Definisi Ikhlas, Tingkatan, Ciri-Ciri, Hingga Manfaatnya

Ikhlas merupakan satu kata yang mudah diucapkan, tetapi terbilang sulit untuk dilakukan. Padahal ikhlas merupakan salah satu ikhtiar yang harus kamu lakukan jika menginginkan kehidupan yang tenang dan tenteram.

Kalau kebetulan kamu ingin menggali ilmu yang lebih mengenai ikhlas, Hasana.id telah merangkumkan materinya. Mulai dari definisi, tingkatan, hingga manfaatnya bagi kehidupan. Simak artikel ini sampai akhir, ya!

Definisi Ikhlas

Mungkin beberapa orang mengira bahwa pengertian ikhlas sama dengan rida. Rupanya, keduanya adalah hal yang berbeda.

Secara etimologi, ikhlas berasal dari Bahasa Arab, yaitu akhlasha yang berarti bersih, murni, jernih, tanpa campuran. Ikhlas bisa didefinisikan sebagai sikap yang dilakukan hanya demi dan karena Allah tanpa mengharapkan pamrih. Ada pun ridha berarti rela yang berkaitan dengan qada dan kadar.

Para ulama juga memiliki definisi terkait sikap ini. Berikut uraiannya.

Abu al-Qosim al-Qusyairiy

Menurut Abu al-Qosim al-Qusyairiy, sikap ikhlas adalah menjadikan Allah Swt. Sebagai satu-satunya tujuan dari ketaatan manusia.

Maksudnya, keinginan seseorang yang beriman untuk menaati-Nya dengan mendekatkan diri pada Allah tanpa tercampur oleh tujuan lain.

Misalnya, berbuat untuk mendapatkan imbalan atau pujian dari orang lain dan tujuan lain selain mendekatkan diri pada Allah ta’ala.

Abu ‘Ali ad-Daqqoq

Abu ‘Ali ad-Daqqoq mendefinisikan bahwa ikhlas adalah sikap menjaga dari lirikan makhluk (manusia). Orang ikhlas bukan merupakan orang yang riya.

Al-Harawi

Definisi ikhlas menurut Al-Harawi adalah membersihkan amal dari setiap noda. Beliau juga mengatakan bahwa seseorang yang ikhlas adalah seseorang yang tidak mencari perhatian manusia.

Ketika seseorang memperbaiki hatinya di hadapan Allah dan juga tidak suka jika ada yang memerhatikan amalnya, meskipun hanya seberat biji sawi.

Abu ‘Utsman

Menurut Abu ‘Utsman, ikhlas adalah melupakan pandangan makhluk, yaitu dengan selalu melihat kepada Allah.

Al ‘Izz bin Abdis Salam

Ikhlas menurut Al ‘Izz bin Abdis Salam adalah seorang mukallaf yang melaksanakan ketaatan hanya karena Allah semata.

Ia tidak menggantungkan harapan, pengagungan, dan penghormatan dari orang lain, juga tidak berharap atas manfaat maupun mudharat darinya.

Dari beberapa pengertian ikhlas menurut para ulama di atas, bisa disimpulkan bahwa seseorang yang memiliki sikap ini cenderung melakukan apapun hanya karena Allah. Bukan untuk dipuji dan juga mengharapkan pamrih lainnya.

Perilaku ini juga merupakan salah satu syarat diterimanya amal ibadah seseorang. Jadi, sesering atau sedalam apa pun seseorang beribadah, akan menjadi percuma apabila ia masih mengharapkan pujian dari orang lain.

Tingkatan Keikhlasan

Dalam kitab Nashâihul ‘Ibâd, Syekh Muhammad Nawawi Banten mengatakan bahwa keikhlasan dapat dibagi menjadi tiga tingkatan (Muhammad Nawawi Al-Jawi, Nashâihul ‘Ibâd, [Jakarta: Darul Kutub Islamiyah, 2010], hal. 58).

Membersihkan amal ibadah dari perhatian manusia

Menurutnya, tingkatan yang paling tinggi adalah membersihkan amal ibadah dari perhatian manusia. Berikut adalah pemaparannya.

