Mengenal Lebih Dekat Syekh Abdul Qadir Jailani

Siapa Syekh Abdul Qadir Jailani? Barangkali ada sebagian dari kamu yang sudah mengenalnya. Namun, jika memang belum pernah mendengar nama tersebut, sebaiknya jangan lewati satu poin pun dalam artikel kali ini. Yuk! Kenal lebih dekat dengan sosok yang satu ini.

Syekh Abdul Qadir Jailani adalah salah satu ulama fikih sekaligus tasawuf yang dihormati oleh pengikuti Islam Sunni, tidak terkecuali di Indonesia. Selain itu, beliau juga seorang sufi populer, wali, guru besar, penulis dan sastrawan, serta pendiri tarekat.

Sosok yang satu ini memiliki banyak gelar, penguasaan ilmu, hingga karya-karya yang sampai saat ini masih banyak dikaji di berbagai tempat. Pandangan-pandangannya masih banyak diikuti, bahkan ada tradisi khusus untuk memperingati hari kelahiran beliau di berbagai wilayah di Indonesia, yaitu manaqib.

Biografi Syekh Abdul Qadir Jailani

Syekh Abdul Qadir Jailani lahir pada tahun 470 Hijriah (1077 Masehi) di Nif (Na’if), sebuah kota di Provinsi Gilan (Jaelan/Jailan/Guilan), kini wilayah Iran. Pada waktu itu provinsi di selatan Laut Kaspia masih menjadi bagian dari Persia di bawah kekhalifahan Islam, Dinasti Abassiyah.

Tokoh bernama asli Sayyid Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qadir lahir dari keluarga soleh. Ibunya Fatimah, putri dari Abdullah as-Shumi’I yang merupakan seorang ulama terkemuka di Gilan keturunan Sayina Husain bin Ali. Sedang ayahnya Abdullah Abu Shalih keturunan Sayidina Hasan bin Ali, cucu Rasulullah.

Soleh sejak kecil, Syekh Abdul Qadir Jailani memang punya hobi menuntut ilmu. Awalnya belajar Alquran di daerah tempat tinggalnya. Lalu pergi ke Baghdad untuk berguru kepada para ulama di sana. Salah satunya Abu Said Al Mubarak ibn ‘Ali Al Mukhrami yang kelak mewariskan madrasahnya pada beliau.

Setelah banyak belajar, beliau baru terdorong menularkan berbagai pemikirannya ketika beranjak usia paruh baya. Syekh Abdul Qadir Jailani juga menikah pada usia relatif uzur, yakni 51 tahun. Namun, dari pernikahan tersebut beliau dianugerahi banyak keturunan, jumlahnya sekitar 40 orang anak.

Pada malam Sabtu tanggal 10 Rabiul Akhir 561H, sekitar 13 Februari 1166 Syekh Jailani wafat pada usia 90 tahun. Beliau dimakamkan di komplek Madarasah Qadariyah Kota Baghdad, Irak. Sampai kini, lokasi tersebut masih menjadi salah satu tujuan para peziarah.

Kisah Syekh Abdul Qadir Jailani

Nama Syekh Abdul Qadir Jailani begitu populer di telinga masyarakat muslim Indonesia. Khusus di Pulau Jawa dan Madura, masyarakat mengembangkan tradisi manaqib Syekh Abdul Qadir Jailani yang biasanya digelar bersamaan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad saw.

Manaqib sendiri berarti biografi. Sedangkan manaqiban adalah kegiatan pembacaan riwayat dan kisah-kisah Syekh Abdul Qadir Jailani. Berikut dua contoh riwayat tentang karomah-karomah tokoh bergelar sulthanul auliya (raja para wali) tersebut.

Selalu Berkata Jujur

Konon, keberangkatan Syekh Abdul Qadir Jailani ke Baghdad terjadi ketika usianya masih 18 tahun. Waktu itu beliau sudah menjadi anak yatim, sehingga ibu menitipkannya kepada rombongan kafilah. Sang ibu membekalinya dengan 40 keping emas, juga berpesan agar putranya selalu jujur.

Perjalanan ke Baghdad diwarnai kendala. Perampok mengadang laju kafilah tersebut, salah satunya menghadapi Abdul Qadir muda.

Dia bertanya kepada pemuda itu tentang barang bawaannya yang berharga.Tentu saja, Abdul Qadir muda menjawab jujur dan tegas bahwa dia membawa 40 keping emas.

Tidak percaya, gerombolan perampok menanyainya sampai beberapa kali dan jawabannya tetap sama. Kemudian pemimpin mereka penasaran, lalu mencari tahu bagaimana anak itu bisa sedemikian jujurnya.

