Memahami Amar Maruf Nahi Munkar dan Cara Menerapkannya secara Tepat

Meskipun istilah amar ma’ruf nahi munkar merupakan suatu hal yang tidak asing di telinga, tak sedikit umat Islam yang kurang memahaminya.

Pada hakikatnya, hal ini merupakan bagian dari usaha untuk menegakkan agama serta kemaslahatan di tengah masyarakat.

Sementara itu, secara spesifik, amar ma’ruf dan nahi munkar lebih condong pada hal-hal yang dilakukan untuk menghindari kemungkaran.

Untuk memahami lebih lanjut mengenai amar ma ruf nahi munkar, kamu bisa menyimak penjelasan Hasana.id berikut ini.

Pengertian Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang Perlu Kamu Tahu

Amar ma’ruf nahi munkar merujuk pada usaha menegakkan agama serta kemaslahatan di tengah-tengah umat.

Adapun tujuan utamanya adalah untuk menjauhkan apa pun yang negatif di tengah umat tanpa mengakibatkan dampak negatif yang lebih besar lagi.

Secara teori, menerapkan hal ini mungkin terdengar dan terlihat mudah.

Akan tetapi, jika telah dikaitkan dengan konteks berbangsa dan bernegara, penerapannya tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Oleh sebab itu, orang yang melakukannya harus sudah memahami betul-betul perkara yang akan disikapi supaya tidak terjadi kesalahan atau kekeliruan.

Dalam kitabnya yang berjudul Tafsir Munir, Syaikh an-Nawawi Banten mengatakan bahwa amar ma ruf nahi munkar statusnya adalah fardhu kifayah.

Artinya, kamu tidak boleh melakukannya kecuali telah tahu benar keadaan dan strategi bermasyarakat.

Tanpa mengerti benar akan hakikatnya, ditakutkan kamu malah akan menjerumuskan orang-orang yang hendak disadarkan melakukan perbuatan dosa yang jauh lebih parah.

Perlu kamu tahu, ada orang-orang yang justru mengajak atau memerintahkan pada hal yang mungkar dan sebaliknya, malah melarang perkara yang ma’ruf.

Tahapan Amar Ma’ruf Nahi Munkar Menurut Rasulullah

Sementara itu, ada beberapa prosedur atau tahapan yang wajib dilakukan untuk merealisasikan amar ma’ruf nahi munkar. Berikut penjelasan masing-masing tahap tersebut.

Lakukan dengan Tangan, Lisan, kemudian Hati

Hal ini sejalan dengan sabda Baginda Rasul sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim berikut ini:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِّهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ

Man ra aminkum munkaran falyughayyarhu biyaddihi faa illam yastathi’ fabilisanihi wa mallam yastathi’ fabiqalbihi wa dzalika adh’aful imani.

Artinya:

“Barang siapa d iantara kalian melihat kemungkaran maka hendaknya ia menghilangkannya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Orang yang tidak mampu _dengan lisannya, maka dengan hatinya. Dan dengan hati ini adalah selemah-lemahnya iman.”

Berbeda dengan apa yang umumnya dipahami oleh orang-orang, maksud dari hadits tersebut adalah jika melihat kemungkaran dan sanggup menghilangkannya dengan tangan, kamu seharusnya tidak berhenti dengan menggunakan lisan saja.

Sementara itu, jika tidak mampu menggunakan tangan dan hanya sanggup menghilangkannya dengan lisan, kamu tidak boleh berhenti hanya dengan hati saja.

Dalam Raudlatut Thalibin, Imam Muhyiddin an-Nawawi menjelaskan sebagai berikut:

ولا يكفي الوعظ لمن أمكنه إزالته باليد، ولا تكفي كراهة القلب لمن قدر على النهي باللسان

Artinya:

“Tidak cukup memberi nasihat bagi orang yang mampu menghilangkan kemungkaran dengan tangan. Dan tidak cukup ingkar di dalam hati bagi orang yang mampu mencegah kemungkaran dengan lisan.”

Tindakan Ringan Dahulu, Baru yang Lebih Berat

Kemudian, dalam proses amar ma’ruf nahi munkar, kita diharuskan untuk mendahulukan tindakan yang paling ringan terlebih dahulu sebelum mengambil tindakan yang berat.

Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Abdul Hamid asy-Syarwani dalam kitabnya, yaitu Hasyiyah asy-Syarwani.

