Khilafah: Pengertian, Sejarah, dan Pandangan para Ulama Tentangnya

Kata khilafah akhir-akhir ini sangat sering terdengar di tengah masyarakat setelah kelompok tertentu getol memperjuangkan tegaknya sistem kepemimpinan tersebut pada era sekarang.

Salah satu kelompok yang giat memperjuangkannya adalah Hizbut Tahrir dengan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani sebagai salah satu pendirinya.

Dalam bukunya, Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, an-Nabhani menyebutkan fatwa bahwa sistem kepemimpinan ini harus diperjuangkan pada masa sekarang.

Lalu, apakah hal ini benar adanya? Bagaimana pandangan ulama-ulama lainnya mengenai sistem kepemimpinan yang diperjuangkan oleh kelompok Hizbut Tahrir tersebut?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Hasana.id telah mengumpulkan beberapa informasi penting terkait khilafah yang bisa kamu simak di bawah ini!

Pengertian Khilafah yang Perlu Kamu Tahu

Menurut bahasa, arti kata “khilafah” adalah kepemimpinan baik secara umum maupun khusus, dalam urusan duniawi maupun agama.

Sistem kepemimpinan ini juga diartikan sebagai pengganti kepemimpinan Nabi Muhammad saw.

Sementara itu, pengertian khilafah menurut para ulama adalah suatu kepemimpinan pemerintahan Islam secara tunggal baik untuk masalah keduniaan maupun keagamaan.

Pengertian tersebut disampaikan oleh Syaikh Rasyid Ridha dalam kitabnya Al-Khilafah.

Definisi istilah ini menurut Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkam as-Sulthoniyah pun tak jauh berbeda.

Menurutnya, khilafah berarti sebuah kedudukan yang menggantikan kenabian dalam urusan agama dan pengaturan politik keduniaan.

Dapat disimpulkan bahwa istilah ini merujuk pada pengganti Nabi Muhammad saw. yang sebelumnya memimpin umat baik dalam perkara keagamaan maupun keduniaan.

Karena menggantikan kepemimpinan Rasulullah saw. setelah wafat, pemimpin tersebut diharapkan akan menjalankan tugasnya sebagaimana Nabi Muhammad saw. memimpin umat.

Yang perlu diingat adalah istilah ini berbeda dengan khalifah yang dibahas dan diajarkan baik dalam Al-Qur’an maupun hadits.

Sejarah Khilafah sebagai Sistem Kepemimpinan

Pemahaman akan sistem kepemimpinan Islam ini tentu akan lebih baik jika kita mengintip sejarah pengaplikasiannya setelah wafatnya Nabi Muhammad saw.

Secara etimologis, istilah tersebut merujuk pada pengganti atau perwakilan.

Namun, dalam sejarahnya, khilafah memang lebih dikenal sebagai institusi politik Islam yang menggantikan Rasulullah saw.

Setelah wafatnya Nabi Muhammad saw., terjadi peristiwa penting dalam sejarah kepemimpinan Islam, yaitu Saqifah Bani Saidah.

Peristiwa tersebut menjadi tempat bertemunya para tokoh elit dan pemimpin kabilah untuk membahas siapa yang akan menggantikan Nabi Muhammad.

Ketika itu, masing-masing kabilah menganggap mereka berhak memimpin karena memiliki peran penting pada waktu berjuang bersama Rasulullah.

Pada awalnya, Abu Bakar memilih Umar bin Khattab atau Zubair untuk mewakili kaum Quraisy, tetapi terjadi kegaduhan atas usulan tersebut.

Sa’ad bin Ubadah selaku pemimpin Kabilah Khazraj adalah orang yang paling bersikeras menolak dominasi Quraisy.

Menurutnya, Aus atau Khazraj juga memiliki hak untuk memimpin.

Akhirnya, Abu Bakar as-Shiddiq-lah yang terpilih sebagai pengganti Rasulullah saw. karena mayoritas hadirin menerimanya.

Abu Bakar as-Shiddiq kemudian menjadi orang pertama yang mendapatkan gelar Kholifatu Rosulillah karena menjadi pengganti Nabi Muhammad saw.