فأعلى مراتب الاخلاص تصفية العمل عن ملاحظة الخلق بأن لا يريد بعبادته الا امتثال أمر الله والقيام بحق العبودية دون اقبال الناس عليه بالمحبة والثناء والمال ونحو ذلك

fa’ilaa maraatib alikhlas tasfiyat al’amal ‘an mulaakhazhat alkhalaq bialaa yuriid bi’abaadatih ilaa imtitsal amrullah walqiyaam bikhaqi al’ubuudiyati dun iqbaal alnaas ‘alaihi bilmakhabat waltsanaa walmala wanakhaudzalik

Artinya: “Tingkatan tertinggi dari keikhlasan adalah membersihkan perbuatan (amal ibadah) dari perhatian makhluk (manusia) di mana tidak ada yang diinginkan dengan ibadahnya selain menuruti perintah Allah dan melakukan hak penghambaan, bukan mencari perhatian manusia berupa kecintaan, pujian, harta dan sebagainya.”

Orang yang melakukan amal ibadah sama sekali tidak memiliki tujuan apa pun selain semata-mata menaati perintah Allah. Seseorang tersebut menyadari bahwa dirinya merupakan hamba Allah dan Allah adalah tuannya.

Menurutnya, sebagai seorang hamba sudah selayaknya taat dan patuh dalam menuruti setiap perintah-Nya tanpa mengharapkan imbalan.

Di tingkat ini, orang yang melakukan sikap ikhlas tidak memiliki pemikiran akan adanya balasan dari setiap aman dan ibadah yang dijalaninya.

Bahkan, di akhirat kelak Allah akan memasukkannya ke surga atau neraka saja tidak terpikirkan olehnya karena ia semata-mata hanya mengharap ridha-Nya.

Melakukan perbuatan karena Allah dan mengharap balasan di akhirat

Untuk tingkatan yang kedua ini, Syekh Nawawi menjelaskan sebagai berikut,

والمرتبة الثانية أن يعمل لله ليعطيه الح ظوظ الأخروية كالبعاد عن النار وادخاله الجنة وتنعيمه بأنواع ملاذها

walmartabat altsaaniyat ayyu’amalillahi liyu’thiyahu alkhuzhuzhal akhrawiyaat kalbu’ad ‘analnaar waidkholihal janat watana’iyamih bianwaa’i mulaadhihaa

Artinya: “Tingkat keikhlasan yang kedua adalah melakukan perbuatan karena Allah agar diberi bagian-bagian akhirat seperti dijauhkan dari siksa api neraka dan dimasukkan ke dalam surga dan menikmati berbagai macam kelezatannya.”

Orang yang mengamalkan ibadah secara ikhlas pada tingkatan ini melakukannya karena Allah. Namun, ia juga berharap kelak bisa mendapatkan pahala sebagai perbekalan di yaumul akhir.

Ia berharap dapat selamat dari api neraka dan Allah dapat memasukkannya ke tempat yang paling mulia, yaitu surga.

Meskipun mengharapkan sesuatu, beribadah dengan motivasi ini masih dapat digolongkan sebagai ikhlas, tetapi bukan merupakan tingkatan yang paling tinggi.

Dalam Islam, hal ini diperbolehkan lantaran Allah dan Rasulullah saw. sering memberikan motivasi kepada para hamba-Nya dan umat beliau ﷺ untuk melakukan kebaikan dengan mengharap pahala yang besar dan balasan nikmat dari-Nya.

Mengharapkan bagian duniawi

Untuk tingkatan berikutnya, Syekh Nawawi berkata,

والمرتبة الثالثة أن يعمل لله ليعطيه حظا دنيويا كتوسعة الرزق ودفع المؤذيات

walmartabatul tsalitsatu an ya’malalillahi liyu’thiyahu khadhan dunyawiyan katausi’atin rizqi wadafa’il muidzyaati

Artinya: “Tingkatan ikhlas yang ketiga adalah melakukan perbuatan karena Allah agar diberi bagian duniawi seperti kelapangan rizki dan terhindar dari hal-hal yang menyakitkan.”

Tingkatan yang ketiga ini merupakan yang terendah. Ibadah yang dilakukan seseorang dilatarbelakangi oleh keinginannya untuk mendapatkan imbalan duniawi.

Contoh sederhananya adalah seseorang yang melakukan salat sunah atau berdoa dengan harapan agar dimudahkan dalam menjalani hidupnya di dunia, misalnya saja diluaskan rezekinya, mudah mendapat keturunan, mendapatkan kemuliaan di dunia, dan lain sebagainya.

Meski demikian, ibadah dengan motivasi tersebut masih bisa dikategorikan sebagai ikhlas. Hal ini mengingat Islam sendiri juga menawarkan balasan-balasan tersebut bagi umatnya yang mau melakukan amalan atau ibadah.