والواجب على الآمر والناهي أن يأمر وينهى بالأخف ثم الأخف. فإذا حصل التغيير بالكلام اللين فليس له التكلم بالكلام الخشن وهكذا كما قاله العلماء

Artinya:

“Wajib bagi orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar untuk bertindak yang paling ringan dahulu, kemudian yang agak berat sehingga ketika kemungkaran sudah bisa hilang dengan ucapan yang halus, maka tidak boleh dengan ucapan yang kasar. Dan begitu seterusnya.”

Kutipan di atas mungkin sudah cukup menjelaskan kewajiban seorang muslim dalam memberi nasihat.

Utamakan untuk menggunakan ucapan yang halus dibanding yang kasar jika memang ucapan halus tersebut sudah bisa menghilangkan kemungkaran.

Oleh karena itu, dalam menjalankan amar ma’ruf nahi munkar, sudah sepantasnya kita berlaku lebih bijak dan arif.

Lakukan secara Bertahap sesuai Prioritas

Untuk mendapatkan hasilnya, kita tidak selalu harus menghilangkan kemungkaran secara menyeluruh pada satu waktu yang sama. Lebih baik kita menghilangkannya sedikit demi sedikit.

Menurut Sayyid Abdullah ibn Husain ibn Tohir, umat Islam yang menunaikan amar ma’ruf nahi munkar seharusnya bersikap lembut dan penuh belas kasihan kepada sesama.

Ia juga harus bertindak dengan cara bertahap, tidak memaksakan untuk meluruskan sesuatu dalam satu waktu.

Misalnya ketika kamu melihat ada orang-orang yang meninggalkan beberapa perintah Allah Swt., ajaklah mereka untuk menunaikan kewajiban yang paling penting terlebih dahulu.

Setelah mereka menunaikan hal tersebut, barulah kamu memerintahkan mereka untuk menjalankan kewajiban yang lain.

Hal ini selaras dengan kutipan dari kitab Al-Minhaj as-Sawi berikut ini.

ينبغي لمن أمر بمعروف أو نهى عن منكر أن يكون برفق وشفقة على الخلق يأخذهم بالتدريج فإذا رآهم تاركين لأشياء من الواجبات فليأمرهم بالأهم ثم الأهم فإذا فعلوا ما أمرهم به انتقل إلى غيره وأمرهم وخوفهم برفق وشفقة مع عدم النظر منه لمدحهم وذمهم وعطاءهم ومنعهم وإلا وقعت المداهنة وكذا إذا ارتكبوا منهيات كثيرة ولم ينتهوا بنهيه عنها كلها فليكلمهم في بعضها حتى ينتهوا ثم يتكلم في بعضها حتى ينتهوا ثم يتكلم في غيرها وهكذا.

Artinya:

“Orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar harus bersikap lembut dan belas kasih kepada manusia, ia harus bertindak pada mereka dengan bertahap. Ketika ia melihat mereka meninggalkan beberapa kewajiban, maka hendaknya ia memerintahkan pada mereka dengan perkara wajib yang paling penting, kemudian perkara yang agak penting. Kemudian, ketika mereka telah melaksanakan apa yang ia perintahkan, maka ia berpindah pada perkara wajib lainnya. Hendaknya ia memerintahkan pada mereka dan menakut-nakuti mereka dengan lembut dan belas kasih. Begitu juga ketika mereka melakukan larangan-larangan agama yang banyak dan mereka tidak bisa meninggalkan semuanya. Hendaknya ia berbicara kepada mereka di dalam sebagiannya saja hingga mereka menghentikannya, kemudian baru berbicara sebagian yang lain, begitu seterusnya.”

Mendalami Maksud Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Contohnya

Uraian di atas kiranya telah cukup menerangkan bahwa memang amar ma’ruf nahi munkar merupakan suatu hal yang diajarkan oleh agama Islam.

Frasa dalam bahasa Arab yang mengandung perintah untuk menegakkan yang benar dan melarang sesuatu yang salah tersebut telah menjadi napas kaum muslim sejak dahulu.

Tak jarang, frasa ini juga menjadi motivasi dan bahkan menumbuhkan rasa tanggung jawab untuk selalu menjalankan hal yang benar dan melarang perbuatan yang salah.

Meskipun begitu, sebagian kaum muslim, terutama yang baru mendalami agama Islam, sering kali memahami frasa tersebut dengan maksud yang berbeda.

Alasannya adalah persepsi tentang benar dan salah cenderung mempunyai perbedaan, apalagi mengingat saat ini umat Islam mengikuti mazhab yang berbeda-beda pula.