Anak itu pun menyampaikan pesan ibunya, sekaligus menerangkan bahwa Allah senantiasa mengawasinya, sehingga mustahil dirinya berbohong. Jawaban itu cukup mengejutkan bagi para perampok. Mereka tidak menyangka calon korbannya bisa menyampaikan sesuatu yang begitu jujur.

Tubuh mereka pun melemas, tanpa sanggup merespon pernyataan pemuda itu lebih lanjut. Maka, lewat perantara mulut Abdul Qadir Jailani muda, Allah memberi hidayah kepada para perampok tadi.

Konon, mereka pun bertobat dan kelak menjadi pengikut Syekh Abdul Qadir Jailani. (Habib Abdullah: Ajaran Tasawuf Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, 2003)

Awal Mula Berdakwah

Suatu ketika, syekh untuk pertama kalinya akan berbicara di depan jamaah masjid di Baghdad. Namun, beliau canggung dan kebingungan, tidak percaya bahwa dirinya bisa naik ke mimbar dan menyampaikan dakwah.

Sebelum tiba waktunya, beliau hendak melaksanakan salat Dhuhur. Tiba-tiba datang Rasulullah yang bertanya alasan kebingungannya.

Setelah mengemukakan kebingungannya, Rasulullah menyuruhnya membuka mulut, lalu meludahinya tujuh kali dan berpesan agar syekh berdakwah dengan baik.

Rasulullah pun pergi, sehingga syekh kemudian mengerjakan salat Dhuhur. Sayangnya, beliau masih kebingungan, bahkan sampai para jamaah masuk masjid dan beliau sudah naik mimbar. Tubuhnya gemetar dan berkeringat dingin, mulutnya belum bisa mengucapkan apa-apa.

Lagi-lagi keajaiban terjadi, Sayidina Ali mendadak muncul di hadapan syekh. Beliau meniru pertanyaan Rasulullah dan mendapatkan jawaban yang sama dari syekh.

Sekali lagi syekh diminta membuka mulut, lalu Sayidina Ali meludahinya. Kali ini hanya sebanyak enam kali, demi menghormati Rasulullah. Sayidina Ali pun menyingkir dari hadapan syekh, tetapi beliau masih mengamatinya dari kejauhan.

Pada akhirnya Syekh Abdul Qadir Jailani mulai bisa berbicara dengan lugas, menyampaikan dakwah dan nasihat-nasihat yang baik, sebagaimana pesan Rasulullah. (Habib Ali bin Hasan Baharun: al-Fawāid al-Mukhtārah Lisāliki Ṭarīq al-Ākhirah)

Itu baru dua kisah dari ratusan yang termuat dalam manaqib Syekh Abdul Qadir Jailani. Patut diingat bahwa karomah Syekh Abdul Qadir Jailani adalah pemberian Allah Ta’ala dan hanya bisa terjadi atas izin-Nya. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-A’raf 54 dan Surat Yasin ayat 82.

ٱسْتَوَىٰ عَلَى ٱلْعَرْشِ يُغْشِى ٱلَّيْلَ ٱلنَّهَارَ يَطْلُبُهُۥ حَثِيثًا وَٱلشَّمْسَ وَٱلْقَمَرَ وَٱلنُّجُومَ مُسَخَّرَٰتٍۭ بِأَمْرِهِۦٓ ۗ أَلَا لَهُ ٱلْخَلْقُ وَٱلْأَمْرُ ۗ تَبَارَكَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلْعَٰلَمِينَ

Inna rabbakumullāhullażī khalaqas-samāwāti wal-arḍa fī sittati ayyāmin ṡummastawā ‘alal-‘arsy, yugsyil-lailan-nahāra yaṭlubuhụ ḥaṡīṡaw wasy-syamsa wal-qamara wan-nujụma musakhkharātim bi`amrihī alā lahul-khalqu wal-amr, tabārakallāhu rabbul-‘ālamīn

Artinya:

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-A’raf: 54)

إِنَّمَآ أَمْرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيْـًٔا أَن يَقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ

Innamā amruhū iżā arāda syai`an ay yaqụla lahụ kun fa yakụn

Artinya:

“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia. (Yasin: 82)

Guru-guru dan Ilmu yang Dikuasai

Beliau banyak belajar dari ulama-ulama besar pada masanya. Khasanah ilmu yang dipelajarinya pun bermacam-macam. Mulai dari tahfidzul Quran, tafsir, ilmu-ilmu adab, hadis, fikih, tasawuf, sufi, tarekat, hingga sastra.