Lebih lanjut, Syekh Nawawi juga menuturkan apabila seseorang beribadah dengan motivasi selain yang telah dijelaskan di atas, maka hal tersebut dikategorikan ke dalam perbuatan riya.

وما عدا ذلك رياء مذموم

wama ‘adaa dzalika riyaun madzmuum

Artinya: “Selain ketiga motivasi di atas adalah riya yang tercela.”

Ciri-Ciri Ikhlas

Ikhlas dalam Islam adalah beribadah karena Allah ta’ala. Ada pun orang yang ikhlas memiliki ciri-ciri tersendiri. Berikut penjelasannya.

Tidak menunjukkan amal salih

Dalam melakukan amalan atau ibadah, seseorang yang ikhlas cenderung tidak suka menunjukkan amalan salihnya di hadapan orang lain.

Ia sama sekali tidak mengharapkan pujian atau pengagungan dari orang lain agar dianggap hebat.

Baginya, pujian dianggap membuat Allah tidak senang lantaran bisa menjadikannya sebagai pribadi yang sombong.

Menyempurnakan ibadahnya

Seseorang yang ikhlas dalam beribadah senantiasa akan menyempurnakan ibadahnya meskipun ia sedang dalam keadaan sendiri.

Amalan yang dilakukan baik di depan orang lain maupun sendirian tetaplah sama.

Bahkan, ia akan lebih khusyu beribadah saat sendirian. Karena dengan sendirian, ia dapat melakukan yang terbaik untuk menjemput ridha Allah Swt.

Tidak memiliki ambisi sebagai pemimpin

Orang yang ikhlas sudah pasti merupakan orang yang baik, tetapi ia tidak menganggap dirinya adalah yang terbaik. Baginya, ia hanyalah manusia yang jauh dari sempurna.

Saat orang lain menganggapnya sebagai orang yang terbaik dan layak untuk menjadi pemimpin, dirinya justru tidak memiliki ambisi atas hal tersebut.

Selalu mengingat kelemahannya

Orang yang tulus dan ikhlas dalam melakukan segala sesuatu cenderung suka memikirkan bagaimana caranya memperbaiki diri dan menjauhkan dirinya dari dosa.

Ia menganggap bahwa orang lain jauh lebih baik dalam amal perbuatannya dibandingkan dirinya sendiri.

Dari kebaikan orang lain tersebut, ia bisa menjadikannya sebagai pelajaran untuk menjadikannya sebagai pribadi yang lebih taat kepada perintah Allah Swt.

Mau mendengarkan Nasihat

Karena selalu merasa dirinya tidak lebih baik dari orang lain, seseorang yang selalu berlaku ikhlas sangat senang mendengarkan nasihat orang lain, tidak peduli dari siapa nasihat tersebut diperoleh.

Jenis-Jenis Ikhlas dalam Mengamalkan Ibadah

Menurut Syekh Abdullah bin Hijazi As-Syarqawi, terdapat jenis-jenis ikhlas manusia dalam beribadah. Beliau menyebutkan jenis keikhlasan manusia dikategorikan sesuai dengan tingkatan yang bersangkutan.

Perihal ini, Syekh Abdullah bin Hijazi As-Syarqawi menuturkan,

والإخلاص يختلف باختلاف الناس

walikhlashu yakhtalifu bi ikhtilaa finnasi

Artinya: “Dan keikhlasan berbeda-beda untuk setiap orang,” (Syekh As-Syarqawi, Al-Minahul Qudsiyyah alal Hikam Al-Atha’iyyah, [Semarang, Thaha Putra: tanpa tahun], juz I, halaman 11).

Berikut adalah tiga jenis keikhlasan menurut Syekh Abdullah bin Hijazi As-Syarqawi.

Ibad

Keikhlasan ibad (hamba Allah) ini memiliki batas, yaitu pada keselamatan amal dari penyakit riya, baik yang nyata maupun yang tersamar, juga dari unsur nafsu.

Kelompok ini beribadah atau beramal dengan tujuan semata-mata karena Allah ta’ala dengan mengharapkan imbalan pahala dan berharap dapat selamat dari siksa api neraka.

Mereka menyandarkan diri pada amalan tersebut untuk meraih sesuatu yang telah menjadi harapan dan tujuannya. Mereka juga menisbahkan amal tersebut untuk diri mereka sendiri.