Oleh karena itu, mereka cenderung membuat klaim-klaim pribadi, baik tentang apa yang dikatakan sebagai kebenaran maupun kesalahan.

Menentukan Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar

Terkait hal ini, K.H. Buya Syakur Yasin menegaskan bahwa amar ma’ruf nahi munkar tidak bisa dimengerti secara mentah-mentah karena yang hanya akan menghasilkan hukum rimba.

Perbuatan ‘amar ma’ruf justru seharusnya cenderung diartikan untuk wilayah kita sendiri agar mengerjakan perbuatan yang benar.

Contohnya, dalam menolong orang lain, kita tidak perlu meminta izin kepada seseorang terlebih dahulu karena ‘amar ma’ruf memang diajarkan agar kita berbuat kebaikan.

Akan tetapi, akan berbeda dengan istilah nahi munkar yang pada hakikatnya membutuhkan sebuah undang-undang untuk disepakati yang mengatur hal tersebut.

Pertama-tama, harus disepakati lebih dahulu hal-hal apa saja yang termasuk dalam kemungkaran atau kesalahan.

Jadi, tidak ada lagi kesalahpahaman bahwa kemungkaran yang dimaksud di sini berkaitan erat dengan hal ideologi atau bahasa agama.

Sebagai contoh, tindakan-tindakan kriminal patut disebut sebagai salah satu bentuk kemungkaran.

Sementara itu, apabila ada suatu golongan yang membangun sebuah gereja, hal tersebut seharusnya tidaklah dianggap sebagai kemungkaran.

Sungguh tidak manusiawi jika seseorang yang membangun tempat ibadah disebut sedang melakukan kemungkaran.

Menerapkan Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar

Salah satu contoh penerapan amar ma’ruf dan nahi munkar adalah jika terjadi tindakan kriminal, tidak seharusnya kita menindak hal tersebut dengan tangan sendiri.

Yang seharusnya dilakukan adalah menyerahkan pelaku kriminal tersebut kepada kepolisian sebagai pihak berwajib.

Artinya, tidak dibenarkan bagi kita untuk menangani pelaku kriminal tersebut sendiri dengan cara memukul atau melakukan hal-hal yang sama biadabnya dengan perilaku kriminal tersebut.

Hal demikian tentu bukanlah amar ma’ruf nahi munkar, hanya sebuah perwujudan dari hukum rimba.

Dalam bahasa agama, perbuatan-perbuatan, seperti berzina dan berjudi memang termasuk dalam kemungkaran.

Akan tetapi, bukan berarti kita bisa menghukum orang yang melakukannya begitu saja. Harus ada tata cara yang benar dalam menindak kemungkaran tersebut.

Kita tidak seharusnya tiba-tiba bertindak sendiri hanya karena memahami bahwa perbuatan tersebut merupakan kemungkaran.

Oleh karena itu, solusi yang paling tepat adalah menjadikan peraturan yang telah disepakati sebagai dasar untuk menerapkan amar ma’ruf dan nahi munkar.

Dengan demikian, frasa tersebut tidak diartikan secara berbeda oleh orang-orang tertentu dan malah akhirnya menyebabkan munculnya hukum rimba di tengah umat.

Contoh Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam Kehidupan Sehari-hari

Amar ma’ruf nahi munkar memang bisa diterapkan di berbagai sisi kehidupan, bukan hanya dalam kehidupan bermasyarakat dalam hal menindak perilaku kriminal.

Salah satunya adalah mengingkari kemungkaran yang terlihat dan diketahui sebagai kemungkaran.

Dalam kehidupan sehari-hari, hal itu dapat dicontohkan dengan terdengarnya suara lagu dari suatu tempat.

Jika kamu mendengar suara lagu yang diharamkan serta alat-alat hiburan dan kamu tahu dari mana sumber suara tersebut, kamu wajib menjauhinya.

Hal itu karena kamu telah tahu bahwa hal tersebut termasuk kemugnkaran dan tahu tempatnya.

Contoh penerapan lainnya adalah menjauhi kemungkaran yang telah disepakati sebagai kemungkaran.

Sebagaimana disebutkan di atas, sudah sepantasnya ada kesepakatan yang mengatur hal apa saja yang termasuk dalam kemungkaran.

Misalnya, kamu telah mengetahui bahwa mencuri merupakan kemungkaran, baik dalam agama Islam maupun secara hukum di Indonesia.

Oleh karena itu, sangat wajar kiranya bagi kita untuk mengingkari perbuatan tersebut.