Bisa dibilang bahwa menimba ilmu telah menjadi hobi Syekh Abdul Qadir Jailani. Hal itu telah tampak sejak kecil. Pada usia lima tahun, ibunda telah mengirimkan putranya itu untuk belajar di madrasah. Selain itu, bukan tidak mungkin Syekh muda juga mendapatkan bimbingan langsung dari sang kakek.

Pada usia 18 tahun, barulah beliau merantau untuk menuntut ilmu ke Baghdad. Pada masa Abassiyah, Baghdad merupakan ibu kota negara dan pusat peradaban, di mana berdiri sekolah-sekolah Islam besar.

Di sanalah beliau menemui banyak ulama, seperti Abu a-Wafa’ bin Aqil, Muhammad bin Hasan al-Baqilani, Abu al-Khatahab, Abu al-Husain Muhammad bin al-Qadhi Abu Ya’la yang mengajari ilmu fikih dan ushul fikih. Ulama-ulama ini kebanyakan bermazhab Hambali.

Ilmu adab, sastra, dan tarekat beliau pelajari dari Abu Zakariya al-Tibrizi dan Abu al-Khair Hamad bin Muslim al-Dibbas.

Sedang untuk hadis, beliau banyak mendengar dari Abu Ghalib Al Baqilani, Ja’far As Siraj Al Baghdadi, Ahmad at Tammar, Muhammad ibn Maimun An Nursi, Abul Qasim Ar Razaz, Abu Thalib Al Yusufi, Abul Barakat As Siqthi, Ahmad Al Banna, dan sebagainya

Selain itu, Syekh Abdul Qadir Jailani juga pernah belajar di madrasah bimbingan Abu Said Al Mubarak bin Ali Al Mukhrami. Di situ beliau lulus dan berhasil mendapatkan predikat tertinggi, hingga mendapat kehormatan mewarisi madrasah yang kelak berubah menjadi Madrasah Qadariyah.

Karya-Karya Syekh Abdul Qadir Jailani

Sepanjang kiprahnya dalam belajar dan berdakwah, Syekh Abdul Qadir Jailani banyak merumuskan berbagai pemikirannya melalui karya-karya tulis. Jika dijumlahkan, total karya tulis beliau mencapai lebih dari 40 kitab. Membahas berbagai topik, termasuk tafsir Alquran, fikih, hingga tasawuf.

Dari sekian banyak kitab karya beliau, sedikitnya ada empat yang paling populer, antara lain Tafsir Al Jailani, Ghunyah, Futuhul Ghaib, dan Sirrul Asrar. Berikut sedikit ringkasan dari empat kitab terpopuler karya Syekh Abdul Qadir Jailani tersebut.

Tafsir Al-Jailani

Naskah aslinya dikatakan menghilang selama 800 tahun. Namun, kemudian berhasil ditemukan oleh keturunan Syekh sendiri, yaitu Dr. Muhammad Fadhil tersimpan baik di perpustakaan Vatikan.

Buku ini kemudian diterbitkan di Turki pada sekitar tahun 2009 dalam enam jilid. Sementara terjemahan versi melayunya mengembang menjadi 12 jilid.

Ghunyah

Judul lengkapnya adalah al-Ghunyah li Thalibi Thariqil Haqq. Kitab bercorak tasawuf ini berisi tentang lima topik utama, yaitu fikih dan macam-macam ibadah, aqidah dan tauhid, doa dan fadhilah hari-hari dan bulan tertentu, hukum fikih tentang salat, puasa, dan doa, serta etika tasawuf dalam kehidupan.

Futuh al-Ghaib

Dinilai sebagai salah satu karya Syekh Abdul Qadir Jailani yang terbaik dalam hal kesusastraannya. Kitab ini berisi tentang berbagai nasihat, pemikiran, serta pendapat atas berbagai permasalahan dalam diri manusia sebagai hamba Allah Ta’ala.

Sirrul Asrar

Sedangkan Sirrul Asrar merupakan kitab bercorak sufisme. Di dalamnya memuat berbagai filsafat tentang ayat-ayat Allah beserta hakikat dari setiap perintah ibadah-Nya.

Ada pula panduan-panduan tentang amalan-amalan untuk memperdalam spiritualitas Islam sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.

Di samping empat kitab populer tersebut, Syekh Abdul Qadir Jailani juga menyusun puluhan karya tulis lainnya. Sebut saja Ad-diwan, Jala al Kaththir min kalam Abdil Qadir, Hikam al-Mawaidh, Qashidah al Asma Al Husna, Al-Rasail, As-Sholawat wa al-Aurad, dan masih banyak lagi.