Muhibbin

Muhibbin (para pencinta Allah) mengamalkan sesuatu atau ibadah karena Allah ta’ala juga mengangungkan dan membesarkan-Nya karena mereka menganggap bahwa memang Allah yang berhak atas keagungan dan kebesaran tersebut.

Kelompok ini beribadah tanpa mengharapkan pahala dan terbebas dari siksa api neraka.

Arifin

Keikhlasan dari kelompok arifin (ahli makrifat) yaitu ketika melakukan amal atau ibadah dengan keyakinan mereka atas tauhid kepada Allah SWT. Termasuk dalam menggerakkan dan meredakan perilaku mereka.

Kelompok ini sama sekali tidak melihat kekuatan atau daya pada diri mereka. Menurut cara pandangnya, ibadah yang dilakukan dapat dijalani karena kekuatan Allah, bukan karena kekuatan dan daya dari dalam diri mereka sendiri.

Penjelasan oleh Syekh Abdullah bin Hijazi As-Syarqawi dijelaskan dalam kitab Al-Hikam Al-Athaiyyah sebagai berikut,

الأعمال صور قائمة وأرواحها وجود سر الإخلاص فيها

al ‘amaalu shuwarun qaimatun wa arwukhahi wujuudu siril ikhlashi fiiha

Artinya: “Amal adalah bentuk-bentuk raga kosong yang tegak. Sedangkan jiwa darinya adalah adanya keikhlasan di dalamnya,” (Ibnu Athaillah, Al-Hikam).

Manfaat Ikhlas dalam Kehidupan

Dalam penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa ikhlas berarti merupakan suatu sikap yang terpuji dan disukai oleh Allah Swt. Dari cabang keimanan lain, ikhlas merupakan salah satu maqam spiritual tertinggi yang menjadi salah satu penentu diterimanya aman atau ibadah seseorang.

Dengan selalu ikhlas dalam menjalani sesuatu, ada banyak manfaat yang bisa kamu peroleh.

Ketenangan Batin

Rasulullah saw. pernah bersabda, “Siapa saja yang menjadikan kehidupan dunia sebagai dambaannya, Allah akan menjauhkannya dari tujuannya itu dan menjadikan kehidupannya dalam kekurangan. Kehidupan dunia tidak akan diperolehnya kecuali yang hanya telah ditetapkan baginya. Sebaliknya, siapa saja yang menjadikan akhirat sebagai niat yang melatarbelakanginya, maka Allah akan memenuhi semua urusannya dan juga menjadikan kecukupan di dalam hatinya dan dunia menghampirinya dan dunia itu adalah sesuatu yang hina (di matanya)” (HR. Ibnu Majah, dalam Az Zawa’id no. 4105).

Jika kamu terbiasa melakukan segala sesuatu dengan ikhlas tanpa mengharap imbalan apa pun, hatimu juga akan jernih. Keikhlasan membuat seseorang menjadi lebih tenang. Tak ada pikiran-pikiran negatif yang menyelimuti kehidupannya.

Hati orang ikhlas selalu terfokus pada satu tujuan yang tak lain adalah ridha-Nya. Ia hanya memiliki hasrat untuk meniti jalan yang membawanya kepada ridha Allah.

Tidak dipungkiri bahwa kekuatan untuk mencapai tujuan tersebut dapat menjadikannya sebagai insan yang selalu tenang, sekalipun sedang dilanda oleh musibah atau kebingungan dalam mencari jalan hidupnya.

Terkait hal ini, Rasulullah saw. pernah bersabda,

مَنْ جَعَلَ اْلهُمُوْمَ هَمًّا وَاحِدًا، كَفَاهُ اللهُ هَمَّ دُنْيَاهُ وَمَنْ تَشَعََبَتْهُ اْلهُمُوْمَ، لَمْ يُبَالِ اللهُ فيِ أَيِّ اَوْدِيَةِ الدُّنْيَا هَلَكَ

man ja’alaa humuuma hamma waakhidan, kafaa hullahu hamma dunyaa huwaman tasya’a. bathul humuum, lam yubaa lillahu fii ay awdiyati ddunyaa halak

Artinya: “Barangsiapa menjadikan berbagai hasrat hanya terfokus pada satu hasrat, maka Allah mencukupkannya dari kerisauan dunia. Dan barang siapa hasratnya bercabang-cabang, Allah tidak akan mempedulikannya di penjuru dunia mana ia mengalami kehancuran dan kebinasaan.” (HR. al-Hakim dan al-Baihaqi)

Konsisten dalam beramal

Melakukan ibadah hanya karena Allah biasanya akan menjadikan seseorang tetap istiqamah. Dalam pikirannya, ia tak perlu memamerkan perbuatannya kepada orang lain.