Selain menerapkannya pada diri sendiri, kamu juga bisa menegakkan hal ini pada orang lain, selama masih dalam batas wajar dan tidak memaksa.

Dalam kehidupan sekolah, hal ini dapat diimplementasikan dengan cara mencegah teman yang akan mencuri sesuatu serta mengajak teman yang muslim untuk berpuasa dan shalat berjamaah.

Kemudian, dapat juga diterapkan dengan saling menasihati dalam kebaikan, tidak berbuat dzalim kepada orang lain, dan menolong seseorang yang sedang dalam kesusahan.

Pemahaman Arti Amar Ma’ruf Nahi Munkar Menurut Imam al-Ghazali

Dalam kitabnya yang berjudul Ihya ‘Ulumuddin, Imam al-Ghazali juga menjelaskan mengenai perkara ini.

Termasuk di dalamnya dijelaskan mengenai tingkatan serta landasan wajib dalam melaksanakan hal tersebut.

Menurut al-Ghazali, syarat-syarat wajib melaksanakan hal ini selaras dengan kode etik berdakwah.

Oleh karena itu, konsep amar ma’ruf nahi munkar yang ada dalam kitab tersebut lebih cenderung sebagai pedoman seorang da’i atau guru agama dalam menyampaikan dakwahnya.

5 Tingkatan Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Kelima tingkatan yang dimaksud oleh Imam al-Ghazali dalam hal ini adalah at-ta’rif, al-wa’dzu bil kalamil latif, as-sabbu wat ta’nif, al-maun’u bil qahr, dan at-takhwit wat tahdid bid dharb.

At-ta’rif artinya memberi tahu atau memperkenalkan. Dalam tahap ini, seseorang yang memiliki ilmu hendaknya memberitahukan perkara yang haram dan halal kepada saudara muslim lainnya.

Diperkenalkan juga bahwa Al-Qur’an dan hadits Rasulullah saw. merupakan pedoman hidup umat Islam, juga siapa ulama yang mengajarkannya.

Sementara itu, al-wa’dzu bil kalamil latif artinya menasihati dengan cara yang lembut. Pada tingkatan ini, nasihat harus diucapkan tanpa nada memaksa atau suara yang keras.

Kemudian, as-sabbu wat ta’nif merujuk pada mencela atau memaki dengan keras. Pada tahap ini, kamu diperbolehkan menggunakan suara yang keras.

Akan tetapi, perlu dicatat bahwa kata-kata yang keji, tidak senonoh, tidak sopan, dan kotor tetap tidak diperkenankan untuk digunakan.

Adapun al-maun’u bil qahr artinya mencegah secara langsung.

Dalam tahap ini, seseorang boleh melakukan tindakan fisik untuk menghilangkan kemungkaran, misalnya dengan mengambil barang curian dan mengembalikan kepada pemiliknya.

Terakhir, at-takhwit wat tahdid bid dharb artinya menakut-nakuti atau mengancam dengan pukulan.

Pada tahap ini, seseorang bisa menakut-nakuti dengan siksaan dalam rangka menghilangkan kemungkaran.

Dengan mengikuti pedoman yang tepat, diharapkan upaya untuk menghapuskan kemungkaran tidak akan menyebabkan kemungkaran baru yang lebih besar.

Menurut K.H. Zamroni Umar, hadits tentang amar ma’ruf nahi munkar yang diriwayatkan Imam Muslim tersebut juga menjelaskan siapa orang yang diminta untuk melakukannya.

Jika menilik kembali hadits tersebut, amar ma’ruf nahi munkar menjadi kewajiban bagi golongan umat yang mukallaf, berakal, dan dewasa.

Ia menambahkan bahwa menghilangkan kemungkaran dengan kekuasaan dan tangan merupakan tugas aparat pemerintah.

Adapun menghapus kemungkaran dengan menggunakan ucapan menjadi tugas para ulama dan Sedangkan mengubah kemungkaran dengan hati merupakan tugas bagi semua pemilik hati.

3 Landasan Wajib Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Dalam kitab Ihya Ulumiddin, Imam al-Ghazali juga menjelaskan mengenai tiga landasan dalam menjalankan amar ma’ruf nahi munkar (ber-hisbah).

Memiliki Ilmu

Landasan yang pertama adalah ilmu. Seseorang yang ber-hisbah hendaknya tahu mengenai hal-hal terkait obyek yang sedang dijalankan tersebut.

Wajib juga bagi orang tersebut untuk memahami batas-batas hisba dan larangan hisbah supaya orang yang menjadi obyek tidak melanggar ketentuan-ketentuan syari’at dalam ber-hisbah.