Tarekat Qadiriyah

Selain karya-karya tulis, beliau juga memiliki bentuk karya lain, yakni menjadi pelopor tarekat Al-Qadiriyah. Inspirasinya bermula ketika Syekh Abdul Qadir Jailani bertemu seorang sufi bernama Hamad yang mengajarinya tarekat sufiyah.

Di situ beliau belajar hidup zuhud, menyepi, dan menjauhkan diri dari keramaian untuk melakukan tirakat. Beliau sempat meninggalkan Baghdad dan hidup di Shurtan. Lalu kembali muncul dalam kondisi lebih segar usai menjalani latihan rohani sebelas tahun lamanya.

Perolehan dari latihan panjang tersebut kemudian beliau tularkan lewat forum-forum. Pada akhirnya, menarik minat banyak orang untuk ikut menjalankan amalan-amalan yang dilakukan dalam kegiatannya. Sedikitnya ada tujuh ajaran dasar Tarekat Qadiriyah yang ditawarkan Syekh Abdul Qadir Jailani.

  1. Mujahadah, yang dimaksud adalah melawan keinginan yang bersumber dari hawa nafsu dan berusaha membelenggunya. Caranya dengan senantiasa dan takut kepada Allah Ta’ala melalui muqarabah, yaitu kesadaran penuh akan keberadaan Allah sebagai Dzat yang Maha Melihat.
  2. Tawakal, yaitu pasrah dan percaya dengan sepenuh hati kepada Allah Swt. Sambil meyakini bahwa Dia memiliki sifat Maha Mengatur segalanya. Ini juga bisa berarti menyerahkan segala urusan hanya kepada Allah semata.
  3. Akhlak, perilaku budi pekerti utama yang memuliakan Allah, diri sendiri, dan seluruh ciptaan-Nya.
  4. Syukur, bisa berarti mengakui, menikmati, berterima kasih, dan merasa senang atas segala bentuk pemberian-Nya dengan cara tunduk kepada-Nya.
  5. Sabar, ada tiga macam sabar, yaitu sabar karena Allah, sabar bersama Allah, dan Sabar atas Allah Ta’ala.
  6. Ridha, adalah rela dan senang hati terhadap segala ketentuan-Nya. Bisa pula diartikan mengakui dengan sungguh-sungguh bahwa setiap yang menimpa adalah yang keputusan-Nya yang terbaik untuk kita.
  7. Jujur, berarti perbuatan yang berasal dari hati yang lurus, tulus, ikhlas, tanpa kecurangan, baik terhadap diri sendiri maupun kepada orang lain.

Pemikiran Syekh Abdul Qadir Jailani

Mengenal Syekh Abdul Qadir Jailani tidak akan lengkap tanpa mendalami pemikiran-pemikiran beliau. Hasana.id ingin mencoba merangkum berbagai gagasan beliau dalam berbagai wilayah kehidupan.

Iman dan Tauhid

Tauhid menurut Syekh Abdul Qadir Jailani adalah membersihkan Dzat Allah dari segala sesuatu yang tidak pantas bagi-Nya. Mukmin sejati mutlak memiliki tiga sifat dalam dirinya, yaitu menjaga perintah Allah, menghindari semua yang haram, dan rela terhadap segala takdir.

Jenis tauhid ada dua, yaitu Rububiyah dan Uluhiyah. Tauhid Rububiyah mengakui tanpa keraguan bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu. Sedang Tauhid Uluhiyah mengkhususkan ibadah hanya kepada Allah semata.

Umat Islam juga harus yakin betul tentang kenabian Rasulullah saw dan adanya hari akhir. Jika tidak, berarti imannya belum sempurna. Alquran dan Sunah Rasul adalah hal yang patut diikuti dengan penuh keimanan dan bid’ah adalah sesuatu yang tidak dianjurkan.

Syirik

Tentang topik syirik, Syekh Abdul Qadir Jailani memiliki pemikiran lebih mendalam. Beliau menganjurkan agar umat Islam jangan sekali-kali melakukan syirik atau menyekutukan Allah dengan apapun. Namun, konsep yang beliau sodorkan melebihi apa yang banyak diketahui orang mengenai syirik.

Syirik bisa diartikan sebagai perilaku yang menghamba kepada selain Allah. Itu pun bukan hanya berlaku pada penyembah berhala. Setiap pemujaan akibat dorongan nafsu jasmani atau perbuatan menyamakan segala sesuatu dengan Allah, juga dapat dikategorikan sebagai syirik.

