiatan tahunan ini juga sering dibarengi dengan pelaksanaan istighatsah untuk meminta perlindungan kepada Allah Swt. di tahun yang akan datang.

Di Masjid Istiqlal sendiri, muhasabah sebenarnya bukan diselenggarakan setiap menjelang akhir tahun saja, tetapi hampir setiap bulan tepatnya pada malam jumat di minggu kedua.

Acara-acara yang diselenggarakan dengan tema ini pun tidak hanya terkait introspeksi pribadi saja, melainkan juga hal-hal yang bersifat menyeluruh seperti muhasabah kebangsaan.

Umumnya kegiatan ini dilakukan untuk mengajak seluruh masyarakat bermuhasabah mengenai masalah yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia.

Misalnya, di masa pandemi Covid-19, sebuah majelis pemuda islam menggelar kegiatan seperti ini untuk memotivasi santri-santri di Indonesia supaya mengembangkan berbagai peluang usaha.

Dengan berkaca dan menilai situasi kritis di masa pandemi ini, diharapkan bahwa peluang usaha dapat dijadikan solusi yang tepat bagi generasi muda Indonesia.

Kegiatan muhasabah kebangsaan seperti ini memungkinkan kita melihat dan menilai apa yang terjadi pada bangsa dari berbagai kacamata.

Tentunya hal ini juga dapat memberi contoh kepada kita tentang bagaimana cara yang tepat untuk bermuhasabah diri baik untuk urusan diri sendiri dengan Tuhan maupun urusan bermasyarakat dan kebangsaan.

Bagaimana Cara Memulai Muhasabah Diri Saat Putus Asa?

Meskipun dianjurkan bagi kita untuk bermuhasabah diri setiap saat, tak jarang kita dihadapkan dengan kebutuhan mendesak untuk melakukan hal ini. Misalnya, ketika kita merasa putus asa dan tidak berguna.

Pada saat-saat seperti ini, bermuhasabah dengan merenungkan hal-hal yang sedang dirasakan dan mencari solusi yang tepat bisa menjadi pilihan tepat.

Sebagai contoh, berikut beberapa renungan untuk muhasabah diri yang telah Hasana.id kumpulkan.

Yang Diketahui Manusia adalah Ketidaktahuan

Jika kamu merasa tidak berguna karena tidak tahu apa-apa, maka seharusnya bukan menjadi masalah karena sebagai manusia hal yang diketahui adalah kesadaran bahwa ia tidak tahu apa pun.

Apabila ditelaah lagi, tidak ada satu pun manusia yang tahu bagaimana sesuatu akan berjalan satu detik kemudian.

Itulah mengapa kamu menjadi mudah kaget pada sesuatu yang ada di sekitar. Sebab, ketidaktahuan adalah satu-satunya pengetahuan yang manusia miliki.

Oleh karena itu, sudah seharusnya manusia memahami bahwa apa pun yang dipikirkan tidak selalu menjadi kenyataan.

Hidup Mungkin Tanpa Masalah

Saat menjalani muhasabah diri, hendaknya kamu juga mengingatkan diri ini bahwa masalah adalah suatu hal yang lumrah dalam kehidupan.

Hidup itu bukan lah surga di mana kamu bisa merasakan kesenangan tak berujung. Sama halnya dengan kesengsaraan yang tak bertepi juga bukan hidup, karena itu adalah neraka.

Adanya keseimbangan tersebut lah yang membuat manusia menjadi berguna bagi satu sama lain.

Jadi, sungguh tidak masuk akal jika sebagai manusia kamu ingin segalanya selalu ‘bening’ dan ‘berkilau’ tapi tidak mau ada ‘gesekan’.

Manusia Tidak Dilahirkan, tetapi Dibentuk

Sebuah pepatah mengatakan bahwa manusia tidak lebih dari hewan yang bisa berbicara jika ia tidak menggunakan akalnya.

Manusia tidak hanya dilahirkan, tetapi juga dibentuk karena ia memiliki akal. Karena dibentuk itulah, tak ada satu pun manusia yang tidak berguna.

Jika pun ada manusia yang tak berguna, maka artinya ia tidak dibentuk menjadi manusia. Ia hanya sekadar dilahirkan dan hewan yang berbicara.

Muhasabah Hati yang Gelisah akan Cinta

Urusan cinta memang menjadi salah satu hal yang tak pernah membosankan untuk dibahas. Kekuatan cinta sangat kuat hingga seseorang sanggup membelah lautan jika memang diperlukan.

Tetapi, jika memang begitu, mengapa terkadang manusia merasa gelisah karena cinta? Salah satu penyebabnya bisa jadi karena datangnya cinta tersebut dari suatu hal yang fana.

Padahal, seharusnya cinta itu utuh. Cinta juga seharusnya memberi yang dimiliki tanpa mengharap balasan dan cinta juga seharusnya menerima tanpa adanya pemaksaan.

Dengan kata lain, cinta seharusnya diartikan untuk bersama-sama, yaitu bersama-sama menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing.

Kematian dan Suka Duka Kehidupan

Kematian adalah kepastian bagi seluruh makhluk hidup. Menariknya, segala fakta mengenai kematian tersebut cukup membuat manusia sadar bahwa kehidupan yang penuh suka-duka itu juga menyenangkan.

Dimulai dari menelaah tempat tinggal masa depan setelah mati nantinya adalah kuburan. Jika dibandingkan dengan sebuah bangunan reot atau sepetak kontrakan yang panas, kuburan tentu bukan apa-apanya.

Hal ini bisa dijadikan renungan bahwa saat kematian datang, segala suka-duka yang ada di dunia akan terputus. Sehingga adanya perasaan sakit hati, cinta, dan luka bukan lah suatu hal yang perlu dipermasalahkan.

Dengan keimanan kita terhadap kematian dan kehidupan setelahnya, kamu tentu bisa menemukan bahwa segala yang dialami selama hidup adalah bagian dari karunia-Nya.

Uraian di atas mengingatkan kita untuk selalu bermuhasabah sehingga kita sudah terbiasa untuk menilai dan menimbang apa yang telah diperbuat sehingga dapat menemukan solusinya segera.

Dengan membiasakan diri bermuhasabah, kita pun dapat mengurangi beban timbangan di akhirat kelak sepanjang kita bertaubat setelah menemukan perbuatan mudarat selama proses introspeksi diri.

Oleh karena itu, sebagai umat Muslim sudah seharusnya untuk terus melakukan muhasabah diri agar terhindar dari perbuatan tercela yang tidak disukai Allah Swt.

Referensi:

https://islam.nu.or.id/post/read/74281/muhasabah-jalan-perbaikan-diri

https://islam.nu.or.id/post/read/125643/keutamaan-muhasabah-atau-introspeksi-diri

https://alif.id/read/ai/kumpulan-renungan-untuk-muhasabah-diri-disaat-kau-merasa-tak-berguna-dan-putus-asa-b227796p/

https://lbm.mudimesra.com/2017/04/setelah-ber-amal-sudahkan-engkau-muhasabah.html

https://www.laduni.id/post/read/70411/moment-akhir-tahun-mpii-gelar-muhasabah-kebangsaan-dan-workshop-pesantrenpreneur.html