Sementara itu, Umar bin Khattab yang menggantikan Abu Bakar diberi gelar Kholifatu Kholifati Rosulillah, yaitu pengganti dari pengganti Rasulullah.

Sebelum wafat, Umar bin Khattab telah menominasikan enam orang yang akan menjadi khalifah selanjutnya.

Keenam orang tersebut memiliki kesempatan ahlul halli wal aqdi atau hak memilih dan dipilih hingga akhirnya terpilihlah Utsman bin Affan.

Ali bin Abi Thalib yang kemudian menggantikan Utsman bin Affan dipilih oleh khalayak ramai ketika kondisi politik tidak lagi stabil setelah Ustman wafat karena dibunuh.

Nasib Khilafah Setelah Kepemimpinan Ali bin Abi Thalib

Menurut berbagai sumber, salah satunya adalah kitab-kitab akidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah, kepemimpian pengganti Rasullulah ini hanya akan berlangsung selama 30 tahun.

Artinya, kepemimpian dengan sistem ini telah diperkirakan tidak lebih dari masa kemimpinan sahabat Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.

Salah satu yang membahas mengenai hal ini adalah al-Imam Najmuddin al-Nasafi dalam bukunya Al-Aqidah al-Nasafiyyah:

وَالْخِلاَفَةُ ثَلاَثُوْنَ سَنَةً، ثُمَّ بَعْدَهَا مُلْكٌ وَإِمَارَةٌ.

Walkhilafatu salasuna sanata, tsumma ba’dahaa mulku wa imaaratun.

Artinya: “Khilafah berlangsung selama tiga puluh tahun. Kemudian setelah itu, kerajaan dan keemiran.” (Syaikh Abdullah al-Harari al-Habasyi, Al-Mathalib al-Wafiyyah Syarh al-‘Aqidah al-Nasafiyyah, hal. 143)

Setelah kepemimpinan keempat sahabat Rasul tersebut, umat Islam diprediksi akan dipimpin oleh kerajaan dan keemiratan.

Hal yang sama juga dijelaskan oleh imam-imam besar lainnya dalam ilmu akidah.

Adanya pandangan-pandangan bahwa khilafah menurut Islam hanya berlangsung selama 30 tahun tersebut pun bukan tanpa dasar.

Yang mendasari hal ini adalah hadits shahih riwayat Ahmad dan at-Tirmidzi berikut ini:

عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُمْهَانَ قَالَ حدثني سَفِينَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْخِلاَفَةُ فِي أُمَّتِي ثَلاَثُونَ سَنَةً ثُمَّ مُلْكٌ بَعْدَ ذَلِكَ ثُمَّ

‘An Sa’id ibni Jumhana qola haditsu safinatu rodhiyallohu ‘anhu qola qola rosulullahu shollallohu ‘alaihi wasallam: khilafatu fi ammati salasuna sanatan tsuma mulku ba’da dalika tsama.

Artinya: “Sa’id bin Jumhan berkata: “Safinah menyampaikan hadits kepadaku, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda, ‘Pemerintahan Khilafah pada umatku selama tiga puluh tahun, kemudian setelah itu dipimpin oleh pemerintahan kerajaan.”

Namun, penggunaan gelar khalifah ternyata tidak berhenti pada Khulafaur Rasyidin saja, melainkan berlanjut pada kepemimpinan berikutnya.

Dalam hal ini, gelar tersebut juga masih melekat pada masa-masa Umayyah, Fathimiyyah, Abbasiyah, Buwaihiyyah, Ayyubiyyah, Muwahhidin, sampai Utsmaniyah.

Dengan kata lain, hampir semua pemimpin muslim pada masa itu menggunakan gelar tersebut sebagai cara meningkatkan legitimasinya.

Apakah Khilafah Ada dalam Al-Qur’an?

Mungkin kamu bertanya-tanya mengapa terjadi perselisihan pada setiap pergantian dari satu kepemimpinan ke lainnya.

Padahal, ada Al-Qur’an yang universal dan membahas berbagai hal penting terkait kehidupan di dunia dan akhirat.

Selain itu, mengapa para ulama pada masa itu tidak menjadikan hadits Nabi sebagai rujukan sehingga tidak perlu berdebat berhari-hari mengenai siapa yang pantas menggantikan beliau?