Selain itu, dia juga sepatutnya sudah memahami beberapa situasi dan kondisi dijalankannya hisbah itu sendiri.

Wara’ (Berhati-hati)

Kedua, seseorang yang ber-hisbah hendaknya mempunyai sifat wara’ atau wira’i, yang artinya sikap berhati-hati.

Sifat berhati-hati tersebut dapat membuat seseorang yang ber-hisbah lebih terkendali untuk tidak melakukan sesuatu yang justru tidak sesuai dengan ilmunya.

Tak semura orang yang berilmu mengamalkan apa yang dimilikinya tersebut.

Bahkan, ada juga orang yang ber-hisbah itu mengerti bahwa dirinya telah melampaui batas-batas hisbah yang diperbolehkan oleh syari’at.

Akan tetapi, orang tersebut malah dengan sengaja melakukan sesuatu yang dilarang untuk meraih apa yang diinginkannya.

Dengan mempunyai sifat berhati-hati, ucapan serta nasihat seseorang yang ber-hisbah juga akan lebih diterima dan didengar oleh orang lain.

Ketika seseorang berhisbah tanpa mendasarinya dengan sifat wara’, ia hanya akan menjadi bahan tertawaan saja atau bahkan ditentang.

Perilaku yang Baik

Ketiga, seseorang yang ber-hisbah hendaknya mempunyai perangai yang baik.

Mengajak orang lain menuju amal kebaikan dan mencegah terjadinya perbuatan mungkar sudah seharusnya diikuti dengan budi pekerti yang bagus.

Hal ini juga wajib dibarengi dengan sikap penuh kasih sayang dan lemah lembut. Oleh karena itu, budi pekerti yang baik menjadi salah satu inti dari ber-hisbah.

Dijelaskan oleh M. Hubab Nafi’ Nu’man rohmatullah bahwa muara dari adab-adab menjalankan amar ma’ruf nahi munkar ada pada tiga hal di atas.

Akan tetapi, dasar utamanya tetaplah mempunyai budi pekerti yang baik.

Menurutnya, seseorang yang ber-hisbah akan sukses jika ia mempunyai tiga sifat tersebut. Sebaliknya, mereka cenderung akan gagal jika menunaikannya tanpa diikuti dengan hal tersebut.

Bahkan, Hubab menambahkan, hisbah orang-orang tersebut akan berujung pada tindakan yang mungkar sebab telah melewati batas-batas hisbah yang diperbolehkan oleh agama.

Hubab juga menjelaskan bahwa dasar dari tiga landasan tersebut adalah sabda Rasulullah saw. berikut ini.

“Dasar dari tiga sifat di atas adalah sabda Nabi saw.: Janganlah melakukan amar ma’ruf nahi munkar kecuali orang yang bersikap lemah-lembut, bijaksana dan faham dalam perkara bagus yang ia perintahkan dan dalam perkara mungkar yang ia cegah,”

Kesimpulan

Ada beberapa kesimpulan yang bisa diambil dari paparan di atas. Pertama, hukum amar ma’ruf nahi munkar adalah fardu kifayah.

Kedua, hak amar ma’ruf hanya dimiliki oleh pemerintah untuk kemungkaran tingkat tertentu sehingga perseorangan atau kelompok tidak berhak untuk melakukannya.

Ketiga, amar ma’ruf nahi munkar seharusnya dilakukan secara bertahap dari hal yang paling ringan ke yang lebih berat dan seterusnya.

Keempat, amalan ini hendaknya dilakukan semampunya, artinya kamu tidak dibenarkan memaksakan diri untuk melakukannya.

Terakhir, hal ini seharusnya tidak mengakibatkan fitnah yang lebih besar baik terhadap diri orang yang memberi peringatan maupun pihak-pihak lain.

Oleh karena itu, setelah memahami pembahasan mengenai amar ma’ruf nahi munkar ini, sudah sepantasnya kita dapat menerapkannya sesuai porsi masing-masing. Wallahu’alam.

Referensi:

https://www.nu.or.id/post/read/97898/cara-amar-maruf-nahi-munkar-menurut-imam-al-ghazali

https://www.nu.or.id/post/read/96008/amar-maruf-nahi-munkar-versi-imam-ghazali

https://islam.nu.or.id/post/read/84166/memahami-amar-maruf-nahi-munkar-secara-benar

https://www.laduni.id/post/read/68974/memahami-amar-maruf-nahi-munkar-secara-benar