Menurut beliau lagi, “Barang siapa yang menganggap bahwa bahagia dan nestapa itu dari selain Allah, maka mereka itu bukan hamba-Nya.” Demikian pula dengan orang yang terlalu percaya diri dan lalai karena terbawa suasana dunia, lalu menganggap kehendak dirinya adalah kehendak Allah, juga tergolong syirik.

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفْتَرَىٰٓ إِثْمًا عَظِيمًا

Innallāha lā yagfiru ay yusyraka bihī wa yagfiru mā dụna żālika limay yasyā`, wa may yusyrik billāhi fa qadiftarā iṡman ‘aẓīmā

Artinya:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (An-Nisa: 48)

Kepasrahan

Kehidupan sejati bukanlah di dunia, melainkan di akhirat. Dunia hanyalah sarana untuk meraih kesejatian manusia di akhirat. Namun bukan berarti kita hanya bisa berpangku tangan menunggu ketentuan Allah, apalagi berputus asa.

Manusia dianjurkan untuk meminta apa yang menjadi kehendaknya, sambil tetap mengingat betul bahwa satu-satunya yang berlaku adalah kehendak Allah.

Artinya, jika dalam hidup kita memperoleh sesuatu usai bekerja keras, bukan usaha itu yang menyebabkan kita berhasil mewujudkannya, melainkan kehendak Allah semata.

Rezeki

Allah sudah mengatur pembagian rezeki bagi seluruh makhluk-Nya. Jumlahnya tetap sesuai kadar masing-masing, tidak kurang dan tidak lebih. Maka sebaiknya kita tidak boleh ragu, cemas, atau gelisah dengan rezeki yang diperoleh. Apalagi kecemasan itu membuat lupa kepada Allah.

Syekh Abdul Qadir Jailani mengingatkan soal rezeki melalui ilustrasi seorang bayi dalam kandungan. Bayi dalam rahim tidak memperoleh makanan kecuali dari santapan ibunya yang diproses sedemikian rupa menjadi asupan bagi bayi.

Santapan sang ibu berasal dari rezeki pemberian-Nya. Proses pencernaan makanan menjadi nutrisi untuk bayi itu sendiri sudah merupakan rezeki dari Allah. Itu tidak terjadi karena usaha manusia, bahkan bukan oleh sang ibu sendiri, apalagi dari laba usaha keluarga atau pemberian penguasa.

وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِى ٱلْأَرْضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّ فِى كِتَٰبٍ مُّبِينٍ

Wa mā min dābbatin fil-arḍi illā ‘alallāhi rizquhā wa ya’lamu mustaqarrahā wa mustauda’ahā, kullun fī kitābim mubīn

Artinya:

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).” (Hud: 6)

Ilmu

Kebodohan akan menimbulkan lebih banyak mafsadat (kerusakan) daripada manfaat. Ini berlaku dalam segala hal, termasuk bagi dirinya sendiri, kehidupan sosial, dan agama. Orang bodoh tidak dapat menjalankan agamanya dengan optimal, karena tidak menyadari perbuatannya salah atau benar.

Oleh karena itu, Syekh Abdul Qadir Jailani benar-benar menaruh perhatian dalam hal ilmu. Sebagaimana telah diceritakan tadi, menuntut ilmu bahkan telah menjadi hobi beliau. Namun, di sisi lain beliau juga memperingatkan sesuatu kepada orang-orang berilmu.

Ilmu tidak akan berguna tanpa pengamalan. Jika orang berilmu tidak mengamalkannya, maka dia akan mendapatkan dosa lebih besar daripada orang bodoh, itu juga bisa menyebabkan hilangnya agama dalam dirinya.

من عبد الله على جهل كان ما أفسده أكثر مما أصلحه

Artinya:

“Orang yang menyembah Allah dalam kebodohan lebih sering membawa mafsadat daripada membawa kemaslahatan,” (Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Al-Fathur Rabbani wal Faidhur Rahmani, [Beirut, Darul Fikr: 2005 M/1425 H-1426 H], halaman 288)

Pemikiran-pemikiran Syekh Abdul Qadir Jailani memang fenomenal dan telah mendapat pengakuan dari berbagai kalangan. Selain itu, beliau juga sosok yang soleh dan memiliki banyak karomah, sehingga tidak sedikit orang yang mengaguminya. Hanya saja, beberapa di antara mereka bersikap berlebihan.

Tentu hal itu berpotensi memicu kesyirikan tersendiri. Jadi, tidaklah benar jika kita memberikan beliau kedudukan di atas para nabi dan Rasul. Kalaupun Syekh Abdul Qadir Jailani mengetahuinya, bukan tidak mungkin beliau sendiri yang akan mengecam perbuatan tersebut. Wallahu a’lam.