Jawabannya adalah karena baik dalam Al-Qur’an maupun hadits memang tidak diatur mengenai khilafah ini.

Pantas saja para sahabat Nabi Muhammad saw. yang mengetahui seluk-beluk Al-Qur’an dan hadits sekalipun harus berdebat keras pada saat memilih pengganti beliau.

Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam sudah pasti lebih mulia dari sekadar konstitusi negara.

Di sisi lain, hadits adalah kumpulan perilaku, perkataan, dan ketetapan Rasulullah saw. yang dijadikan sebagai sumber inspirasi norma.

Akan tetapi, hadits tidak dapat dianggap sebagai sebuah konstitusi dari pemerintahan atau negara.

Pesan Rasulullah saw. hanyalah untuk menjauhi kelompok-kelompok yang mengarah ke perpecahan.

Beliau berpesan agar umat Islam konsisten dengan ajaran Ahlusunnah Wal-Jama’ah yang telah dianutnya.

Tidak pernah Nabi memerintahkan umat Islam untuk memperjuangkan adanya seorang khalifah jika memang tidak ada pemimpin tunggal yang memungkinkan pada masa itu.

Apakah Khilafah Merupakan Sistem yang Paling Ideal Menurut Islam?

Dalam sejarahnya, praktik umat Muslim terhadap nashbul imam memang tdak mengalami kendala berarti.

Bahkan, setelah Khulafaur Rasyidin datang pun, telah berdiri berbagai daulah, kesultanan, dinasti, dan kerajaaan yang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Meskipun terdapat segudang siyasah syar’iyah, literatur-literatur tersebut umumnya menitikberatkan pada bagaimana kualifikasi seorang pemimpin dan syarat-syaratnya.

Di dalamnya, tidak ada satu pun yang membahas secara detail terkait bentuk negara atau sistem pemerintahan.

Dalam hal ini, masa Khulafaur Rasyidin yang bahkan dianggap sangat ideal dalam siyasah syar’iyah pun lebih menekankan pada empat sosok khalifahnya saja.

Jadi, bukan pada bentuk atau pengelolaan pemerintahannya.

Hal tersebut cukup menjelaskan bahwa Islam sebenarnya tidak pernah menganggap bahwa salah satu sistem pemerintahan khusus lebih ideal dibanding yang lainnya.

Artinya, khilafah bukanlah jawaban atas sistem pemerintahan yang paling ideal bagi umat Islam.

Pemerintahan yang dapat membawa kemaslahatan bersamalah yang didambakan oleh agama Islam.

Dengan kata lain, mendirikan negara Islam bukanlah sebuah keharusan sebab dalam ilmu agama sendiri tidak disebutkan bentuk sebuah pemerintahan yang dianggap ideal.

Yang wajib adalah mengangkat seorang pemimpin yang nantinya dapat membendung perpecahan antar umat.

Pandangan Kelompok Ahlussunah Mengenai Persoalan Khilafah

Sebagai kelompok Islam terbesar, Ahlussunah menganggap permasalah ini sebagai bagian dari pemikiran atau ijtihadiyah dibandingkan syariat.

Oleh sebab itu, mereka tidak setuju dengan klaim kelompok Syiah terkait hal ini.

Kelompok Syiah menggunakan hadits Ghadir Khum sebagai dasar untuk menyatakan bahwa khalifah yang sah setelah Rasulullah saw. wafat adalah Ali bin Abi Thalib.

Mengenai hal ini, Ahlussunnah meyakini bahwa ijtihad para sahabat dalam perisitwa Saqifah adalah yang sah.

Tidak diperlukan lagi dalil mengenainya karena sistem kepemimpinan ini bukan persoalan syariat.

Memang, tidak bisa dimungkiri bahwa ada pemahaman keliru yang menganggap bahwa sistem pergantian kepemimpinan ini adalah syariat.

Salah satu penyebabnya adalah dalam sejarahnya, para sahabat mendahulukan pemilihan pemimpin daripada merawat jenazah Nabi Muhammad saw.

Padahal ketika itu, alasan utama untuk segera mencari pengganti Rasulullah adalah dikhawatirkan Jazirah Arab akan kembali terpecah menjadi seperti pada masa sebelum Islam.