Jika memiliki niat pamer, seseorang cenderung tidak akan beribadah lagi apabila tidak ada yang melihat.

Alasan mengapa ia rajin beribadah adalah karena ia menyadari bahwa Allah selalu mengawasi segala sesuatu yang dilakukannya. Apabila tidak istiqamah, ia takut jika tidak bisa mendapatkan ridha-Nya.

Allah ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an Surat Huud ayat 112, yang bunyinya:

”Maka tetap istiqamahlah kamu (pada jalan yang benar), sebagaimana diperintahkan kepadamu, dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan”

Mendapatkan pahala dari suatu amal, meski belum selesai atau dilakukan sekalipun

Keutamaan selalu bersikap ikhlas adalah tetap mendapatkan pahala dari suatu amalan yang kamu kerjakan. Meskipun amalan tersebut belum selesai atau belum kamu lakukan sama sekali.

Hal tersebut telah dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat An Nisa ayat 100, yang berbunyi:

“Siapa saja keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

Rasulullah saw. juga bersabda, di mana bunyinya adalah sebagai berikut:

“Barangsiapa sungguh-sungguh memohon mati syahid maka Allah menghantarkannya ke kedudukan orang-orang yang mati syahid sekalipun dia mati di atas kasurnya.” (HR. Muslim).

Mendapatkan kekuatan spiritual

Seseorang yang selalu ikhlas senantiasa akan diberikan kekuatan spiritual oleh Allah Swt. Allah juga menceritakan perihal ini dalam Al-Qur’an Surat Al Baqarah ayat 249.

“Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan bertemu Allah, berkata, ‘Betapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah.’ Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”

Orang yang beriman dan melakukan segala sesuatu atas dasar mendapatkan ridha Allah akan selalu diberi kekuatan. Ia tidak mudah lemah atas janji-janji yang dibuat oleh manusia, tidak takut karena ancaman, tidak mudah merasa takut kecuali pada Allah, dan tidak menjadi hina karena keserakahan.

Senantiasa mendapatkan pertolongan Allah di saat menghadapi kesulitan

Allah senantiasa memberikan pertolongan-Nya kepada hamba-Nya yang sedang mengalami kesulitan, terutama jika hambanya adalah seseorang yang selalu mengedepankan keikhlasan.

Allah juga selalu mengabulkan doanya, memenuhi seruannya, dan menyingkirkan kesulitan yang menimpa dirinya.

Hidup aman dan tenteram

Perlu diketahui bahwa manfaat dari ikhlas tidak hanya didapatkan kelak di akhirat saja. Saat masih hidup di dunia pun, kamu juga bisa mendapatkan kebaikan, seperti hidup yang aman, nyaman, dan tenteram.

Tak heran bahwa makna ikhlas dalam hidup sangatlah baik. Untuk urusan dunia, ikhlas dapat membuat seseorang dimudahkan atas segala urusannya.

Jika tidak ada keikhlasan, niscaya akan banyak kemunafikan, kehidupan menjadi kacau, dan lepas kendali. Orang-orang tidak ragu lagi untuk menzalimi orang lain lantaran sudah dikuasai oleh hawa nafsu dan semata-mata hanya memiliki tujuan untuk memperkaya diri dari segi materi saja.

Demikian pembahasan mengenai ilmu ikhlas yang berhasil Hasana.id rangkum. Semoga informasi di atas dapat bermanfaat untukmu.

Tak lupa, semoga pembahasan di atas juga bisa menjadi pengingat bagimu untuk selalu melakukan kebaikan. Jangan lupa untuk selalu ikhlas dalam melakukan segala sesuatu untuk mendapatkan ridha Allah SWT.

Sumber:

http://www.piss-ktb.com/2013/07/2517-definisi-tingkatan-hakikat-dan.html

https://islam.nu.or.id/post/read/103298/tiga-tingkatan-ikhlas-menurut-syekh-nawawi-banten

https://islam.nu.or.id/post/read/123572/3-jenis-ikhlas-dalam-beramal-ibadah?_ga=2.53408232.1778542574.1612150764-2098972206.1612150764