Selain itu, masalah pengangkatan pemimpin supaya tidak ada kekosongan pemerintahan juga merupakan sesuatu yang diwajibkan.

Begitu pentingnya hal ini sehingga Rasulullah saw. selalu memerintahkan untuk memilih pemimpin sebuah rombongan terlebih dahulu sebelum memulai suatu perjalanan.

Rasulullah juga selalu mengingatkan umat untuk tetap taat kepada pemimpin, bahkan jika pemimpin tersebut adalah seorang budak sekalipun.

Yang juga perlu diingat adalah Nabi Muhammad saw. juga telah meletakkan sendi-sendi kehidupan bernegara dalam Piagam Madinah.

Pasal-pasal yang ada dengan jelas menyatakan bahwa semua masyarakat Madinah yang majemuk secara agama dan etnis tersebut merupakan satu bangsa.

Dari Piagam Madinah tersebut, para ulama pun meyakini bahwa suatu bangsa tidak dibangun hanya berdasarkan persamaan agama, tetapi juga pluralitas.

Munculnya Pergerakan Islam Mengatasnamakan Khilafah

Awal tahun 1924, tepatnya pada tanggal 3 Maret, menjadi tanda berakhirnya Khilafah Turki Utsmani.

Setelah peristiwa tersebut, beberapa kalangan menilai bahwa peran kaum Muslim dalam pentas politik di dunia yang sudah dibangun sejak 13 abad lalu pun ikut berakhir.

Beberapa kalangan pun menilai bahwa umat Islam mulai terpuruk di berbagai bidang, termasuk ekonomi, politik, militer, sains-teknologi, dan budaya.

Selain itu, penjajahan yang oleh bangsa Barat pun memasuki babak secara modern.

Hal itu menjadi salah satu faktor yang membangkitkan “kerinduan” sebagian kalangan terhadap sistem Khilafah Islamiyah yang pernah membawa kejayaan bagi umat Islam.

Sejak saat itulah, mulai bermunculan pergerakan-pergerakan Islam yang membawa isu sistem kepemimpinan dengan basis syariat Islam tersebut.

Misi dan agenda politik dari kelompok-kelompok tersebut adalah untuk membangun kembali Daulah Islamiyah di kancah global.

Ide Awal Perjuangan Khilafah Internasional

Jamaah Ikhwanul Muslimin mempunyai peran penting dalam awal pembentukan perjuangan khilafah internasional tersebut.

Pada tahun 1928, jamaah tersebut didirikan di Mesir dan kemudian didukung oleh jamaah Hizbut Tahrir yang dikembangkan di Jerusalem Timur pada tahun 1952.

Baru-baru ini, ide tersebut juga digembor-gemborkan oleh ISIS (Islamic State of Iraq and Sham) di Irak dan Syiria.

Sementara itu, konsep khilafah di Indonesia sebenarnya telah ada sejak awal-awal masa kemerdekaan, baik yang menyangkut persoalan konstitusional maupun militer.

Dalam hal konstitusional, ide sistem pemerintahan Islam tersebut terwujud dalam Majelis Konstituante.

Adapun yang bersifat militer dapat dilihat dari peristiwa DI/TII yang berusaha untuk membangun negara Islam dan tidak mengakui Pancasila.

Munculnya era reformasi pada tahun 1998 yang menjadi titik balik kebebasan publik untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat.

Hal itu membuat isu tentang sistem kepemimpinan Islam yang tunggal menjadi kian tak asing di Indonesia.

Pembahasan-pembahasan mengenai wacana perubahan sistem pemerintahan Islam pun menjadi kian intens terdengar di tengah masyarakat.

Bahkan, ide-ide tersebut bebas dikampanyekan oleh orang-orang yang yakin bahwa bentuk pemerintahan Islam adalah solusi bagi keterpurukan kepemimpinan di Tanah Air saat ini.

Bagaimana Pandangan Ulama Indonesia Terhadap Khilafah?

Para ulama memiliki kecenderungan masing-masing ketika membicarakan pergerakan khilafah di Indonesia.

Misalnya, bagi para ulama NU, mereka telah menyetujui beberapa poin penting sebagai tanggapan atas pergerakan tersebut di Indonesia. Berikut penjelasannya.

Yang Wajib dalam Islam adalah Mengangkat Pemimpin

Mereka menegaskan bahwa dalam syariat Islam, tidak pernah ada ketentuan yang mewajibkan suatu sistem pemerintahan atau bentuk negara tertentu bagi para pemeluknya.

Selain itu, para ulama NU juga mencatat bahwa yang wajib adalah mengangkat pemimpin. Hal ini juga diperkuat dengan berbagai pernyataan oleh ulama-ulama terkemuka di dunia.

Abu Hamid al-Ghazali adalah salah satu ulama yang menyatakan demikian dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din.

Pendapat serupa juga muncul dari Syaikh al-Islam Taqi al-Din Ibn Taimiyyah dalam as-Siyasah al-Syar’iyyah fi Ishlah al-Rai’I wa al-Ra’iyyah.

Model Khulafaur Rasyidin Sudah Tidak Lagi Relevan

Kemudian, para ulama juga meyakini bahwa tujuan khilafah saat ini tidak lagi sesuai dengan kehidupan manusia sekarang yang sudah berada di bawah naungan negara-negara bangsa.

Menurut mereka, sebagai sistem pemerintahan, model yang dipraktikkan oleh al-Khulafa’ al-Rasyidin tersebut memang sesuai dengan masanya.

Namun, jika dipraktikkan pada saat ini, sistem tersebut sudah hilang relevansinya.

Bahkan, bagi sebagian kalangan, membangkitkan kembali model pemerintahan Islam yang sama hanyalah sebuah utopia.

Umat Islam Perlu Waspada

Selanjutnya, para ulama juga mengingatkan umat Islam agar tidak mudah terjebak dengan istilah atau simbol-simbol yang tampak islami.

Kaum Muslim sudah seharusnya memahami juga substansi dari segala sesuatu yang menyangkut hal tersebut sebelum ikut terjun di dalamnya.

NKRI Wajib Dipertahankan

Dalam hubungannya dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, para ulama menyatakan bahwa NKRI merupakan hasil perjanjian luhur para pendiri bangsa.

Negara ini dibentuk sebagai tempat bagi seluruh elemen bangsa yang sangat beraneka ragam dalam hal budaya, agama, bahasa, dan suku.

Oleh karena itu, sudah sepantasnya sebagai elemen bangsa tersebut, umat Islam di Indonesia tetap bertahan dan memperkuat keutuhan negara yang telah dibangunnya tersebut.

Lebih lanjut, para ulama juga mengingatkan masyarakat untuk menangkal setiap gerakan yang dapat mengancam keutuhan NKRI.

Hal tersebut dapat memunculkan mafsadah atau kerusakan yang berbuntut pada perpecahan umat.

Negara-negara yang menganut khilafah atau lebih tepatnya negara-negara yang dieksploitasi untuk uji coba sistem tersebut justru telah hancur karena konflik berkepanjangan.

Berangkat dari hal itu, para ulama NU di Indonesia menyatakan bahwa pergerakan yang makin masif tersebut hanya berpegang pada halusinasi belaka.

Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa agama Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk menggunakan sistem pemerintahan atau bentuk negara tertentu.

Khilafah yang dijalankan Nabi Muhammad saw. wafat hanyalah untuk sementara atau sampai umat Islam berada di bawah naungan bentuk-bentuk negara yang ada sekarang.

Oleh karena itu, gerakan-gerakan yang mengatasnamakan khilafah sebenarnya tidak memiliki dasar yang kuat di dalam Islam.

Jadi, sekali lagi, di dalam agama Islam, tidak ada syariat yang mengajarkan hal tersebut.

Referensi:

https://islam.nu.or.id/post/read/55557/khilafah-dalam-pandangan-nu

https://www.nu.or.id/post/read/84055/salah-paham-dan-paham-yang-salah-soal-khilafah

https://www.nu.or.id/post/read/80749/khilafah-produk-sejarah-bukan-syariah

https://www.nu.or.id/post/read/122953/ideologi-khilafah-bertentangan-dengan-semangat-persatuan-di-indonesia

Apa Itu Khilafah Yang Benar Dalam Islam

SEKILAS TENTANG KHILAFAH